Sebelumnya
* * *
Secara sambil lalu, Sandra mendengar Livi dan Luken membicarakan Minarti. Ternyata, Minarti kini memilih untuk indekos, alih-alih menempati rumahnya sendiri. Ketika Livi menyebutkan Wisma Tabitha, pikiran Sandra segera melayang pada sebuah rumah indekos yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hanya berselang dua jalan saja dari tempatnya tinggal.
Wisma Tabitha, rumah besar berhalaman luas itu, terkenal di Tebet sebagai rumah indekos yang sangat nyaman bagi pada eksekutif muda level menengah ke atas. Walaupun penghuninya multi gender, tapi hingga detik ini belum pernah terdengar ada peristiwa ‘tak diinginkan’ terjadi di sana.
Wah, jadi Bu Min sekarang indekos di sana? Pikir Sandra. Keren juga!
Ketika Angie muncul seusai jam kerja, Sandra segera mengajak putrinya itu mampir ke indekos baru Minarti sambil pulang. Tapi...
“Wah, aku justru ke sini mau pamitan sama Mama,” ujar Angie. “Aku mau keluar sama Tony.” Angie menyebutkan nama sahabatnya sejak SD itu. “Tony mau cari kado buat Petra.” Angie menyebutkan pula nama adik Tony. “Dia lagi jalan. Kusuruh jemput ke sini. Sekalian pamitan sama Mama.”
“Oh... Ya, sudah. Nggak apa-apa, pergi saja.” Senyum Sandra.
Jadilah ia merapat ke Wisma Tabitha sendirian. Tak lama duduk menunggu di salah satu set kursi tamu di teras, Minarti sudah keluar untuk menemuinya.
“Bu Sandra?” Minarti bergegas menghampirinya. “Wah... Kok, tahu kalau saya sekarang di sini?”
Sandra melebarkan senyumnya. Membalas pelukan hangat Minarti.
“Iya, tadi saya sempat nguping obrolan Livi dan Pak Luken. Hehehe... Bu Min kapan pindahnya ini?”
“Baru kemarin. Baru satu malam saya tidur di sini. Bu Sandra sendirian? Angie mana?”
“Iya, tadi mau saya ajak ke sini sambil sekalian pulang. Tapi dia dijemput temannya, mau apalah. Cari kado, katanya. Makanya saya sendirian. Ayo, Bu, kapan main ke rumah? Dekat ini, lho!”
“Iya, dekat banget, ya? Masalahnya, saya itu liburnya hari Senin, Bu.”
“Oh... Ah, kapan-kapan, sesekali, mintalah libur akhir pekan sama Pak James.” Sandra meringis sekilas. “Pak James orangnya baik, kok.”
“Hehehe... Terlalu baik orangnya, Bu. Saya malah jadi segan.”
Obrolan mereka terus berlanjut sampai petang menjelang. Langit menggelap perlahan, dan lampu teras sudah menyala. Tapi keduanya masih asyik bercakap dan bercanda. Hingga sebuah SUV berwarna hitam meluncur perlahan masuk ke halaman.
Waduh... Minarti yang duduknya tepat menghadap ke arah pintu gerbang jelas-jelas mengenali mobil itu. Pak Bos...
Seketika ada perasaan tak enak merayap masuk ke hati Minarti. Bagaimanapun, ia tahu kisah masa lalu James dan perasaan laki-laki itu terhadap Sandra. Entah kenapa, kedapatan dikunjungi James saat Sandra bertamu serasa kepergok sedang main api. Minarti mendesah dalam hati. Pasrah. Apalagi James sudah keluar dari dalam mobil dan kini melangkah ke arahnya.
“Panjang umur...,” gumamnya. “Yang tadi diomongin nongol orangnya.”
“Hah?” Sandra yang tak begitu paham gumaman Minarti segera menoleh ke arah tatapan Minarti.
Minarti sendiri sudah berdiri untuk menyambut James yang sudah menapakkan kaki di tepi teras.
“Pak....” Minarti mengangguk sedikit sambil terkekeh ringan. Rikuh. “Kok, tahu saya di sini?”
James pun menyambut jabat tangan Minarti.
“Iya, tadi terpaksa tanya sama Livi.” Senyum James melebar.
Ia kemudian beralih menjabat tangan Sandra. Berbasa-basi menanyakan kabar, dan duduk di salah satu kursi.
“Pantesan sudah nggak mau dijemput dan diantar lagi, ya, Bu Min?” James tertawa. “Tinggal kepeleset saja sudah sampai di kedai.”
“Hahaha....” Minarti tergelak ringan. “Saya bisa lebih santai di sini, Pak. Nggak harus siap pagi-pagi banget, dan pulang sudah menjelang malam. Nggak tua di jalan. Pak James juga enaklah, nggak perlu mutar kejauhan cuma gara-gara menjemput dan mengantar saya.”
Tak ingin mengganggu obrolan James dan Minarti, Sandra pun segera berpamitan. Alasannya, dia sudah cukup lama bertamu. James dan Minarti mengantarnya kembali ke mobil. Sepeninggal Sandra, Minarti mendapati James tampak sedikit tercenung.
“Pak, mau mulai, nggak nunggu seribu hari, juga nggak apa-apa, kok,” Minarti menyeletuk dengan nada usil.
James menoleh dan tertawa. Terlihat sedikit tersipu. Minarti pun mengajaknya duduk kembali.
“Apa masih pantas, sih, Bu?” James meringis sekilas.
“Lha, kenapa enggak?” Minarti sedikit melengak. “Dalam pandangan saya, asal sama-sama single, nggak jadi masalah, sih.”
James mengerucutkan bibir. Terlihat bingung harus menanggapi bagaimana.
“Mau saya bantu?”
Seketika, mata James bulat menatap Minarti.
* * *
Oh... Ternyata mereka lebih dekat daripada yang kukira...
Sandra menghela napas panjang sambil meluncurkan mobilnya, meninggalkan Wisma Tabitha. Ia kenal James. Cukup mengenal laki-laki itu walaupun bertahun telah berlalu tanpa ada relasi terlalu dekat.
Sejak ia memilih untuk menikahi Riza, James betul-betul membatasi relasi mereka. Hanya berusaha membentuk hubungan mereka seprofesional mungkin. Dan, alasan James secepatnya menyerahkan kendali Coffee Storage kepada Luken Aldrin, ia pun tahu.
James sama sekali bukan laki-laki yang gemar hinggap dari satu pelukan perempuan ke pelukan perempuan lainnya walaupun berstatus sebagai laki-laki lajang yang bebas merdeka. James lebih memilih untuk fokus mencurahkan perhatian pada dunia usaha dan pemberdayaan manusia daripada kehidupan pribadinya. Tak heran bila hingga detik ini, status James sama sekali belum berubah dari sejak ia memutuskan untuk menikahi Riza.
Dulu, dulu sekali, ia memang pernah dilanda bimbang saat dihadapkan kepada dua pilihan. James-kah? Atau Riza-kah? James selalu menghargai siapa pun yang ditemuinya. Selalu bersikap baik. Tak pernah menyombongkan diri ataupun menganggap diri sendiri terlalu tinggi. Nyungkani, alias membuat orang jadi segan karena kebaikannya itu.
Rasa lebih nyaman itulah yang akhirnya menang. Membuatnya memilih Riza. Laki-laki yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman menjadi diri sendiri. Tak selalu harus merasa sungkan atau segan.
Dan, sekali lagi ketahudirian James membuat perasaan sungkan itu muncul untuk kesekian kalinya dalam hati. Ketika laki-laki itu membuat keputusan untuk menyerahkan kepemimpinan Coffee Storage kepada keponakannya sendiri. Lalu James menyepi. Mengusahakan hal lain yang benar-benar membuat laki-laki itu tenggelam dalam kehidupannya yang baru. Tetap tanpa pendamping hidup.
Hingga sekarang...
Sandra membelokkan mobilnya. Turun sejenak untuk membuka pintu pagar, sebelum meluncur kembali. Ia parkir di carport. Mobil Riza masih bertengger dengan rapi di garasi. Ia tak hendak mengusiknya untuk sementara waktu.
Dan, Bu Min...
Sebetulnya, ia tak terlalu mengenal perempuan sederhana itu. Hanya sebatas beberapa kali pernah bertemu. Entah angin apa yang membawanya pernah menemui Minarti secara khusus. Ketika ia butuh teman untuk sekadar mendengar curahan hati. Tentang rasa kosong dan kehilangan yang masih terdekap hingga beberapa minggu lamanya setelah Riza berpulang. Bahkan, seluruh ucapan Minarti pun masih bisa diingatnya dengan baik.
“Dulu, saat mengalami hal yang sama dengan Ibu, saya punya Vita untuk diurusi dan dicurahi perhatian. Saya rasa Ibu pun sama. Punya pekerjaan yang bisa menyibukkan Ibu. Yang bisa mengalihkan perhatian Ibu dari semua yang Ibu rasakan sekarang. Ibu juga punya Angie untuk diajak saling mencurahkan isi hati.
“Saya yakin, Angie pun memiliki rasa yang sama. Alangkah baiknya bila Ibu dan Angie bisa saling bergandengan tangan meretas rasa kosong dan kehilangan itu. Bukan untuk melupakan Pak Riza begitu saja, atau menghilangkan peran Pak Riza dalam kehidupan Ibu dan Angie. Tapi Ibu dan Angie masih memiliki hari esok yang panjang untuk dilalui. Terutama Angie. Setelah kehilangan Pak Riza, tentu saja ia masih sangat membutuhkan Ibu sebagai tempat bersandarnya.”
Dan, setelah ia merenungkan kembali ucapan Minarti, ia mendapati bahwa semua itu benar adanya. Selama ini ia dan Angie memang sudah sangat dekat. Apalagi Angie adalah satu-satunya anak yang ia miliki. Ketika ia lebih mendekatkan diri lagi kepada Angie, meraih tangan putrinya itu, menggandengnya melangkah melalui beberapa lorong gelap dan remang-remang yang ada di depan mereka, pelan-pelan perasaan kosong itu menguap. Masih ada rasa kehilangan, tapi tak lagi terlalu menyakitkan seperti ketika pertama kali perasaan itu menghajar.
Bahkan, yang kemudian datang adalah gulungan kenangan-kenangan manis akan sosok seorang Riza. Cinta Riza, perhatian Riza, dan segala hal menyenangkan yang pernah dipersembahkan Riza untuk mereka berdua. Membuat rasa syukur kembali muncul karena mereka sudah diperbolehkan memiliki Riza sebagai bagian terindah dari hidup mereka.
Lalu... Apakah Bu Min dan Pak James saai ini sedang bergandengan tangan untuk meretas rasa kosong dan kehilangan di masa lalu?
Sandra sedikit termangu.
Entah kenapa, tiba-tiba saja ada sebersit rasa cemburu memaksa merayap masuk ke dalam hati.
* * *
Selanjutnya
(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)
Silakan mampir juga ke serial terbaru yang mengudara setiap hari Sabtu. Serial “Pojok Kisah Duda Seksi”. Sudah dimulai penayangan perdananya Sabtu yang lalu dengan judul "Perkenalkan, Aku Ken".
Terima kasih...
(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)
Silakan mampir juga ke serial terbaru yang mengudara setiap hari Sabtu. Serial “Pojok Kisah Duda Seksi”. Sudah dimulai penayangan perdananya Sabtu yang lalu dengan judul "Perkenalkan, Aku Ken".
Terima kasih...