Kamis, 17 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #5





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #4



* * *


Hadiah ulang tahun yang tepat buat Madri?

Galang berbaring di ranjangnya dengan mata terbuka lebar menatap langit-langit. Berpikir dan berpikir.

Hm... Apa yang paling dia butuhkan saat ini?

Tahun lalu ia sudah memberi sehelai gaun cantik yang ia sambar dari salah satu butik ibunya. Tahun sebelumnya, ia berikan helm dan jaket dengan warna kesukaan Madri, yang masih gadis itu pakai sampai sekarang kalau naik motor.

Gadget? Galang mengubah posisinya, jadi telungkup.

Madri masih punya ponsel yang bagus. Tergolong baru. Belum lama dibelikan papanya karena yang lama rusak akibat terjatuh.

Hm... Sebetulnya aku tahu yang dia butuhkan sekarang.

Galang berguling. Kembali telentang menghadap langit-langit kamarnya.

Tapi...

Galang menolehkan kepalanya. Menatap kalender dengan angka besar-besar yang tergantung di dinding kamarnya.

Sepuluh hari lagi...

Ia mengerjapkan matanya yang mulai berat.

Apakah aku sudah siap?

Mulutnya menguap lebar-lebar. Dan Galang pun mulai terseret ke alam mimpi.

* * *

Dengan agak gelisah, Galang melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir pukul enam sore. Tapi kelihatannya meeting yang harus dihadirinya belum ada tanda-tanda berakhir.

Aduuuh...

Galang mengeluh dalam hati. Walau kelihatannya ia berkonsentrasi pada meeting itu, tapi otaknya sibuk menghitung-hitung. Kira-kira sampai jam berapa nanti ia baru sampai di rumah Madri.

Semoga tidak terlalu malam...

Diulang-ulangnya doa itu dalam hati. Ketika jarum jam arlojinya hampir menunjuk pukul tujuh tepat, barulah meeting itu berakhir. Setengah mati Galang menahan diri untuk tidak langsung meloncat keluar dari kantor. Sambil berjalan ke arah tempat parkir motor Galang berpikir-pikir, apakah langsung ke rumah Madri, ataukah pulang dulu untuk mandi?

Ke ulang tahun Madri dalam kondisi kucel begini?

Akhirnya Galang memilih opsi kedua.

* * *

Acara syukuran itu berlangsung sederhana, tapi hangat. Karena hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat. Satu hal yang terasa mengusik hati Madri. Hingga acara makan malam hendak dimulai pada pukul tujuh, Galang belum juga menampakkan diri.

Kresna menggeleng ketika Madri mengirimkan tatapan bertanya. Kresna memasukkan ponselnya ke dalam saku.

“Nyambung, tapi nggak dijawab,” gumam Kresna.

Madri menghela napas panjang. Ia menoleh ketika Andria menyenggol lengannya.

“Mana Mas Galang?” usik Andria.

“Nggak tau,” jawab Madri, sedih. “Dari tadi nggak bisa dihubungi.”

“Ulang tahun pacar sendiri kok lupa?” Chika nimbrung, menggerutu.

“Nggak lupa,” nada suara Madri penuh pembelaan. “Tadi pagi dia udah kirim BBM selamat ultah.”

“Hm...”

“Pasti datang...,” celetuk Day, optimis.

“Iya, jam berapa?” Chika melirik sadis. “Tengah malem?”

Dan tatapan tajam Madri menyambar Galang begitu pemuda itu muncul menjelang setengah sembilan malam. Tak diperhatikannya lagi wajah Galang yang terlihat lelah.

“Maaf, Dri, aku telat...”

“Banget!” sambar Madri galak.

“Iya, maaf, tadi aku ada...”

“Telat ya telat aja! Nggak usah kebanyakan alasan!” Madri berbalik begitu saja.

Galang menatap punggung Madri dengan putus asa. Kresna mendatanginya.

“Kamu dari mana aja sih? Ditungguin dari tadi!”

“Aku ada meeting, Kres. Mendadak,” Galang mengusap wajahnya.

Kresna menatapnya tanpa bisa berkata apapun. Galang terlihat jujur. Diraihnya bahu Galang.

“Kamu sudah makan?”

Galang menggeleng.

“Ayo, kamu makan dulu,” Kresna merangkul bahu Galang, kemudian menariknya ke ruang makan.

Jatmiko dan Swandini mengerti betul posisi Galang. Hanya saja Madri terlanjur ngambek. Galang maklum, karena ia memang terlambat, dan hari ini adalah hari yang sangat istimewa buat seorang Madri.

“Maafin Madri, Lang,” ucap Swandini lembut sambil menyodorkan berbagai lauk kepada Galang. “Masih banyak tersisa sisi kanak-kanaknya.”

“Iya, Tante, saya mengerti,” Galang mengangguk. “Saya juga salah kok.”

Swandini menepuk lembut bahu Galang.

Hingga ia mengikuti semua orang luar yang hadir untuk pamit pulang setengah jam kemudian, Madri tak sekalipun menoleh padanya. Sambil berusaha menikmati makan malamnya, Galang terpaksa mengalihkan tatapannya setiap kali melihat Madri tertawa bersama Andria, Chika, Day, Kresna, Denny, dan... Reddy. Terutama Reddy.

Ketika ia berpamitan pada Madri, gadis itu hanya menggumam tak jelas. Ketika ia mencoba untuk mencium ringan kening Madri sambil sekali lagi mengucapkan selamat ulang tahun, gadis itu mengelak.

Galang menghela napas panjang sambil melajukan motornya pergi. Sampai di taman kompleks dekat tempat tinggal Madri, ia berhenti. Ia duduk sejenak di sebuah bangku beton. Berusaha menenangkan diri.

Ketika ia menengadah, terlihat olehnya langit malam yang dihiasi kerlip bintang. Pemandangan yang sungguh berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Pelan ia mendesah. Dan sekali lagi mendesah ketika menatap ke arah jok motornya.

Hadiah ulang tahun untuk Madri sudah diselipkannya di antara tumpukan kado di sudut ruang makan. Nyaris paling bawah. Nyaris tak kelihatan saking tipisnya. Dan di bawah jok motornya ada hadiah lain yang tadinya hendak diberikannya juga pada Madri, tapi batal mengingat ia sendiri sebetulnya belum siap.

Tapi setelah semuanya yang baru saja terjadi? Galang menghela napas panjang.

Ia sudah menjelma menjadi manusia yang sibuk sekarang. Sekuat tenaga mengikuti ritme tinggi yang berjalan di kantor tempatnya bekerja. Masih ada celah-celah untuk melakukan kesalahan sebagai orang baru yang masih hijau, tapi ia tak mau berada di celah itu.

Dan semua ditebusnya dengan waktu yang makin berkurang untuk Madri. Bahkan pada saat hari ulang tahun yang sangat istimewa buat Madri. Sweet seventeen. Walaupun tanpa perayaan besar yang berlebihan.

Mungkin memang sudah saatnya.

Galang berdiri dan melangkah ke arah motornya. Dibukanya jok motor. Diambilnya sehelai amplop. Kemudian dimasukkannya amplop itu ke dalam jaketnya.

Mungkin ini yang kamu butuhkan, Dri...

Galang mulai menghidupkan motor dan berbalik arah. Tak berapa lama, ia pun sampai kembali di depan rumah Madri. Dikeluarkannya amplop dari dalam jaket, kemudian dimasukkannya amplop itu ke kotak surat. Sebelum meninggalkan tempat itu, dipencetnya sebuah tombol. Membuat sebuah lampu kecil berwarna merah di atas kotak surat itu berkedip-kedip.

Maafkan aku, Dri...

Galang pun berlalu.

* * *

Madri membuka kado terakhir itu dengan setengah hati. Ia tahu kado itu dari Galang. Karena semua kado yang sudah dibukanya belum ada yang berasal dari Galang. Kertas kado berwarna biru muda yang menyelimuti kotak persegi tipis itu disobeknya. Sebuah kartu ditemukannya di dalam, berisi deretan tulisan Galang yang rapi.

Selamat ulang tahun ke-17, Madri sayang... Semoga bertambah cantik dan dewasa, tapi tetap menggemaskan...

Seuntai kalung emas yang menyatu dengan plat berbentuk ukiran huruf-huruf namanya tampak mengkilat ditimpa cahaya lampu. Bentuk yang sederhana, tapi indah.

Madri termangu menatapnya. Dihelanya napas panjang.

Jadi kehadiranmu cukup digantikan dengan ini?

Madri mengerjapkan matanya. Mulai basah.

Sesungguhnya akhir-akhir ini ia cukup kehilangan Galang. Pekerjaan Galang seolah menyita hampir seluruh waktu yang dipunyai pemuda itu. Bahkan terkadang hari Sabtu pun Galang masuk kerja.

Madri berusaha mengerti. Galang adalah penerus ayahnya kelak. Dengan tanggung jawab yang sedemikian besar.

Tapi apa harus segitunya? Katanya cuma cari pengalaman sebelum meneruskan kuliah di Australia? Yang bekerja betulan seperti Mas Reddy aja nggak kayak gitu! Huh!

Madri meninggalkan kalung itu tetap di dalam kotaknya. Tetap tergeletak di atas meja. Ia kemudian beralih ke atas ranjangnya. Besok ada kuliah pagi. Ia sungguh tak ingin menghabiskan waktunya merenungi acara ulang tahunnya yang jadi sedikit tidak menyenangkan karena Galang terlambat datang.

* * *

Dengan wajah lelah, Madri mendorong pintu kamarnya. Siang yang panas membuatnya tak ingin berlama-lama di kampus walaupun ada perpustakaan yang cukup nyaman untuk sedikit mendinginkan badan. Baru saja hendak melepas sepatu, matanya sudah tertumbuk pada sehelai amplop putih yang ada di atas mejanya.

“Kapan datangnya, Bik?” tanyanya pada Tunik yang muncul membawa segelas es jeruk untuknya.

“Nggak tahu, Mbak. Tadi pagi waktu Bibik mau pergi belanja, sudah ada di kotak surat.”

“Oh...”

Dan mata Madri langsung mengenali tulisan yang tertera pada amplop.

Mas Galang, gumamnya sambil meraih amplop itu, kemudian membukanya.


Dear Madri,
Sebelumnya aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena menulis surat ini. Jujur, aku nggak sanggup untuk ngomong langsung sama kamu. Katakanlah aku pengecut, oke aku terima.
Dri, akhir-akhir ini aku merasa nggak bisa lagi kasih kamu yang terbaik. Waktuku nyaris habis di kantor. Ternyata banyak banget yang harus kupelajari. Bukan lagi sekadar cari pengalaman.
Aku nggak lagi punya banyak waktu buat kamu. Kurang perhatian. Nggak bisa sering-sering menemani kamu walaupun sudah seharusnya kamu mandiri. Selain itu aku paham betul kalau sekarang di dekatmu ada orang yang sudah duluan menempati hatimu. Yang ada sebelum aku.
Kalau kamu merasa dia lebih baik daripada aku, ya sudah, Dri. Apapun yang terbaik buat kamu. Ini kado tambahan dariku buat kamu.
Maafin aku ya, Dri. Selama ini sudah punya banyak salah sama kamu.
Semoga kamu bahagia.

Salam,
Galang Kuncoro Jati


Madri tercenung menatap helaian kertas yang ada di tangannya. Ia baru tersadar ketika ada nada PING! menggema dari ponselnya. Diraihnya ponsel itu.

Hai, Dri! Aku punya free pass lagi buat hari Sabtu. Mau nonton bareng aku?

Tanpa pikir panjang, Madri mengetikkan balasannya : Mas Reddy mau jemput jam berapa?

Sambil menunggu balasan dari Reddy, Madri menghapus nama Galang dari list BBM-nya.

Ya sudah kalau itu maumu...

* * *

Bersambung ke : Cinta Dua Masa #6

5 komentar:

  1. Aku jadi sedih. Galang ... Oh Galang.

    BalasHapus
  2. woooo...
    si madri njaluk diumbah karo rinso ancene...
    ngambek cuma gara2 galang telat datang ???
    ke laut aja, neng...
    manja banget jadi perempuan.
    cowok baik, sabar, dan tanggung jawab itu sudah hampir punah, tauk !!

    #esmosi #ngomelsendiri #sebel

    BalasHapus