Sebelumnya
* * *
Pagi-pagi sekali, ketika suasana masih temaram, Kresna sudah berada di area pemakaman di daerah belakang pondok Sentono dan Winah. Alma ada di sisinya. Kresna lama sekali terdiam dan terpekur di depan makam kecil yang ia masih ingat betul letaknya. Makam yang masih sangat terawat. Sesekali ia mengelus nisan makam kecil itu, membuat Alma yang melihatnya merasa terharu dan matanya mengaca. Kresna baru mengangkat wajah ketika pagi mulai terang.
Dengan bergandengan tangan, keduanya beranjak. Suasana Bawono Sayekti mulai semarak. Alma dan Kresna di balai-balai di beranda belakang pondok. Sesungguhnya, tak tahu harus berbuat apa. Alma sendiri memang cukup asing dengan dunia yang berputar di Bawono Sayekti, sehingga ia sendiri tak tahu harus mengajak Kresna bertamasya ke mana di tempat itu.
“Kamu mau mandi sekarang?” Kresna akhirnya menoleh.
Alma mengangguk. Kresna kemudian berdiri.
“Kamu tunggu di sini. Aku ambilkan perlengkapan mandi kita."
Alma kembali mengangguk. Kresna masuk ke pondok, dan keluar lagi beberapa saat kemudian, Di tangannya ada sebuah tas kecil gembung yang berisi baju ganti dan peralatan mandi mereka. Kresna menarik tangan Alma.
“Yuk,” ajaknya lembut.
Nyaris sama persis dengan di Bawono Kinayung, bilik mandi Sentono dan Winah ada di bagian belakang, agak jauh dari pondok. Tidak persis di dekat sungai, tapi ada jalan setapak yang berbelok ke kanan menuju ke bilik mandi itu. Kresna mendorong pintu bilik mandi dan secepatnya menarik tangan Alma, untuk masuk ke dalamnya bersama-sama.
“Hah?!” Alma sedikit terperanjat.
Ditatapnya Kresna dengan mata bulat beningnya yang terbuka lebar. Sementara itu Kresna tertawa.
“Ayolah, untuk menyingkat waktu,” ujarnya di ujung tawa. “Apa salahnya, sih, mandi bareng?”
Tak pelak, ujaran itu membuat wajah Alma bersemu merah. Tapi diikutinya juga kemauan Kresna.
“Sudah sah, kok, masih pakai malu-malu?” gerutu Kresna sambil membebaskan diri dari semua jenis baju yang dikenakannya, membuat Alma mencubit pinggangnya dengan tawa tertahan.
Masih dengan tertawa-tawa pula keduanya kembali ke pondok Sentono dan Winah seusai mandi. Masuk melalui pintu belakang, di dapur besar pondok itu sudah ada Winah, yang tersenyum melihat kehadiran keduanya.
“Ah, aku cari-cari,” celetuk Winah. “Ternyata kalian sudah cantik dan ganteng.”
Baik Alma maupun Kresna tersipu mendengar celetukan Winah.
“Habis dari makam, Ni,” ucap Kresna. “Sekalian saja mandi.”
Winah tersenyum penuh arti. Tanpa penjelasan Kresna pun, ia sudah tahu apa yang baru saja terjadi.
Pengantin baru.... Maklum....
“Sekarang, apa yang bisa kami bantu, Ni?” Alma mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Lho, kalian itu di sini jadi raja dan ratu sehari,” tawa Winah pecah berderai. “Tinggal berdandan, duduk, menikmati pesta beserta seluruh sajiannya.”
“Wah...,” Alma menatap Kresna.
“Nggak bawa baju pesta?” Winah mengibaskan tangannya. Mengerti apa yang dipikirkan Alma. “Tenang saja, sudah kusediakan. Tak perlu khawatir. Aku menyewanya dari ‘atas’. Sudah bersih, tinggal pakai. Tak perlu khawatir badan kalian jadi gatal-gatal.”
Alma dan Kresna tertawa mendengar nada canda dalam suara Winah. Perempuan itu kemudian menggiring keduanya masuk ke sebuah bilik besar yang ada tepat di sebelah bilik yang semalam mereka gunakan untuk tidur. Dalam bilik itu ternyata sudah duduk menunggu seorang perempuan berusia pertengahan empat puluhan yang sangat cantik dengan dandanan apik, dan seorang lagi perempuan lebih muda yang juga tak kalah cantik.
“Ini, sekalian kupanggilkan Nyi Woro Rengganis, dukun manten paling top di seluruh bawono,” Winah menjelaskan. “Dia bawa asistennya yang paling piawai, Nok Rosati.”
Mereka kemudian berkenalan. Nyi Woro Rengganis dan Nok Rosati segera ‘menangani’ Alma begitu Winah keluar. Nyi Woro Rengganis menyuruh Alma berbaring di sebuah kursi malas beralaskan tilam di sudut bilik, dekat dengan jendela, sementara Kresna memilih untuk keluar sebentar, mengambil kamera. Dengan seizin Nyi Woro Rengganis, ia kemudian mengabadikan proses didandaninya Alma melalui kamera.
“Kalian tahu,” gumam Nyi Woro Rengganis, dengan ekspresi wajah berbinar-binar, sambil tangannya sibuk menotok wajah Alma agar aura kemilaunya nanti tampak lebih nyata, “Nyai Winah bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Apalagi kalian kemudian bersedia memenuhi undangan dari sini. Sebelum ini, belum pernah ada perhelatan besar di Bawono Sayekti. Di Bawono Kinayung sudah, ketika Kriswo dan Randu menikah. Di bawono lain juga pernah, ketika ada orang-orang dari ‘atas’ yang memang ditakdirkan untuk tinggal di ‘bawah’ bertemu, saling jatuh cinta, dan kemudian menikah.”
Sementara Nyi Woro Rengganis sibuk berceloteh sambil tangannya terus bekerja pada wajah Alma, Nok Rosati memijat kaki Alma, melakukan refleksi pada titik-titik yang tepat. Kresna sendiri yang sudah mendudukkan kameranya pada tripod menjadi pendengar yang setia. Ternyata, setelah Nok Rosati selesai dengan kaki Alma, giliran kaki Kresna yang ia tangani. Kresna berbaring telungkup dengan santai di balai-balai. Menikmati nyamannya pijat refleksi. Acara rias-merias itu berlangsung dalam suasana santai dan penuh canda, hingga selesai menjelang tengah hari.
Alma terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang keemasan dihiasi bordir dalam warna emas dan payet-payet gemerlapan. Wajahnya hanya dirias sekadarnya. Hanya untuk menonjolkan bagian-bagian yang indah, terutama matanya. Justru karena itulah ia jadi terlihat jauh lebih mempesona. Rambut ikal kriwil-nya dibiarkan terurai dengan penataan sangat cermat, sehingga jatuhnya sangat indah membingkai wajah. Di kepalanya terpasang sebentuk mahkota keemasan serupa gelang besar yang dihiasi ratusan permata aneka warna. Menurut Nyi Woro Rengganis, mahkota itu adalah pusaka Bawono Sayekti. Hanya orang-orang terpilih saja yang boleh memakainya.
Sementara itu Kresna tampak sangat gagah mengenakan celana panjang dan kemeja lengan pendek yang bahan dan warnanya sama dengan gaun Alma. Kemejanya berkerah tegak. Pada bagian pinggang diikat sabuk keemasan, yang bentuknya serupa dengan mahkota yang dikenakan Alma. Kepalanya dihiasi semacam blangkon yang bahannya serupa dengan selop yang ia dan Alma pakai. Secara keseluruhan, penampilan keduanya sungguh ‘bercahaya’.
Nok Rosati membuka pintu bilik begitu sepasang pengantin baru itu selesai dirias. Semua yang sudah menunggu di luar bilik seketika ternganga melihat betapa cantik dan tampannya pengantin mereka siang ini, ketika melangkah keluar dari bilik.
Alunan gamelan sudah mulai dikumandangkan di tempat diadakannya jamuan makan siang. Alma dan Kresna pun diarak ke tempat jamuan. Di sana sudah tersedia semacam singgasana berwarna merah dan emas yang terlihat sangat agung. Baik Alma maupun Kresna sempat ternganga melihat betapa megahnya ternyata jamuan makan siang yang diadakan di Bawono Sayekti untuk merayakan pernikahan mereka.
Meja-meja panjang yang dikelilingi puluhan kursi sudah hampir penuh terisi tamu. Alma dan Kresna pun sudah duduk manis di singgasana mereka. Acara pun segera dimulai.
Yang pertama mereka lakukan adalah bersulang dengan menyesap sari sarsaparilla dicampur madu. Kalau tidak ingat bahwa ia harus bersikap sopan dan mengikuti ‘aturan pesta’ di Bawono Sayekti, ingin rasanya Kresna menghabiskan minuman yang sangat lezat dan legit dalam gelas yang dipegangnya itu dengan sekali teguk. Alma yang mengetahui pikiran Kresna hanya bisa menahan senyum geli.
“Nanti, ada satu gentong besar di dapur Nini Winah,” bisiknya. “Sepertinya boleh Mas habiskan sendiri.”
Kresna meringis sekilas. Tersipu malu.
Yang kedua adalah sambutan dari ketua persatuan seluruh tetua bawono. Namanya Ki Ageng Bintang Sakti. Seorang laki-laki sepuh bertubuh tinggi besar dengan seluruh rambut dan janggut panjang yang sudah memutih sempurna. Berlawanan dengan penampilannya, suara Ki Ageng Bintang Sakti mengalun sangat lembut, yang terdengar begitu teduh dan menyejukkan hati. Ia tak banyak memberikan petuah bagi sang pengantin baru. Hanya berpesan agar keduanya selalu membuka hati agar bisa menerima seutuhnya setiap kekurangan dan kelebihan pasangan, sehingga bisa saling melengkapi.
Berikutnya, diselingi dengan kembali bersulang dan menyesap sari sarsaparilla-madu, masing-masing tetua bawono memberikan sambutan pula. Terakhir adalah sambutan dari Paitun. Dengan suara serak penuh haru, perempuan berambut nyaris gundul itu menyatakan kebahagiaannya karena bisa mengantarkan jiwa Alma pada kehidupan yang memang sudah seharusnya dijalani. Berharap Alma dan Kresna bisa saling menghormati, mengasihi, dan mereguk kebahagiaan selamanya.
Sesudah itu adalah jamuan makan siang yang sungguh meriah. Makanan dan minuman yang tersedia melimpah ruah. Diiringi oleh tembang-tembang yang dibawakan bergantian oleh sinden-sinden dari seluruh bawono dengan suara mereka yang sangat merdu. Alma dan Kresna bergabung di meja yang ditempati para tertua bawono. Mereka makan sambil bertukar cerita dalam suasana yang sangat menyenangkan.
Menjelang senja, acara itu pun berakhir. Alih-alih langsung pulang, para tamu undangan justru bergotong-royong membereskan seluruh tempat dan sisa pesta hingga Bawono Sayekti kembali seperti keadaannya semula. Setelah itu, barulah mereka berpamitan dan kembali ke bawono masing-masing, dengan meninggalkan banyak titipan hadiah untuk Alma dan Kresna.
Dibantu oleh Nyi Woro Rengganis dan Nok Rosati, Alma dan Kresna melepaskan semua atribut yang nyaris sepanjang hari tadi mereka kenakan. Dengan hati-hati, Nyi Woro Rengganis meletakkan pusaka Bawono Sayekti berupa mahkota dan ikat pinggang dalam sebuah kotak kayu berlapis beledu warna hitam, dengan tutup kaca. Nok Rosati segera memanggil Winah agar kembali menyimpan pusaka itu.
Seusai menyimpan pusaka, Winah kembali ke bilik. Nyi Woro Rengganis dan Nok Rosati sudah selesai membereskan barang-barang mereka. Keduanya pun berpamitan. Sepeninggal kedua orang itu, Alma dan Kresna membersihkan diri mereka di kamar mandi.
Selesai mandi, sambil bercakap, Alma dan Kresna kembali ke pondok. Apa lagi yang mereka bahas kalau bukan kemegahan pesta yang baru saja mereka nikmati? Sambil tertawa-tawa, Kresna membuka pintu belakang pondok yang tertutup rapat.
Di dapur pondok itu masih berkumpul beberapa orang. Selain tuan dan nyonya rumah serta semua tamu dari Bawono Kinayung, masih ada lagi yang duduk bersama melingkari meja makan. Pelan-pelan, Kresna menutup kembali pintu belakang pondok dari dalam. Winah kemudian bangkit, menghampiri Alma dan Kresna, kemudian merengkuh bahu Alma.
“Aku masih punya satu hadiah lagi darimu,” ucap Winah sambil menghela Alma ke arah meja makan. “Secara khusus aku sudah menjemputnya langsung dari Bawono Kecik.”
Alma mengerutkan kening. Ada sepasang orang dewasa yang duduk membelakanginya, dan ada dua anak kecil di kiri-kanan mereka. Winah membawanya makin dekat pada orang-orang itu.
“Semoga kamu masih mengenalinya,” bisik Winah.
Sebelah tangan perempuan itu menggapai bahu tamu perempuan mereka. Pelan-pelan ia berdiri dan berbalik. Seketika Alma hampir lupa bernapas. Ia ternganga lebar dengan mata membulat menatap sosok itu.
“Al...,” bisik perempuan itu, mengembangkan kedua lengannya lebar-lebar.
Alma mengerjapkan mata. Tentu saja ia mengenal perempuan itu. Bahkan sangat mengenalnya. Wajah perempuan itu tak banyak berubah dari terakhir ia bisa mengingatnya. Seketika ia menghambur ke dalam pelukan perempuan itu. Balas memeluknya erat.
“Kak Alda.... Kak Alda....”
Hanya itu yang ia mampu bisikkan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.