Sebelumnya
* * *
Dua
Donner menghentikan skutiknya di depan sebuah rumah cukup besar berlantai dua dengan pulasan cat berwarna kuning gading. Dilihatnya pintu pagar terbuka lebar. Dan, dari sela-sela besi pagar, tampak sebuah city car berwarna putih terparkir di carport. Belum lagi mematikan mesin motor dan turun, ada suara yang menyapanya ramah.
“Don? Langsung masuk aja! Ngapain berhenti di situ?”
Donner nyengir sekilas sebelum menarik gas dan melajukan skutiknya pelan-pelan melintasi pagar. Seorang perempuan cantik modis berusia pertengahan empat puluhan berdiri di dekat city car putih. Tampaknya baru pulang dari suatu tempat. Donner pun memarkir motornya di dekat teras, turun, dan melepaskan helmnya.
“Pagi, Tante,” ucap Donner sopan, seraya menjabat dan mencium sekilas punggung tangan kanan perempuan itu.
“Pagi, Don,” balas perempuan itu. Arlena namanya. Ibu Maxi.
“Baru pulang dari mana, Tan?” tanya Donner.
“Oh... Antar si Om ngantor. Yuk, masuk!”
Donner pun menjajari langkah Arlena, masuk ke dalam rumah melalui garasi. Dilihatnya ada motor sport Maxi masih terparkir di garasi itu.
“Om sudah sehat bener, Tan?” celetuk Donner lagi.
“Ya... Masih harus dijaga biar nggak kecapekan,” senyum Arlena.
Beberapa waktu lalu, hampir bersamaan dengan peristiwa tawuran yang melibatkan Maxi, Prima – ayah Maxi, sempat dirawat di rumah sakit karena serangan jantung.
“Langsung saja ke atas,” ucap Arlena. “Kayaknya dia belum bangun.”
Setelah mengucapkan permisi, Donner pun segera menapakkan kakinya di anak-anak tangga. Dengan langkah tanpa suara, ia pun sampai di lantai atas, dan mendapati pintu kamar Maxi masih tertutup rapat. Dengan halus, diketuknya daun pintu.
“Max, oi! Bangun, oi!” serunya, sedikit tertahan. Bagaimanapun, ia masih mampu mengingat bahwa ini bukanlah rumahnya sendiri. “Lu demen banget molor sampai gini hari, yak?!””
Sebelum Donner melanjutkan lagi rangkaian ketukannya, pintu sudah terbuka dari dalam.
“Lu demen banget gangguin orang lagi enak-enak molor,” gerutu Maxi, dengan wajah masih belum on sepenuhnya.
Maxi kemudian berbalik dan melangkah ke ranjangnya lagi. Donner membuntuti dengan bibir mengulum senyum.
“Ke Bogor, yuk!” ajak Donner kemudian. “Gue mau ambil duit.”
“Hah, elu... Bokap lu bukannya suruh transfer aja, malah ini pakai pulang segala ke Bogor,” Maxi kembali menggerutu.
“Ini juga gue dititipin sama Nyokap, disuruh bawain pesenan kain kiriman dari Tanah Abang.”
Maxi mengembuskan napas keras-keras dari mulutnya.
“Duit gue pula yang dipakai buat bayarin,” Donner meringis dengan ekspresi sedikit kesal. “Makanya, gue bela-belain kudu pulang ini.”
“Lha, lu bukannya bisa pulang sendiri?” Maxi menguap lebar-lebar.
“Masalahnya...,” Donner meringis lagi, “mobil gue kemarin pagi telanjur dipinjam sama si Otong, buat anterin bokap-nyokapnya balik ke Indramayu,” pemuda itu menyebut nama panggilan akrab Tisna, salah seorang kawan satu indekosnya.
“Astaga... Itu kain kapan nyokap lu bilangnya kudu dianterin, sih, Don?”
“Kemarin siang. Nggak lama dari Nyokap telepon gue, eh, kainnya dateng. Gue kudu bayarin cash pakai duit gue. Lu kayak nggak tahu nyokap gue aja, Max,” kali ini, ganti Donner yang menggerutu.
“Jadinya pakai mobil gue, nih?” Maxi mengulum senyum. Bagaimanapun, sepertinya asyik juga ‘jalan’ ke Bogor bersama Donner saat tak ada kerjaan begini.
“Emang lu punya mobil?” ledek Donner, tertawa lebar.
“Sialan!” Maxi melemparkan gulingnya ke arah Donner.
Donner terbahak keras.
“Ya, deh, gue mandi dulu. Eh, kainnya dah siap angkut, kan?”
“Ya, belum gue bawalah!” Donner mengerutkan kening. “Ada empat karung, mana bisa gue bawa pakai motor?”
“Empat karung???” mata Maxi langsung membulat.
“Hehehe...,” Donner terkekeh. “Makanya gue ke sini, minta tolong sama lu, Max.”
“Hadeeeh...,” Maxi menggeleng-geleng. “Lu bilang sama nyokap gue, deh! Mau dikasih pinjem mobil yang mana. Mobil Nyokap atau Bokap, biar Nyokap yang mutusin. Sono!”
“Iya... Iya...,” Donner segera menyingkir dari kamar Maxi.
Si pemilik kamar sendiri segera menghilang ke dalam kamar mandi. Donner turun ke bawah, mencari Arlena. Perempuan itu ditemuinya sedang duduk di ruang tengah, memangku laptop, tapi tidak terlihat terlalu sibuk.
Dengan sedikit ragu-ragu, Donner pun menyatakan maksudnya. Tapi tanpa banyak berpikir, Arlena menyambut positif maksud Donner.
“Ya, sudah, bawa mobil Tante saja,” ujar Arlena. “Kebetulan sudah ada di luar, kan. Kalau takut nggak muat, lipat saja jok belakangnya.”
“Cukuplah di bagasi, Tan. Mobil saya, kan, kayak punya Tante juga. Biasanya kalau bawa kain buat Mama, caranya kayak gitu. Kalau maksa nggak muat juga, tinggal dgeletakin aja di jok belakang. Nggak usah lipat-lipat jok.”
“Oh...,” Arlena mengangguk-angguk. “Ya, deh, terserah kamu.”
Ia kemudian berseru memanggil ART-nya, “Tik! Muntik! Tolong, ambilin kunci mobilku di island, ya! Bawa sini!”
Beberapa detik kemudian, sang ART muncul dari arah dapur dengan membawa barang yang dimaksud. Arlena segera menyerahkan kunci mobilnya kepada Donner.
“Kamu yang nyetir, ya, Don. Jangan Maxi,” pesan Arlena.
“Iya, Tante,” Donner mengangguk tegas. “Makasih banyak. Ngomong-ngomong, bisa sampai sore kami baru pulang, nih, Tan. Gimana?”
“Santai saja...,” senyum Arlena. “Nanti Tante bisa jemput Mela dan Om pakai mobil Om, kok.”
Sekali lagi Donner mengucapkan terima kasih. Bersamaan dengan itu, Maxi yang sudah rapi muncul dari ujung tangga. Setelah berpamitan, keduanya pun pergi. Donner menolak ketika Maxi meminta kunci mobil dari tangannya.
“Syarat dari nyokap lu, kudu gue yang nyetir,” ucap Donner tegas.
“Ribet amat!” gerutu Maxi.
Tapi ia menurut juga. Tinggal duduk manis di jok kiri depan, dan membiarkan Donner yang memegang kendali atas mobil itu.
* * *
“Ini si Donner lama amat belum juga ke sini?”
Pingkan yang sedang duduk diam di teras depan menoleh mendengar suara ibunya. Perempuan menjelang usia lima puluhan itu muncul dari dalam rumah dan duduk di sebelahnya.
“Lupa apa, ya, kalau mau ke sini dulu?” gumam Sonia.
“Masih molor, kali, Ma,” sahut Pingkan.
Sebetulnya ia juga sedikit jengkel pada Donner. Janjinya mau berangkat pukul delapan, tapi sudah pukul delapan lewat beberapa menit, pemuda itu belum muncul juga. Ditatapnya tempias rintik hujan yang jatuh menimpa atap teras.
Kemarin sore, Donner berpamitan hendak pulang ke Bogor hari ini, sekaligus menawari keluarga Pingkan hendak titip apa dari Bogor. Sonia malah hendak menitipkan kue-kue kering untuk keluarga Donner. Sekalian Donner mengajak Pingkan, yang segera setuju karena kebetulan hari ini ia tak ada jadwal kuliah.
Sebuah city car berwarna putih meluncur pelan di depan rumah. Terlihat dari sela-sela batang pagar, mulai dari sudut kanan, hingga kemudian berhenti tepat di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Beberapa detik kemudian, Donner muncul dari balik pintu pengemudi, berlari-lari dengan kepala terlindung kerudung jaket.
“Lho, itu mobil siapa?” tanya Sonia langsung.
“Hehehe... Mobil nyokapnya temen, Tante,” jawab Donner semringah, sambil salim kepada tantenya.
“Lha, mobilmu ke mana?”
“Telanjur dipinjam temen,” Donner meringis. “Dibawa ke luar kota. Mama, sih, suruh saya pulang ke Bogor mendadak banget.”
“Oh...,” Sonia manggut-manggut.
Sejenak kemudian, setelah berpamitan, Donner meraih sebuah payung yang ada di dalam guci keramik besar di sudut teras. Dikembangkannya payung itu. Dengan penuh perlindungan, ia kemudian merengkuh bahu Pingkan dan membimbing gadis itu menghampiri mobil. Gadis itu memeluk sebuah tas kertas besar yang sarat isi namun ringan di depan dadanya.
* * *
Begitu Donner keluar dari mobil, Maxi merebahkan sandaran jok kiri depan dan pindah ke jok belakang melalui celah lebar itu. Sejak Donner mengatakan bahwa Pingkan akan ikut ke Bogor, jantungnya sudah berdebar tak keruan.
Teringat kejadian saat ia nebeng mobil Donner pulang dari kampus beberapa hari lalu. Perjalanan yang terasa cukup hening. Pingkan sama sekali tak berminat untuk melibatkan diri dalam obrolan Donner dan Maxi, apalagi gadis itu duduk di jok belakang. Karenanya, kali ini Maxi memutuskan untuk pindah saja ke jok belakang. Tak ingin mengasingkan Pingkan, kendati ia sudah menduga bahwa nanti akan terjadi suasana canggung di antara ia dengan Pingkan.
Dari balik kaca gelap mobil, Maxi dapat menatap langsung ke arah teras, tempat Donner bercakap sejenak dengan tantenya dan Pingkan. Gadis itu tampak begitu segar dan cantik pagi ini. Tubuh tinggi semampainya dibalut kaus oblong berwarna gelap yang ujung bawahnya dimasukkan secara rapi ke dalam pinggang celana jins yang juga berwarna gelap. Kontras sekali dengan kulitnya yang terang dan sangat bersih. Rambutnya digerai begitu saja. Menambah manis penampilan sederhana itu.
Sebetulnya ada apa denganmu, Ke?
Maxi menatap sosok Pingkan yang terus mendekat bersama Donner.
Dari gelagat yang ditunjukkan Pingkan, ia yakin bahwa Pingkan pun ada hati kepadanya. Cara gadis itu menatapnya, cara gadis itu meladeni ucapannya, cara gadis itu menanggapi candanya, semua sudah memberi sinyal yang kuat bahwa masing-masing dari mereka tak sedang bertepuk sebelah tangan.
Tapi nyatanya?
Maxi menggeleng samar. Jantungnya berdebar makin kencang ketika Donner membuka pintu kiri depan agar Pingkan bisa masuk. Tadi ia sudah berunding dengan Donner, bahwa ia akan pindah duduk di belakang saja saat menjemput Pingkan.
Dan, mata bulat gadis itu, yang menatapnya dengan sorot mata kaget, tak akan dilupakannya seumur hidup. Tatapan yang berlumur rindu, tapi juga mengandung penolakan. Tapi Donner dengan gerakan halus sudah mendorong gadis itu untuk masuk ke mobil dan duduk di jok depan.
“Hai!” sapa Maxi, saat Donner tengah memutari setengah mobil untuk mencapai pintu kanan depan.
Hening. Sama sekali tak ada jawaban. Maxi mendegut ludah. Tampaknya kali ini ia benar-benar berada di posisi dan waktu yang salah. Hening itu masih menyelimuti kabin mobil hingga Donner masuk dan menyalakan mesin mobil. Dinyalakannya radio. Bersamaan dengan mobil itu mulai meluncur membelah jalan yang basah, hujan pun menderas.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)