Sebelumnya
* * *
Alma mematut dirinya sejak selesai mandi. Sejauh ini, hampir setengah jam berlalu, ia sudah berganti pakaian tiga kali. Ketika menatap pantulan dirinya pada cermin, selalu saja ada bagian yang dirasanya kurang pas dan membuatnya kurang nyaman.
Dengan menghela napas panjang, ia melepaskan baju ketiganya dari tubuh, dan menggantinya dengan sehelai blus lengan pendek berwarna putih dan kulot krem yang panjangnya hingga semata kaki. Ketika ia memasukkan bagian bawah blusnya ke dalam pinggang kulot, barulah ia menarik napas lega.
Rasanya nyaman berada dalam balutan busana itu. Pun terlihat cukup sopan. Setelah selesai dengan urusan baju, ia ganti fokus pada wajahnya. Biasanya, ketika ia hendak berangkat kuliah ataupun keluar bersama teman-temannya, ia hanya sekadar memulaskan bedak pada wajahnya dan mengoleskan pelembab berwarna merah muda pada bibirnya.
Ketika menatap wajahnya sejenak, ia pun segera memutuskan bahwa ia tak akan mengubah penampilannya. Tetap hanya berbedak tipis dan memakai pelembab bibir berwarna. Itu dirasanya sudah cukup. Pun rambutnya. Sekadar diikat di atas tengkuk agar tidak berkibar ke mana-mana saat ia mengendarai motor nanti.
Beberapa menit sebelum pukul setengah sepuluh, ia sudah siap. Sekali lagi ia mematut diri melalui pantulan cermin sebelum mengenakan sepasang sepatu sandal bertali tipis dengan bahan suede berwarna cokelat tua. Tak lupa meraih sling bag yang sewarna dengan alas kakinya. Benda kecil itu terlihat agak gendut karena berisi dompet dan ponsel.
Ia sempat bertukar sapa dengan beberapa teman satu indekosnya yang baru saja masuk ataupun hendak keluar dari garasi. Kali ini ia memakai motornya sendiri, bukan motor Riska. Sejenak kemudian, sebuah skuter bongsor 200 cc berwarna cokelat susu, dengan pengendara yang mengenakan helm sewarna, meluncur keluar dari garasi.
* * *
Jantung Wilujeng berdebar lebih kencang sepanjang pagi ini. Ia sama sekali tak bisa mengendalikannya. Rasanya seperti ia hendak menghadapi sesuatu yang besar. Padahal yang akan menemuinya 'hanyalah' seorang gadis muda berusia sekitar delapan belas tahun yang jadi pacar Kresna pun sepertinya belum resmi.
Ia melongok dari balik jendela kaca dapur yang membuka ke arah garasi ketika mendengar suara mobil menderum masuk. Ternyata mobil Seta. Sejenak ia melirik jam dinding. Menjelang pukul setengah sepuluh. Tak lama kemudian Seta muncul, bersama Erika dan Kresna.
Pinasti yang tahu kedua abangnya dan Erika datang segera berlari menyambut. Segera saja Erika diseretnya pergi, yang dilayani dengan tawa oleh Erika. Seta dan Kresna segera duduk di depan island dapur. Berdekatan dengan Mahesa yang tengah menyesap kopinya dengan nikmat.
“Kamu nggak jemput dia?” Wilujeng menatap Kresna.
Yang ditatap menggeleng sembari tangannya mencomot sebuah pisang crispy hangat berbentuk seperti kipas terkembang di atas meja.
“Lho, gimana, sih?” gerutu Wilujeng.
“Bu,” jawab Kresna sabar, “di indekosnya, banyak anak kampus kami. Nggak enak kalau ketahuan ada ‘apa-apa’ di antara kami.”
“Hmm...”
“Anak-anak punya cara mereka sendiri, Bu,” ucap Mahesa, bijak.
Wilujeng manggut-manggut. Mereka kemudian mengobrolkan banyak hal. Suasana itu makin hangat ketika Pinasti dan Erika muncul untuk bergabung. Beberapa menit menjelang pukul sepuluh, Kresna bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk ke teras depan, menunggu kedatangan Alma.
“Mas!” seru Pinasti sambil meloncat turun dari kursi. “Ikut...”
Kresna tertawa sambil mengulurkan tangannya. “Cuma ke teras ini, Pin.”
“Belikan es krim kalau abangnya lewat,” ucap Pinasti dengan nada manja.
Kresna pun menarik tangan adiknya dan membungkuk. Mendaratkan ciuman gemas ke pipi kanan Pinasti.
Tepat pada saat Kresna menutup pintu garasi dari luar, mobil penjual es krim melintas pelan-pelan di depan rumah. Pinasti segera berlari memanggil. Kresna pun mengikuti langkah adiknya. Saat memilih-milih es krim, sebuah skuter matik berwarna cokelat susu berhenti di dekat mereka. Kresna menoleh dan mendapati Alma tengah membebaskan kepalanya dari sekapan helm.
“Halo!” sapanya dengan senyum lebar.
“Hai!” balas Alma, malu-malu.
Sebelum obrolan itu berlanjut, Kresna terlebih dulu menyelesaikan pembayaran sekitar selusin es krim cone aneka rasa yang sudah dipilih Pinasti. Setelah itu, ia memperkenalkan Pinasti pada Alma.
“Wah... Pinpin, kamu cantik banget!” Alma membungkuk sambil menjabat erat tangan Pinasti. “Mahkota bunganya mana?”
“Ng...,” Pinasti sejenak menatap Kresna.
“Lho, iya, ke mana mahkotamu?”
“Aku simpan di kulkas,” ucap Pinasti polos. “Biar nggak layu.”
Seketika Kresna dan Alma tergelak. Pinasti menatap Alma dengan senyum lebar.
“Kakak juga cantik,” pujinya. “Rambutnya keren banget! Aku suka!”
“Owh... Terima kasih...,” Alma membungkukkan badannya sejenak, seolah sedang menghormat pada seorang putri raja.
“Eh, ayo, masuk!” ujar Kresna. “Nanti es krim kita mencair.”
“Sini! Aku masukin ke kulkas dulu!” Pinasti menyerobot kantung plastik dari tangan abangnya, kemudian berlari masuk ke rumah melalui garasi.
“Sini, kunci motormu,” Kresna menatap Alma. “Biar kumasukkan ke garasi. Biar nggak kepanasan.”
Alma mengangguk sambil mengulurkan kunci motornya. Setelah urusan itu selesai, Kresna segera menggandeng tangan Alma. Masuk ke dalam rumah. Dirasanya telapak tangan yang ada dalam genggamannya itu sedikit bergetar. Maka, Kresna pun mengetatkan genggamannya.
“Ibu pasti senang bertemu denganmu,” ucap Kresna, menenangkan.
Dan, sambutan hangat pun diterimanya kemudian. Kresna tampak mencari seseorang dengan matanya.
“Ibu sedang ke kamar mandi,” bisik Mahesa.
Ketika perempuan berwajah teduh itu muncul, Alma terpana melihatnya. Pun Wilujeng. Tak berkedip menatap gadis dengan tatapan bening itu. Lalu, seolah ada magnet yang berlawanan kutub dalam diri masing-masing, keduanya saling mendekat. Wilujeng mengulurkan tangan, yang segera disambut Alma dengan sebuah kecupan ringan di punggung tangan.
“Saya Alma, Bu Wilujeng,” lirih suara gadis itu. “Senang bertemu dengan Ibu.”
Wilujeng tak menjawab. Hanya menarik gadis itu, dan menenggelamkannya dalam pelukan yang begitu hangat.
* * *
Alma sempat tercekat ketika Kresna menyebutkan nama adiknya. Pinasti. Seolah ada dentam-dentam liar bermain dalam dadanya ketika mendengar nama itu. Tapi tatapan bening Pinasti menyadarkannya. Gadis kecil yang lucu dan menggemaskan itu sudah mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Alma segera menyambutnya dengan hangat.
Dan, kemudian, ia sungguh terkesima ketika bertemu dengan ibu Kresna. Tatapan teduh perempuan berusia menjelang lima puluhan itu terasa menyedot seluruh jiwanya.
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya lima tahun belakangan ini, ada terselip secuil perasaan kosong dan kerinduan dalam hatinya. Entah karena apa. Entah rindu pada siapa.
Tapi kini, saat berada dalam pelukan hangat ibu Kresna, semua kekosongan itu seolah sirna. Lenyap begitu saja. Berganti dengan perasaan ‘penuh’ dan tenteram dalam hati. Dibalasnya pelukan hangat itu dengan sesuatu yang sama.
Setelah beberapa saat lamanya, keduanya pun saling melepaskan pelukan. Wilujeng menatap Alma. Dalam.
“Aku... seperti mengenalmu,” bisiknya. “Entah di mana. Entah kapan.”
Sejujurnya, Alma pun merasakan hal yang sama. Sementara di dekat mereka, Kresna sempat ternganga.
Rasanya ia tak mendengar ibunya menyebutkan nama diri. Ia pun belum pernah memberitahukan nama ibunya pada Alma.
Bagaimana dia bisa tahu nama Ibu?
Mahesa kemudian mencairkan suasana yang cukup hening itu dengan suara hangatnya. Mereka kemudian pindah dari dapur yang luas itu ke ruang keluarga. Obrolan mereka pun segera mengalir. Tapi, tatapan mata Alma berkali-kali jatuh pada lukisan matahari terbenam yang tergantung pada dinding, tepat di seberang ia duduk.
Sepertinya aku kenal lukisan itu. Tapi siapa pelukisnya? Kapan? Di mana?
“Alma, kenapa dengan lukisan itu?”
Suara lembut Wilujeng menyentakkan Alma. Gadis itu mengalihkan tatapannya pada Wilujeng. Sorot mata teduh itu menyergapnya lagi. Wilujeng kemudian berdiri. Diulurkannya tangan pada Alma.
“Ayo, Nduk, Ibu ingin bicara denganmu. Bertiga saja dengan Kresna.”
Ia hanya bisa menurut ketika Wilujeng menggiringnya dan Kresna ke sebuah ruangan lain. Ruang luas yang penuh berisi buku yang tertata rapi pada rak-rak yang hampir memenuhi tiga sisi dinding, sebuah meja besar beserta kursinya, dan seperangkat sofa. Rupanya itu ruang baca yang dimiliki keluarga Kresna. Wilujeng kemudian mendudukkannya dengan lembut di sofa panjang.
Kali ini, sebuah lagi lukisan seolah menyedot jiwanya. Gambaran padang bunga yang sangat indah terpampang tepat di depan matanya. Tergantung pada dinding di antara rak-rak buku di seberangnya. Sebuah perasaan yang sama kembali mengusik hati.
Deja vu.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good post mbak��
BalasHapus