Sebelumnya
* * *
Delapan
Pagi-pagi, Renata sudah berangkat dengan mobilnya sendiri. Bukan karena masih marah kepada Rafael, tapi karena ia memang harus langsung ke Tangerang Selatan. Hari ini adalah hari terakhir proyeknya di sana. Sebisa mungkin diselesaikan secepatnya.
Sikapnya memang masih sedikit dingin terhadap Rafael. Tapi setidaknya, semalam ia sudah mau kembali ke kamar. Tidur berdua dengan Rafael. Rafael sendiri belum berani membuka kembali pembicaraan tentang ia dan Adita. Menunggu kepala Renata benar-benar dingin dan waktunya benar-benar longgar.
Sambil memangku Steve, Rafael menikmati sarapannya. Sesekali ditanggapinya ocehan lucu Steve.
“Mm.... Aku semalam menguping obrolan Mama dengan Renata,” celetuk Rafael tiba-tiba. Mengaku dosa.
Lea melengak. Menaikkan alisnya. Rafael meringis singkat.
“Maaf, Ma...,” ucapnya lagi. Merasa bersalah.
Lea menggeleng samar. Tersenyum lebar.
“Renata sudah mulai turun suhunya,” Lea kemudian menanggapi. “Dan kamu, jangan bikin gara-gara lagi.”
Rafael mengangguk dan mengguman, “Sudah kapok, Ma.”
“Makanya...,” Lea tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, gimana Adita?”
“Kayaknya suaminya juga marah.”
“Ck! Kalian ini...,” Lea menggeleng dengan ekspresi menyesalkan. “Apa-apa itu, kalau dibicarakan lebih dulu di depan, kan, lebih enak. Nggak bakalan ruwet kayak gini. Apalagi semua cerita masa lalu bersama mantan. Itu sensitif sifatnya, Raf.”
Rafael mengangguk.
“Mama cuma nggak mau kejadian seperti Anna dan Steve terulang lagi,” gumam Lea. “Salah paham, terlalu cepat panas hati, semua itu masalah besar kalau tidak sedari dini diatasi.”
Rafael kembali mengangguk. Kendati sudah hampir sepuluh tahun lamanya masa itu berlalu, tapi ia masih ingat dengan jelas pangkal pertengkaran antara Anna dan Steve. Tidak terlalu mendetail, tapi setidaknya ia paham bahwa semua itu berasal dari rasa cemburu berlebihan.
Ia masih bersama Adita saat itu. Tapi pada saat-saat tertentu, saat ia pulang ke Jakarta, pasti ada saling sapa dan sedikit obrolan antara ia dan Anna. Yang bisa dilihat Steve adalah raut wajah Anna yang seribu kali lebih cerah saat ia muncul. Mungkin Anna sudah berusaha untuk menyembunyikan dan membuang jauh-jauh perasaan itu, tapi Steve yang tahu awalannya tetap saja masih merasa cemburu.
Rafael merasa serba salah. Ia masih butuh pulang ke Jakarta untuk bertemu Adita, tapi rasa cemburu Steve membuatnya terjepit. Saudara kembarnya itu memang tak pernah ‘menyerang’-nya secara langsung, tapi yang jadi sasarannya adalah Anna. Steve tak pernah berbuat kasar, tapi ada saja kata-katanya yang mengerucut pada perasaan cemburu itu. Membuat Anna naik darah. Tak pernah ada ‘apa-apa’ yang terjadi antara Anna dan Rafael setelah pernikahannya dengan Steve. Anna tak terima dituduh masih mencintai Rafael oleh suaminya sendiri. Rasa itu memang masih ada sisanya. Anna tak menampik. Tapi bukankah ia sudah berusaha untuk mencintai Steve juga? Ia jadi merasa tak dihargai oleh Steve. Itulah pangkal segala pertengkaran Steve dengan Anna.
Kesalahpahaman....
Samar, Rafael menghela napas panjang. Sebetulnya ia cukup yakin ia dan Renata tak akan menghadapi masalah yang sama seperti Steve dan Anna. Baik ia dan Renata mulai ‘berlayar’ pada usia yang sudah cukup matang. Jauh lebih matang daripada Steve dan Anna.
Tapi, ternyata?
Kesalahpahaman itu tetap ada. Rafael mengerjapkan mata.
Suara kecil Steve menyadarkannya. Rafael menunduk.
“Ya, Steve?” tanyanya lembut.
“Itut Papa,” Steve mendongak, menatap sang ayah dengan mata bulat beningnya.
“Hmm.... Mau ikut Papa lagi? Boleh....,” angguk Rafael.
Wajah riang Steve membuat Rafael tersenyum lebar. Dikecupnya puncak kepala Steve sebelum bayi imut itu diambil alih Lea untuk didandani.
Beberapa belas menit kemudian, mobil yang dikemudikannya sudah meluncur keluar dari garasi. Rafael menyetel lagu anak-anak, membuat Steve turut bernyanyi riang dengan ucapannya yang masih antara jelas dan tidak. Rafael tersenyum lebar karenanya.
* * *
Adita menuntun Gwen memasuki area sekolah yang sudah mulai ramai itu. Hari ini Gwen pulang pukul sembilan. Tanggung bila harus pulang untuk kemudian menjemput Gwen lagi. Lagipula ia tak ada rencana untuk mengontrol kedai-kedainya hari ini. Maka, ia bergabung dengan beberapa pengantar - sebagian besar ibu-ibu - yang duduk-duduk di sudut halaman depan sekolah, di bawah rimbunnya jajaran pohon trembesi. Banyak yang sudah dikenalnya dengan baik, karena ia cukup sering juga mengantar, menjemput, maupun sesekali menunggu hingga Gwen pulang.
Asyiknya obrolan dan canda ria membuat waktu berlalu tanpa terasa. Beberapa menit lewat dari pukul sembilan, para guru TK membariskan murid dari kelas masing-masing untuk diserahkan kepada para penjemput.
Adita tersenyum lebar ketika melihat Gwen melambaikan tangan mungilnya. Gadis kecil itu masih berada dalam antrean. Terlihat sabar hingga gilirannya tiba. Setelah mencium tangan gurunya, Gwen segera berlari mendapatkan sang mama. Ia berceloteh sambil berjalan ke mobil. Adita erat menggandeng tangan putrinya.
“Kita susul Papa, yuk!” ujar Adita sambil menyalakan mesin mobil.
Gwen menyambutnya dengan sangat riang. Celotehnya pun kembali memenuhi seantero kabin mobil.
Adita tahu hari ini adalah hari terakhir proyek Renata di toko baru Nugra. Nugra sudah berangkat pagi-pagi tadi ke Tangerang Selatan. Renata pasti juga ada di sana hingga seluruh pekerjaan di Tangsel tuntas pada hari terakhir. Sama seperti ketika Renata mengerjakan interior kafenya beberapa minggu lalu.
Ia belum menjelaskan apa-apa kepada Nugra. Karena ia belum punya keberanian. Karena Nugra pun tak bertanya apa-apa. Karena ia sendiri pun tak tahu harus mulai dari mana. Sejujurnya, ia merasa sangat bersalah. Terutama kepada Rafael dan Renata.
Pertemuan itu ada karena keinginannya. Rafael sepertinya juga sulit untuk menolak. Tapi laki-laki itu juga tak akan mengajaknya bertemu kalau bukan ia yang punya inisiatif, bukan? Dan ternyata, Rafael pun terseret pada keruwetan yang sama. Harus menanggung kemarahan Renata.
Satu-satunya cara yang bisa ia pikirkan adalah menjelaskannya secara langsung kepada Nugra dan Renata sekaligus. Dalam sekali jalan. Entah seperti apa situasi yang akan dihadapinya, ia sama sekali tak bisa membayangkan. Apakah Nugra akan menumpahkan kemarahannya begitu saja? Apakah Renata masih mau mendengarkan penjelasannya? Ia tak tahu. Yang ia tahu, kesempatannya hanya hari ini. Di Tangerang Selatan. Di bakal toko baru Nugra.
Ke sanalah ia sekarang meluncurkan mobilnya. Bersama Gwen.
* * *
Beberapa anggota timnya sudah sampai di lokasi ketika Renata ‘merapat’ beberapa menit sebelum pukul delapan. Nugra belum datang, tapi ada staf penanggung jawab tokonya yang sudah membuka lebar-lebar pintu bangunan itu. Setelah berdiskusi sejenak, tim itu mulai bekerja. Renata tak berpangku tangan. Ia ikut menata rak, mencocokkan letak rak dengan label jenis produk, dan masih banyak lagi.
Nugra baru datang menjelang pukul sembilan. Langkahnya bergegas masuk ke dalam bakal tokonya. Ia segera menjabat tangan Renata begitu bertemu.
“Aduh! Saya telat, Mbak Ren,” ujarnya. “Saya antar pesanan pelanggan dulu tadi.”
“Lho, diantar sendiri, Pak?” Renata menanggapi.
“Dekat rumah ini,” Nugra tersenyum. “Malah diajak ngobrol dulu.”
Nugra kemudian menggiring Renata ke dalam ruang kantornya. Di sana, keduanya asyik membicarakan proyek mereka. Pada kesempatan itu pula, Nugra langsung melunasi sisa pembayaran melalui e-banking. Pun menandatangani semua berkas penyerahan kembali proyek yang sudah selesai.
“Garansinya sebulan, ya, Pak Nugra,” ucap Renata sambil merapikan kembali berkas dan memasukkannya ke dalam map bening. “Kalau masih ada yang dirasa kurang, Bapak hubungi saja saya. Nanti saya bereskan.”
“Iya, Mbak, baik,” angguk Nugra.
Ketika hendak meneruskan obrolan, ada suara kecil yang menyeruak di antara mereka. Nugra dan Renata sama-sama menoleh ke arah pintu. Ke arah Gwen yang berlari masuk dengan wajah riang. Ke arah Adita yang berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan sorot mata ragu-ragu.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)