Sebelumnya
* * *
Sambil menutup pelan-pelan pintu garasi, Bimbim menatap arlojinya. Pukul 3.24. ia berjalan menuju ke arah pintu penghubung garasi dengan dapur sembari menguap. Dari jendela kaca, ia melihat dapur terang benderang. Ibunya pasti sudah bangun dan asyik bereksperimen mengutak-atik aneka menu untuk diuji coba saat sarapan nanti. Tanpa suara, dibukanya pintu penghubung. Tetty yang duduk di depan island, menghadapi sebuah baskom baja anti karat, mengangkat wajahnya.
“Baru pulang, Bim?” sapanya, halus.
“Iya, Ma.”
Bimbim menghampiri Tetty dan mengecup ringan pipi kiri ibunya itu. Lalu ia mengambil gelas di rak, dan mengisinya dengan air putih yang diambilnya dari dalam kulkas. Sambil meneguk minumannya, ia mengambil tempat duduk di dekat Tetty.
“Bagus filmnya?” celetuk Tetty.
“Bagus, sih. Seru juga.”
“Apalagi nontonnya sama Ingrid, ya?”
Bimbim menjawabnya dengan gumaman tak jelas. Membuat Tetty mengalihkan tatapan dari baskomnya.
“Kenapa?” Tetty mengerutkan kening.
“Dia nolak aku, Ma,” jawab Bimbim. Lirih. Nada suaranya terdengar sedih.
“Hah?” Tetty membelalakkan mata. “Jadi benar, dia pacaran sama cowok yang minggu lalu antar dia pulang itu?”
“Nggak juga,” Bimbim menggeleng. “Endra, namanya. Sohib si Erwin. Sama nasibnya kayak aku. Ditendang juga.”
“Lho, kok, Ingrid gitu, sih?” gumam Tetty.
“Nggak ditendang gitu juga, Ma,” ralat Bimbim. Menyadari nada suara Tetty berubah jadi sedikit tak enak didengar. Tak bermaksud membela Ingrid juga. “Intinya, dia lebih nyaman kami berteman biasa saja. Kayak sekarang ini. Belum mau lebih dari itu. Nggak bisa dipaksa juga, kan, Ma.”
“Oh...,” Tetty tersenyum lega. “Iya, betul, nggak bisa dipaksa soal perasaan, sih.”
“Ya, deh,” Bimbim bangkit dari duduknya. Menghampiri tempat cuci piring dan meletakkan gelas bekas minumnya di sana. “Aku istirahat dulu, Ma.”
“Mau dibangunkan jam berapa?”
“Nggak usah, sebangunnya aku saja.”
“Oke, deh.”
Tetty masih menatap punggung anak bungsunya yang menjauh. Si pekerja keras yang tegar. Samar, dihelanya napas panjang.
Kamu sudah dewasa, Nak. Kamu sudah makin dewasa....
* * *
Ingrid menjatuhkan diri di ranjang. Direbahkannya tubuh yang baru sekarang terasa lelahnya. Seharian ia beraktivitas. Sejak menjelang siang, iseng ikut ibunya mengurusi bisnis, hingga selewat dini hari ini, usai menonton film midnight bersama Bimbim. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan waktu hampir setengah empat dini hari. Ingrid menguap untuk kesekian kalinya sejak masuk ke rumah.
Waktu tidurnya sudah terlewat jauh. Membuat rasa kantuk Ingrid mendadak lenyap entah ke mana walaupun masih berkali-kali lagi ia menguap. Pada saat seperti ini, mau tak mau pikiran menyeretnya ke dua nama, dua sosok, yang selama beberapa waktu belakangan ini makin dekat saja dengannya. Syailendra Bintang Norman alias Endra, dan Bismaka Mahawira alias Bimbim. Dua nama yang sama-sama terkesan gagah di telinga, dan dua sosok yang sama-sama menyenangkan hati.
Sedikit banyak, ia punya perasaan menyesal harus ‘menendang’ keduanya dengan cara seperti itu. Tapi lebih jahat lagi rasanya bila harus menggantung keduanya sedemikian rupa hanya karena kenyamanan yang ia rasakan bila bersama keduanya.
Ingrid mengubah posisinya. Berbaring telungkup dengan kepala bertumpu pada bantal empuknya. Dihelanya napas panjang. Mencoba menelusuri lagi lorong-lorong hatinya.
Rasa-rasanya, ia tak pernah berhasil menemukan debar itu dalam hatinya. Debar seperti ketika ia menatap sosok Ken, atau bahkan hanya saat membayangkannya saja. Apakah ia menikmati waktu-waktunya bersama Endra dan Bimbim?
Banget!
Dengan sangat jujur ia mengakuinya. Baik Endra maupun Bimbim, dua-duanya selalu memperlakukannya dengan baik. Manis, tapi tak terlalu berlebihan. Pendeknya, sangat menyenangkan berada di dekat mereka.
Yang sedikit mengganggu adalah perasaan yang muncul saat bersama salah satu di antara keduanya. Saat bersama Bimbim, entah kenapa perasaan bersalah terhadap Endra diam-diam sering muncul. Apalagi saat Endra ‘memergoki’-nya sedang berdua dengan Bimbim. Begitu pula sebaliknya. Saat bersama Endra, sering juga terselip pikiran ‘gini ini Mas Bimbim lagi ngapain, ya?’. Perasaan seolah mendua yang membuatnya tak nyaman.
Setelah mengambil ketegasan untuk tidak mengistimewakan salah satu, rasanya ada sekantung beban yang terangkat dari pundaknya. Ia hanya bisa berharap kedekatannya dengan Bimbim dan Endra tidak berubah. Setidaknya, sebelum mereka menemukan ‘orang terdekat’ masing-masing.
Tapi....
Membayangkan Bimbim dan Endra punya gadis kesayangan lain membuat hatinya ngilu tiba-tiba. Apalagi ketika titik pikirannya jatuh pada sosok Endra.
Pemuda semenarik Endra, hati gadis mana, sih, yang tidak akan goyah? Apalagi ditunjang dengan segala fasilitas dan faktor finansial yang seolah tidak berseri. Ia yakin, di belakangnya, pasti gadis-gadis yang ngebet ingin jadi pendamping Endra antreannya panjang sekali. Dari segi wajah dan penampilan, Endra memang menang sekian poin daripada Bimbim. Bimbim sudah tampan dan menarik, apalagi Endra! Endra termasuk pemuda berpenampilan metroseksual, sementara Bimbim lebih apa adanya.
Dan Mas Bimbim?
Dari Ernest, ia pernah mendengar bahwa Bimbim yang selalu bersikap ramah dan simpatik pada setiap orang itu cukup ‘diminati’ para gadis. Hanya saja, Bimbim tak pernah menganggap mereka istimewa. Semua sama di mata Bimbim. Hanya teman belaka. Bimbim lebih memilih untuk bersibuk diri mengurus bisnisnya bersama Ernest daripada bermain-main dengan para gadis.
Ingrid menguap entah untuk berapa kalinya. Kali ini, rasa mengantuk mulai datang lagi. Jarum jam terus merambat menuju pagi. Ia meraih boneka beruang teddy yang tempo hari dibelikan Bimbim. Seketika ia mengulum senyum. Iseng, ditekannya dada boneka itu.
“I love you! I love you!”
Suara lucu itu menggema dalam hening. Membuat Ingrid tertawa kecil sebelum memejamkan mata. Tapi sedetik kemudian ia ingat, harus mematikan alarm hariannya pada ponsel. Ia bangun kembali. Mencari ponselnya yang masih ada di dalam sling bag kesayangannya.
Setelah menemukan benda itu, ia membawanya kembali berbaring. Saat hendak mengatur alarm, iseng dibukanya aplikasi WhatsApp. Ada beberapa pesan dari grup maupun pribadi yang belum dibaca dan dibalasnya. Salah satunya dari nomor asing. Dengan kening berkerut, dibukanya pesan itu. Seketika matanya terbelalak.
‘Hai, Ingrid! Apa kabar? Aku dapat nomor WA-mu dari Mama. Aku sudah pulang. Kapan kita bisa ketemu. Aku ada oleh-oleh buat kamu.”
Pesan itu tanpa nama. Tapi dari foto profilnya, jelas-jelas pesan itu berasal dari siapa. Ingrid menelan ludah.
Mas Ken?
Seketika, jantungnya berdebar kencang. Kantuknya lenyap seketika.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)