Sebelumnya
* * *
Selesai memandikan dan mendandani Steve, Rafael segera menyerahkan bayi tampannya pada Lea. Sarah yang muncul tak lama kemudian dalam kondisi sudah wangi, rapi, dan segar, segera mengambil alih adiknya, dan menggendongnya ke teras.
“Hayuk, tunggu Mama pulang, yuk...,” bujuknya sambil menciumi pipi bulat Steve yang beraroma wangi, membuat bayi tampan itu terkekeh geli.
Sekilas Rafael melihat ke arah jam dinding di ruang tengah itu. Sudah hampir pukul setengah enam. Kalau normal, tak lama lagi Renata akan tiba di rumah. Ia dan Sarah tadi sampai di rumah menjelang pukul tiga. Sempat kelonan dan terlelap bertiga, dan bangun beberapa menit sebelum pukul lima. Rafael agak gelagapan karena sudah agak terlalu sore untuk memandikan Steve. Tapi Lea mengatakan tak apa-apa, asal menggunakan air hangat.
Ia kemudian masuk kembali ke kamarnya. Bermaksud untuk mandi. Rencananya, sore ini ia akan mengajak Renata untuk makan malam santai di luar. Sungguh, ia berharap Renata sudah membaca email-nya di tengah-tengah kesibukan. Berharap pula kemarahan Renata sudah berkurang, sehingga rencananya tidak gagal. Sembari membiarkan air dari pancuran membasahi seluruh tubuhnya, Rafael berharap seluruh keruwetan hidupnya belakangan ini turut luruh. Keruwetan yang tak pernah ia harapkan untuk membelitnya dan Renata. Apalagi sumbernya hanyalah masa lalu yang terselip tak diceritakan. Dihelanya napas panjang sambil menyabuni seluruh tubuhnya bersih-bersih.
Begitu keluar dari kamar mandi, tatapan Rafael jatuh pada sebuah kotak di atas ranjang. Ia kenal betul corak luar kotak kertas itu. Corak khas Lovely Patisserie langganan mereka. Dengan beberapa langkah panjang, Rafael sudah menjangkau ranjang. Diulurkannya tangan untuk membuka kotak itu. Samar, hidungnya mencium aroma kue yang lezat.
Ia ternganga begitu tutup kotak itu terbuka. Seloyang kecil red velvet dengan taburan kesukaannya. Dan, ia hampir lupa berkedip ketika menatap sehelai kartu kecil yang ada di bagian atas kue. Kartu putih dengan keempat tepinya ber-emboss deretan kuntum mawar merah. Tulisan rapi Renata pendek saja.
Dimaafkan.
Segera ditinggalkannya kue dan kamar itu, keluar mencari Renata. Ketika ia melongok ke teras belakang, hanya ada Lea dan Steve.
“Sarah lagi kerjain PR di ruang kerja kalian,” ujar Lea tanpa ditanya.
”Renata?” Rafael mengangkat alisnya.
“Bukannya tadi di kamar kalian?” Lea mengerutkan keningnya sedikit.
Rafael hanya menanggapinya dengan gelengan kepala, kemudian meninggalkan Lea. Mungkin menemani Sarah mengerjakan PR, pikir Rafael sembari melangkah ke ruang kerjanya dan Renata. Tapi hanya ada Sarah di ruangan. Mendongak sedikit ketika merasa terganggu akan kehadiran ayahnya.
“Aku lagi ngerjain PR,” lapor Sarah, tanpa diminta.
“Iya,” angguk Rafael. “Baru saja dikasih tahu Oma. Bisa semua?”
“Kayaknya bisa. Gampang, kok.”
“Mama mana? Sudah pulang, kan?”
“Oh, lagi mandi di kamar mandiku,” Sarah kembali sibuk dengan PR-nya. “Papa mandinya lama. Kasihan Steve, sudah keburu mau nyusu.”
“Kan, Papa cukuran dulu, biar tambah ganteng,” Rafael terkekeh, kemudian meninggalkan ruangan itu, diiringi tawa ringan Sarah.
Renata keluar dari kamar mandi Sarah bertepatan dengan Rafael masuk ke kamar gadis kecilnya itu. Ia masih mengenakan jubah mandi dengan rambut basah. Terlihat sangat segar dan menggemaskan di mata Rafael. Keduanya bertatapan sejenak sebelum Rafael memburu Renata dengan langkah panjangnya.
“Makasih, ya, Ren,” ucapnya dengan mata berbinar.
Renata mengerucutkan bibirnya. “Apa, sih?”
Rafael segera menjangkau Renata, membawa istri tercintanya itu ke dalam pelukan.
“Makasih, aku sudah dimaafkan,” bisik Rafael di telinga Renata. “Makasih juga, aku sudah dibelikan red velvet favoritku. Sekali lagi, maafkan aku, ya, Ren. Maafkan aku.”
Sedetik berada dalam pelukan hangat Rafael, Renata pun memutuskan untuk membalas pelukan itu. Hati Rafael serasa meleleh dibuatnya. Dengan satu gerakan ringan tapi cepat, di-‘curi’-nya bibir Renata.
“Hiiih...!” Renata berlagak kesal.
Rafael tertawa. Ditatapnya Renata.
“Makan di luar, yuk!” ajaknya.
Renata mengerutkan kening. “Bukannya tadi pagi Mas pesan sama Mama, ingin dimasakkan soto ayam?”
Rafael menepuk keningnya. “Lupa!”
“Gejala pikun, tuh,” gerutu Renata. “Kebanyakan dosa sama istri.”
Rafael kembali tertawa.
“Kalau mau ajak makan malam, besok saja,” ucap Renata sambil meninggalkan kamar Sarah. “Pulang kantor.”
“Siap, Nyonya!” sahut Rafael sigap seraya membuntuti Renata. “Kita makan malam di mana pun Nyonya kehendaki.”
Renata tertawa renyah mendengar ke-lebay-an suaminya.
* * *
Ada yang berubah dari diri Adita. Itu yang Nugra bisa lihat dan rasakan. Terjadi setelah pertemuan tak sengaja mereka dengan suami Renata. Adita jadi sedikit lebih pendiam dan dijumpainya agak sering melamun.
Sesungguhnya, ini yang ia takutkan sejak lama. Rafael masih ada pengaruhnya terhadap diri Adita. Dan, setelah melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa ternyata sosok Rafael, seketika rasa percaya dirinya jatuh ke titik minus. Harus diakui bahwa Rafael memang sangat tampan dengan postur yang masih cukup sempurna untuk ukuran bapak-bapak. Terkesan pendiam, sopan, dan tidak jelalatan. Ia sendiri juga bukanlah laki-laki yang ‘jelek-jelek amat’. Tapi statusnya sebagai ‘yang datang kemudian’ diam-diam cukup mengganggu.
Bertanya pada Adita?
Hooo.... Nugra membundarkan bibirnya. Itu namanya membangunkan macan tidur.
Pernikahannya dengan Adita sudah berlangsung sekitar enam tahun lamanya. Ia sudah cukup mengenal perempuan yang nyaris tiap malam berada di ranjang yang sama dengannya itu. Adita agak tidak suka membicarakan masa lalunya.
Nugra sendiri memahami seutuhnya bahwa masa lalu Adita menyimpan rasa pahitnya sendiri. Adita hanya ingin bahagia. Dan, selama ini perempuan itu sudah berhasil mencari kebahagiaannya dalam kehidupan pernikahan bersama Nugra. Apalagi setelah ada Gwen.
Gwen, adalah anugerah terindah yang pernah ia terima dalam hidupnya setelah Adita. Saat memutuskan untuk menikahi Adita, Nugra sudah siap lahir batin bila harus menghadapi keadaan agak susah memiliki anak. Adita hanya punya satu ovarium, setelah yang satu lagi terpaksa harus diangkat karena sudah pecah oleh kista. Dengan teknologi dan kemajuan ilmu kedokteran saat ini, keadaan itu tak jadi penghalang bagi Adita untuk memiliki anak. Kesempatan ada, hanya sedikit berkurang. Ia sudah siap menerima risiko itu. Tekadnya hanya satu, mencintai Adita seumur hidup, dan memberikan kebahagiaan kepada perempuan itu.
Hanya tiga bulan setelah mereka menikah, Adita telat haid. Pada awalnya, Adita menyembunyikan hal itu dari Nugra. Ia hanya ingin memastikan bahwa harapan mereka tidak pupus di awal semi. Tapi ia tak bisa lagi berkelit ketika kondisinya perlahan menurun. Nyaris tiap pagi mual dan muntah. Membuat Nugra buru-buru memboyongnya ke dokter.
Segala hal sudah ada dalam benak Nugra. Agaknya Adita terlalu lelah. Mungkin Adita ada gejala penyakit lambung. Sepertinya Adita terkena tifus. Barangkali Adita ini. Kelihatannya Adita begitu. Semua kemungkinan yang membuatnya dihinggapi ribuan rasa khawatir. Satu hal sama sekali lolos dari pikirannya. Adita hamil. Justru itu kabar yang didapatkannya kemudian.
Ia nyaris melumatkan Adita dalam pelukan tangan kukuhnya. Terlalu gembira. Terlalu bahagia. Hingga dengan halus Adita harus mengingatkan.
“Ingat kondisiku. Jangan terlalu senang dulu.”
Untungnya, Tuhan sangat murah hati pada mereka. Gwen lahir cukup bulan. Tepat waktu. Sangat sehat dengan tangisnya yang membahana. Sangat cantik dan menggemaskan, dengan postur tubuh mengikuti ayahnya. Membuat Adita cukup susah payah melahirkannya secara normal.
Adita segera menginginkan adik bagi Gwen. Kali ini, dengan halus, Nugra-lah yang mengingatkannya. Bahwa ia sudah sangat bersyukur dengan kehadiran Adita dan Gwen dalam kehidupannya. Lebih berbahagia lagi bila mendapat anggota keluarga baru, tapi yang terpenting adalah Adita tetap sehat, dan Gwen bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Lalu, mereka hidup berbahagia bagai cerita dongeng.
Sayangnya....
Nugra menghela napas panjang. Tatapannya menerawang jauh, seolah menembus layar laptop. Ia tersentak ketika pintu ruang baca terbuka. Ketika ia menoleh, didapatinya Gwen sudah melongokkan kepala dari balik pintu.
“Makan dulu, Pa,” ucap si kecil itu dengan manisnya.
Nugra mengulas senyum lebar. Disempatkannya mematikan laptop sebelum beranjak.
Di depan meja makan, Adita sudah duduk menunggu sambil merapikan piring-piring saji. Ia mengangkat wajah ketika Nugra dan Gwen muncul sambil bercakap. Menghadiahi keduanya seulas senyum.
“Nih, aku masak tumis bayam merah hasil panenan Gwen,” ucap Adita dengan mata berbinar. “Sama lauk-lauk lain juga.”
“Hmm.... Pasti enak!” sahut Nugra dengan wajah penuh minat, sembari duduk di seberang Adita.
Sejenak kemudian, keluarga kecil itu menikmati makan malam mereka. Sekeliling meja makan kecil itu hangat dengan berbalas celoteh mereka. Sesekali mereka tertawa, terutama ketika Gwen menceritakan teman-temannya, dan juga pelanggan mereka di toko.
Sesekali tatapan Nugra jatuh pada Adita. Melihat cahaya yang berpendar pada wajah Adita, ia sungguh-sungguh berharap kekhawatirannya hanyalah hal kosong yang sebetulnya tak perlu dipikirkan. Hanya saja, hatinya terus membisikkan hal lain.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)