Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #3
* * *
Madri menghembuskan napas keras-keras sambil
menutup pintu pagar. Kemudian dengan langkah cepat ia masuk ke dalam rumah,
seolah ingin mengalahkan rasa letihnya. Semangatnya timbul lagi ketika melihat
SUV papanya sudah terparkir di garasi.
“Papa sudah pulang, Bik?” tanyanya ketika
berpapasan dengan Tunik.
“Sudah, Mbak. Lagi di ruang kerja.”
Tanpa mampir ke kamar, Madri langsung
‘terbang’ ke ruang kerja. Masih sempat didengarnya Tunik memanggil namanya,
tapi ia mengabaikan panggilan itu.
“Pa, aku sudah capek naik angkot dan ojek,”
ucapnya sambil membuka pintu. Ada nada mengadu yang kental dalam suaranya.
“Kayaknya aku perlu mo...”
Ucapannya tergantung seketika. Matanya tak
berkedip melihat siapa yang ada di dalam ruang kerja Jatmiko. Jatmiko tidak
sendirian. Ada orang lain di sana.
Ya
Tuhan...
Seketika wajah Madri memerah. Ia kemudian
hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu. Jatmiko tersenyum lebar menatapnya.
“Maaf,” ucapnya kemudian sambil beringsut
pergi.
Mas
Reddy...
Pelan-pelan ditutupnya pintu dan ia beranjak
menuju ke kamarnya. Ia kembali berpapasan dengan Tunik. Ditatapnya Tunik.
Cemberut.
“Kok Bibik nggak bilang kalau Papa ada tamu?”
gerutunya.
“Lho, tadi kan Mbak Madri sudah Bibik
teriakin,” Tunik membela diri. “Tapi Mbak Madri cuek aja.”
Madri menggigit bibir bawahnya sambil masuk
ke kamar. Ia dibelit rasa malu yang sangat.
Aduh...
Kenapa juga aku bisa kekanakan kayak tadi?
Madri meringis sambil tengkurap di atas
kasurnya. Tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benak Reddy setelah melihatnya
bertingkah seperti itu.
* * *
Sekuat tenaga Reddy berusaha memusatkan
kembali perhatiannya pada hal-hal yang dibahas Jatmiko. Tapi konsentrasinya
terlanjur pecah karena peristiwa yang baru saja terjadi. Wajah Madri seketika
menari-nari di matanya. Wajah yang menggemaskan. Wajah yang menggelitik syaraf
rasanya.
Seolah lama sekali ia terperangkap dalam
pembicaraan dengan Jatmiko. Dan diam-diam ia menghela napas lega ketika
semuanya berakhir. Ketika Jatmiko menawarinya untuk makan malam bersama, dengan
setengah hati ia menolak. Sebetulnya ia ingin, tapi wajah tersipu Madri masih
lekat dalam ingatannya. Ia tak ingin membuat gadis itu kembali merasa malu bila
melihatnya.
Maka ia pun berpamitan, dan Jatmiko tak
menahannya.
* * *
“Kres, kamu mau jadi drafter?”
Kresna menunda gerakan tangannya menyuapkan
sesendok makanan ke dalam mulut. Ditatapnya Jatmiko.
“Ada lowongan di kantor Papa?”
Jatmiko menggeleng. Kresna mengerutkan
keningnya.
“Mulai besok Reddy akan mengerjakan rancangan
yang diminta teman Mr. Harrington. Nggak berhubungan dengan kantor. Jadi dia
akan mengerjakannya sepulang kerja. Di sini.”
“Kenapa bukan Papa yang mengerjakannya?”
“Papa banyak kerjaan, Kres. Sementara Mr.
Stevens itu minta kita yang garap rancangan vilanya. Papa coba delegasikan pada
Reddy. Kita lihat nanti bagaimana hasilnya. Yang jelas, ini kesempatan untuk
mengasah kemampuan praktekmu.”
“Hm...,” Kresna manggut-manggut. “Oke deh!”
Jatmiko mengalihkan tatapannya pada Madri,
tersenyum. “Terus, kamu tadi mau ngomong apa?”
Madri mengerutkan keningnya sesaat sebelum
menyadari ke mana arah bicara Jatmiko.
“Mm... itu...,” wajahnya kembali memerah.
“Kayaknya aku butuh motor, Pa. Mobilitasku tambah tinggi semester ini. Aku
nggak bisa lagi menggantungkan diri pada jemputan Pak Pono atau pulang bareng
Mas Kresna.”
“Memangnya kamu sudah bisa naik motor?”
senyum Jatmiko bertambah lebar, terkesan menggoda.
“Sudah... Sudah lama. Diajarin Mas Galang.
Abisnya nggak diajarin sama Mas Kresna. Motor Mas Kresna gede gitu...”
Kresna terbahak karenanya.
“Hm... SIM-nya?” Jatmiko menyipitkan mata.
“Kan bentar lagi dapat KTP. Bisa buat urus
SIM. Boleh ya, Pa?”
“Yaaa... Boleh deh! Nanti Papa bilang dulu
sama Mama ya?”
Madri mengangguk dengan wajah cerah.
“Ya gitu deh, kalau jadi pacar orang
kantoran,” ledek Kresna. “Nggak ada lagi yang bisa dijadiin tukang ojek.”
“Ih! Apa sih?” Madri cemberut sesaat.
“Halo, met malam...”
Semua menoleh ke aras suara itu berasal.
Swandini melangkah dengan wajah lelah. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas
kursi di sebelah Jatmiko.
“Mama capek banget kelihatannya,” gumam
Jatmiko, mengusap punggung Swandini. “Sudah makan?”
Swandini mengangguk sambil menerima gelas
berisi air putih yang disodorkan Madri. Jatmiko kemudian mengalihkan tatapannya
pada Madri.
“Nanti pijitin Mama, Dri. Besok kan langsung
dapat motor, hehehe...”
“Aduuuh...,” Madri ‘ngeles’ dengan wajah
‘menderita’. “Badanku aja rasanya remuk kayak gini...”
“Halah... Ngeles...,” Kresna menepuk lembut
kepala Madri.
“Madri minta motor?” Swandini menatap Madri
sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong. “Sudah berani?”
Madri mengangguk.
“Memang sudah butuh kok, Ma,” celetuk Kresna.
“Semester ini jadwalku sama Madri sering selisihan. Madri harus mulai mandiri.
Madri bisa kok.”
“Nggak pada minta mobil sekalian?” goda
Jatmiko.
Madri terkekeh. “Dikasih mobil kalau uang
sakunya tetap ya malah jebol nih kantong. Nggak kuat ngisi BBM-nya.”
“Lagian malu sama Galang,” timpal Kresna.
“Dia aja anak big boss, ke mana-mana
masih motoran.”
“Syukurlah kalau kalian masih punya pikiran
kayak gitu,” senyum Swandini.
* * *
Reddy mengangkat wajah sejenak dari layar
laptopnya. Deru halus mesin motor matic itu
sempat memecahkan konsentrasinya sejenak. Dilayangkannya pandang keluar
jendela. Madri tampak melaju mengendarai motornya dari arah pintu pagar ke
garasi.
Mendadak debar itu memenuhi dadanya.
Dialihkannya tatapan kembali pada layar laptopnya. Diusahakannya untuk kembali
mengumpulkan pecahan-pecahan konsentrasinya.
“Minumnya, Dy...”
Reddy tersentak kaget. Ia menoleh ke arah
pintu dan melihat Swandini datang dengan membawa nampan berisi semug minuman
dan sepiring pisang bolen.
“Wah, Ibu repot-repot,” ucapnya sambil
berdiri dan mengambil alih nampan itu dari tangan Swandini. “Makasih banyak,
Bu.”
“Ya, sama-sama,” senyum Swandini.
“Bapak belum pulang ya, Bu?”
“Iya,” Swandini mengangguk. “Mampir ke kedai
dulu. Soalnya besok sore ada temannya yang mau booking tempat buat ulang tahun istrinya. Ya sudah, Ibu tinggal
dulu ya, Dy? Makan-minum dulu, silakan.”
“Ya, Bu. Makasih.”
Sepeninggal sang nyonya rumah, Reddy
menikmati teh hangat dan kudapan yang sudah disediakan Swandini dengan nikmat.
Sejenak kemudian ia merasa bahwa pikirannya sudah ter-recharge dengan baik. Dan ia pun kembali menekuni pekerjaannya.
Tapi... Entah kenapa yang memenuhi otaknya
cuma sosok Madri.
Dia
sudah mulai dewasa...
Reddy mengusap wajahnya dengan kedua telapak
tangan.
Tapi
masih terlalu muda.
Digelengkannya kepala.
Dan
aku sungguh-sungguh tertarik padanya.
Disandarkannya punggung sambil mendesah
pelan.
Tapi
dia sudah punya pacar.
Kembali digelengkannya kepala.
Huuuf...
“Mas...”
Reddy hampir terjengkang. Ia menoleh ke arah
pintu dan mendapati si cantik yang memenuhi pikirannya sudah berada di sana.
“Mobilnya bisa dipindahin dulu? Mobil Papa
nggak bisa masuk.”
“Oh, iya, Dri, iya...,” jawabnya agak
tergagap.
Ia kemudian berdiri dan segera melangkah ke
garasi, hampir berlari.
* * *
Madri melipat kedua tangannya di atas meja sambil
menatap Galang yang berjalan menjauh. Pamitan sebentar ke toilet.
Mas
Galang sedikit lebih kurus, pikirnya, sedikit resah.
Gurat kelelahan juga muncul di wajah Galang
walaupun ditutupi dengan rona wajah ceria. Ada sedikit warna gelap di bawah
matanya walaupun tertutup bingkai kacamata yang selalu menambah tampan
wajahnya.
“Dri, sendirian?”
Kepala Madri berputar cepat ke arah suara itu
bergema. Reddy menatap dengan senyum terulas di bibirnya.
“Enggak,” Madri kemudian menggelengkan
kepalanya. “Sama Mas Galang. Lagi ke toilet.”
“Oh...,” Reddy melebarkan senyumnya. “Kirain
sendirian.”
“Mas?”
“Tuh,” Reddy menunjuk ke arah belakang. “Sama
teman-teman.”
Madri melihat ke arah yang ditunjuk Reddy.
Beberapa orang melambaikan tangan ke arahnya. Sudah kenal, karena mereka satu
kantor juga dengan Jatmiko. Madri balas melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Ya sudah kalau kamu sudah ada temannya.
Tadinya mau kuajak gabung. Oke, aku tinggal ya?”
Madri mengangguk.
Bersamaan dengan itu, minuman dan makanan
yang dipesannya bersama Galang datang. Tak lama kemudian, Galang juga muncul
kembali.
“Mas, kok rada kurusan sih?” celetuk Madri
sambil menyedot minumannya.
“Kerja capek juga, Dri,” senyum Galang.
“Lagian masih agak terbeban dengan statusku sebagai anak Ayah, meskipun nggak
satu kantor dengan Ayah. Nggak semuanya kenal siapa aku, tapi ada juga beberapa
yang tahu. Semuanya dari kalangan senior. Yah,” Galang mengangkat bahu, “yang
bisa kulakukan cuma berusaha kerja sebaik-baiknya.”
Madri menggenggam tangan Galang. Tersenyum.
“Aku percaya Mas Galang bisa. Selalu bisa.”
“Keadaan berbalik ya?” Galang tertawa ringan.
“Dulu kamu yang ada di posisi berat waktu ikut kelas akselerasi.”
“Dan Mas yang selalu kasih semangat dengan
bilang aku pasti bisa,” Madri mengerjapkan matanya yang berbinar.
Galang balas menggenggam tangan Madri.
Hangat. “Dan nyatanya kamu bisa!”
“Yah...,” Madri mengangkat bahunya. “Walaupun
sekarang sering dianggap sebagai anak bawang di kelas.”
“Sama... Aku juga mengalami itu kok,” Galang
mengangguk. “Kita bisa melewatinya. Pasti bisa!”
Sebersit semangat baru muncul di hati Madri
ketika Galang mengucapkan kata ‘kita’. Galang pun sepertinya mengalami hal yang
sama.
“Sekarang, ayo kita sikat habis makanan ini!”
ucap Galang ceria.
“Kalau kurang boleh nambah?” Madri tertawa.
“Seperti biasa...,” Galang mengedipkan
sebelah mata.
Madri tertawa sambil mulai makan. Keduanya
lalu tenggelam dalam obrolan yang seru. Diselingi tertawa meriah dan juga
rajukan Madri. Galang merasa sedikit demi sedikit beban kelelahan terangkat
dari bahunya. Melihat lagi wajah ceria Madri membuat ia tak menginginkan hal
yang lain.
“Oh iya, kamu mau hadiah apa buat sweet seventeen?”
“Dih! Hadiah ditanyain!” Madri meleletkan
lidahnya. “Kasih surprise dong...”
“Hm...,” Galang berlagak berpikir.
Tepat saat itu matanya menangkap kehadiran
Reddy tak jauh dari mereka. Tak jadi soal baginya kalau saja ia tak menangkap
basah Reddy melihat ke arah mereka. Atau lebih tepatnya ke arah Madri.
Dihelanya napas panjang. Tanpa sadar ia
mengusap wajahnya dengan telapak tangan kiri.
“Kenapa, Mas?” Madri sampai menghentikan
suapannya yang sudah berada di depan mulut.
“Enggaaak... Nggak apa-apa. Bingung aja
mikirin surprise yang paling tepat
buat kamu.”
“Hehehe...,” Madri terkekeh. “Biasa aja,
‘kali... Apapun yang Mas kasih, aku pasti suka. Nggak kasih apa-apa juga aku
tetep suka.”
“Ciyuuus?” Galang mengedipkan-ngedipkan mata
dengan genit.
“Miapah?” Madri tertawa lebar, membuat Galang
akhirnya ikut terseret dalam tawa itu.
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #5
nice post mbak
BalasHapusLanjutan Mbak! Bikin gemes
BalasHapusHahaha ada yg cemburu di seberang ya Mba Lis...
BalasHapus