Here I am...
Terbingkai
seluas kaca depan mobil, Biella menatap gambaran nyata yang ada di depannya
saat ini. Sebuah rumah mungil dengan dinding bercat gradasi warna peach berpadu dengan warna putih pada
setiap kusen pintu dan jendelanya. Memberi kesan sangat cerah.
Ada
senyum yang terkembang di bibirnya yang berwarna pink ketika ia keluar perlahan
dari balik setir mobil. Seorang perempuan lain menyusul turun dari mobil. Ia
menoleh dan senyumnya terkembang makin lebar.
“Mbak
Vaya...,” gumam Biella. “... ini...”
“Gimana?”
Vaya membentangkan kedua tangannya.
“Sempurna...,”
Biella mengerjapkan kedua matanya.
“Semua
furniture akan datang lengkap dalam
dua hari ke depan,” Vaya menarik tangan Biella. “Setelah itu... welcome to your new home!”
Biella
makin terseret dalam bahasa keceriaan yang dipancarkan Vaya. Kakak iparnya itu
selalu bersemangat dalam kondisi apa pun. Termasuk saat ini. Saat Vaya sedang
hamil jalan tujuh bulan dan diserahi untuk mendandani sebuah rumah mungil yang
dibeli Biella tahun lalu.
Rumah
itu sempat ‘menganggur’ selama hampir setahun. Sebabnya adalah rencana mutasi
Biella dari Jakarta ke Malang ditunda karena ada salah seorang rekan kerjanya
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Tak mudah mencari pengganti dengan
kualifikasi yang minimal sama. Jadi, Biella masih harus tetap tinggal di
Jakarta untuk menangani semua hal yang harus tetap diselesaikan.
Ketika
rencana mutasi itu didengungkan kembali tiga bulan lalu dengan angka
kemungkinan 99% jadi, Biella mau tak mau menghubungi Tino dan Vaya, abang dan
kakak iparnya, yang tinggal di Malang ini. Dimintanya Tino dan Vaya mengurus
rumah itu.
* * *
Hanya
sedikit bagian dari rumah itu yang diubah. Plus polesan di sana-sini. Karena
sesungguhnya rumah mungil itu sudah dibangun dengan sangat fungsional. Tino
yang seorang arsitek dan Vaya yang seorang interior
designer menangani semua renovasi itu dengan sangat baik.
“Jadi
kapan pastinya kamu pindah ke sini?” Vaya menoleh sekilas sambil mengeluarkan
serenceng kunci dari dalam tasnya.
“Long weekend dua minggu lagi.”
Pintu
depan terbuka. Biella seketika ternganga.
Seingatnya,
ruang depan dulu tak seluas ini. Sedetik kemudian ia menyadari. Dinding partisi
yang membatasi ruang tamu dengan ruang dalam sudah dibongkar. Menyisakan ruang
luas berbentuk huruf L.
“Sudah
kupesankan partisi dari rotan,” Vaya menepuk lembut bahu Biella. “Kalau kamu
butuh ruang yang lebih luas untuk pesta dansa dalam rangka memilih pangeran
yang tepat, misalnya...”
Biella
tergelak menatap mata Vaya yang dipenuhi binar menggoda.
“...
kamu bisa singkirkan partisi rotan itu ke gudang.”
“Oke...”
“Mas
Tino sedikit mengubah posisi kamar. Kamar utama tetap di situ,” Vaya menunjuk
ruang di sebelah ruang tamu. “Kamar yang lain tukar posisi dengan pantry. Jadi kamar kedua yang dulunya pantry, jendelanya ke arah taman
belakang. Jendela pantry baru arahnya
ke carport dengan pintu keluar
tambahan. Kamar mandi yang sudah ada langsung dihubungkan ke kamar utama, dan
ada satu kamar mandi baru di belakang. Nggak besar, tapi fungsional.”
Biella
manggut-manggut mendengar ucapan cepat Vaya. Sejenak kemudian Vaya menariknya
ke kamar utama yang bersebelahan dengan ruang tamu. Kamar itu cukup besar
dengan jendela mengarah ke halaman depan. Biella melangkah ke depan jendela.
Dari situ ia bisa melihat halaman depan masih bersih. Belum ada taman. Hanya
ada sebatang pohon mangga di sudut yang tepat berhadapan dengan jendela itu.
“Aku
akan suruh orangku untuk menebang pohon mangga itu kalau kamu mau,” Vaya
menyenggol lengan Biella.
“Jangan!
Jangan!” ucap Biella cepat. “Aku suka pohon mangga itu. Bisa jadi peneduh.
Nanti tamannya aku tata sendiri.”
“As you wish!” Vaya mengedipkan sebelah
matanya.
Kemudian
tour itu berlanjut ke seluruh penjuru
rumah itu dan diakhiri dengan kepuasan yang mengalir di seluruh pembuluh darah Biella.
* * *
“Sore,
Tante...”
Biella
terperanjat mendengar sapaan halus itu. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis
kecil berdiri di belakangnya. Sejenak kemudian ia memutuskan untuk menghentikan
sejenak kegiatannya menanam rumpun-rumpun azalea di halaman depan rumahnya.
“Hai,
manis!” senyum Biella.
Gadis
kecil itu membalas senyum Biella. Ia menurut ketika Biella mengajaknya duduk di
teras. Dan di sana, di atas salah satu kursi teras yang empuk dan nyaman, gadis
kecil itu duduk dengan manisnya.
“Tante
baru di sini?”
“Iya,”
jawab Biella, ramah. “Namamu siapa? Rumahmu di sekitar sini?”
Gadis
kecil itu mengangguk. “Tuh, rumah aku di situ,” ia menunjuk ke satu arah.
“Namaku Diandra, Tante...”
“Oh...
Diandra...,” Biella manggut-manggut. “Ih, kamu cantik banget sih?”
Diandra
tersipu malu. Pipinya yang putih mulus terlihat memerah sedikit. Tapi Biella
bersungguh-sungguh. Gadis kecil berambut kriwil itu benar-benar terlihat
seperti boneka. Matanya bulat hitam, dinaungi bulu mata lentik di bawah alisnya
yang melengkung sempurna.
“Kamu
sudah sekolah?”
“He
eh,” Diandra mengangguk mantap. “TK kelas A.”
“Di
mana?”
“TK
Ceria.”
“Oh...
Eh, sebentar Tante ambilin minum ya? Kamu suka sirup?”
Diandra
mengangguk. Biella kemudian masuk ke dalam rumah demi membuat segelas sirup blueberry untuk Diandra. Tapi ketika ia
keluar lagi ke teras depan, gadis kecil itu sudah lenyap.
* * *
Selanjutnya
gadis kecil itu datang dan pergi tanpa bisa Biella duga. Kadang-kadang sore
hari saat Biella pulang kerja. Tiba-tiba saja Diandra menyapa ketika Biella
keluar dari mobil. Lalu ia pergi begitu saja. Kadang-kadang pagi hari di akhir
minggu saat Biella berkebun. Lagi-lagi Diandra menyapa sekilas untuk kemudian
menghilang entah ke mana.
Pada
suatu senja, saat Biella membawa secangkir teh dan stoples kecil berisi kacang
bawang ke teras, didapatinya Diandra sudah duduk manis di sebuah kursi teras.
“Hai!”
sapa Biella ceria.
“Hai,
Tante.”
“Kamu
mau minum?”
Diandra
menggeleng. Ia menatap Biella dalam keremangan cahaya lampu teras.
“Tante
mau menebang pohon itu?” telunjuk mungil Diandra menunjuk pohon mangga di sudut
halaman Biella.
Biella
menatap ke arah yang ditunjuk Diandra. Pohon mangga itu tegak berdiri dengan
batangnya yang cukup besar dan daunnya yang rimbun. Selalu memberi kesan sejuk
saat siang yang panas datang mengunjungi bumi.
Pelan
Biella menggeleng.
“Walaupun
pohon itu nggak ada bunganya?”
Biella
tersentak. Baru ia menyadari sesuatu. Ketika hampir semua pohon mangga di
kompleks itu, bahkan yang ukurannya lebih kecil, mulai berbunga beberapa minggu
yang lalu, pohon di sudut itu tetap menghijau penuh daun. Tanpa satu bunga pun
muncul.
Tapi
ia kembali menggeleng. “Nggak akan Tante tebang, Di...”
Seulas
senyum terbit di wajah cantik Diandra.
“Memangnya
kenapa?”
“Aku
dari dulu suka main di situ,” Diandra tertunduk.
“Oh...”
“Aku
pulang ya?”
Tanpa
menunggu jawaban Biella, Diandra berlari pergi.
* * *
Biella
berdandan cukup rapi menjelang sore itu. Anak tetangga sebelah kiri yang
bernama Elina berulang tahun yang ke-6 dan Biella didapuk untuk menjadi MC. Tugas yang diterima Biella dengan senang
hati. Walaupun ia selama ini cukup sibuk, tapi sudah cukuplah ia membina
hubungan baik dengan para tetangga barunya.
Ketika
ia datang ke rumah sebelah, semuanya sudah siap kecuali para undangan. Karena
memang belum waktunya. Kesempatan itu ia gunakan untuk membicarakan susunan
acara sesuai yang diminta mama Elina.
“Tadinya
aku sudah bingung, Bi,” celetuk mama Elina. “Susah cari MC di sini. Adanya para
mahmud yang hobi memaksakan susunan
acaranya sendiri. Padahal siapa juga yang punya hajat?”
Biella
tergelak mendengarnya.
“Eh,
kamu masih sendirian?” mama Elina mendadak menatapnya dengan mata berbinar.
“Maksudnya?”
Biella berpura-pura bodoh.
“Mm...,”
mama Elina terlihat ragu-ragu sejenak. “Maksudku, belum punya cemewew, gitu...”
“Oh...,”
Biella tersenyum lebar. “Belum sih...”
“Glenn, adikku, tahun depan pindah ke sini lho, Bi,” nada suara mama Elina mulai ‘menjurus’.
“Diutus pegang kantor cabang sini. Tahun depan kan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi kamu bisa kenalan sama dia hari ini juga kok... Dia lagi mandi. Weekend ini sengaja datang untuk Elina.”
“Hm...,”
Biella mempertahankan senyumnya.
“Sebetulnya
tempo hari kami sudah minat mau beli rumah yang kamu tempati sekarang itu. Tapi
salah seorang tante kami melarang. Katanya aura rumah itu nggak bagus. Kamu
sendiri pernah ada gangguan gitu?”
Biella
tercenung sejenak. Mengerutkan kening.
Rasa-rasanya nggak ada...
Ia
kemudian menggeleng. “Nggak ada apa-apa tuh, Mbak Sandra.”
“Hm...,”
Sandra, mama Elina, manggut-manggut.
“Tapi
memang dijual murah sih... Lumayan miring dari harga pasaran.”
“Itu
dia... Glenn sebetulnya tertarik karena itu. Tapi... Eh, sebentar ya?”
Pembicaraan
itu tak berlanjut. Sebetulnya apa yang dipaparkan Sandra cukup menarik
perhatiannya. Tapi para tamu mulai berdatangan. Sandra harus bergabung dengan
Frans, suaminya, untuk menyambut para tamu.
* * *
Biella
menjatuhkan badan letihnya di atas sofa ruang tengah rumah mungilnya. Acara
ulang tahun Elina berjalan dengan meriah dan sangat lancar dari awal hingga
akhir. Berkali-kali Sandra dan Frans mengucapkan terima kasih pada Biella.
Sejujurnya
Biella sangat senang dilibatkan pada acara anak-anak seperti itu. Semua wajah
imut yang berlalu-lalang di depan matanya semuanya lucu dan menarik. Ingin
rasanya punya satu atau dua makhluk imut seperti itu. Tapi...
Mendadak
pipi Biella menghangat. Ia merebahkan kepalanya di atas sandaran tangan sofa.
Harus selalu ada pihak lain untuk
berkolaborasi dengannya dalam menghasilkan
makhluk-makhluk imut itu.
Glennkah?
Seketika
Biella terbatuk-batuk karenanya. Menyadari bahwa ia mulai kepincut pada sosok adik Sandra itu sejak pertama kali bertemu
tadi.
Tak
sempat ada banyak obrolan. Tapi dari sedikit yang sudah terjadi, Biella bisa
menilai bahwa Glenn adalah seorang laki-laki yang cukup serius dan sangat
sopan. Wajah aslinya bolehlah cukup hanya dinilai 75 saja. Tapi sosok gagahnya,
sikap santun, dan tatapan simpatiknya sangat mengatrol nilai itu hingga
melambung ke angka 90 buat Biella.
Dan
niat Sandra untuk menjodohkannya dengan Glenn tadi? Pipi Biella terasa
menghangat lagi.
Tatapannya
kemudian jatuh pada sekantong besar makanan ringan yang tadi dijejalkan ke
dalam tangannya oleh Sandra sebelum ia pulang. Biella nyaris tergelak sendirian
ketika diingatnya ucapan Sandra, “Jaman kita dulu masih kecil nggak ada snack lucu-lucu kayak gini. Udah,
nikmatin aja...”
Hm... Bisa kubagi sama
Diandra kalau besok-besok dia main lagi...
Mendadak
Biella tersentak dan menegakkan punggungnya. Seingatnya, tak sekelebat pun
dilihatnya sosok Diandra di pesta Elina tadi.
Atau aku terlalu sibuk
sampai nggak memperhatikan sekelilingku?
Biella
mengerutkan keningnya. Pelan-pelan ia kembali menyandarkan punggungnya. Tengah
ia berpikir soal Diandra, bel tamu berbunyi. Ketika ia mengintip dari balik
tirai jendela ruang tamu, ia tak melihat jelas siapa yang berdiri di depan
pintu pagar. Tapi sosoknya cukup tinggi dan kelihatannya seperti laki-laki.
Tanpa banyak berpikir, Biella kemudian melangkah keluar.
“Hai!”
Suara
itu menyambutnya begitu ia makin dekat. Biella tak mempercayai penglihatannya.
Tapi sosok yang berdiri di depan pintu pagar itu benar-benar Glenn.
“Sudah
tidur?” tanya Glenn saat Biella membuka gerendel pagar.
“Belumlah...,”
senyum Biella. “Masih juga belum genap jam delapan. Masuk, Mas!”
“Terima
kasih.”
Glenn
mengikuti langkah Biella. Sampai di teras ia berhenti dan menempatkan dirinya
pada salah satu kursi teras.
“Lho,
nggak masuk saja?” langkah Biella ikut terhenti.
Glenn
menggeleng. Ditatapnya Biella dengan serius. Terasa sangat teduh.
“Mm...
Sebetulnya aku mau ajak dirimu ke warung jagung bakar di depan kompleks. Mau
nggak?” seluruh ucapan Glenn terdengar dalam nada ragu-ragu dan hati-hati.
“Mau,”
Biella mengangguk tanpa berpikir lagi.
“Jalan
kaki mau?”
Biella
mengangguk lagi.
Tak
butuh waktu lama bagi keduanya untuk melangkah bersisian menuju ke warung
jagung bakar di depan kompleks. Ketika keduanya melewati pos ronda blok yang
penuh dengan bapak-bapak yang sedang ngopi sambil main gaple, deheman terdengar
bersahutan.
Glenn
tertawa sambil melambaikan tangannya. Begitu juga Biella. Tak urung pipinya
terasa hangat lagi.
* * *
Rumput
di area itu mati lagi. Biella terduduk di rerumputan sore itu. Menatapnya
dengan putus asa.
Sudah
empat kali ia berusaha untuk menutup area di sebelah pohon mangga itu dengan
rumput gajah mini agar sama dengan sekitarnya. Tapi lagi-lagi rumput di area
itu mengering dan akhirnya mati. Padahal perlakuannya sama dengan keseluruhan
area taman yang kini menghijau indah.
“Kenapa?”
Biella
tersentak kaget. Ia menoleh dan terpaksa mendongak. Glenn tampak menjulang di
belakangnya. Ia buru-buru berdiri.
"Eh, Mas Glenn..."
"Eh, Mas Glenn..."
“Aku
mau pamitan,” ucap Glenn pelan. “Besok pagi aku harus masuk kerja. Jadi aku
harus pamitan padamu sekarang.”
“Memangnya
masih ada pesawat jam segini?” Biella menyambut uluran tangan Glenn,
menjabatnya erat.
“Aku
lewat Surabaya. Pesawat ke Jakarta kan ada beberapa flight sampai malam. Atau kamu mau ikut ke Juanda?”
Biella
menangkap sinar kesungguhan dalam mata Glenn. Tanpa sadar ia mengangguk.
* * *
Ada
sinar kesedihan dalam mata Biella. Tampaknya perasaan itu muncul karena harus
berpisah dengan Glenn. Sandra memahami itu. Niatnya untuk mendapatkan jodoh
buat Glenn naga-naganya akan kesampaian juga dalam waktu dekat ini.
Semalam
Glenn bercerita banyak padanya dan Frans. Tentang rasa nyaman yang diperoleh
Glenn ketika berada dekat dengan Biella. Tentang rasa klik yang diperoleh Glenn ketika mengobrol dengan Biella, seolah
mereka adalah kawan lama walaupun baru sekali bertemu. Juga tentang debar-debar
jantung yang hampir tak bisa dikendalikan ketika Glenn berada begitu dekatnya
dengan Biella.
Dan
Biella tampaknya mengalami gejala yang sama. Maka Sandra berusaha mencairkan
kesedihan itu dengan menyeletuk macam-macam dalam perjalanan mengantarkan Glenn
ke Juanda. Hingga akhirnya...
“Rumahmu
hebat deh, yang dandanin, Bi. Jadi kelihatan semarak dan nggak serem lagi.”
“Oh...
Itu kakak iparku desainernya, Mbak,” jawab Biella.
“Whoaaa...
Jadi Mbak Vaya itu kakak iparmu?”
“Mbak
Sandra kenal?”
“Pernah
sekadar nyapa doang sih... Waktu dia lagi di sana dan aku pas mau jemput Elina
di sekolah.”
“Hm...
Eh, Mbak, ngomong-ngomong Diandra itu anaknya siapa sih? Rumahnya yang mana?
Aku belum hapal.”
Seketika
kabin mobil itu jadi hening.
* * *
Biella
tak lagi bisa menahan airmatanya yang terus-menerus runtuh. Glenn memegang
kedua bahu Biella erat-erat. Toni berdiri terdiam di sebelah Biella.
Sedang
ada kesibukan di halaman rumah mungilnya. Petugas forensik dari kepolisian
tengah sibuk memeriksa sebuah kantong plastik hitam yang nyaris tak berbentuk
lagi. Kantong itu berhasil diangkat dari dalam tanah yang digali pada bagian
gundul di sebelah pohon mangga.
Ada
serpihan sisa tulang-belulang dalam kantong plastik yang sudah koyak di
sana-sini. Dari tengkorak yang juga ditemukan dalam kantong itu, jelas terlihat
bahwa pemiliknya adalah seorang anak kecil. Tengkorak yang tak lagi utuh karena
terlihat ada bagian hancur di bagian belakangnya. Dengan sisa-sisa rambut hitam
yang berbentuk ikal.
Beberapa
tahun yang lalu, Diandra kecil memang ada. Suka sekali bermain-main di bawah
pohon mangga kecil di sudut halaman itu. Halaman rumahnya.
Pada
suatu ketika ia dikabarkan hilang. Saat itu sedang santer-santernya peristiwa
penculikan anak di berbagai daerah. Diandra pun dianggap diculik. Sesuai dengan
laporan orangtuanya kepada pihak kepolisian dan hasil olah perkara.
Siapa
sangka pembunuhnya adalah ibunya sendiri? Perempuan terduga sakit jiwa itu
sudah tega meremukkan kepala putri mungilnya dengan sebuah cobek batu karena
putrinya itu enggan tidur siang.
Ayahnya
pun tak kalah gila. Berusaha menutupi perbuatan istrinya dengan mengubur
diam-diam jasad putrinya di samping pohon mangga. Lalu mereka menunggu sesaat
untuk pindah dari rumah itu dengan alasan trauma.
Rumah
itu sempat berpindah tangan beberapa kali. Hingga terakhir jatuh ke tangan
Biella. Para penghuni sebelumnya rata-rata merasakan ada gangguan. Apalagi ketika bermaksud menebang pohon mangga yang tak
kunjung berbunga itu. Masih berupa maksud, tapi gangguan makin menjadi dengan
berbagai cara tak kasat mata. Sehingga akhirnya setiap penghuninya memilih
untuk angkat kaki saja dari rumah itu.
Kecuali
Biella.
Mungkin
Diandra tahu hati putih Biella. Apalagi Biella tak pernah punya maksud untuk
menebang pohon itu. Rumput yang tak pernah bisa tumbuh di area sebelah pohon
mangga akhirnya disadari sebagai sebuah pertanda.
Frans
sempat menghentikan mobilnya ketika pembicaraan mereka sampai pada sosok Diandra, saat mereka mengantar Glenn
ke Juanda. Setelah berunding sejenak, Glenn pun
serta-merta membatalkan kepulangannya ke Jakarta. Frans langsung memutar balik
mobilnya.
Dan
akhirnya...
Tangis
Biella pecah dalam pelukan Glenn.
Masih
akan ada uji DNA setelah keluarga Diandra nanti diketemukan. Kabarnya, polisi
sudah memperoleh jejaknya. Tapi menurut kronologi yang telah terjadi, agaknya
memang betul bahwa tulang belulang yang tak lagi utuh seperti kantong plastik
pembungkusnya itu adalah sisa jasad Diandra.
“Aku
pernah melihatnya,” bisik Toni, berat. “Dia pernah muncul dan menyapaku. Dia...
cantik sekali...”
Biella
tersedu lagi dalam pelukan Glenn.
* * *
“Sudah
mau musim mangga lagi,” gumam Glenn sambil melongok sekilas melalui jendela mobil.
Biella
mengangguk. Beberapa pohon mangga milik para tetangga mereka sudah mulai
berbunga. Hening melanda keduanya. Glenn terus meluncurkan mobilnya pelan-pelan
menyusuri jalan ke arah rumah mereka. Rumah Biella, pada awalnya. Yang kemudian
disambung dengan rumah kosong di sebelah kanan rumah Biella yang akhirnya
dibeli Glenn.
Pohon
mangga itu kini berdiri nyaris di tengah halaman depan rumah mereka. Tetap
kukuh dan tegak walau dilanda angin, hujan, dan terpapar sinar matahari.
“Mas...,”
mendadak Biella mencengkeram lengan kiri Glenn.
“Ada
apa?” Glenn tersentak kaget sampai menginjak pedal rem mobilnya.
“Itu...
Lihat!”
Jari
telunjuk Biella mengarah ke sesuatu. Glenn mengikuti arah yang ditunjuk Biella.
Seketika ia ternganga.
Bunga-bunga
muncul di pohon mangga mereka. Terlihat beberapa kelompok berwarna kuning gading di
antara warna hijau rimbunnya daun.
Tampaknya
Diandra menepati janjinya. Janji yang diucapkan ketika ia berpamitan pada
Biella di ujung terbongkarnya kasus pembunuhan atas diri gadis kecil itu.
“Nanti
juga pohon mangga Tante keluar bunganya. Rumputnya juga bisa tumbuh. Kalau
mangga itu keluar bunganya, berarti aku sudah di Surga, Tante... Pasti!”
Airmata
Biella merebak kini.
“Dia
sudah di Surga...,” bisiknya.
Glenn
menghentikan mobil di carport. Tangannya
kemudian menggenggam tangan Biella, sesaat sebelum mereka keluar dari mobil. Sebelum
mereka masuk ke dalam rumah, sekali lagi tatapan mereka jatuh pada kelompok-kelompok
bunga mangga.
Terlihat
sangat indah. Karena penunggunya sudah sampai di Surga...
* * * * *
SELAMAT TAHUN BARU 2016 BUAT
SEMUA PENGUNJUNG BLOG FIKSILIZZ...
Selamat tahun baru juga mbak....
BalasHapusSama-sama... Makasih mampirnya ya...
Hapussayang musim mangga udah lewat, sekarang adanya bunga rambutan ma duku..
BalasHapusSelamat tahun baru juga mba, semoga tahun ini lebih indah dari tahun sebelumnya :)
Amin... Sama-sama, Mbak Lesta... Makasih singgahnya...
HapusMet tahun baru Mbak... Blognya makin cantik kayak yang punya...
BalasHapusSama-sama... Makasih mampirnya ya, Mbak...
Hapusmet Tahun Baru juga Mbak Lis.....waah bikin merinding mbak....
BalasHapusSama-sama, Mbak Bekti... Makasih dah mampir...
HapusWeeh masiya wis ngerti yen crita horor kok ijih tetep mengkirig iki njur piye dik? Macane wayah wengi pisan. Apik kok! Banget nget! :-)
BalasHapusAaaaaaaaa aq dijebak kambek bu Tiwi !
HapusKatane cerpen terbaru ndik sini apik.
Suer ncene apik soro sih !
Cumak aq ga dikasih tau lek ada horore.
Mrinding kabeh iki dadian !
Bengi" kayak gini sisan adoooowwh ......
Awas bu Tiwi yaaaa !
@Mbak Tiwi : Mbak, mugi enggal dangan nggih... Matur nuwun rawuhipun...
Hapus@Nita : hihihi... Kapokmu kapan, Ndhuk... Suwun mampire yo...
Jauh lbh bagus ditulis tunggal begini drpd kolab jeng.. Racikan "koki" yg sdh ahli memang ndak bs bohong :)
BalasHapusGreat job, as always
Hehehe... Mocok ceeeh? Matur nuwun mampire yo...
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusCemewew... qiiiqiqi
BalasHapusMrinding dangdut mbak...
Hihihi... Suwun mampire yo, Mbak...
HapusCememew itu apaan mbak?? Sorry oot krn gak ngerti. Cerita horror tp gak horror ini mbak ☺☺☺
BalasHapusCemewew = pacar 😂😂😂
HapusYah, aku emang nggak bisa bikin cerita yang horor murni, Mas 😳
Makasih singgahnya ya...
Penutup tahun yg cantik
BalasHapusMakasih singgahnya, Mbak Muti... 😘
HapusUhuk, uhuk. Selalu keren :)
BalasHapusIni kali pertama membacanya. Joz gandoz, Mbak Lis. Mau, lho, kalau diposting ulang cerpen-cerpen yang zaman dulu.
BalasHapus