Sebelumnya
* * *
Dengan resah, Ingrid berbaring telentang di ranjangnya. Tatapannya menelusuri tiap jengkal langit-langit kamarnya yang penuh pendar bintang dalam gelap. Berasal dari titik-titik cat glow in the dark yang beberapa bulan lalu ditorehkan Erwin untuk menghiasi langit-langit kamar Ingrid. Ia meraih boneka beruang teddy berwarna merah muda yang tergeletak di dekat kepalanya. boneka yang beberapa puluh menit lalu dibelikan Bimbim. Iseng, dipencetnya bagian dada boneka itu.
“I love you! I love you!”
Suara imut itu menggema lembut di telinganya. Ingrid mendesah.
“In, aku sayang sama kamu. Mau nggak, kamu jadi kekasihku?”
Bisikan Bimbim itu serasa masih menempel di seluruh permukaan gendang telinganya. Menggema untuk kesekian kalinya setelah Bimbim tadi mengutarakan kalimat itu.
Ingrid berbalik. Menelungkup dengan wajah terbenam dalam bantal empuknya. Beberapa detik kemudian, ketika merasa napasnya mulai sesak, ia kembali berbaring telentang. Kedua lengannya memeluk boneka beruang teddy gendut itu.
Mas Bimbim, atau Mas Endra?
Ketika mencoba memutar ingatannya ke peristiwa sebelum diajak Bimbim keluar tadi, ia makin tergulung keresahan. Bagaimana tidak?
“Mau lagi?” tanya Endra begitu melihat siomay dalam piring kertas yang dipegang Ingrid sudah habis. “Atau mau jajan yang lain?”
“Memangnya Mas Endra mau jajan apa lagi?” Ingrid malah balik bertanya.
“Apa saja, sih,” Endra meringis, sedikit tersipu. “Soalnya, aku lapar banget. Tadi nggak sempat makan siang.”
“Waduh.... Gawat...,” gumam Ingrid dengan nada menegur. “Nanti bisa sakit mag, lho!”
“Wah, jangan sampailah,” dengan serius, Endra menanggapi. “Makanya, ini lagi lirik-lirik, enaknya mau makan apa lagi.”
“Mau tahu tek, nggak?”
“Oh, tahu yang pakai lontong, disiram saus kacang pakai petis itu?”
“He eh,” angguk Ingrid.
“Memangnya ada di sini?”
“Ada, doong! Tuh, di sebelah sana. Yuk!”
“Mau, dong!”
Keduanya berdiri, tapi Ingrid segera ingat sesuatu.
“Sebentar, Mas. Aku beli pesanan Abang dulu.”
Ingrid pun segera menghampiri penjual dim sum. Dipesannya dua kotak dim sum lengkap. Ketika hendak membayarnya, Endra sudah menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan kepada si penjual dim sum.
“Eh, jangan!” Ingrid buru-buru mencegah. “Biar aku bayar sendiri.”
“Nggak apa-apa, In,” ujar Endra dengan nada sabar.
“Jangan! Jangan!” Ingrid mengulurkan lembaran yang sama pada si penjual dim sum. “Ini saja, Bang,” ucapnya, seraya dengan halus menjauhkan tangan Endra dari penjual dim sum. “Sudah, ini saja.”
“Yah...,” Endra terpaksa mengalah.
“Makasih, Mas,” ucap Ingrid kemudian. Tulus. “Tapi beneran, aku bayar sendiri saja.”
“Baiklah...,” Endra menghela napas sedikit berat.
Setelah selesai urusan dim sum, keduanya kembali pada niat semula untuk berpindah tempat ke dekat penjual tahu tek. Seporsi siomay dengan isian lengkap sebetulnya sudah mengisi nyaris penuh perut Ingrid. Tapi membaui aroma tahu tek yang sungguh menggoda itu, ia langsung mengangguk ketika Endra menawarinya.
Malu? Ngapain? Ingrid meringis dalam hati. Memang makanku rakus....
Sementara menunggu pesanan diracik, keduanya duduk di bangku beton yang mengelilingi sebuah pohon beringin besar di dekat penjual tahu tek. Langit sudah menggelap sempurna. Puluhan lampu taman sudah menyala.
“In....”
“Ya?” Ingrid menoleh sekilas sambil meneguk air mineralnya.
“Jadi pacarku, yuk!”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”
Ucapan lirih Endra seketika membuat Ingrid tersedak dan terbatuk-batuk. Endra segera menyadari kesalahannya. Tangannya terulur, mengelus lembut punggung Ingrid.
“Duh.... Sorry, In,” sesalnya.
Ingrid mengibaskan tangan dan mengacungkan jempol. Tanda bahwa ia tak apa-apa. Beberapa saat kemudian, batuk Ingrid reda. Gadis itu mengernyitkan kening. Berdehem beberapa kali.
“Sorry, In,” ucap Endra sekali lagi.
Ingrid menggeleng, mengisyaratkan bahwa benar ia tak apa-apa.
“Aku harus jawab sekarang?” Ingrid berucap dengan suara terdengar masih sedikit tercekik.
“Enggak,” sahut Endra cepat. “Nggak harus sekarang. Terserah kamu mau jawab kapan.”
Ingrid menarik napas lega. Serangan mendadak Endra baru saja sudah berhasil menghilangkan sebagian akal sehatnya. Untunglah akal sehat yang masih tersisa berhasil membuatnya ingat untuk menahan diri.
Senang karena Endra ‘menembak’-nya? Tentu saja! Tapi apakah demikian juga dengan seluruh hatinya?
Ingrid menggeleng samar. Menuruti emosi hanya akan membuat logikanya tumpul. Karenanya ia perlu waktu untuk mengenali lebih dalam keinginan hati yang sebenar-benarnya.
“Mm.... Kasih aku waktu, ya, Mas?” putusnya kemudian. “Aku nggak mau salah kasih jawaban.”
“Ya, In,” Endra mengangguk. “Just take your time.”
Untuk sementara, Ingrid bisa sedikit berlega hati. Satu nilai tambah yang ia temukan dari dalam diri Endra. Sikap sabar.
Tapi, ternyata bukan hanya Endra seorang yang menyatakan keinginan hatinya terhadap Ingrid. Bimbim juga. Pada saat yang nyaris berimpitan. Ingrid kembali mendesah.
Mimpi apa aku semalam?
Ibu jarinya kembali menekan dada beruang teddynya.
“I love you! Iove you!”
Suara imut itu sama sekali tak membantu.
Mas Endra.... Mas Bimbim.... Mas Endra.... Mas Bimbim....
Ingrid menghitung kancing piyamanya. Tapi beberapa detik kemudian ia menyadari tindakan bodohnya.
Milih pacar, kok, pakai hitungan kancing! Sudah nggak waras kamu, In!
Ia terpaksa meringis ketika hati kecilnya menegur.
Tengah membiarkan diri asyik dibelit dua nama itu, mendadak saja ponselnya yang ada di atas nakas berbunyi nyaring. Ingrid sampai terlompat saking kagetnya. Sambil menggerutu, ia meraih benda itu. Ada pesan dari Erma.
‘Kamu besok ada latihan menari? Pulang pukul berapa?’
Segera dibalasnya pesan itu. ‘Iya, ada. Bubar pukul enam. Paling lambat setengah tujuhlah.’
‘Pulangnya ke rumahku, ya? Ketemuan sama sepupu Mas Rakai.’
‘Memang dia mau kenalan sama aku, Kak?’
‘Ow.... Jangan khawatir! Besok sekalian makan malam di rumahku. Kamu pamitan sama Mama-Papa, ya. Sekalian saja nginep daripada pulang kemalaman.’
‘Oke, deh!’
Ingrid mengembuskan napas keras-keras. Orang ketiga! Hampir saja ia lupa bahwa masih punya kemungkinan ada calon lain.
Untung aku belum jawab apa-apa.
Ingrid meringis lagi. Tak urung, ada perasaan tak enak yang menyelinap dalam hati. Ketika ia menjawab lirih, “Mm.... Aku... belum bisa jawab sekarang, Mas. Aku takut salah sikap. Gimana?”, air muka Bimbim memang tampak berubah. Sedikiiit ada semburat kecewa. Tapi Bimbim buru-buru menutupinya dengan senyum.
“Nggak gimana-gimanalah, In,” Bimbim menanggapi dengan suara rendah “Kamu berhak mikir panjang, kok. Hakmu juga untuk menjawab sesuai kata hatimu. Nggak perlu terburu-buru.”
Ingrid menutupi wajahnya dengan beruang teddy pemberian Bimbim.
Seandainya aku sudah jadian sama Mas Ken, tentunya nggak ada lagi kejadian reseh macam ini!
Seketika Ingrid tersentak begitu hatinya selesai menggerutu.
Ken lagi? Nooo.... Jangan! Jangan! Ingrid menggelang kuat-kuat dengan rupa gusar. Ayolah, pergi jauh-jauh dari pikiranku!
Dicobanya untuk mengusir keluar bayangan sosok Ken dari benaknya. Caranya?
Mas Bimbim.... Mas Endra.... Mas Bimbim.... Mas Endra.... Mas Endra.... Mas Bimbim.... Mas Endra.... Mas Bimbim....
Terus begitu. Hingga kantuk menjemputnya, dan alam mimpi menyeretnya dalam lelap.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)