Jumat, 16 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #12








Sebelumnya  



* * *


Dua Belas


“Jadi, begitu kisahnya, Mam, Pap,” Leander menutup ceritanya.

Begitu selesai menikmati makan malam sederhana di rumah Letta, Leander memang langsung berpamitan dan meluncur ke Sentul.

“Oalaaah...,” Alex manggut-manggut, sementara Meiske sibuk menyusut airmatanya.

“Mamam nggak bisa bayangin kehilangan kamu atau Rena dengan cara seperti itu,” gumam Meiske.

Alex merengkuh bahu Meiske.

“Ya, sebaiknya kita secepatnya sowan ke tempat orang tua Letta,” ujar Alex kemudian. “Setidaknya memperkenalkan diri. Kalau perlu, meminang ulang Letta langsung pada orang tua kandungnya.”

“Sabtu atau Minggu depan, ya?” Meiske menatap Alex. “Biar Lean sampaikan dulu ke Letta. Kalau besok, kan, nggak mungkin. Ini sudah malam. Belum lagi harus koordinasi sama Mas Adrian dan Ludy-Rena segala. Kalau kelamaan juga, takutnya keduluan Rena melahirkan. Nanti malah tertunda lagi.”

Alex dan Leander langsung mengangguk, menyetujui.

* * *

“Let, aku mau ngomong.”

Menjelang siang itu, hari Sabtu seminggu kemudian, rumah Pancarwengi terlihat ramai. Keluarga Alex Ismaya dengan membawa serta Serena dan Ludy, dan keluarga Adrian Darmawan mengunjungi keluarga Handoyo Murdayanto. Dika mengajak juga Arinka. Sekaligus memperkenalkan Arinka secara resmi pada keluarga besar sebagai kekasih.

Pada awalnya, Alex dan Meiske bermaksud untuk meminang ulang Letta pada keluarga kandungnya. Tapi Handoyo dan Sarita memandang itu tak perlu. Letta sudah dipinang keluarga Leander melalui Adrian. Itu sudah cukup untuk mereka. Sama saja sahnya.

Dan di tengah suasana riuh obrolan di sana-sini, Leander menggamit lengan Letta. Keduanya kemudian menyelinap pergi dari keramaian itu, dan menyingkir ke gazebo.

“Mas Lean mau ngomong apa?” Letta menatap Leander begitu mereka duduk saling menghadap di atas sebuah sofa panjang.

“Let, aku sudah benar-benar siap untuk menikahimu,” ucap Leander dengan suara mantap. “Kamu sendiri bagaimana?”

Letta menatap manik mata Leander. Tak didapatinya setitik pun kebohongan di sana. Dan tiba-tiba saja ia merasa semua ‘urusan’ yang ia rasa membebani langkahnya untuk menuju ke gerbang pernikahan sudah ‘selesai’.

“Aku juga sudah siap,” angguk Letta. “Tapi, kalau aku boleh tahu, kenapa Mas Lean tiba-tiba saja merasa siap untuk menikah?”

“Entahlah, Let,” Leander menggeleng dengan wajah jujur. “Aku merasa sangat siap. Begitu saja. Seolah-olah semua yang harus kukerjakan, harus kucapai, sudah selesai. Aku sendiri nggak paham kenapa. Tapi sudah beberapa hari ini aku berpikir. Merenung lagi. Rasa siap itu tetap ada. Bahkan makin kental. Dan aku sungguh-sungguh percaya, bahwa semua akan indah pada waktunya.”

“Ya,” Letta mengangguk, “aku juga percaya itu. Sepenuhnya. Seperti aku selalu percaya bahwa Mas Leander-lah belahan jiwaku.”

Tangan Leander terulur. Dengan lembut menyingkapkan helai-helai rambut yang jatuh di kening Letta.

“Kita sampaikan pada keluarga, ya?” ucap Leander lembut. “Mumpung semua lagi berkumpul.”

Letta tersenyum. Mengangguk. Dengan binar indah memenuhi matanya.

* * *

Suasana sekolah yang riuh menjelang berlangsungnya pentas seni pada pertengahan bulan Januari itu menambah riuh hati Letta. Sejujurnya, ia mengalami demam panggung. Mereka – ia bersama murid-murid sekelasnya – sudah berusaha mempersiapkan penampilan dengan baik. Pada latihan terakhir mereka beberapa hari lalu, sudah padu sekali antara acting dan dubbing. Membuat Daniel selaku sutradara tersenyum puas.

Ruang kelas 8D tertutup rapat sejak pagi dengan segala keriuhan di dalamnya. Wulan dengan senang hati membawa beberapa asistennya untuk membantu merias wajah para pemain. Sesuai dengan undian, mereka akan mementaskan drama pada acara keempat. Ketika dance dari kelas 7B di urutan ketiga mulai berlangsung, Daniel mengetuk pintu kelas, dan tersenyum lega ketika Mala menjawab bahwa mereka sudah siap.

Beriringan mereka saling merapat berjalan menuju ke belakang panggung. Menyembunyikan sosok Letta, yang sengaja mengerudungi kepala dan wajahnya dengan sebuah selendang lebar, di tengah-tengah mereka. Begitu kelas 7B selesai tampil, bagian dekorasi secepatnya mengatur set. Dan pertunjukan pun dimulai.

Drama “Yuyu Kangkang Insaf” itu dibuka dengan narasi dan latihan tari Gambyong yang dibawakan oleh empat orang Kleting. Selendang mereka berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, dan biru. Satu-satunya yang menari keluar pakem adalah Kleting Kuning. Menyebabkan ibu mereka marah dan menyuruhnya menonton saja. Kleting Kuning pun duduk men-deprok dengan wajah sedih.

Ketika latihan tari berlangsung, datanglah utusan yang membawa pengumuman bahwa Ande-Ande Lumut sedang mencari jodoh. Para Kleting heboh, ingin segera mendatangi rumah Ande-Ande Lumut. Sang ibu kemudian mendandani ketiga Kleting sehingga mereka berangkat ke rumah Ande-Ande Lumut dalam keadaan cantik.

Ketiga Kleting Merah-Hijau-Biru pun berangkat dan harus menyeberangi sungai. Mereka bertemu dengan Yuyu Kangkang yang meminta ciuman pada masing-masing Kleting yang hendak menyeberang. Tanpa pikir panjang, para Kleting pun menurutinya. Lalu belakangan muncul Kleting Kuning yang menolak ciuman Yuyu Kangkang hanya untuk menyeberang. Sesudah itu adegan berganti ke rumah Ande-Ande Lumut.

Para penonton mulai kasak-kusuk ketika Mbok Rondho muncul. Rias wajah natural dengan sedikit bayang kerutan di kening dan sudut mata tak membuat kecantikan Mbok Rondho lantas luntur. Satu demi satu penonton mengenalinya. Dan keriuhan pun terjadi. Karena dalam sejarah pentas seni yang pernah berlangsung di SMP Cahaya Wiyata, baru kali ini ada guru yang benar-benar terlibat ikut pentas bersama murid-muridnya.

Seluruh aula seolah pecah oleh tepuk tangan dan sorakan yang bersahutan. Sesungguhnya Letta mulai panas dingin. Tapi sekilas tatapan penuh harap murid-muridnya sesama pemain drama membuatnya berusaha menguapkan rasa malu itu. Dilakoninya perannya dengan sangat baik. Termasuk ketika beraksi memarahi Yuyu Kangkang. Wajahnya disetel sedramatis mungkin, menjurus ke arah jenaka. Bahkan terkesan lebay. Seisi aula tergelak melihat acting-nya.

Dan mereka mendapatkan standing ovation menjelang berakhirnya drama itu. Ketika Yuyu Kangkang mendapat kemalangan beruntun, diomeli oleh Mbok Rondho,  dan menyatakan diri insaf.

“Seorang pangeran tampan rupanya mendengar omelan Mbok Rondho, yang seketika membuatnya merasa jatuh cinta.”

Letta awalnya tidak memperhatikan narasi tambahan ketika musik melirih itu. Seperti pemeran lainnya, ia mengakhiri drama dengan adegan membeku bagai manekin. Tapi...

“Dan pangeran itu bermaksud hendak mempersunting Mbok Rondho agar tidak menjadi rondho lagi. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?”

Musik mengalun lagi. Kali ini ada sosok tinggi besar bercelana jeans dan kemeja warna merah marun berlengan panjang yang digulung hingga ke siku, keluar dari sisi kiri panggung. Membawa sebuket bunga dan melangkah mantap ke tengah panggung hingga sampai ke depan Mbok Rondho. Mbok Rondho segera melupakan keharusannya membeku. Ia menutup kedua mulutnya dengan kedua tangan melihat siapa yang muncul. Sang Pangeran kemudian berlutut dan mempersembahkan buket bunga itu pada Mbok Rondho. Tanpa kata. Bahkan ikut membeku seperti manekin

Tepuk tangan, sorakan, dan suitan yang lebih gemuruh kemudian pecah di aula itu.

Mbok Rondho menatap pangeran modern itu dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam dadanya. Tak bisa berkata apa pun. Dan ketika ia hendak buka mulut, suara Daniel melalui TOA menggema keras, “CUT! Sensor! Tutup tirai!”

“Huuu!!!”

Tirai turun dan seluruh pemeran drama berceloteh riuh sambil berlari ke belakang panggung. Sorakan dan tepuk tangan masih menggema di aula. Leander menggandeng tangan Letta yang masih terdiam, mengikuti anak-anak itu kembali ke kelas.

“Jadi siapa yang punya ulah begini?” ujar Letta akhirnya, berlagak cemberut.

Anak-anak tertawa. “Kami semua, Buuu...”

“Dengan ijin Pak Aryanto,” sambung Mala, nyengir.

“Eh, tadi Mbok Rondho akhirnya gimana, ya, sama Pangeran?” usik Daniel.

“Sensorrr!” seru Letta, membuat semua yang mendengarnya tergelak.

* * *

Sabtu menjelang sore pada awal bulan Juli, Letta membaringkan diri di ranjang pengantinnya di rumah Pancarwengi. Baru saja mereka selesai menjalani serangkaian prosesi pernikahan, dari upacara pemberkatan yang dimulai pada pukul sembilan pagi, hingga serangkaian upacara adat seperti panggih dan sebagainya di pendopo. Semuanya itu baru selesai menjelang pukul dua siang. Dan ia baru saja selesai melepas semua dandanannya di kamar rias. Menggantinya dengan sehelai daster batik yang terasa dingin di kulit.

Bayangannya dan Leander sungguh meleset. Pada awalnya mereka pernah berpikir bahwa acara pernikahan mereka nantinya akan sederhana saja. Pemberkatan, makan-makan, foto-foto, sudah, selesai. Tapi nyatanya?

Status akhir Letta sebagai putri bungsu keluarga Handoyo Murdayanto sungguh menjungkirbalikkan bayangan itu. Handoyo dan Sarita seolah ingin menggunakan pernikahan Letta dan Leander untuk menebus waktu yang pernah terenggut dari mereka.

“Kapan lagi menyenangkan Bapak dan Ibu, Let?” Leander akhirnya menyerah. Membuat Letta akhirnya menyetujui diadakannya acara pernikahan yang tidak sederhana.

Letta membuka matanya yang sempat terkatup ketika mendengar pintu terbuka. Ia segera bangun begitu melihat Leander masuk sambil menggendong Maura, bayi Serena dan Ludy. Diulurkannya tangan, dan bayi cantik berusia menjelang tujuh bulan itu langsung lengket dalam gendongannya. Leander menggelitiki dan menggoda bayi itu hingga terkekeh lucu. Sejenak kemudian Maura mengulurkan tangan pada Leander. Leander mengambil alihnya.

“Sudah pantes jadi ayah,” Letta nyengir.

Leander tersenyum lebar sambil menciumi pipi bulat Maura hingga bayi itu kegelian.

“Makanya latihan dulu sama Maura,” sahut Leander sambil tetap menciumi Maura.

Letta tergelak. Ia kemudian berdiri dan melangkah untuk membuka pintu ketika mendengar ketukan. Wajah Serena kemudian menyembul ketika pintu terbuka.

“Mbak, kami mau pulang dulu,” senyum Serena.

Leander muncul di belakang Letta. Melihat ibunya, Maura segera merengek sambil mengulurkan tangan. Bayi cantik itu kemudian berpindah ke dalam gendongan Serena.

“Mamam sama Papap suruh langsung istirahat, ya, Ren,” ucap Leander sambil mengiringi langkah Serena bersama Letta. “Besok masih harus bertempur lagi.”

Serena mengangguk.

Keluarga Alex dan Ludy kemudian berpamitan, diikuti keluarga Adrian. Adrian sempat cukup lama mencium kening Letta. Membuat mata Letta mengaca.

“Tugasku sudah selesai,” bisik Adrian. “Dia akan menjagamu dengan jiwanya.”

Letta memeluk Adrian. “Terima kasih atas semuanya, Mas. Aku tetap Letta, adik Mas Dri.”

“Aku tahu,” Adrian balas memeluk Letta. “Baik-baik, ya? Kita ketemu lagi besok.”

Letta mengangguk.

Setelah semua rombongan berlalu, Letta berdiri tercenung di depan pendopo besar, tempat ia melepas keluarganya itu. Leander berdiri di sisinya. Merengkuh erat bahu Letta.

“Ayo, istirahat dulu, Let,” gumam Leander kemudian. “Acara kita belum selesai.”

Letta mengangguk. Mulai melangkah kembali ke arah rumah.

Rangkaian acara pernikahan mereka memang belum selesai. Besok masih ada gelaran resepsi yang harus mereka jalani. Membutuhkan fisik yang prima agar tidak masuk angin karena mereka akan berbusana Solo basahan selama beberapa jam.

Setelah itu masih akan ada rangkaian perjalanan ke Hongkong dan Jepang. Kemudian barulah mereka akan memasuki kehidupan pernikahan yang sesungguhnya.

“Tak akan selalu indah.”

Pesan Handoyo terngiang lagi di telinga Letta.

“Tapi kalau kalian selalu berusaha untuk mau memahami satu sama lain, berusaha untuk mau selalu bergandengan tangan, dan mau melakukannya bersama-sama tanpa sekadar berusaha lagi, maka semuanya akan berjalan lebih baik."

Letta melingkarkan sebelah tangannya ke sekeliling pinggang Leander. Terasa begitu masif dan mantap. Leander pun mengeratkan rengkuhannya pada bahu Letta.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

1. Terima kasih kepada semua pengunjung dan pembaca blog FiksiLizz ini. Pada tanggal 12 Desember 2016 kemarin, pengunjung blog FiksiLizz sudah mencapai 500.000. Semua itu tidak akan tercapai tanpa kebaikan hati para pengunjung dan pembaca yang sudah dengan sangat sabar meluangkan waktu untuk menengok cerita-cerita di FiksiLizz, walaupun cerita-cerita dalam FiksiLizz selalu tersaji dalam standar yang ‘entah’. Mohon maaf untuk itu.

2. Mohon maaf yang sebesar-besarnya juga atas semua komentar yang masuk tapi belum terbalas. Saya akan berusaha membalasnya.

3. Dengan berakhirnya tayangan cerbung “Déjà Vécu”, maka cerbung di FiksiLizz libur dulu. Semoga tahun depan ada judul baru yang bisa tayang. Blog FiksiLizz juga libur dulu hingga pergantian tahun, tapi tidak menutup kemungkinan ada tayangan cerpen untuk mengisi kekosongan (tapi nggak janji yaaa...).

4. Terima kasih banyaaak...

7 komentar:

  1. nangiiiiss...haruuu...keren bangeeetttzzz

    BalasHapus
  2. Akhirnyaaa.... Hiks. *terharu*

    BalasHapus
  3. Good post mbak, kami sekeluarga mengucapkan selamat nataldan rahun barun, semoga karya mbak, selalu hadir untuk bisa kami baca, terima kasih

    BalasHapus
  4. Happy ending *nangis bahagia aku 😭

    BalasHapus
  5. Gaisok komen es mb Liiiissss .....
    Apiiiiiik pokoe.

    BalasHapus
  6. speechless, karya mba lizz selalu berkesan. Terima kasih sdh menghadirkan karya yang luar biasa....

    BalasHapus
  7. Endingnya bikin hati teraduk. Nggak tau kenapa jadi ikut baper gini. Pokoknya makin the best deh fiksinya. Keren!

    BalasHapus