Kamis, 31 Desember 2015

[Cerpen] Bunga-Bunga Mangga







Here I am...

Terbingkai seluas kaca depan mobil, Biella menatap gambaran nyata yang ada di depannya saat ini. Sebuah rumah mungil dengan dinding bercat gradasi warna peach berpadu dengan warna putih pada setiap kusen pintu dan jendelanya. Memberi kesan sangat cerah.

Ada senyum yang terkembang di bibirnya yang berwarna pink ketika ia keluar perlahan dari balik setir mobil. Seorang perempuan lain menyusul turun dari mobil. Ia menoleh dan senyumnya terkembang makin lebar.

“Mbak Vaya...,” gumam Biella. “... ini...”

“Gimana?” Vaya membentangkan kedua tangannya.

“Sempurna...,” Biella mengerjapkan kedua matanya.

“Semua furniture akan datang lengkap dalam dua hari ke depan,” Vaya menarik tangan Biella. “Setelah itu... welcome to your new home!

Biella makin terseret dalam bahasa keceriaan yang dipancarkan Vaya. Kakak iparnya itu selalu bersemangat dalam kondisi apa pun. Termasuk saat ini. Saat Vaya sedang hamil jalan tujuh bulan dan diserahi untuk mendandani sebuah rumah mungil yang dibeli Biella tahun lalu.

Rumah itu sempat ‘menganggur’ selama hampir setahun. Sebabnya adalah rencana mutasi Biella dari Jakarta ke Malang ditunda karena ada salah seorang rekan kerjanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Tak mudah mencari pengganti dengan kualifikasi yang minimal sama. Jadi, Biella masih harus tetap tinggal di Jakarta untuk menangani semua hal yang harus tetap diselesaikan.

Ketika rencana mutasi itu didengungkan kembali tiga bulan lalu dengan angka kemungkinan 99% jadi, Biella mau tak mau menghubungi Tino dan Vaya, abang dan kakak iparnya, yang tinggal di Malang ini. Dimintanya Tino dan Vaya mengurus rumah itu.

* * *

Hanya sedikit bagian dari rumah itu yang diubah. Plus polesan di sana-sini. Karena sesungguhnya rumah mungil itu sudah dibangun dengan sangat fungsional. Tino yang seorang arsitek dan Vaya yang seorang interior designer menangani semua renovasi itu dengan sangat baik.

“Jadi kapan pastinya kamu pindah ke sini?” Vaya menoleh sekilas sambil mengeluarkan serenceng kunci dari dalam tasnya.

Long weekend dua minggu lagi.”

Pintu depan terbuka. Biella seketika ternganga.

Seingatnya, ruang depan dulu tak seluas ini. Sedetik kemudian ia menyadari. Dinding partisi yang membatasi ruang tamu dengan ruang dalam sudah dibongkar. Menyisakan ruang luas berbentuk huruf L.

“Sudah kupesankan partisi dari rotan,” Vaya menepuk lembut bahu Biella. “Kalau kamu butuh ruang yang lebih luas untuk pesta dansa dalam rangka memilih pangeran yang tepat, misalnya...”

Biella tergelak menatap mata Vaya yang dipenuhi binar menggoda.

“... kamu bisa singkirkan partisi rotan itu ke gudang.”

“Oke...”

“Mas Tino sedikit mengubah posisi kamar. Kamar utama tetap di situ,” Vaya menunjuk ruang di sebelah ruang tamu. “Kamar yang lain tukar posisi dengan pantry. Jadi kamar kedua yang dulunya pantry, jendelanya ke arah taman belakang. Jendela pantry baru arahnya ke carport dengan pintu keluar tambahan. Kamar mandi yang sudah ada langsung dihubungkan ke kamar utama, dan ada satu kamar mandi baru di belakang. Nggak besar, tapi fungsional.”

Biella manggut-manggut mendengar ucapan cepat Vaya. Sejenak kemudian Vaya menariknya ke kamar utama yang bersebelahan dengan ruang tamu. Kamar itu cukup besar dengan jendela mengarah ke halaman depan. Biella melangkah ke depan jendela. Dari situ ia bisa melihat halaman depan masih bersih. Belum ada taman. Hanya ada sebatang pohon mangga di sudut yang tepat berhadapan dengan jendela itu.

“Aku akan suruh orangku untuk menebang pohon mangga itu kalau kamu mau,” Vaya menyenggol lengan Biella.

“Jangan! Jangan!” ucap Biella cepat. “Aku suka pohon mangga itu. Bisa jadi peneduh. Nanti tamannya aku tata sendiri.”

As you wish!” Vaya mengedipkan sebelah matanya.

Kemudian tour itu berlanjut ke seluruh penjuru rumah itu dan diakhiri dengan kepuasan yang mengalir di seluruh pembuluh darah Biella.

* * *

“Sore, Tante...”

Biella terperanjat mendengar sapaan halus itu. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis kecil berdiri di belakangnya. Sejenak kemudian ia memutuskan untuk menghentikan sejenak kegiatannya menanam rumpun-rumpun azalea di halaman depan rumahnya.

“Hai, manis!” senyum Biella.

Gadis kecil itu membalas senyum Biella. Ia menurut ketika Biella mengajaknya duduk di teras. Dan di sana, di atas salah satu kursi teras yang empuk dan nyaman, gadis kecil itu duduk dengan manisnya.

“Tante baru di sini?”

“Iya,” jawab Biella, ramah. “Namamu siapa? Rumahmu di sekitar sini?”

Gadis kecil itu mengangguk. “Tuh, rumah aku di situ,” ia menunjuk ke satu arah. “Namaku Diandra, Tante...”

“Oh... Diandra...,” Biella manggut-manggut. “Ih, kamu cantik banget sih?”

Diandra tersipu malu. Pipinya yang putih mulus terlihat memerah sedikit. Tapi Biella bersungguh-sungguh. Gadis kecil berambut kriwil itu benar-benar terlihat seperti boneka. Matanya bulat hitam, dinaungi bulu mata lentik di bawah alisnya yang melengkung sempurna.

“Kamu sudah sekolah?”

“He eh,” Diandra mengangguk mantap. “TK kelas A.”

“Di mana?”

“TK Ceria.”

“Oh... Eh, sebentar Tante ambilin minum ya? Kamu suka sirup?”

Diandra mengangguk. Biella kemudian masuk ke dalam rumah demi membuat segelas sirup blueberry untuk Diandra. Tapi ketika ia keluar lagi ke teras depan, gadis kecil itu sudah lenyap.

* * *

Selanjutnya gadis kecil itu datang dan pergi tanpa bisa Biella duga. Kadang-kadang sore hari saat Biella pulang kerja. Tiba-tiba saja Diandra menyapa ketika Biella keluar dari mobil. Lalu ia pergi begitu saja. Kadang-kadang pagi hari di akhir minggu saat Biella berkebun. Lagi-lagi Diandra menyapa sekilas untuk kemudian menghilang entah ke mana.

Pada suatu senja, saat Biella membawa secangkir teh dan stoples kecil berisi kacang bawang ke teras, didapatinya Diandra sudah duduk manis di sebuah kursi teras.

“Hai!” sapa Biella ceria.

“Hai, Tante.”

“Kamu mau minum?”

Diandra menggeleng. Ia menatap Biella dalam keremangan cahaya lampu teras.

“Tante mau menebang pohon itu?” telunjuk mungil Diandra menunjuk pohon mangga di sudut halaman Biella.

Biella menatap ke arah yang ditunjuk Diandra. Pohon mangga itu tegak berdiri dengan batangnya yang cukup besar dan daunnya yang rimbun. Selalu memberi kesan sejuk saat siang yang panas datang mengunjungi bumi.

Pelan Biella menggeleng.

“Walaupun pohon itu nggak ada bunganya?”

Biella tersentak. Baru ia menyadari sesuatu. Ketika hampir semua pohon mangga di kompleks itu, bahkan yang ukurannya lebih kecil, mulai berbunga beberapa minggu yang lalu, pohon di sudut itu tetap menghijau penuh daun. Tanpa satu bunga pun muncul.

Tapi ia kembali menggeleng. “Nggak akan Tante tebang, Di...”

Seulas senyum terbit di wajah cantik Diandra.

“Memangnya kenapa?”

“Aku dari dulu suka main di situ,” Diandra tertunduk.

“Oh...”

“Aku pulang ya?”

Tanpa menunggu jawaban Biella, Diandra berlari pergi.

* * *

Biella berdandan cukup rapi menjelang sore itu. Anak tetangga sebelah kiri yang bernama Elina berulang tahun yang ke-6 dan Biella didapuk untuk menjadi MC. Tugas yang diterima Biella dengan senang hati. Walaupun ia selama ini cukup sibuk, tapi sudah cukuplah ia membina hubungan baik dengan para tetangga barunya.

Ketika ia datang ke rumah sebelah, semuanya sudah siap kecuali para undangan. Karena memang belum waktunya. Kesempatan itu ia gunakan untuk membicarakan susunan acara sesuai yang diminta mama Elina.

“Tadinya aku sudah bingung, Bi,” celetuk mama Elina. “Susah cari MC di sini. Adanya para mahmud yang hobi memaksakan susunan acaranya sendiri. Padahal siapa juga yang punya hajat?”

Biella tergelak mendengarnya.

“Eh, kamu masih sendirian?” mama Elina mendadak menatapnya dengan mata berbinar.

“Maksudnya?” Biella berpura-pura bodoh.

“Mm...,” mama Elina terlihat ragu-ragu sejenak. “Maksudku, belum punya cemewew, gitu...”

“Oh...,” Biella tersenyum lebar. “Belum sih...”

“Glenn, adikku, tahun depan pindah ke sini lho, Bi,” nada suara mama Elina mulai ‘menjurus’. “Diutus pegang kantor cabang sini. Tahun depan kan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi kamu bisa kenalan sama dia hari ini juga kok... Dia lagi mandi. Weekend ini sengaja datang untuk Elina.”

“Hm...,” Biella mempertahankan senyumnya.

“Sebetulnya tempo hari kami sudah minat mau beli rumah yang kamu tempati sekarang itu. Tapi salah seorang tante kami melarang. Katanya aura rumah itu nggak bagus. Kamu sendiri pernah ada gangguan gitu?”

Biella tercenung sejenak. Mengerutkan kening.

Rasa-rasanya nggak ada...

Ia kemudian menggeleng. “Nggak ada apa-apa tuh, Mbak Sandra.”

“Hm...,” Sandra, mama Elina, manggut-manggut.

“Tapi memang dijual murah sih... Lumayan miring dari harga pasaran.”

“Itu dia... Glenn sebetulnya tertarik karena itu. Tapi... Eh, sebentar ya?”

Pembicaraan itu tak berlanjut. Sebetulnya apa yang dipaparkan Sandra cukup menarik perhatiannya. Tapi para tamu mulai berdatangan. Sandra harus bergabung dengan Frans, suaminya, untuk menyambut para tamu.

* * *

Biella menjatuhkan badan letihnya di atas sofa ruang tengah rumah mungilnya. Acara ulang tahun Elina berjalan dengan meriah dan sangat lancar dari awal hingga akhir. Berkali-kali Sandra dan Frans mengucapkan terima kasih pada Biella.

Sejujurnya Biella sangat senang dilibatkan pada acara anak-anak seperti itu. Semua wajah imut yang berlalu-lalang di depan matanya semuanya lucu dan menarik. Ingin rasanya punya satu atau dua makhluk imut seperti itu. Tapi...

Mendadak pipi Biella menghangat. Ia merebahkan kepalanya di atas sandaran tangan sofa. Harus selalu ada pihak lain untuk berkolaborasi dengannya dalam menghasilkan makhluk-makhluk imut itu.

Glennkah?

Seketika Biella terbatuk-batuk karenanya. Menyadari bahwa ia mulai kepincut pada sosok adik Sandra itu sejak pertama kali bertemu tadi.

Tak sempat ada banyak obrolan. Tapi dari sedikit yang sudah terjadi, Biella bisa menilai bahwa Glenn adalah seorang laki-laki yang cukup serius dan sangat sopan. Wajah aslinya bolehlah cukup hanya dinilai 75 saja. Tapi sosok gagahnya, sikap santun, dan tatapan simpatiknya sangat mengatrol nilai itu hingga melambung ke angka 90 buat Biella.

Dan niat Sandra untuk menjodohkannya dengan Glenn tadi? Pipi Biella terasa menghangat lagi.

Tatapannya kemudian jatuh pada sekantong besar makanan ringan yang tadi dijejalkan ke dalam tangannya oleh Sandra sebelum ia pulang. Biella nyaris tergelak sendirian ketika diingatnya ucapan Sandra, “Jaman kita dulu masih kecil nggak ada snack lucu-lucu kayak gini. Udah, nikmatin aja...”

Hm... Bisa kubagi sama Diandra kalau besok-besok dia main lagi...

Mendadak Biella tersentak dan menegakkan punggungnya. Seingatnya, tak sekelebat pun dilihatnya sosok Diandra di pesta Elina tadi.

Atau aku terlalu sibuk sampai nggak memperhatikan sekelilingku?

Biella mengerutkan keningnya. Pelan-pelan ia kembali menyandarkan punggungnya. Tengah ia berpikir soal Diandra, bel tamu berbunyi. Ketika ia mengintip dari balik tirai jendela ruang tamu, ia tak melihat jelas siapa yang berdiri di depan pintu pagar. Tapi sosoknya cukup tinggi dan kelihatannya seperti laki-laki. Tanpa banyak berpikir, Biella kemudian melangkah keluar.

“Hai!”

Suara itu menyambutnya begitu ia makin dekat. Biella tak mempercayai penglihatannya. Tapi sosok yang berdiri di depan pintu pagar itu benar-benar Glenn.

“Sudah tidur?” tanya Glenn saat Biella membuka gerendel pagar.

“Belumlah...,” senyum Biella. “Masih juga belum genap jam delapan. Masuk, Mas!”

“Terima kasih.”

Glenn mengikuti langkah Biella. Sampai di teras ia berhenti dan menempatkan dirinya pada salah satu kursi teras.

“Lho, nggak masuk saja?” langkah Biella ikut terhenti.

Glenn menggeleng. Ditatapnya Biella dengan serius. Terasa sangat teduh.

“Mm... Sebetulnya aku mau ajak dirimu ke warung jagung bakar di depan kompleks. Mau nggak?” seluruh ucapan Glenn terdengar dalam nada ragu-ragu dan hati-hati.

“Mau,” Biella mengangguk tanpa berpikir lagi.

“Jalan kaki mau?”

Biella mengangguk lagi.

Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk melangkah bersisian menuju ke warung jagung bakar di depan kompleks. Ketika keduanya melewati pos ronda blok yang penuh dengan bapak-bapak yang sedang ngopi sambil main gaple, deheman terdengar bersahutan.

Glenn tertawa sambil melambaikan tangannya. Begitu juga Biella. Tak urung pipinya terasa hangat lagi.

* * *

Rumput di area itu mati lagi. Biella terduduk di rerumputan sore itu. Menatapnya dengan putus asa.

Sudah empat kali ia berusaha untuk menutup area di sebelah pohon mangga itu dengan rumput gajah mini agar sama dengan sekitarnya. Tapi lagi-lagi rumput di area itu mengering dan akhirnya mati. Padahal perlakuannya sama dengan keseluruhan area taman yang kini menghijau indah.

“Kenapa?”

Biella tersentak kaget. Ia menoleh dan terpaksa mendongak. Glenn tampak menjulang di belakangnya. Ia buru-buru berdiri.

"Eh, Mas Glenn..."

“Aku mau pamitan,” ucap Glenn pelan. “Besok pagi aku harus masuk kerja. Jadi aku harus pamitan padamu sekarang.”

“Memangnya masih ada pesawat jam segini?” Biella menyambut uluran tangan Glenn, menjabatnya erat.

“Aku lewat Surabaya. Pesawat ke Jakarta kan ada beberapa flight sampai malam. Atau kamu mau ikut ke Juanda?”

Biella menangkap sinar kesungguhan dalam mata Glenn. Tanpa sadar ia mengangguk.

* * *

Ada sinar kesedihan dalam mata Biella. Tampaknya perasaan itu muncul karena harus berpisah dengan Glenn. Sandra memahami itu. Niatnya untuk mendapatkan jodoh buat Glenn naga-naganya akan kesampaian juga dalam waktu dekat ini.

Semalam Glenn bercerita banyak padanya dan Frans. Tentang rasa nyaman yang diperoleh Glenn ketika berada dekat dengan Biella. Tentang rasa klik yang diperoleh Glenn ketika mengobrol dengan Biella, seolah mereka adalah kawan lama walaupun baru sekali bertemu. Juga tentang debar-debar jantung yang hampir tak bisa dikendalikan ketika Glenn berada begitu dekatnya dengan Biella.

Dan Biella tampaknya mengalami gejala yang sama. Maka Sandra berusaha mencairkan kesedihan itu dengan menyeletuk macam-macam dalam perjalanan mengantarkan Glenn ke Juanda. Hingga akhirnya...

“Rumahmu hebat deh, yang dandanin, Bi. Jadi kelihatan semarak dan nggak serem lagi.”

“Oh... Itu kakak iparku desainernya, Mbak,” jawab Biella.

“Whoaaa... Jadi Mbak Vaya itu kakak iparmu?”

“Mbak Sandra kenal?”

“Pernah sekadar nyapa doang sih... Waktu dia lagi di sana dan aku pas mau jemput Elina di sekolah.”

“Hm... Eh, Mbak, ngomong-ngomong Diandra itu anaknya siapa sih? Rumahnya yang mana? Aku belum hapal.”

Seketika kabin mobil itu jadi hening.

* * *

Biella tak lagi bisa menahan airmatanya yang terus-menerus runtuh. Glenn memegang kedua bahu Biella erat-erat. Toni berdiri terdiam di sebelah Biella.

Sedang ada kesibukan di halaman rumah mungilnya. Petugas forensik dari kepolisian tengah sibuk memeriksa sebuah kantong plastik hitam yang nyaris tak berbentuk lagi. Kantong itu berhasil diangkat dari dalam tanah yang digali pada bagian gundul di sebelah pohon mangga.

Ada serpihan sisa tulang-belulang dalam kantong plastik yang sudah koyak di sana-sini. Dari tengkorak yang juga ditemukan dalam kantong itu, jelas terlihat bahwa pemiliknya adalah seorang anak kecil. Tengkorak yang tak lagi utuh karena terlihat ada bagian hancur di bagian belakangnya. Dengan sisa-sisa rambut hitam yang berbentuk ikal.

Beberapa tahun yang lalu, Diandra kecil memang ada. Suka sekali bermain-main di bawah pohon mangga kecil di sudut halaman itu. Halaman rumahnya.

Pada suatu ketika ia dikabarkan hilang. Saat itu sedang santer-santernya peristiwa penculikan anak di berbagai daerah. Diandra pun dianggap diculik. Sesuai dengan laporan orangtuanya kepada pihak kepolisian dan hasil olah perkara.

Siapa sangka pembunuhnya adalah ibunya sendiri? Perempuan terduga sakit jiwa itu sudah tega meremukkan kepala putri mungilnya dengan sebuah cobek batu karena putrinya itu enggan tidur siang.

Ayahnya pun tak kalah gila. Berusaha menutupi perbuatan istrinya dengan mengubur diam-diam jasad putrinya di samping pohon mangga. Lalu mereka menunggu sesaat untuk pindah dari rumah itu dengan alasan trauma.

Rumah itu sempat berpindah tangan beberapa kali. Hingga terakhir jatuh ke tangan Biella. Para penghuni sebelumnya rata-rata merasakan ada gangguan. Apalagi ketika bermaksud menebang pohon mangga yang tak kunjung berbunga itu. Masih berupa maksud, tapi gangguan makin menjadi dengan berbagai cara tak kasat mata. Sehingga akhirnya setiap penghuninya memilih untuk angkat kaki saja dari rumah itu.

Kecuali Biella.

Mungkin Diandra tahu hati putih Biella. Apalagi Biella tak pernah punya maksud untuk menebang pohon itu. Rumput yang tak pernah bisa tumbuh di area sebelah pohon mangga akhirnya disadari sebagai sebuah pertanda.

Frans sempat menghentikan mobilnya ketika pembicaraan mereka sampai pada sosok Diandra, saat mereka mengantar Glenn ke Juanda. Setelah berunding sejenak, Glenn pun serta-merta membatalkan kepulangannya ke Jakarta. Frans langsung memutar balik mobilnya.

Dan akhirnya...

Tangis Biella pecah dalam pelukan Glenn.

Masih akan ada uji DNA setelah keluarga Diandra nanti diketemukan. Kabarnya, polisi sudah memperoleh jejaknya. Tapi menurut kronologi yang telah terjadi, agaknya memang betul bahwa tulang belulang yang tak lagi utuh seperti kantong plastik pembungkusnya itu adalah sisa jasad Diandra.

“Aku pernah melihatnya,” bisik Toni, berat. “Dia pernah muncul dan menyapaku. Dia... cantik sekali...”

Biella tersedu lagi dalam pelukan Glenn.

* * *

“Sudah mau musim mangga lagi,” gumam Glenn sambil melongok sekilas melalui jendela mobil.

Biella mengangguk. Beberapa pohon mangga milik para tetangga mereka sudah mulai berbunga. Hening melanda keduanya. Glenn terus meluncurkan mobilnya pelan-pelan menyusuri jalan ke arah rumah mereka. Rumah Biella, pada awalnya. Yang kemudian disambung dengan rumah kosong di sebelah kanan rumah Biella yang akhirnya dibeli Glenn.

Pohon mangga itu kini berdiri nyaris di tengah halaman depan rumah mereka. Tetap kukuh dan tegak walau dilanda angin, hujan, dan terpapar sinar matahari.

“Mas...,” mendadak Biella mencengkeram lengan kiri Glenn.

“Ada apa?” Glenn tersentak kaget sampai menginjak pedal rem mobilnya.

“Itu... Lihat!”

Jari telunjuk Biella mengarah ke sesuatu. Glenn mengikuti arah yang ditunjuk Biella. Seketika ia ternganga.

Bunga-bunga muncul di pohon mangga mereka. Terlihat beberapa kelompok berwarna kuning gading di antara warna hijau rimbunnya daun.

Tampaknya Diandra menepati janjinya. Janji yang diucapkan ketika ia berpamitan pada Biella di ujung terbongkarnya kasus pembunuhan atas diri gadis kecil itu.

“Nanti juga pohon mangga Tante keluar bunganya. Rumputnya juga bisa tumbuh. Kalau mangga itu keluar bunganya, berarti aku sudah di Surga, Tante... Pasti!”

Airmata Biella merebak kini.

“Dia sudah di Surga...,” bisiknya.

Glenn menghentikan mobil di carport. Tangannya kemudian menggenggam tangan Biella, sesaat sebelum mereka keluar dari mobil. Sebelum mereka masuk ke dalam rumah, sekali lagi tatapan mereka jatuh pada kelompok-kelompok bunga mangga.

Terlihat sangat indah. Karena penunggunya sudah sampai di Surga...

* * * * *


SELAMAT TAHUN BARU 2016 BUAT SEMUA PENGUNJUNG BLOG FIKSILIZZ...

23 komentar:

  1. Selamat tahun baru juga mbak....

    BalasHapus
  2. sayang musim mangga udah lewat, sekarang adanya bunga rambutan ma duku..
    Selamat tahun baru juga mba, semoga tahun ini lebih indah dari tahun sebelumnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin... Sama-sama, Mbak Lesta... Makasih singgahnya...

      Hapus
  3. Met tahun baru Mbak... Blognya makin cantik kayak yang punya...

    BalasHapus
  4. met Tahun Baru juga Mbak Lis.....waah bikin merinding mbak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Mbak Bekti... Makasih dah mampir...

      Hapus
  5. Weeh masiya wis ngerti yen crita horor kok ijih tetep mengkirig iki njur piye dik? Macane wayah wengi pisan. Apik kok! Banget nget! :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaaaaaa aq dijebak kambek bu Tiwi !
      Katane cerpen terbaru ndik sini apik.
      Suer ncene apik soro sih !
      Cumak aq ga dikasih tau lek ada horore.
      Mrinding kabeh iki dadian !
      Bengi" kayak gini sisan adoooowwh ......
      Awas bu Tiwi yaaaa !

      Hapus
    2. @Mbak Tiwi : Mbak, mugi enggal dangan nggih... Matur nuwun rawuhipun...

      @Nita : hihihi... Kapokmu kapan, Ndhuk... Suwun mampire yo...

      Hapus
  6. Jauh lbh bagus ditulis tunggal begini drpd kolab jeng.. Racikan "koki" yg sdh ahli memang ndak bs bohong :)
    Great job, as always

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Mocok ceeeh? Matur nuwun mampire yo...

      Hapus
  7. Cemewew... qiiiqiqi
    Mrinding dangdut mbak...

    BalasHapus
  8. Cememew itu apaan mbak?? Sorry oot krn gak ngerti. Cerita horror tp gak horror ini mbak ☺☺☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cemewew = pacar 😂😂😂
      Yah, aku emang nggak bisa bikin cerita yang horor murni, Mas 😳
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  9. Ini kali pertama membacanya. Joz gandoz, Mbak Lis. Mau, lho, kalau diposting ulang cerpen-cerpen yang zaman dulu.

    BalasHapus