Sebelumnya
* * *
Rafael sedikit ternganga ketika menatap sejenak layar ponselnya. Ia baru saja mengunci pintu mobil setelah menjemput Sarah. Sambil menggendong Steve dan berjalan masuk ke dalam rumah, ia membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari Renata.
‘Aku lihat mobil Mas lagi jalan pulang. Sudah sampai rumah? Kutunggu di Cak Blek. Sekarang juga.’
Begitu tersadar, Rafael buru-buru menyerahkan Steve pada Lea, kemudian berbalik lagi ke arah garasi.
“Mau ke mana?” Lea menatapnya heran.
“Ada perlu, Ma,” Rafael menoleh sekilas.
Rafael kemudian menghilang di balik pintu garasi. Masih berpakaian lengkap. Hampir berlari ia menuju ke kedai bakso Cak Blek. Walau langit erat dipeluk mendung, tapi hawa yang beredar terasa sedikit gerah. Rafael mengusap keringat di leher dan wajahnya dengan sehelai saputangan lebar begitu menginjakkan kaki ke lantai kedai Cak Blek. Mobil Renata ada di luar, dan istri tercintanya itu sudah asyik menikmati semangkuk bakso di sebuah sudut. Segera dihampirinya Renata.
“Hai!” sapanya, sedikit terengah.
“Nggak pesan dulu?” Renata menunjuk ke arah gerobak bakso dengan raut wajah datar, masih cenderung dingin.
Rafael pun berbalik, memilih dulu isi semangkuk bakso dan minuman. Sambil menunggu pilihannya dikuahi, pelan-pelan ia duduk di depan Renata. Dengan penuh kerinduan, ditatapnya wajah manis Renata.
“Lari-larian?” sejenak Renata mengangkat wajahnya. Sekilas tatapannya menyapu wajah Rafael. Terkesan tetap acuh tak acuh. “Sampai keringatan begitu.”
“Hehehe...,” Rafael terkekeh dan menggumam, “Habisnya, kaget ada yang kirim pesan. Mengundang makan bakso. Jadi, aku langsung lari ke sini.”
Renata menanggapinya dengan sebuah gumaman tak jelas. Saat itu, semangkuk bakso dan segelas es teh lemon diantarkan ke meja mereka. Hening sejenak.
“Ren, aku mau ngomong,” ujarnya lirih begitu pramusaji menjauh. “Sekaligus minta maaf.”
“Sst...,” Renata mengangkat telunjuk kirinya dengan raut wajah tegas. “Aku yang ngomong dulu. Mas dengarkan saja. Sambil makan, tuh, baksonya. Keburu dingin.”
“Oh.... Oke...,” Rafael mengangguk patuh, walaupun raut wajahnya terlihat ragu-ragu.
Setelah meneguk sedikit es jeruknya, Renata pun melanjutkan bicaranya.
“Tadi aku ketemu Adita,” ucapnya, lugas.
Rafael ternganga mendengarnya. Ia sudah hendak buka suara, tapi ingat peringatan Renata. Maka ia pun hanya bisa menunggu dengan sabar kelanjutannya.
“Aku ketemu Adita,” ulang Renata, “di Tangsel, di calon toko baru suaminya. Awalnya aku malas bertemu lagi sama dia. Tapi dia memaksa. Ingin menjelaskan soal pertemuan kalian tempo hari. Dan, ternyata...,” Renata memutar kedua bola matanya, “... dia juga belum cerita ke suaminya soal itu. See? Bukan aku saja yang tersinggung dengan ulah kalian. Suaminya juga. Tapi masih sabar suaminya itu. Bersyukurlah kalian,” Renata menatap Rafael dengan tajam.
Susah payah Rafael mengunyah dan menelan potongan bakso yang baru saja digigitnya. Belum lagi perutnya terasa sedikit mulas mendengar nada bicara Renata yang masih beraura dingin. Renata melanjutkan kembali ceritanya.
“Aku... mau bicara... dengan kalian...,” ucap Adita lirih. Ragu-ragu.
Renata dan Nugra bertukar tatapan sejenak. Kesempatan itu dipakai Adita untuk ‘menghalau’ Gwen agar, “Bantu Om Yunan cek barang di gudang, ya?”
“Ini soal... kejadian... beberapa hari lalu...,” lanjut Adita, hampir tak terdengar. “Mas Rafael dan aku... makan siang bersama... di Menara Daha.”
Melihat Nugra dan Renata sama-sama tak bereaksi, Adita memberanikan diri untuk duduk di salah satu sofa tunggal.
“Aku minta maaf... yang sebesar-besarnya,” ia melanjutkan lagi. Tertunduk. “Aku juga... ingin menjelaskannya. Bukan membela diri. Bagaimanapun, aku salah. Mas Rafael... mungkin juga salah, tapi... ini semua... karena aku.” Adita mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatap Nugra dan Renata. “Aku yang punya inisiatif untuk bertemu, sama sekali bukan Mas Rafael. Jadi....”
Tatapan Nugra dan Renata masih jatuh ke arahnya. Adita mendegut ludah. Sekali lagi ia meminta maaf, dan mulai menjelaskan kenapa ia merasa harus bertemu dengan Rafael, kendati hubungan istimewa mereka sudah benar-benar selesai.
Rafael yang kurang lebih memiliki perasaan yang sama, tanpa pikir panjang menemuhi permintaan Adita. Bertemulah mereka di Lounge Ex Menara Daha. Sebetulnya mereka tak ingin menyembunyikan apa-apa. Karenanya, dipilihlah lokasi itu. Agar seandainya Renata tahu, mereka bisa menjelaskan saat itu juga. Tak ada yang perlu dicurigai. Sialnya, Renata melihat dengan mata kepala sendiri pertemuan itu tanpa Adita dan Rafael tahu.
“Kalau aku..., aku memang bermaksud menyimpan sendiri soal itu,” Adita menatap Nugra. “Karena... semua tentang Mas Rafael dan aku... memang benar-benar sudah selesai. Kupikir Mas Nugra tak tahu soal itu. Ternyata...,” Adita tertunduk lagi.
Renata menghela napas panjang. Ditatapnya Adita, tanpa ekspresi.
Sejujurnya, setelah dengan kepala sedikit dingin memikirkan hal itu lagi, Renata berani mengambil kesimpulan bahwa memang benar tak terjadi apa-apa lagi antara Adita dan Rafael. Hanya saja, tepat setelah ia melihat sendiri keasyikan Rafael dan Adita ketika mengobrol, amarahnya lebih menguasai. Jujur, ia sedikit mencibir dalam hati ketika Adita sampai pada ‘bermaksud menyimpan sendiri soal itu’.
Apakah Rafael juga punya maksud yang sama?
Samar, Renata menghela napas panjang.
“Tentu saja tidak!” jawab Rafael seketika ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari sela bibir Renata. Lirih, tapi terdengar sangat tegas.
Renata mengangkat alis. Masih dengan wajah datar.
“Aku sudah salah pernah menyembunyikan soal Adita terhadapmu,” Rafael menatap lurus manik mata Renata. “Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Aku bermaksud bercerita kepadamu sore itu juga, tapi kamu keburu marah.”
Renata menyipitkan matanya. Berusaha mencari berkas-berkas kebohongan dalam mata Rafael. Tapi ia tak menemukannya.
“Sekali lagi, aku minta maaf, Ren,” ucap Rafael, setulus-tulusnya. “Seutuhnya aku memaklumi kemarahanmu. Kesalahanku yang belakangan ini juga besar. Seharusnya aku meminta pendapatmu lebih dulu sebelum menanggapi permintaan Adita.”
“Tadi dia juga bilang begitu,” sambar Renata, sedikit ketus. “Yang jelas, sudah, soal ini ditutup saja,” tegasnya kemudian. “Selama kita masih hidup di planet yang sama, negara yang sama, kota yang sama pula, kesempatan untuk bertemu pasti tetap ada. Yang penting, kalau kalian memang bermaksud untuk bertemu, kabarilah lebih dulu kami-kami ini, pasangan kalian. Biar nggak terjadi salah paham. Bagaimanapun, kita sudah berjanji untuk saling mengikatkan diri. Saling jujur. Kalau bertemu dengan sembarang orang dalam lingkup profesional, okelah. Asal nggak keterusan yang enggak-enggak. Ini nggak cuma berlaku buat Mas saja. Aku pun harus begitu. Adil, kan?”
Rafael mengangguk tanpa suara.
“Selama ini aku nggak pernah membatasi Mas untuk berhubungan dengan siapa pun orang yang berasal dari masa lalu Mas,” suara Renata perlahan menghangat. “Kalau mau tetap berhubungan baik dengan Adita, silakan. Tapi lakukan di depan, jangan sembunyikan apa pun di belakang. Oke?”
“Ya, aku paham,” Rafael kembali mengangguk. Diiringi kelegaan yang luar biasa.
Selama ini memang Renata tak pernah sedikit pun mengatur ia harus tetap berteman dengan si ini dan menjauhi si itu, atau sejenisnya. Sebagai contoh, ia bisa tetap berteman baik dengan Mega. Bahkan Renata menjadi langganan Mega yang memproduksi berbagai pernak-pernik interior. Menghadapi situasi seperti itu, ia sendirilah yang harus bisa mengendalikan diri.
Dengan sekali lahap, sebuah bulatan bakso berukuran kecil yang terakhir ada di mangkuk Rafael pun menghilang ke dalam mulut. Renata menghabiskan tetes-tetes terakhir es jeruknya.
“Bayarin baksoku, ya?” gumam Renata.
Rafael tertawa ringan.
“Jangankan cuma disuruh bayar baksomu,” Rafael nyengir. “Kamu minta aku beli kedai ini sekalian sama Cak Blek-nya pun aku turuti.”
“Sombong!” seketika Renata mencebikkan bibir, tapi wajahnya jelas-jelas menyimpan senyum.
Rafael lega sekali melihatnya. Dirasanya kemarahan Renata sudah benar-benar habis menguap. Ia pun meraih gelas es teh lemonnya.
“Mm.... Tadi waktu aku baru saja sampai di sini, Pak Nugra kirim pesan ke aku,” ucap Renata dengan wajah lempeng. “Kita berlima diundangnya makan malam di rumahnya Sabtu besok. Mau? Aku belum jawab.”
Seketika Rafael tersedak hingga batuk-batuk beberapa kali.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)