Kisah sebelumnya : CUBICLE #9
* * *
Sepuluh
Hari
itu akhirnya tiba juga. Jumat sore. Saat digelarnya malam penghargaan Wara-Wiri Pariwara Award 2015. Malam
yang sudah ditunggu-tunggu insan periklanan Indonesia. Lebih terasa lagi
gaungnya karena akan disiarkan secara langsung oleh hampir semua TV swasta.
Sejak
sebelum jam 3 menjelang sore, setelah mandi di kantor, aku sudah dipermak
habis-habisan oleh Boss Lenny, Nina, dan Yussi di kantor Boss Lenny. Mulai dari
rambut sampai kuku kaki. Aku sampai terkantuk-kantuk walaupun mereka segitu
ributnya. Sampai akhirnya Boss Lenny menarik dagunya ke belakang sedikit,
mengamati wajahku, dan…
“Sip!”
dia mengacungkan jempol sambil menarikku ke cermin.
Aku
yang sudah membayangkan wajahku ber-make
up tebal seperti topeng ala Sahrenong, penyanyi dangdut itu, jadi
terbengong sejenak. Boss Lenny meriasku secara natural. Tidak tebal, tapi tetap
kelihatan kalau wajahku tidak polos. Rambut buntut kudaku berubah jadi keriting
kriwil yang menggemaskan, dengan poni yang tertata rapi.
Aku
tertawa senang melihat wajahku jadi ‘indah’ begini. Hahay! Hidupku jadi terasa seperti
Cinderella. Nina keluar sebentar dan masuk lagi sambil menenteng sebuah gaun
batik yang masih terbungkus plastik bening.
“Lu
pakai itu, Sas,” kata Boss Lenny. “Udah gue beliin baru, sarimbit sama punya
Bara.”
Aku
bengong.
“Lu
nggak usah takut kegatelan pakai baju itu, udah gue laundry kemarin,” kata Boss Lenny sambil ketawa. “Buruan ganti
baju!”
Beberapa
menit kemudian aku sudah keluar dari toilet Boss Lenny. Gaun batik sutra
berwarna dasar maroon itu melekat pas
di tubuhku. Melambai indah. Modelnya tidak ramai, tapi sangat elegan.
Boss
Lenny terlihat puas dengan penampilanku. Dia tersenyum lebar.
“Sepatunya,
Yus!” kemudian Boss Lenny menengok sekilas pada Nina. “Nin, lihat Bara udah
siap belum.”
Nina
buru-buru keluar lagi. Yussi membuka sebuah kotak sepatu. Dia mengeluarkan stiletto cantik berwarna keemasan. Boss
Lenny mengeluarkan clutch berwarna
sama dengan sepatu dari dalam laci mejanya. Terakhir dia membuka sebuah kotak
tipis, berisi seperangkat perhiasan.
Hah?
Nggak salah?
“Lu
tenang aja Sas, ini bukan emas asli kok,” kata Boss Lenny ketika melihat
ekspresiku.
Aku
cuma bisa meringis sekilas.
Bara
menatap tak berkedip ketika aku keluar dari kantor Boss Lenny. Fajar dan Gerdy
ribut bersuit-suit. Aku jadi malu sendiri.
“Sekarang
kalian berangkat,” kata Boss Lenny. “Dapat award
atau enggak, jadi nominee di
Wara-Wiri udah top banget buat kita. Gue bangga sama kalian. Gue akan nonton
dari rumah. Good luck, guys!”
Setelah
berpamitan kami pun pergi. Bara diam-diam saja ketika kami berjalan ke lift.
Aku jadi tak enak hati.
“Ada
yang salah sama penampilan gue ya?” tanyaku pelan.
Kulihat
jelas Bara sedikit tergagap. “Eh, apa? Penampilan lu? Lu cantik, bangeeet…
Bikin gue shock,” Bara mencoba
tersenyum.
Kami
menunggu beberapa detik sebelum lift turun terbuka. Bara tetap kalem-kalem
saja. Duh, sungguh aku berharap dia stay
little wild seperti biasanya di Whatsapp
message.
“Kira-kira
kita menang nggak ya, Bar?” celetukku di dalam lift yang berisi cuma dia dan
aku.
Bara
menggenggam tanganku. Hangat.
“Menang
atau enggak, elu tetap yang tercantik,” jawabnya ringan.
“Elu
flirting-in gue ya?” aku terbahak.
Dia
ikut tertawa. Oh, my God! Rasanya aku
mau menukar apa saja yang kupunya agar dapat terus melihat laki-laki ini
tertawa!
Ting!
Pintu
lift terbuka di basement. Bersamaan
dengan pintu lift sebelah.
“Bar!
Rapi amat? Mau kondangan lu ya?”
Kami
menoleh. Driya keluar dari lift sebelah diiringi ‘dayang’-nya. Tatapan Driya
berhenti padaku. Sedetik kemudian melotot.
“Astaga,
Piyik! Elu…?”
“Ya,
halo…,” aku meringis salting.
“Beneran
ini elu? Lu cantik gila!”
“Yang
bener dunk! Gue cantik apa gila?” aku cemberut.
Driya
terbahak. Tangannya sudah terulur hendak mengacak poniku. Tapi aku segera
berkelit, sembunyi di balik punggung Bara.
“You touch me, gue sambit lu!” teriakku
garang.
* * *
Huaaa...
Mendadak aku merasa kampungan sekali saat tercebur di sebuah acara pemberian award seperti ini. Acara yang biasanya
hanya bisa kutonton lewat layar televisi. Dan sekarang aku menjadi bagian di
dalamnya. Bersama Bara!
Bara...
Setengah
mati aku menahan debar liar yang berkali-kali muncul tanpa permisi di sepanjang
perjalanan dari kantor menuju ke Balai Sarbini. Sumpah! Bara ganteng banget
sore ini. Fajar lewat sudah! Dan aku? Rasanya bagaimanaaa begitu bisa hadir di
sampingnya, dalam busana yang serasi pula!
Dalam
hati aku bersyukur dia cerewet sekali sambil menyetir sepanjang perjalanan
kami. Jadi aku menyahuti ucapan-ucapannya sambil sesekali mencuri pandang ke
arahnya. Sekedar mengumpulkan kilasan demi kilasan profil wajahnya yang bisa
kutangkap.
Undangan
yang kami pegang ternyata betul-betul untuk VVIP, khusus untuk para nominee. Letaknya pas di depan panggung.
Di dalam kelompok-kelompok ‘orang penting’ yang menempati beberapa meja bundar.
Ketika
melangkah ke sana mengikuti seorang penerima tamu, terasa tangan Bara hangat
menggenggam tanganku. Kupikir hatiku sudah tak keruan bentuknya karena
berkali-kali dihantam badai dan debar yang aku nyaris tak bisa menahannya.
“Menang
nggak ya, kira-kira?” Bara menatapku dalam.
Aku
hanya mengangkat bahu. Sedikit salting. Apalagi mendapati senyum Bara terulas
begitu saja untukku. Hanya untukku!
“Mau
menang, mau enggak, yang penting aku udah pernah ngerasain jadi bintang iklan,”
jawabku kemudian. Sekenanya. Rada error.
Bara
tertawa karenanya. Terlihat agak tertahan. Kalau tidak di forum resmi seperti
ini, tawanya pasti sudah membahana, seperti biasanya.
Aku
sendiri berusaha menikmati setiap acara yang tersaji. Banyak bertaburan bintang
dan artis. Tepat di sebelahku duduk Luma Yan-ya, bintang iklan laris sekaligus
artis ngetop yang pernah diisukan punya affair
dengan Godril, seorang vokalis boyband
ternama.
Ternyata
Luma termasuk artis yang ramah. Bahkan ia mengenali wajahku sebagai bintang
iklan Go Green yang lagi booming gara-gara banyak muncul di
televisi, media cetak, papan reklame raksasa di pinggir jalan, daaan... badan bus-bus kota. (Sigh!). Bahkan katanya dia berteman
baik dengan Bang Togi, kabag produksi di MemoLineAd.
“Kalo
butuh gue sebagai bintang iklan kalian, suruh Togi hubungin gue, honor gue bisa
dinegolah...,” ucap Luma dengan wajah ceria.
Ketika
tiba giliran Sahrenong naik ke atas panggung untuk membawakan dua di antara
sekian banyak lagu dangdut hits-nya, mendadak aku mengulum senyum. Mengingat
bahwa tadi aku sempat khawatir kalau dandananku bakalan seheboh dia.
Dan
aku hampir tak bisa menahan ketawaku ketika Bara berbisik di telingaku,
“Sumpah, mual banget gue liat dia.”
“Gue
tadi udah keder aja kalo Boss dandanin gue kayak gitu,” aku balas berbisik.
“Nggak
mungkinlah...,” Bara mengedipkan sebelah mata. “Seleranya Boss kan tinggi.
Lagian lu nggak dipoles berlebihan udah cantik kok!”
Yuyuy!
Hatiku serasa melambung ke langit ketujuh mendengar ucapan Bara. Tapi segera
mendarat lagi begitu menyadari sesuatu. Maksudnya? Maksudnya apa nih???
Tapi
ketika aku menatapnya sekilas, dia sudah asyik lagi menikmati pertunjukan di
panggung yang sudah berganti dari Sahrenong menjadi pertunjukan ala kabaret.
Kuhela napas panjang.
Bara...
Selalu begitu. Hanya sebatas itu...
* * *
Aku
mengerjapkan mata dan beranjak dari kasurku. Sudah jam 7 pagi. Kami pulang
larut banget setelah menghadiri acara award
itu, hampir jam 2 dini hari aku baru masuk ke apartemen.
Acara
penerimaan award semalam berlangsung
meriah. Aku memang antara berharap dan tidak iklan garapan Bara akan dapat award. Berharap, karena iklan Bara
begitu menyentuh. Tidak berharap, karena saingannya te-o-pe semua.
Masih
bisa kurasakan ketegangan ketika satu persatu nominee iklan layanan masyarakat dibaca dan ditayangkan. Tanpa
sadar aku menggenggam erat tangan Bara. Makin erat ketika MC mulai membuka
amplop.
“Dan
pemenangnya adalah….” kertas dalam amplop ditarik pelan-pelan, diiringi suara
drum yang lama-lama terdengar menjengkelkan. “… HUTAN KACA oleh Pandu Barata
dari MemoLine Advertising…!”
Perlu
waktu beberapa detik bagi kami untuk mengumpulkan kesadaran, sebelum dia
memelukku erat, mendaratkan entah berapa kecupan di pipi kanan-kiriku, kemudian menyeretku
naik ke atas panggung untuk menerima award.
Sungguh, momen yang sangat indah!
Aku
menguap sekali lagi.
Ketika
aku membuka tirai jendela pantry, dia
sudah ada di bawah sana. Di lapangan serbaguna di belakang gedung apartemenku.
Sedang melatih karate sepasukan satpam. Setiap Sabtu pagi, seperti biasanya.
Dia
tak tahu, tak pernah tahu, bahwa selama ini aku selalu menontonnya melatih
karate dari balik jendela pantry.
Jendela apartemenku memang terlihat gelap dari luar.
Kuhela
napas panjang. Aku benar-benar tak tahu seperti apa sebenarnya hubunganku
dengan dia. Dia ada, nyata, tapi seolah berada pada dimensi lain. Terpaut jarak
jutaan cubicle.
Tanpa
kata.
Tak
terjangkau.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #11
Yak Bara Yak!!!! :)))
BalasHapusnice post mbak, membaca membuat perut jadi lapar, sarapan dulu yuk , ada botok mlanding plus tahu,
BalasHapusJadi piyik lebih suka Bara yaa dr pd Driyaa? aduuuh...
BalasHapusHehehe seru..............
BalasHapus