Sebelumnya
: Part Six : Something Surprising
Part
Seven
The Best Man And Me
“Ha...lo...,” ucapku dengan suara seperti
tikus terjepit.
Dan senyumnya segera saja membuatku seperti
bongkahan coklat yang ditim. Pun ketika ia berdiri dari duduknya dan
mengulurkan tangan. Aku segera menjabatnya. Berharap tanganku mau berkompromi
sejenak sehingga tidak gemetar dan memalukan.
“Halo juga. Maaf mengganggu.”
“Oh, enggaaak...,” senyumku merekah tanpa
bisa ditahan. “Silakan duduk.”
“Terima kasih.”
Ia duduk kembali, dan aku mengambil tempat
duduk di sofa tunggal di seberangnya, berbatasan meja pendek.
“Aku diminta Yola ambil gaun pengantinnya,”
ucapnya jelas, dengan bibir masih mengukir senyum. “Semoga dia menikah sekali
ini saja, jadi cukup sekali ini juga aku jadi kacungnya.”
Kalimat terakhir itu membuatku tak bisa
menahan tawa. Bersamaan dengan itu Inke datang dengan membawa gaun pengantin
Yola yang sudah terkemas rapi. Aku kembali menatap Canopus.
“Sebetulnya aku sudah menjanjikan pada Yola
untuk mengantarkan gaunnya sore ini karena ada penataan khusus untuk gaun ini
supaya siap pakai dan tidak kusut. Biasanya kami pinjamkan sekalian manekinnya.
Tapi...”
“Hm... Sebetulnya...,” Canopus menatapku
ragu-ragu. “Yola nggak memintaku, tapi aku yang menawarinya...”
Aku terbengong sejenak. Masih menatapnya. Aku
tak tahu bagaimana ekspresiku terlihat, yang jelas beberapa detik kemudian aku
melihat wajah Canopus agak memerah. Kupikir, aku harus menyelamatkannya!
“Kalau begitu, sekalian saja aku ikut ke
rumah Yola untuk menata gaun ini,” ucapku, berusaha menjaga nada polos.
“Nggak sibuk?”
Aku menggeleng.
* * *
Yola tersenyum penuh arti ketika melihatku
muncul di rumahnya bersama Canopus. Aku hanya bisa nyengir tanpa daya walaupun
dalam hati berbunga-bunga. Gadis cantik itu segera menggiringku ke kamarnya. Di
belakang kami ada Canopus yang mengangkat sebuah manekin.
“Taruh situ saja,” Yola menunjuk ke sebuah
sudut sambil menatap Canopus.
Laki-laki itu dengan patuh meletakkan manekin
pada tempat yang ditunjuk Yola.
“Makasih ya...,” ucap Yola manis sambil
mendorong Canopus keluar.
Dan gadis itu kembali menatapku dengan mata
berbinar sambil merapatkan pintu di belakang punggungnya.
“Jadi... bagaimana?”
“Apanya?” gumamku, sambil sibuk menata gaun
pengantin Yola pada manekin.
Tanpa kuduga, Yola mendeprok begitu saja di
dekatku. Aku sempat tertawa melihat ekspresinya.
“Canopus itu susah jatuh cinta,” ucapnya
tiba-tiba, membuatku menegakkan telinga sambil terus menguapi gaun pengantin
Yola.
“Waktu dia bilang tertarik pada Mbak, aku
pikir why not?” lanjut Yola. “Kira-kira
gimana?”
“Hm...,” jujur, aku kesulitan menjawabnya.
Tadi di mobil, kami memang cukup banyak
mengobrol. Tapi hanya hal-hal yang ringan saja. Berita terkini, tentang awal
mula usahaku, pekerjaannya, dan belum ke arah pembicaraan soal pribadi.
“Dia menarik,” ungkapku, akhirnya. “Tapi
entah bagaimana dia menilaiku.”
“Hm...,” Yola mengangguk-angguk. Ia kemudian
berdiri. “Sebentar, Mbak, aku bikinin minum dulu ya?”
“Eh, jangan repot-repot!” cegahku.
“Enggaaak...,” Yola sudah melangkah keluar.
“Sebentar ya?”
* * *
Sejak mendua dari Rilo dan kemudian hubungan
sembunyi-sembunyiku itu akhirnya bubar juga setelah aku ‘ditalak’ Rilo, aku
belum pernah berkencan lagi. Enggan, karena (di bawah dan di atas sadar) aku
selalu membandingkan tiap laki-laki yang bermaksud mengajakku kencan dengan
Rilo. Dan hasilnya, tak satu pun yang kulihat sebanding.
Tapi ketika aku bertemu dengannya untuk
pertama kali, dia, laki-laki yang sekarang duduk di depanku ini, entah kenapa
aku berhasil mengenyahkan sosok Rilo dari dirinya. Canopus tak ada
mirip-miripnya dengan Rilo. Sama sekali!
Aku berhasil melihatnya sebagai sosok yang
berhasil mengguncangkan hatiku tanpa ada bayang-bayang Rilo dalam dirinya.
Canopus ya Canopus. Laki-laki berwajah teduh yang senyum dan tatapannya bisa
membuatku meleleh tanpa ampun. Titik.
Dan saat ini, ia mengajakku untuk ngopi di The Journey. Setelah pulang dari rumah
Yola. Menghabiskan sisa hari Sabtu bersama.
Kami mengobrol tak tentu arah. Meloncat ke sana-sini.
Kadang tak nyambung antara topik yang satu dengan topik lainnya, tapi kulihat Canopus
menikmatinya. Sementara aku? Lebih menikmati lagi! Asyik saja kok...
“Percaya love
at the first sight?” tanyanya tiba-tiba. Membuatku seketika menghentikan
kegiatanku menggigit sepotong churros.
“Hm... Percaya sih...,” aku
mengangguk-angguk.
Kenyataannya memang begitu. Kalau tidak
begitu, lantas apa dong yang saat ini sedang terjadi padaku?
“Awalnya aku enggak,” Canopus tertawa kecil.
“Kupikir menye-menye banget. Tapi
nyatanya...”
“Pernah mengalami?” senyumku.
“Ya,” ia mengangguk cepat. “Ketika aku
mengantar Yola pesan gaun pengantin.”
Aku berusaha untuk tak menatapnya. Lebih
tepatnya, aku tak berani menatapnya. Jantungku berdebar kencang. Benar-benar
tak terkendali. Lagipula, aku tak punya stok kata-kata yang bisa kukeluarkan
untuk menanggapi ucapannya.
“Dia perempuan paling menarik yang pernah
kutemui,” lanjutnya. “Dan aku sama sekali tak menemukan alasan apa, mengapa,
dan bagaimana. What do you think?”
Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa.
Semuanya terlalu mengejutkan buatku walaupun aku sudah menangkap
tanda-tandanya.
“Yola bilang kamu mau datang ke
pemberkatannya sebelum resepsi. Mau kujemput?”
Aku makin kehilangan kata. Yang jelas, seolah
ada ledakan confetti dan taburan ribuan
bunga warna-warni di sekitarku. Apalagi ketika mataku menangkap senyumnya. Suatu
hal yang tak lagi bisa kudefinisikan pengaruhnya dalam hatiku.
Yang jelas aku terguncang. Sekaligus bahagia.
Yang jelas aku terguncang. Sekaligus bahagia.
* * *
Bersambung
ke bagian terakhir : Part Eight : Blue, And The Dream Comes True
Yo wis lah... Tinggal tunggu undangan aja. Kesiangan nggak apa2 Mbak... Nggak mengurangi ciamiknya tulisan njenengan...
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak...
HapusAwan temen muncule seh part iki nyah? Heleh dadi ketemon lek aku moco juga toh wkkkkkkkk kabor ah praktek!
BalasHapusO'o kamu ketauan..... Wakwakwakwak
Hapus@Kenyut : wakakak... lapo awakmu nimbrung mrene, Nyut? Kurang pasien tah?
Hapus@Nita : gpp sih, Nit... Timbangane mampir ng endi-endi lho... *ngomporrr*
Just say yes... Just say yes, plissss..
BalasHapusNunggu jawaban vina sambil ngasah golok.
Sapa tau si mantan nenek sihir kesambet lagi.
Huahaha... nenek sihir kesambet sapu terbang.
HapusNuwus mampire yo, Jeng...
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
Hapushatiku juga tergunjang entah sampai berapa skala liqter....
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak Bekti...
HapusDeg2 pyar kuwi mesti atine Ervina .... :-)
BalasHapusHihihi... Makasih dah mampir, Mbak...
Hapus