Kamis, 15 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #11-3








Sebelummya  



* * *


“Lu kenal sama saudara gue, ternyata?” Oka kembali ke tempat duduknya, tepat di sebelah Leander.

“Hah?” Leander meletakkan cangkir kopi yang baru saja disesapnya. “Siapa?”

“Dika. Adik ipar abang gue.”

“Oh...,” Leander manggut-manggut dan tak merespons lebih lanjut. Ia kemudian memilih untuk menyahuti gurauan Pascal dan tertawa bersama yang lain.

“Ehm... Selamat siang. Maaf mengganggu.”

Tawa yang menggema di sekeliling mereka mendadak berhenti. Tujuh kepala serentak menoleh ke arah pemilik suara lembut itu. Oka segera menyahut begitu tatapan matanya jatuh pada sosok mungil Arinka.

“Eh, Arin! Ya, kenapa?”

“Maaf, kalau boleh mau pinjam Mas Leander sebentar,” senyum Arinka dengan sangat manis.

“Oh, boleh... Boleh... Silakan!” Oka membalas senyum itu.

Leander menatap Arinka sejenak sebelum bangkit dari duduknya dengan sedikit malas-malasan. Arinka segera menggamit lengan Leander dan menariknya menjauh, menuju ke salah satu meja untuk berdua yang kosong di dekat pintu masuk.

Arinka memaksa Leander duduk berhadapan. Ditatapnya Leander. Tajam. Leander balas menatapnya dengan wajah datar.

“Mas, sebelumnya aku minta maaf,” ucap Arinka dengan suara lembut. “Aku sebetulnya nggak mau ikut campur. Tapi aku paham betul keresahan Letta. Selama seminggu ini dia kehilangan Mas Lean. Aku nggak tahu ada masalah apa antara Mas dan Letta, tapi...”

“Oh, jadi dia nggak merasa sudah melakukan apa-apa, begitu?” sambar Leander dengan suara rendah.

“Maksudnya?” Arinka mengerutkan kening.

Leander mendengus. Terbayang lagi di matanya, bagaimana pelukan erat antara Dika dan Letta seminggu lalu itu seolah tak akan bisa cair.

Dan juga ciuman itu...

Selama ini ia selalu menjaga tingkah lakunya agar tidak terlalu melanggar norma kesopanan. Bukan karena ia tak benar-benar menyayangi Letta, tapi ia ingin menjaga kehormatan gadis itu, walau sebenarnya sering kali ia menginginkan hal yang ‘lebih’, seperti memeluk dan mencium Letta dengan cara yang sama dengan yang telah dilakukan Dika.

Dilangkahi dengan cara sedemikian rupa itu sangat menyakitkan, Jenderal!

Leander mendengus lagi.

“Tapi bisa, kan, dibicarakan baik-baik?” suara Arinka terdengar sabar.

Bicara baik-baik? Dengan laki-laki itu terus menempelnya? Huh!

Leander menggeleng samar.

“Ayolah, mumpung bertemu di sini,” bujuk Arinka. “Mas Dika dan aku akan menyingkir kalau perlu.”

Leander menatap Arinka dengan bimbang. Tapi ia kemudian memutuskan sesuatu.

“Aku ke sini karena ada urusan dengan teman-temanku,” ucap Leander dengan nada datar, cenderung dingin. “Ada banyak bisnis yang bisa diselesaikan dengan cara informal. Kamu pasti tahu itu. Dan kalian sendiri juga tentunya punya urusan yang entah apa, aku tak mau tahu. Jadi, biar aku selesaikan sendiri nanti. Sore ini aku akan ke rumahnya.”

Arinka menghela napas panjang. Dan sebelum napas itu terembus sempurna, Leander sudah berdiri dan melangkah kembali ke arah teman-temannya. Arinka hanya bisa menggelengkan kepala, kemudian kembali ke mejanya semula.

“Dia kelihatannya marah banget padamu,” gumam Arinka, menatap Letta. “Tapi dia bilang, dia mau ke rumahmu sore ini.”

Letta hanya mengangkat bahu. Sungguh, hingga detik ini pun ia sama sekali belum menemukan kesalahannya terhadap Leander. Arinka dan Dika kembali bertatapan.

* * *

“Sini, biar Bapak yang buka pintu pagarmu,” ucap Handoyo sambil membuka dari dalam pintu kiri depan mobil Letta.

Letta memberikan serenceng kunci yang diambilnya dari dalam tas. Handoyo kemudian cepat-cepat membuka gembok dan pintu pagar lebar-lebar. Letta meluncurkan mobilnya masuk ke carport. Handoyo menutup kembali pintu pagar, kemudian membantu Sarita menurunkan sebuah travel bag dan sebuah keranjang dari dalam bagasi.

Ketika Letta hendak pulang dari rumah Pancarwengi tadi, Sarita mengatakan bahwa ia dan Handoyo ingin menghabiskan malam Minggu mereka di rumah Letta, jika Letta tak keberatan. Tentu saja Letta menyambutnya dengan senang hati. Sarita segera berkemas. Mengemasi juga beberapa isi kulkas yang dimasukkannya ke dalam sebuah keranjang.

“Ini kamarku, Pak, Bu,” Letta membuka pintu kamarnya yang menghadap ke ruang makan lebar-lebar, setelah meletakkan keranjang di atas meja dapur.

Sarita dan Handoyo melongok ke dalam. Kamar berukuran 3x4 meter itu tampak lega karena hanya berisi sebuah tempat tidur berukuran super single dengan nakas terletak di satu sisi saja, sebuah meja rias dan ottoman, dan sebuah lemari besar.

“Dan ini kamar kosong,” Letta membuka lebar-lebar pintu kamar lain yang menghadap ke ruang duduk. Hanya ada sebuah tempat tidur berukuran king dan sebuah lemari di dalam kamar itu. “Biasanya Mas Drian sekeluarga tidur di sini kalau sedang menginap. Bapak sama Ibu bisa tidur di sini. Atau kalau mau di kamarku juga boleh. Tapi ranjangnya sempit.”

“Ini sudah lebih dari cukup, Ndhuk,” senyum Handoyo.

Sarita kemudian membantu Letta memindahkan bahan makanan dari keranjang ke dalam kulkas. Handoyo duduk di depan meja makan. Menikmati secangkir besar teh hangat yang dibuatkan Letta untuknya. Sejenak kemudian, Sarita dan Letta menyusul.

“Pindah ke teras depan saja, yuk!” celetuk Letta. “Aku sengaja pasang sofa yang nyaman di sana.”

Mereka kemudian pindah ke teras depan untuk melanjutkan obrolan. Suasana cukup sejuk menjelang sore yang diguyur hujan rintik membuat atmosfer percakapan mereka menjadi lebih nyaman. Letta sudah tak segan lagi untuk menyandarkan kepalanya ke bahu Handoyo atau Sarita yang duduk mengapitnya.

“Kamu nggak repot tinggal sendirian tanpa ART begini?” tanya Sarita halus.

“Enggaklah, Bu,” jawab Letta. “Lagian rumah sekecil ini nggak susah mengurusnya. Nyapu-ngepel juga nggak tiap hari. Gantian dengan mencuci-menyeterika. Kalau lagi malas menyetrika, tinggal panggil tukang seterika keliling via SMS.”

“Oh, ada, ya, tukang seterika keliling?” Handoyo mengangkat alisnya.

“Jaman sudah makin maju, Pak,” timpal Sarita. “Memudahkan hidup dalam banyak hal.”

Handoyo manggut-manggut.

Rintik hujan turun makin lebat. Tapi hati mereka terasa hangat. Terutama hati Letta. Setelah bertahun-tahun ia hanya bisa mengenang sebuah kehangatan keluarga, kini ia bisa mendapatkannya kembali.

Menjelang pukul empat, ketiganya membubarkan diri. Handoyo segera masuk ke kamar mandi, sedangkan Letta dan Sarita sibuk di dapur untuk menyiapkan menu makan malam. Untunglah kerja mereka tidak terlalu ribet karena Sarita sempat membawa beberapa potong ayam ungkep yang sudah siap untuk digoreng, dan sekotak kentang balado.

“Aku jarang masak, Bu,” Letta mengaku sambil meringis.

Sarita tertawa ringan sambil mengiris wortel untuk capcay.

“Terus, makanmu bagaimana?” Sarita menoleh sekilas.

“Pagi sarapan seadanya,” Letta mengedikkan bahu. “Roti atau nasi goreng. Kalau bisa bangun lebih pagi masih sempat beli nasi di ujung jalan sana. Mau nasi uduk ada, atau nasi kuning, nasi pecel, lontong sayur. Tinggal pilih saja. Siang makan di sekolah. Pesan dari kantin. Pulang ngajar mampir ke warteg dekat sini. Tempatnya bersih. Masakannya juga enak. Mirip masakan Mama. Kadang-kadang aku malah request masakan khusus kalau lagi kangen sama Mama.”

Sejenak Letta tercenung. Menyadari bahwa mungkin ia sudah salah bicara dengan menyebut tentang mamanya. Tapi Sarita seutuhnya memahami itu. Ia meletakkan pisau yang dipegangnya. Dielusnya lembut bahu Letta.

“Ibu bersyukur sekali mama dan papamu sudah mengurusmu dengan sangat baik. Mencintai dan mengasihimu seperti darah daging mereka sendiri. Dan sejujurnya Ibu sama sekali tidak keberatan kalau kamu tetap memelihara kenangan itu. Bapak juga begitu. Karena bagaimanapun, papa-mamamulah yang sudah membuatmu bisa jadi seperti sekarang ini.”

Letta memeluk Sarita sambil berbisik, “Terima kasih, Bu...”

Sarita balas memeluknya. Hangat. Tapi pelukan itu harus terurai ketika Letta melihat siapa yang turun dari mobil yang berhenti di depan pagar. Jendela dapur yang terletak di sebelah ruang tamu memang membuka ke arah depan rumah.

“Ada tamu, Let?” celetuk Handoyo yang sudah selesai mandi.

“Mas Lean...,” gumamnya.

* * *

Sejujurnya, Leander agak menyesali kata-katanya yang telanjur terucap di depan Arinka siang tadi. Saat ia berujar untuk mendatangi Letta. Tapi ia ingat ucapan ayahnya, bahwa laki-laki yang baik adalah laki-laki yang bisa dipercaya perbuatan dan ucapannya. Maka, dengan setengah hati ia turun dari mobilnya. Mobil Letta ada di carport. Pun pintu depan rumah mungil itu terbuka lebar. Menandakan pemiliknya kemungkinan besar ada.

Sebelum Leander sempat mengetuk pintu, seseorang sudah menyambutnya dengan wajah segar dan ramah. Membuatnya tercengang sejenak.

Sedang apa bapak ini di sini?

“Ayo, masuk, Mas Leander,” senyum Handoyo. “Letta lagi mandi.”

“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” Leander menjabat tangan Handoyo.

“Bagaimana kabarnya, Mas? Lama nggak kelihatan?”

“Baik, Pak,” Leander duduk di sofa ruang tamu dengan sikap agak canggung. “Iya, Pak, akhir-akhir ini saya memang jauh lebih sibuk daripada biasanya.”

Tapi Handoyo mengabaikan segala kecanggungan itu. Ia mengajak Leander mengobrol tentang berbagai hal, terutama tentang kesibukan Leander belakangan ini. Dan rasa tercengang itu kembali datang menghinggapi Leander ketika Sarita muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir cokelat hangat, satu stoples berisi kacang bawang, dua piring kecil, dan satu kotak kecil tisu.

Ada apa sebenarnya ini? Apa yang sudah dilewatkan?

“Ayo, Mas Lean, diminum, dimakan,” Sarita duduk di sebelah Handoyo.

Leander mengucapkan terima kasih sambil meraih cangkir coklat hangatnya. Baru seteguk ia menikmati kehangatan itu, Letta sudah muncul dari dalam. Penampilannya terlihat segar dalam balutan celana jeans belel sepanjang lutut dan kaus oblong polos berwarna abu-abu muda. Rambutnya hanya digulung dan dijepit di belakang kepala. Handoyo dan Sarita buru-buru menyingkir begitu Letta hadir di dalam ruangan itu.

Tanpa kata, Letta duduk di sofa yang tadi ditempati Handoyo. Tangannya meraih cangkir dan menyesap isinya selama beberapa saat. Keheningan masih melingkupi mereka hingga terdengar dengung suara Handoyo dan Sarita bercakap di dapur yang terletak tepat di sebelah ruang tamu. Sejenak kemudian terdengar suara desis minyak panas bertemu dengan bumbu basah. Dan aroma sedap tumisan bawang putih – lada segera memenuhi udara.

“Jadi, kalau memang nggak ada yang perlu dibicarakan, aku mau bantu Ibu saja, memasak menu makan malam kami,” ucap Letta sambil meletakkan cangkirnya.

Leander menatap Letta sejenak. Dengan jelas, Letta melihat ada kejengkelan yang meletup dalam mata Leander. Ia balas meletupkan kejengkelan yang sama dari dalam matanya. Membuat Leander mengalihkan tatapannya.

“Sebenarnya ada apa, sih?” Letta mulai hilang kesabaran. “Kalau memang aku salah, bilang terus terang, dong! Jangan cuma diam. Dihubungi nggak bisa! Di rumah nggak ada!”

“Seharusnya aku yang tanya sama kamu,” Leander berusaha menekan kemarahannya. Bagaimanapun, ia berada di tempat yang bukan milik pribadinya, dan ada orang lain di situ. “Kamu pelukan dan membiarkan dirimu dicium laki-laki lain, apakah itu pantas? Sementara statusmu adalah tunanganku!”

Letta melengak. “Kapan? Laki-laki yang mana?! Aku nggak pernah berpelukan dengan laki-laki lain. Apalagi dicium segala.”

“Mataku belum buta, Let!” suara Leander menajam.

Letta mengerutkan kening. Menatap Leander dengan sorot mata marah sekaligus tak mengerti.

Mas Lean sudah gemblung atau bagaimana?

Leander mendadak menghilang seminggu ini. Terakhir mereka bertemu ketika laki-laki itu menjemputnya di rumah dan mengantarnya ke sekolah.

Setelah itu?

Letta mengerutkan kening. Sedikit tercenung menatap lantai.

Setelah itu ada kejadian luar biasa yang harus dialaminya. Dan ia menerima pelukan hangat  dan ciuman itu. Dari ayahnya. Dari abangnya.

Hah?

Sedetik kemudian, Letta mengangkat wajah. Dengan nada polos ia bertanya, “Jadi Mas Lean melihatku berpelukan dengan Bapak... atau Mas Dika?”

Bara dalam mata Leander menyala. Menyadari itu, Letta tak kuasa menahan senyumnya. Dihelanya napas panjang.

“Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian, masih dengan senyum terkulum. “Tolong, jangan pergi.”

Letta menghilang ke arah dalam rumah, dan muncul tak lama kemudian dengan kedua tangannya menggandeng Handoyo dan Sarita. Kedua orang itu menatap Leander dengan senyum arif mereka.

“Mas Leander, tunanganku yang paling ganteng sedunia,” Letta tersenyum lebar. “Perkenalkan, ya... Sebelum menjadi seorang Violetta Keisha Darmawan, aku adalah Hastungkara Murdayanto, putri bungsu Ibu Sarita dan Bapak Handoyo Murdayanto. Selain Mas Adrian, aku punya kakak kandung bernama Wulandari Prayogo dan abang kandung bernama Mahardika Murdayanto. Dari semua yang kusebutkan tadi, ada dua orang laki-laki yang memeluk dan menciumku. Bapak dan Mas Dika. Jadi, laki-laki mana yang Mas Lean cemburui?”

Seluruh ucapan Letta membuat Leander ternganga dengan wajah tolol, sebelum raut wajahnya berangsur menjadi kemerahan karena menanggung malu. Seandainya bisa, ingin rasanya ia menghilang dari hadapan ketiga orang itu. Sekarang juga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



7 komentar:

  1. Selalu penasaran dengan cerita dari Mbak Lizz

    BalasHapus
  2. hahaha .. pasti campur aduk deh perasaan mas lean .. bu lizz.. keren banget deh .. TOP BGT ..

    BalasHapus
  3. Ayeyeye.... lucu pasti ekspresi Leander pas tahu semuanya. :-) :-)

    BalasHapus
  4. Tutupan gordeng deh mas lean 😂😂😂

    BalasHapus
  5. Ojok woro2 edisi trakhir Mbak, panjangin lagi..... Sinetron ajah bisa panjang kanti mbulet ples pemain baru..... He he he.... Kaboorrr selak diuncali ulekan watu 😍😘😊🙄

    BalasHapus
  6. Mb lis aku kat mau mantengi hp nunggu leander

    BalasHapus