Selasa, 15 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #4





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #3



* * *



Madri menghembuskan napas keras-keras sambil menutup pintu pagar. Kemudian dengan langkah cepat ia masuk ke dalam rumah, seolah ingin mengalahkan rasa letihnya. Semangatnya timbul lagi ketika melihat SUV papanya sudah terparkir di garasi.

“Papa sudah pulang, Bik?” tanyanya ketika berpapasan dengan Tunik.

“Sudah, Mbak. Lagi di ruang kerja.”

Tanpa mampir ke kamar, Madri langsung ‘terbang’ ke ruang kerja. Masih sempat didengarnya Tunik memanggil namanya, tapi ia mengabaikan panggilan itu.

“Pa, aku sudah capek naik angkot dan ojek,” ucapnya sambil membuka pintu. Ada nada mengadu yang kental dalam suaranya. “Kayaknya aku perlu mo...”

Ucapannya tergantung seketika. Matanya tak berkedip melihat siapa yang ada di dalam ruang kerja Jatmiko. Jatmiko tidak sendirian. Ada orang lain di sana.

Ya Tuhan...

Seketika wajah Madri memerah. Ia kemudian hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu. Jatmiko tersenyum lebar menatapnya.

“Maaf,” ucapnya kemudian sambil beringsut pergi.

Mas Reddy...

Pelan-pelan ditutupnya pintu dan ia beranjak menuju ke kamarnya. Ia kembali berpapasan dengan Tunik. Ditatapnya Tunik. Cemberut.

“Kok Bibik nggak bilang kalau Papa ada tamu?” gerutunya.

“Lho, tadi kan Mbak Madri sudah Bibik teriakin,” Tunik membela diri. “Tapi Mbak Madri cuek aja.”

Madri menggigit bibir bawahnya sambil masuk ke kamar. Ia dibelit rasa malu yang sangat.

Aduh... Kenapa juga aku bisa kekanakan kayak tadi?

Madri meringis sambil tengkurap di atas kasurnya. Tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benak Reddy setelah melihatnya bertingkah seperti itu.

* * *

Sekuat tenaga Reddy berusaha memusatkan kembali perhatiannya pada hal-hal yang dibahas Jatmiko. Tapi konsentrasinya terlanjur pecah karena peristiwa yang baru saja terjadi. Wajah Madri seketika menari-nari di matanya. Wajah yang menggemaskan. Wajah yang menggelitik syaraf rasanya.

Seolah lama sekali ia terperangkap dalam pembicaraan dengan Jatmiko. Dan diam-diam ia menghela napas lega ketika semuanya berakhir. Ketika Jatmiko menawarinya untuk makan malam bersama, dengan setengah hati ia menolak. Sebetulnya ia ingin, tapi wajah tersipu Madri masih lekat dalam ingatannya. Ia tak ingin membuat gadis itu kembali merasa malu bila melihatnya.

Maka ia pun berpamitan, dan Jatmiko tak menahannya.

* * *

“Kres, kamu mau jadi drafter?”

Kresna menunda gerakan tangannya menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut. Ditatapnya Jatmiko.

“Ada lowongan di kantor Papa?”

Jatmiko menggeleng. Kresna mengerutkan keningnya.

“Mulai besok Reddy akan mengerjakan rancangan yang diminta teman Mr. Harrington. Nggak berhubungan dengan kantor. Jadi dia akan mengerjakannya sepulang kerja. Di sini.”

“Kenapa bukan Papa yang mengerjakannya?”

“Papa banyak kerjaan, Kres. Sementara Mr. Stevens itu minta kita yang garap rancangan vilanya. Papa coba delegasikan pada Reddy. Kita lihat nanti bagaimana hasilnya. Yang jelas, ini kesempatan untuk mengasah kemampuan praktekmu.”

“Hm...,” Kresna manggut-manggut. “Oke deh!”

Jatmiko mengalihkan tatapannya pada Madri, tersenyum. “Terus, kamu tadi mau ngomong apa?”

Madri mengerutkan keningnya sesaat sebelum menyadari ke mana arah bicara Jatmiko.

“Mm... itu...,” wajahnya kembali memerah. “Kayaknya aku butuh motor, Pa. Mobilitasku tambah tinggi semester ini. Aku nggak bisa lagi menggantungkan diri pada jemputan Pak Pono atau pulang bareng Mas Kresna.”

“Memangnya kamu sudah bisa naik motor?” senyum Jatmiko bertambah lebar, terkesan menggoda.

“Sudah... Sudah lama. Diajarin Mas Galang. Abisnya nggak diajarin sama Mas Kresna. Motor Mas Kresna gede gitu...”

Kresna terbahak karenanya.

“Hm... SIM-nya?” Jatmiko menyipitkan mata.

“Kan bentar lagi dapat KTP. Bisa buat urus SIM. Boleh ya, Pa?”

“Yaaa... Boleh deh! Nanti Papa bilang dulu sama Mama ya?”

Madri mengangguk dengan wajah cerah.

“Ya gitu deh, kalau jadi pacar orang kantoran,” ledek Kresna. “Nggak ada lagi yang bisa dijadiin tukang ojek.”

“Ih! Apa sih?” Madri cemberut sesaat.

“Halo, met malam...”

Semua menoleh ke aras suara itu berasal. Swandini melangkah dengan wajah lelah. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi di sebelah Jatmiko.

“Mama capek banget kelihatannya,” gumam Jatmiko, mengusap punggung Swandini. “Sudah makan?”

Swandini mengangguk sambil menerima gelas berisi air putih yang disodorkan Madri. Jatmiko kemudian mengalihkan tatapannya pada Madri.

“Nanti pijitin Mama, Dri. Besok kan langsung dapat motor, hehehe...”

“Aduuuh...,” Madri ‘ngeles’ dengan wajah ‘menderita’. “Badanku aja rasanya remuk kayak gini...”

“Halah... Ngeles...,” Kresna menepuk lembut kepala Madri.

“Madri minta motor?” Swandini menatap Madri sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong. “Sudah berani?”

Madri mengangguk.

“Memang sudah butuh kok, Ma,” celetuk Kresna. “Semester ini jadwalku sama Madri sering selisihan. Madri harus mulai mandiri. Madri bisa kok.”

“Nggak pada minta mobil sekalian?” goda Jatmiko.

Madri terkekeh. “Dikasih mobil kalau uang sakunya tetap ya malah jebol nih kantong. Nggak kuat ngisi BBM-nya.”

“Lagian malu sama Galang,” timpal Kresna. “Dia aja anak big boss, ke mana-mana masih motoran.”

“Syukurlah kalau kalian masih punya pikiran kayak gitu,” senyum Swandini.

* * *

Reddy mengangkat wajah sejenak dari layar laptopnya. Deru halus mesin motor matic itu sempat memecahkan konsentrasinya sejenak. Dilayangkannya pandang keluar jendela. Madri tampak melaju mengendarai motornya dari arah pintu pagar ke garasi.

Mendadak debar itu memenuhi dadanya. Dialihkannya tatapan kembali pada layar laptopnya. Diusahakannya untuk kembali mengumpulkan pecahan-pecahan konsentrasinya.

“Minumnya, Dy...”

Reddy tersentak kaget. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat Swandini datang dengan membawa nampan berisi semug minuman dan sepiring pisang bolen.

“Wah, Ibu repot-repot,” ucapnya sambil berdiri dan mengambil alih nampan itu dari tangan Swandini. “Makasih banyak, Bu.”

“Ya, sama-sama,” senyum Swandini.

“Bapak belum pulang ya, Bu?”

“Iya,” Swandini mengangguk. “Mampir ke kedai dulu. Soalnya besok sore ada temannya yang mau booking tempat buat ulang tahun istrinya. Ya sudah, Ibu tinggal dulu ya, Dy? Makan-minum dulu, silakan.”

“Ya, Bu. Makasih.”

Sepeninggal sang nyonya rumah, Reddy menikmati teh hangat dan kudapan yang sudah disediakan Swandini dengan nikmat. Sejenak kemudian ia merasa bahwa pikirannya sudah ter-recharge dengan baik. Dan ia pun kembali menekuni pekerjaannya.

Tapi... Entah kenapa yang memenuhi otaknya cuma sosok Madri.

Dia sudah mulai dewasa...

Reddy mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Tapi masih terlalu muda.

Digelengkannya kepala.

Dan aku sungguh-sungguh tertarik padanya.

Disandarkannya punggung sambil mendesah pelan.

Tapi dia sudah punya pacar.       

Kembali digelengkannya kepala.

Huuuf...

“Mas...”

Reddy hampir terjengkang. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati si cantik yang memenuhi pikirannya sudah berada di sana.

“Mobilnya bisa dipindahin dulu? Mobil Papa nggak bisa masuk.”

“Oh, iya, Dri, iya...,” jawabnya agak tergagap.

Ia kemudian berdiri dan segera melangkah ke garasi, hampir berlari.

* * *

Madri melipat kedua tangannya di atas meja sambil menatap Galang yang berjalan menjauh. Pamitan sebentar ke toilet.

Mas Galang sedikit lebih kurus, pikirnya, sedikit resah.

Gurat kelelahan juga muncul di wajah Galang walaupun ditutupi dengan rona wajah ceria. Ada sedikit warna gelap di bawah matanya walaupun tertutup bingkai kacamata yang selalu menambah tampan wajahnya.

“Dri, sendirian?”

Kepala Madri berputar cepat ke arah suara itu bergema. Reddy menatap dengan senyum terulas di bibirnya.

“Enggak,” Madri kemudian menggelengkan kepalanya. “Sama Mas Galang. Lagi ke toilet.”

“Oh...,” Reddy melebarkan senyumnya. “Kirain sendirian.”

“Mas?”

“Tuh,” Reddy menunjuk ke arah belakang. “Sama teman-teman.”

Madri melihat ke arah yang ditunjuk Reddy. Beberapa orang melambaikan tangan ke arahnya. Sudah kenal, karena mereka satu kantor juga dengan Jatmiko. Madri balas melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Ya sudah kalau kamu sudah ada temannya. Tadinya mau kuajak gabung. Oke, aku tinggal ya?”

Madri mengangguk.

Bersamaan dengan itu, minuman dan makanan yang dipesannya bersama Galang datang. Tak lama kemudian, Galang juga muncul kembali.

“Mas, kok rada kurusan sih?” celetuk Madri sambil menyedot minumannya.

“Kerja capek juga, Dri,” senyum Galang. “Lagian masih agak terbeban dengan statusku sebagai anak Ayah, meskipun nggak satu kantor dengan Ayah. Nggak semuanya kenal siapa aku, tapi ada juga beberapa yang tahu. Semuanya dari kalangan senior. Yah,” Galang mengangkat bahu, “yang bisa kulakukan cuma berusaha kerja sebaik-baiknya.”

Madri menggenggam tangan Galang. Tersenyum. “Aku percaya Mas Galang bisa. Selalu bisa.”

“Keadaan berbalik ya?” Galang tertawa ringan. “Dulu kamu yang ada di posisi berat waktu ikut kelas akselerasi.”

“Dan Mas yang selalu kasih semangat dengan bilang aku pasti bisa,” Madri mengerjapkan matanya yang berbinar.

Galang balas menggenggam tangan Madri. Hangat. “Dan nyatanya kamu bisa!”

“Yah...,” Madri mengangkat bahunya. “Walaupun sekarang sering dianggap sebagai anak bawang di kelas.”

“Sama... Aku juga mengalami itu kok,” Galang mengangguk. “Kita bisa melewatinya. Pasti bisa!”

Sebersit semangat baru muncul di hati Madri ketika Galang mengucapkan kata ‘kita’. Galang pun sepertinya mengalami hal yang sama.

“Sekarang, ayo kita sikat habis makanan ini!” ucap Galang ceria.

“Kalau kurang boleh nambah?” Madri tertawa.

“Seperti biasa...,” Galang mengedipkan sebelah mata.

Madri tertawa sambil mulai makan. Keduanya lalu tenggelam dalam obrolan yang seru. Diselingi tertawa meriah dan juga rajukan Madri. Galang merasa sedikit demi sedikit beban kelelahan terangkat dari bahunya. Melihat lagi wajah ceria Madri membuat ia tak menginginkan hal yang lain.

“Oh iya, kamu mau hadiah apa buat sweet seventeen?”

“Dih! Hadiah ditanyain!” Madri meleletkan lidahnya. “Kasih surprise dong...”

“Hm...,” Galang berlagak berpikir.

Tepat saat itu matanya menangkap kehadiran Reddy tak jauh dari mereka. Tak jadi soal baginya kalau saja ia tak menangkap basah Reddy melihat ke arah mereka. Atau lebih tepatnya ke arah Madri.

Dihelanya napas panjang. Tanpa sadar ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan kiri.

“Kenapa, Mas?” Madri sampai menghentikan suapannya yang sudah berada di depan mulut.

“Enggaaak... Nggak apa-apa. Bingung aja mikirin surprise yang paling tepat buat kamu.”

“Hehehe...,” Madri terkekeh. “Biasa aja, ‘kali... Apapun yang Mas kasih, aku pasti suka. Nggak kasih apa-apa juga aku tetep suka.”

“Ciyuuus?” Galang mengedipkan-ngedipkan mata dengan genit.

“Miapah?” Madri tertawa lebar, membuat Galang akhirnya ikut terseret dalam tawa itu.
                                                             
* * *

Bersambung ke : Cinta Dua Masa #5

3 komentar: