Selasa, 13 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #11-2




* * *


“Mas Lean ini kenapa, sih, Mas?!”

Leander menjauhkan sedikit ponselnya dari depan telinga. Nada bicara Serena mulai meninggi dan nadanya sama sekali tak enak didengar.

“Kenapa gimana?” Leander berusaha menanggapinya dengan nada rendah.

“Tadi Mbak Letta mencari Mas ke sini, ke rumahku. Sebelumnya, ke rumah Mas juga. Tapi Mas nggak ada. Bik Ras bilang ke Mbak Letta, Mas Lean ke Serpong sejak Sabtu kemarin. Memangnya Mas nggak pamitan sama Mbak Letta? Terus, kenapa Mas nggak jemput dia Sabtu siang itu? Ada apa sebenarnya?”

“Dia nggak bilang apa-apa?”

“Dia cuma cari Mas. Kelihatannya dia bingung. Jadi, ada apa?”

“Kalau dia nggak cerita apa-apa, ya, berarti memang nggak ada apa-apa. Kamu nggak perlu ikut bingung. Oke?”

“Tapi, Mas...”

“Sudahlah,” potong Leander. “Kamu fokus saja sama dirimu sendiri. Dengar, aku nggak mau keponakanku di perutmu itu kenapa-napa cuma gara-gara emaknya kepo. Paham?”

“Iya, tapi...”

“Ren, sementara aku di Serpong dulu,” potong Leander lagi, berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Dan sekarang aku mau tidur. Aku capek, kerjaanku di bengkel baru banyak banget. Oke?”

“Hm...”

Diam-diam Leander nyengir mendengar nada tak puas dalam suara Serena. Dan ia segera menutup pembicaraan itu, walaupun antara tega dan tidak. Bagaimanapun, ia tahu maksud Serena baik. Dihelanya napas panjang sambil meletakkan ponselnya di atas nakas.

* * *

Sabtu pagi, menjelang pukul tujuh, Letta sudah muncul di sanggar Pancarwengi. Setelah memarkir mobil, ia segera melangkah menuju ke rumah utama. Keluarganya sudah menunggu untuk makan pagi bersama.

Menjelang dilaksanakannya UAS mulai Senin lusanya, ekskul memang diliburkan. Termasuk latihan drama. Jadi Letta bebas hari ini. Kedua keponakannya menyambut dengan ceria. Membuat Letta menghadiahi keduanya masing-masing satu kecupan hangat di kening.

“Kamu mau ikut aku?” tawar Dika sambil menuang air putih ke dalam gelasnya.

“Ke mana, Mas?” Letta batal menyuapkan sesendok nasi pecel ke dalam mulutnya.

“Ke kantor. Aku ada jadwal ketemuan sama Arinka.”

“Hm... Aku nanti bisa mengganggu,” gumam Letta.

“Ikut sajalah, Let,” senyum Sarita. “Lagipula, Bapak sama Ibu ada arisan sama teman-teman pensiunan menjelang siang nanti.”

“Mas Dian dan aku juga mau keluar sama anak-anak,” timpal Wulan.

Letta menatap Dika. Menimbang-nimbang. Saat itu juga, didapatinya tatapan memohon dalam mata Dika. Juga sebuah pesan yang mendadak saja melintas.

Hm... Arinka...

Senyum melompat keluar dari mata Letta. Membuat Dika merasa lega. Pesannya tersampaikan. Letta pun mengangguk.

“Arinka itu temanmu, Let?” celetuk Wulan.

“Iya, Mbak. Sahabatku sejak SMA,” jawab Letta.

“Anak bungsunya Pak Wiyoko,” Handoyo ikut menanggapi. “Kelihatannya bisa besanan sama Pak Wiyoko, nih, kita,” Handoyo tersenyum lebar.

“Bapak ini apa, sih?” gerutu Dika sambil berlagak menekuni sarapannya.

“Oh, kalau itu aku setuju,” suara Letta terdengar antusias. “Satu-satunya temanku yang bisa kurekomendasikan ke Mas Dika memang cuma Arinka.”

Ucapan Letta disambut dengan gelak tawa.

“Aku sama sekali nggak keberatan, kok, punya kakak ipar Arinka,” Letta nyengir lebar. “Kakak ipar yang bisa ditindas.”

Mereka tergelak lagi.

“Kalau Leander, bisa ditindas juga, nggak?” goda Wulan.

“Oh, jangan harap!” Letta berlagak serius. “Langkahi dulu mayatku.”

Mereka tergelak untuk kesekian kalinya.

“Huh, giliran pacar sendiri, nggak boleh ditindas,” gerutu Dika.

“Oh... Oh...,” Letta mengerling ke arah Dika. “Ada yang mulai nggak rela kalau ada yang berencana mau menindas kekasih hatinya, ternyataaa...”

Kali ini gelak tawa mereka lebih riuh. Di tengah suasana ceria itu, sedetik Handoyo dan Sarita saling menatap. Dan mereka saling menemukan rasa itu. Kebahagiaan. Juga rasa syukur.

* * *

“Jadi, Mas Dika serius dengan Arinka?”

“Kelihatannya gimana?” Dika balik bertanya. Menoleh sekilas dan kembali serius dengan kemudinya.

“Ya... Kuharap, sih, Mas Dika nggak akan mempermainkan Arinka,” jawab Letta serius.

“Aku nggak pernah mempermainkan perempuan, kok, Let. Kemarin-kemarin, ada yang nggak cocok, itu juga bubarannya baik-baik. Bukan niatku untuk main-main. Tapi kalau memang nggak cocok, kan, juga nggak bisa dipaksakan.”

“Iya, sih...”

“Oh, ya, kamu sendiri kapan rencana menikah sama Leander?”

Letta terhenyak. Teringat kerumitan-tak-dimengertinya yang belakangan ini menghampirinya dan Leander.

“Belum tahu,” jawabnya kemudian, dengan nada datar.

“Bukannya kalian sudah bertunangan?” Dika sempat mengerutkan kening.

“Iya... Tapi soal pernikahan, jujur, itu masih nanti. Apalagi...”

Hening sejenak ketika Letta menggantung kalimat yang diucapkannya.

“Ya?” Dika menoleh sekilas. “Apalagi kenapa?”

“Aku kehilangan dia semingguan ini.”

“Maksudmu?” Dika mengerutkan kening.

“Aku nggak bisa menghubunginya,” Letta menyambungnya dengan helaan napas panjang. “Ya, aku tahu dia memang lagi super sibuk belakangan ini. Bengkel milik temannya di Serpong itu sudah mulai dibuka. Dia masih harus menanganinya. Tapi... biasanya juga nggak seperti ini. Sesibuk apa pun dia, selalu punya waktu untukku. Walaupun nggak punya waktu, masih mudah dihubungi.”

“Datangi saja ke Serpong. Kamu tahu lokasinya?”

“Enggak,” jawab Letta dengan nada polos. “Tapi aku bisa tanya ke karyawannya.”

“Lha, sudah tanya?”

“Belum, Mas,” Letta menggeleng. “Semingguan ini aku sibuk persiapan UAS anak-anak. Terutama aku harus kasih ekstra waktu buat anak-anak lesku.”

“Aku bisa mengantarmu, Let. Serpong itu jauh juga, lho!”

“Makasih, Mas. Iya, nanti aku coba cari tahu alamat bengkelnya.”

Dika mengangguk.

* * *

Dia sudah datang, rupanya...

Arinka tersenyum melihat mobil Dika sudah terparkir di depan kantor konsultan tempat laki-laki itu bekerja. Kesibukan masing-masing membuat ia dan Dika terpaksa membuat janji untuk bertemu dan membicarakan proyek mereka di luar hari kerja.

Beberapa saat kemudian ia sudah berjalan ke arah pintu yang terbuka lebar. Ia sudah mengulurkan tangan untuk memencet bel ketika gerakan itu terhenti. Dilihatnya ada orang yang duduk berhadapan di depan meja di foyer. Dan ia jadi ternganga ketika melihat siapa yang duduk itu. Tapi sebelum ia sempat bersuara, sapaan Dika sudah menyambutnya.

“Arinka!” senyum Dika merekah. “Ayo, masuk!”

Selain senyum itu, ada senyum lainnya. Diulas oleh perempuan yang ada bersama Dika. Dan ia terpaksa membalas senyum itu.

“Hai!” Letta juga menggemakan sapaannya. Ia berdiri dan menghampiri Arinka. “Sudah, deh, wajahmu nggak usah disetel cemburu begitu!” Letta terkekeh ringan.

“Apaan, sih?” Arinka berusaha mengelak.

Dika meraih bahu Arinka. Mendorongnya lembut ke arah ruang dalam. Ditariknya kursi untuk Arinka di depan meja kerjanya. Letta membuntuti, dan menjatuhkan dirinya di kursi di sebelah Arinka. Dika memutari meja, kemudian duduk di kursinya sendiri.

“Sebelum kita bicara soal proyek,” Dika menatap Arinka dengan bibir mengulum senyum, “Aku ingin perkenalkan adikku padamu. Kalian sudah saling mengenal, tapi ada baiknya berkenalan lagi.”

Arinka masih terbengong. Tak mengerti arah bicara Dika. Tapi sebuah tangan sudah terulur di depannya. Arinka sempat menatap tangan itu sejenak sebelum tatapannya beralih kepada pemilik tangan itu.

“Kara Murdayanto,” ucap Letta dengan manis sambil meraih telapak tangan kanan Arinka. Mengajak berjabat tangan. “Atau kamu mengenalku sebagai Letta Darmawan.”

Arinka menatap dengan wajah tercengang.

* * *

Di tengah kesibukannya mengawasi bengkel baru milik Oka, Leander menyempatkan diri untuk berkumpul dengan beberapa teman SMP-nya di kafe. Sekumpulan laki-laki yang sebagian besar sudah mulai insyaf dan tidak ‘nakal’ lagi. Terutama yang sudah menikah.

Mereka bertujuh mengelilingi  sebuah meja cukup besar di sudut kafe. Obrolan mereka terlihat seru, diselingi dengan banyak tawa. Leander terlihat larut di dalamnya. Tepatnya, berusaha untuk larut dan sejenak melupakan masalahnya dengan Letta.

Tapi rupanya Tuhan sedang ingin mengajaknya bercanda. Pada satu titik waktu, ia justru melihat Letta melenggang memasuki kafe itu. Bersama Arinka, dan...

Dia lagi...

Ia buru-buru melengos ketika melihat siapa yang berjalan mengawal kedua gadis itu. Tapi posisi duduknya sungguh tidak strategis. Walaupun terhalang badan besar Robert, tapi ia masih bisa melihat ketiganya duduk di sudut seberang.

“Eh, sebentar,” Oka berdiri. “Itu ada adik ipar abangku. Aku sapa mereka dulu, ya?”

Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, Oka sudah melangkah ke arah sudut di seberang. Ke arah meja dan kursi yang ditempati Letta, Arinka, dan Dika. Leander buru-buru mengalihkan tatapannya.

* * *

“Kayaknya kurang asyik, ya, kalau kita cuma bertiga begini?” celetuk Arinka sambil membuka-buka buku menu.

“Hm...,” Letta hanya menggumam pendek, membuat Arinka dan Dika bertatapan sejenak.

“Ya, lain kali kita double date,” Dika kemudian menanggapi dengan nada kalem.

Letta terkikik. “Ada yang sudah mengaku kalau sudah sampai tahap niat nge-date, rupanya...”

“Hehehe...,” Dika terkekeh.

Sementara itu, Arinka berusaha keras untuk menyembunyikan ekspresi tersipunya. Mereka segera menyebutkan pesanan makanan dan minuman pada seorang pramusaji yang datang kemudian.

“Dik!”

Dika menoleh mendengar panggilan itu. Senyumnya melebar melihat siapa yang datang menghampiri. Oka, adik bungsu Rahardian, yang sebaya dengannya, hanya setahun lebih muda.

“Lama nggak ketemu,” Oka mengguncang jabat tangannya dengan Dika.

“Lu sibuk banget kelihatannya,” Dika menarik Oka untuk duduk di kursi di sebelahnya. “Eh, kenalin, ini Letta, adik gue. Ini Arinka, mm... calon istri gue.”

Arinka hampir tersedak mendengar ucapan Dika. Sementara itu, Letta mengulum senyumnya. Arinka menatapnya dengan mata bulat dan alis terangkat tinggi. Letta mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi menggoda.

“Adik lu?” Oka mengerutkan kening. “Bukannya lu bungsu?”

Dika tersenyum lebar. "Soal itu, lu tanya sajalah sama Mas Dian."

Oka masih kelihatan sedikit terbengong.

"Lu sama anak-istri lu?” tanya Dika kemudian. “Mana?”

“Enggak,” Oka menggeleng. “Sama temen-temen gue.”

Oka mengarahkan tatapan dan tangannya ke sudut lain. Dika dan Arinka tampak sedikit tertegun ketika tatapan mereka jatuh ke arah yang ditunjuk Oka.

Sementara itu, tatapan Letta bertemu dengan tatapan Leander. Tapi gadis itu buru-buru mengalihkan pandangannya. Luput dari perhatian Dika dan Oka yang tengah asyik bercakap.

“Kamu lagi ada masalah dengan Mas Lean?” bisik Arinka.

Letta hanya mengangkat bahu. Terkesan acuh tak acuh. Arinka mengarahkan tatapannya pada meja di sudut seberang. Leander tampak asyik bercakap dengan teman-temannya. Seolah tidak tahu Letta ada di kafe yang sama. Tapi pada satu detik, tatapan Leander terarah padanya. Lebih tepatnya, pada gadis yang duduk di sebelahnya. Hanya sesaat, sebelum tatapan Leander beralih lagi.

“Oke, gue balik dulu, ya?” Oka berdiri dari duduknya. Disalaminya Arinka. “Aku tunggu undangannya,” laki-laki itu tersenyum lebar. Ia menyalami pula Letta.

“Lho, lu kenal Leander, Ka?” tiba-tiba saja Dika menyeletuk setelah sekilas tatapannya menyapu meka di sudut seberang.

“Iya,” angguk Oka. Batal melangkah pergi. “Dia yang bantu kelola bengkel baru gue di Serpong. Temen SMP gue, tuh! Lu kenal dia juga, Dik?”

“Oh... Jadi itu bengkel lu?”

“Hehehe... Yuk, ah!"

“Nah, itu Leander,” ditatapnya Letta setelah Oka menjauh.

“Biarin!” raut wajah Letta terlihat jengkel.

Dika dan Arinka kembali bertatapan. Secara ringkas, Dika kemudian bercerita pada Arinka tentang Letta yang seminggu ini kesulitan untuk menghubungi Leander. Begitu cerita Dika selesai, Arinka segera bangkit.

“Mau ke mana?” Letta mengerutkan kening.

“Toilet,” sahut Arinka sambil melangkah pergi.

Tapi Arinka tidak berjalan lurus ke arah toilet, melainkan berbelok ke arah meja di sudut seberang. Letta hanya bisa ternganga. Sudah terlalu terlambat untuk mencegah Arinka.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

6 komentar:

  1. Komen Dulu, pesbuk masih belon keluar hihihi.... Hmmm, jadi ribet ama bapernya Leander. Ooii, mas lean letta jangan dianggurin gitu..... Mbak, besok lagee yah? Kemis khan lama

    BalasHapus
  2. Ah, Leander. Cemburumu itu terlalu berlebihan. Hehehe...

    BalasHapus
  3. Leander masih cemburu hehehe

    BalasHapus