Sebelumnya
: Part Seven : The Best Man And Me
Part
Eight
Blue, And The Dream Comes True
Canopus...
Dengan cepat kami saling mengenal satu sama
lain. Seolah sudah berkawan sejak jaman batu. Entahlah... Mungkin ini namanya
jodoh. Yang (bagiku) seolah begitu saja jatuh dari langit.
Kami sama-sama merasa cocok dalam segala hal.
Bahkan segera saja pembicaraan kami begitu cair hingga mengalir ke rencana
pernikahan. Konsepnya pun seolah begitu sejalan dan bukan jadi masalah untuk
dipertentangkan detilnya.
Pada intinya, kami hanya ingin sebuah
pemberkatan yang meriah, dan perayaan yang sederhana. Sesederhana bentuk
perasaan dan hubungan kami, yang seolah terdiri dari dua puzzle yang menemukan belahan yang pas.
Ia dewasa. Sangat. Bisa mengimbangi aku yang
terkadang meledak-ledak seolah kanak-kanak yang selalu bersemangat ketika
menemukan banyak hal baru. Secara usia, ia memang tiga tahun lebih tua daripada
aku. Cukup ngemong dan memberiku perasaan aman dan nyaman. Soal mapan, kuanggap
itu sebagai bonus.
Padanya, entah kenapa juga aku menemukan
kembali impian masa kanak-kanakku. Menemukan pangeranku di kedalaman warna
cerah biru langit. Tanpa harpa kecil, tentu saja. Diganti oleh petikan gitar
dan denting pianonya. Jauh melampaui mimpi indahku.
Soal masa lalu, siapa sih yang tak
memilikinya? Ia punya, aku juga. Bedanya, aku kecewa setelah lebih dulu
mengecewakan, sedangkan ia memang pernah dikecewakan. Semua itu jadi hal yang
terbuka untuk kami ceritakan satu sama lain. Bahkan semua hal jelek dari diri
kami masing-masing pun kami usahakan untuk dibuka aibnya di depan daripada
menyesal belakangan.
Dan tentang warna biru itu... Perlukah aku
menyiarkan pada dunia bahwa biru adalah warna kesukaan kami? Tapi pada
kenyataannya memang seperti itu.
Blue...
And the dream comes true...
* * *
Lalu, apakah jadi gaun biru itu yang
kukenakan untuk acara pernikahanku? Hm... Tidak. Mengenal Canopus membuat sisi
nenek sihirku meluntur hebat, sehingga pada suatu sore aku menelepon Dinta,
menceritakan tentang sejarah gaun biru itu, dan menawarinya untuk menukar gaun
berwarna peach-nya dengan gaun biru
itu.
Dinta datang ke studioku dalam hitungan menit
sejak aku meneleponnya. Begitu kami bertemu, ia memelukku erat-erat.
“Sebetulnya aku nggak sreg dengan gaun peach itu, Mbak,” ucapnya dengan mata
mengaca. “Makanya aku tawarkan pada sepupuku kemarin. Pernikahan kami hanya
selisih seminggu, tiga bulan lagi. Maksudku, besok aku mau ke sini. Aku ingin
Mbak Ervina membuatkan gaun pengantin berwarna biru untukku. Ternyata...”
Aku melebarkan senyumku. Rasanya memang
betul-betul ikut bahagia bisa melihat kebahagiaan customer-ku. Aku segera memanggil Inke untuk membantu Dinta fitting. Untuk sementara, ukurannya
sudah pas. Tapi bisa jadi mendekati hari H pernikahan, calon pengantin sedikit
lebih kurus karena terlalu banyak berpikir soal ini-itu.
“Jadi, gaun ini sudah pasti sold ke aku, Mbak?” Dinta masih
menatapku dengan sorot mata tak percaya.
Aku mengangguk. Dinta kelihatan sekali
menahan diri dan tidak melakukan salto saat itu juga saking
senangnya, hehehe... Apalagi ketika
kukatakan bahwa gaun itu kuberikan secara gratis padanya.
“Yang bener?”
Aku mengangguk.
“Yang bener, Mbak?”
Aku kembali mengangguk sambil tertawa lebar
melihat ekspresinya yang seperti mendapat lotre satu milyar rupiah. Tapi
sejenak kemudian ia seperti terpekur.
“Seandainya...,” gumamnya, lebih pada dirinya
sendiri, “... aku berikan saja uang itu untuk orang-orang yang membutuhkan,” ia
menatapku, “bagaimana, Mbak?”
Aku tak tahan untuk tidak memeluknya. Dan ia
membalas pelukanku sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.
* * *
Setelah upacara pemberkatan yang meriah
karena kami menikah di Katedral, dengan dua orang pastor yang masing-masing
merupakan abangnya dan sepupuku, dan tepat selusin putra-putri altar yang
merupakan para sepupu dan keponakan kami sendiri, aku pun berganti gaun
dibantu Inke dan Lorena. Aku mengenakan gaun berwarna off-white untuk pemberkatan
tadi. Senada dengan setelan jas yang dikenakan Canopus. Di mataku, ia
betul-betul mirip dewa yang turun dari langit. Gantengnya minta ampun!
Dan kini, aku sudah mengenakan sehelai gaun
biru langit dengan desain baru. Sama
seperti gaun off-white-ku yang
benar-benar kudesain khusus sesuai bayangan, selera, dan keinginanku.
Gaun itu bagiku lumayan sederhana.
Sesederhana perayaan pernikahan kami yang hanya mengundang keluarga besar dan
teman-teman dekat, dan dilaksanakan di... Di mana lagi kalau bukan di The Journey?
Ketika aku bertanya kenapa Canopus agak
ngotot untuk mengadakan perayaan sederhana di The Journey, barulah ia berterus terang bahwa semuanya untuk
menekan budget agar kelebihan budget kami bisa disalurkan pada orang
lain yang lebih membutuhkan.
“Lagipula...,” ia menatapku dengan senyum dan
kejora di mata beningnya, “The Journey itu
milik kita.”
Sebuah kenyataan yang sama sekali melampaui
bayanganku bahwa tempat bersejarah itu ternyata sebuah properti pribadi
Canopus! Aku harus berkomentar apa lagi, coba?
Dan ia menggenggam tanganku dengan erat
ketika turun dari mobil pengantin dan masuk ke dalam The Journey. Sekilas aku melihat genangan bening dalam mata Papa.
Hm... Aku jadi ingat wejangannya semalam.
“Papa
senang kamu sudah menemukan belahan jiwamu,” ucap Papa dengan suara bergetar.
“Yang harus kamu ingat, pernikahan bukanlah akhir dari perjalananmu menemukan
cinta yang seutuhnya, tapi baru awal sebuah perjalanan panjang. Kalian harus bisa
memupuk, menyirami, memelihara, dan memperbarui cinta itu setiap saat seumur
hidup kalian. Harus kalian berdua yang melakukannya. Tidak bisa kalau hanya
salah satu. Tapi jangan khawatir, Vin. Papa sudah membicarakan ini dengan
Canopus minggu lalu. Dia paham sepenuhnya, dan sudah berjanji pada Papa untuk
menjagamu seumur hidup, tanpa ragu.”
Aku menatap Canopus yang terlihat begitu memukau.
Sejak awal aku tak menemukan sedikit pun keraguan itu dalam hatiku. Aku merasa hangat
dan aman, dan bersenang-senang menikmati perayaan pernikahan sepanjang hari itu.
Pernikahanku. Sebuah awal. Dari perjalanan panjangku. Bersama
Canopus.
* * * * *
T.H.E
E.N.D
Catatan :
Setelah tayangan cerpen stripping ini, blog FiksiLizz akan libur selama sebelas hari untuk
mempersiapkan cerbung recycle yang
belum pernah tayang di blog ini. Tidak tertutup kemungkinan akan ada tayangan
baru berupa cerpen untuk mengisi kekosongan (tapi nggak janji juga sih...).
Cerbung baru akan mulai tayang Senin depannya
lagi, seperti biasa setiap Senin dan Kamis.
Terima kasih...
Cihhuuuyyyy.. Akhirnyaaaaaa..
BalasHapusSelalu suka sama cerita yg hepi ending setelah melalui masalah ini itu..
Fiuuuh, Abang Canopus mah tajir yee ternyate.. Begitulah buah dr kesabaran dr Ervina, dapetnya gak tanggung tanggung.. Ehhehehehe..
Hahaha... namanya juga pengarang, menjual mimpi...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Tanti...
Hehehehehe..
HapusIya Mbak, akhirnya bs ngepos komentar setelah sekian lama di pehape sama hape ini.. Wkwkwkwkwk..
Lha... Emang hp-nya kenapa, Mbak?
HapusMungkin akunya kali yg kudet ya Mbak.. Nggak tau kenapa, tiap kali komen trus klik post nggak pernah bs muncul kalo lewat hape.. Aah sudahlaah.. Hehehehe..
HapusBai de wei, Canopus itu nama bintang ya Mbak?
HapusIyak betulll... Hehehe...
HapusWelcome to the jugle Ervina and Canopus...happily ever after eeaa...
BalasHapusHehehe... Suwun mampire, Mbak...
Hapuseh Papanya Ervina dan Canopus tu kok familiar banget ya...
BalasHapuskayak pernah kenal di manaaaa... gitu.
#GR
Heee??? Sopo? Papamu tah?
HapusNuwus mampire yo...
Waaah akhirnya si empus & vina nikaaah... Horeee happy ending.. semoga langgeng & bahagia selaluuh yaa..
BalasHapusBu lis, tararengkyu cerbungnya :-*
Sama-sama, Mbak Indah... Makasih juga karena Mbak rajin mampir ke sini...
HapusSelamat menempuh hidup baru ya ErCan... Semoga dikaruniai banyak anak & langgeng sampe kakek nenek... *ucapan standar* ;)
BalasHapusHahaha... Makasih mampirnya, Bang...
HapusSuka dengan endingnya. Top markotop.
BalasHapusMakasih banyak, Bu Fabina... *peluuuk*
HapusOK saatnya ngrapel.. :)
BalasHapusNggak usah ngoyo. Yang penting jaga kesehatan. :)
HapusNuwus mampire, Sam...
Aq meleleh
BalasHapusSayange ada sing mau libur :"(
Sepi lak an mba ?
Blog fiksi liyane kan sek akeh seh, Nit... ;)
HapusPuas endingnya. Puas jalinan ceritanya. Puas segalanya kcli liburnya sang author :-)
BalasHapusPenulis pun butuh liburan, Mbak... Hehehe...
HapusMakasih mampinya ya...
nice post mbak
BalasHapusMakasih sudah setia mampir, Pak Subur...
Hapus