Sebelumnya
* * *
Dengan mata tertutup selubung hitam dan langkah tersaruk-saruk, Sverlin didorong-dorong untuk terus melangkah. Perasaannya mengatakan bahwa jalan yang ia lalui bersama para penangkapnya adalah jalur yang terus menurun. Rasanya lama sekali mereka berjalan. Sverlin sudah mulai terengah. Ketika ia mencoba untuk memperlambat jalannya, dari arah belakang selalu ada yang mendorongnya untuk terus maju.
Akhirnya, perjalanan mereka pun sampai di ujung. Ada yang menahan Sverlin untuk melangkah, sehingga ia bisa berhenti sejenak. Mengistirahatkan kaki, sekaligus mengatur napasnya. Telinganya menangkap benda berat yang bergerak. Sepertinya pintu besar atau gerbang yang terbuka. Tapi hanya sejenak, sebelum ia didorong lagi untuk melangkah maju.
Kakinya mulai merasakan permukaan yang datar, tapi berkelok-kelok. Setelah bermenit-menit lamanya, mereka berhenti lagi. Kembali terdengar suara benda berat yang bergerak. Ketika didorong untuk melangkah maju, telinga Sverlin mulai menangkap dengung-dengung tak jelas yang sepertinya percakapan bersahutan dalam nada rendah.
Setelah beberapa puluh langkah maju, ia pun dipaksa untuk berhenti. Ia didudukkan pada sebuah kursi dengan bantalan cukup empuk. Beberapa detik kemudian, penutup matanya pun dibuka. Sverlin mengerjapkan mata beberapa kali sebelum matanya bisa kembali fokus dan melihat lebih jelas.
Ia ada di sebuah ruangan remang-remang yang cukup luas dengan kondisi sedikit hangat dan lembap. Sejenak ia ternganga.
Ternyata ia kini berada di dalam sebuah gua yang cukup luas dengan langit langit tinggi. Kumpulan stalaktit dan stalakmit kristal ada di beberapa bagian gua itu. Ia didudukkan di sebuah kursi pendek, menghadap ke sebuah tatanan tempat serupa altar yang cukup tinggi.
Di sekitarnya berkumpul makhluk-makhluk yang tampak serupa dengan pengapit di kiri-kanannya. Seperti primata berpostur tubuh tegak setinggi kira-kira dua meter, berbulu kelabu di sekujur tubuh, dan berkepala banteng. Makhluk-makhluk itu ada yang berdiri, ada juga yang duduk.
Ketika hendak meneruskan pengamatannya, serentak makhluk-makhluk yang duduk itu berdiri. Sverlin juga ditarik secara paksa untuk ikut berdiri. Suasana kemudian menghening. Saat itulah sesosok makhluk yang sama, tapi berbulu hitam legam dan postur lebih tinggi dan besar dari rata-rata, melangkah masuk diiringi lima makhluk lainnya. Makhluk hitam legam itu kemudian naik ke atas ‘altar’, dan duduk di sebuah kursi megah yang ada di atas altar itu.
Oh, jadi itu semacam singgasana?
Belum sempat Sverlin berdialog dengan pikirannya sendiri, ia dipaksa untuk duduk kembali. Serentak dengan gerakan makhluk-makhluk yang tadi mendapat tempat duduk di sekelilingnya.
“Jadi, siapa kamu?”
Seketika Sverlin ternganga. Makhluk hilam legam berukuran tubuh di atas rata-rata itu ternyata bersuara perempuan yang terdengar sangat merdu, halus, dan bernada lembut, dalam bahasa yang dipahaminya betul. Ketika Sverlin tak juga menjawab, sebuah tepukan mampir di belakang kepalanya. Membuatnya terperanjat dan sedikit terdorong ke depan.
“Anu ... eh, saya dari Bhumi,” jawab Sverlin, akhirnya.
“Di mana itu?”
Sverlin tak bisa melihat dengan jelas ekspresi makhluk di atas singgasana itu. Tapi ia memutuskan untuk menjawabnya secara sopan demi keselamatannya sendiri.
“Bhumi ada pada konstelasi bintang Solar, galaksi Via Lactea,” ujar Sverlin.
“Untuk apa kamu ke sini?”
“Euh ... tampaknya saya tersasar. Tersedot ke arah lain saat ada di lorong lubang cacing.
“Tujuanmu ke mana?”
“Planet Gerose, galaksi Triangulum.”
“Oh, tak jauh dari sini.”
Gumaman penguasa tempat antah berantah itu tak urung membuat Sverlin hampir melompat kegirangan. Kalau benar letak Gerose tak jauh dari tempatnya terdampar ini, maka perjalanannya tak sia-sia.
“Kamu bagian dari pengacau itu, bukan?”
Sejenak Sverlin mengerutkan kening. Pengacau? Apakah pasukan berpesawat yang kulihat tadi?
“Yang ada di lembah?” Sverlin menengadah. Menggeleng. “Bukan.”
“Di lembah?” suara lembut itu sedikit keras sekarang. “Ada apa di lembah?”
“Ada pasukan humanoid dengan belasan pesawat kecil di sana,” Sverlin sedikit mengerutkan kening. Jadi mereka justru tidak tahu ada penyusup lain di lembah? Ckckck ....
“Jadi bukan kamu yang menyedot cadangan energi kami?”
Sverlin langsung menggelengkan kepalanya. Tepat saat itu ada makhluk lain yang mendekat ke arah singgasana.
“Maaf, Yang Mulia, ada penyusup lain di lembah,” lapor makhluk yang baru datang itu. “Mereka menggunakan tabir anti visual. Sudah saya tangkal, jadi keberadaan mereka bisa terlihat. Sudah saya lokalisir dengan pagar anti energi. Mereka tidak akan bisa keluar dari lembah. Tampaknya mereka kaum Maleus yang hendak menyerang Gerose."
Sverlin kembali ternganga. Kaum Maleus? Astaga .... Bisa-bisa aku terjebak dalam perang antar galaksi!
Laporan itu membuat fokus dalam ruangan itu buyar. Pemimpin makhluk itu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa Sverlin ke ruang isolasi. Menunggu keputusan selanjutnya. Sverlin mendegut ludah. Entah bagaimana nasibnya kelak berjalan.
* * *
Gematri memimpin pasukan elitnya untuk menembus lorong lubang cacing, menuju ke Gerose. Lorong yang mereka lalui benar-benar tidak stabil. Berkali-kali pesawat mereka hampir tersedot ke jalur lain. Setelah perjalanan yang betul-betul menguras emosi dan energi, mereka pun sampai di ujung lorong.
Begitu keluar dari gerbang lorong, mereka dikepung oleh belasan pesawat yang tampaknya sudah siap tempur. Gematri pun segera membuka komunikasi. Sejenak kemudian ia bisa bernapas lega karena mereka sama sekali tidak dianggap sebagai musuh. Sebagian dari pasukan pesawat tempur itu kemudian justru mengawal mereka hingga sampai di hanggar Gerose. Astrodi sendiri yang menyambut kedatangan Gematri.
“Kaum Maleus sudah sampai di planet Mochaz, planet berpenghuni terdekat dari sini,” ujar Astrodi setelah mereka usai berbasa-basi. “Masterina Bonemine sendiri yang memberitahuku beberapa saat lalu.”
“Jadi, kita menunggu hingga kaum Maleus menyerbu ke sini, atau kita yang menyerbu ke Mochaz?”
Astrodi menggeleng. “Tidak, sahabatku. Kita tidak bisa membahayakan Primates, penghuni planet Monchaz. Sementara ini Primates berhasil mengisolir kaum Maleus. Kelihatannya Maleus belum tahu kalau sudah dibatasi geraknya. Tapi kalau mereka tahu, maka Monchaz dan Primates ada dalam bahaya besar.”
Gematri tercenung. Betapa kaum Maleus yang berjumlah tak terlalu banyak itu benar-benar sudah mengguncangkan semesta dengan perbuatan-perbuatan berbahayanya.
“Secepatnya kita harus menyusun strategi,” ujar Astrodi lagi. “Terima kasih karena kamu sudah bersedia membantu.”
“Tapi ada syaratnya,” ucap Gematri tiba-tiba.
“Apa itu?” Astrodi mengerutkan kening.
“Aku akan bawa ibuku pulang setelah semua urusan beres.”
“Mintalah yang lain, Gematri,” nada suara Astrodi terdengar membujuk. “Kami masih sangat membutuhkan Puan Azayala di sini.”
“Ya, atau aku tarik pasukanku detik ini juga?”
Mendengar nada tuntutan dalam suara Gematri, Astrodi terhenyak.
Hingga detik ini, pasukan elit yang dimiliki Gematri masihlah yang terbaik di seluruh semesta. Menghadapi Maleus yang seperti iblis, entah apa jadinya Gerose tanpa bantuan dari pihak lain termasuk Gematri.
Dengan berat, Astrodi kemudian mengangguk. Untuk saat ini, hanya itulah yang ia bisa lakukan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)