Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #4
* * *
Hadiah
ulang tahun yang tepat buat Madri?
Galang berbaring di ranjangnya dengan mata
terbuka lebar menatap langit-langit. Berpikir dan berpikir.
Hm...
Apa yang paling dia butuhkan saat ini?
Tahun lalu ia sudah memberi sehelai gaun
cantik yang ia sambar dari salah satu butik ibunya. Tahun sebelumnya, ia
berikan helm dan jaket dengan warna kesukaan Madri, yang masih gadis itu pakai
sampai sekarang kalau naik motor.
Gadget?
Galang
mengubah posisinya, jadi telungkup.
Madri masih punya ponsel yang bagus.
Tergolong baru. Belum lama dibelikan papanya karena yang lama rusak akibat
terjatuh.
Hm...
Sebetulnya aku tahu yang dia butuhkan sekarang.
Galang berguling. Kembali telentang menghadap
langit-langit kamarnya.
Tapi...
Galang menolehkan kepalanya. Menatap kalender
dengan angka besar-besar yang tergantung di dinding kamarnya.
Sepuluh
hari lagi...
Ia mengerjapkan matanya yang mulai berat.
Apakah
aku sudah siap?
Mulutnya menguap lebar-lebar. Dan Galang pun
mulai terseret ke alam mimpi.
* * *
Dengan agak gelisah, Galang melirik arloji
yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir pukul enam sore.
Tapi kelihatannya meeting yang harus
dihadirinya belum ada tanda-tanda berakhir.
Aduuuh...
Galang mengeluh dalam hati. Walau kelihatannya
ia berkonsentrasi pada meeting itu,
tapi otaknya sibuk menghitung-hitung. Kira-kira sampai jam berapa nanti ia baru
sampai di rumah Madri.
Semoga
tidak terlalu malam...
Diulang-ulangnya doa itu dalam hati. Ketika
jarum jam arlojinya hampir menunjuk pukul tujuh tepat, barulah meeting itu berakhir. Setengah mati
Galang menahan diri untuk tidak langsung meloncat keluar dari kantor. Sambil
berjalan ke arah tempat parkir motor Galang berpikir-pikir, apakah langsung ke
rumah Madri, ataukah pulang dulu untuk mandi?
Ke
ulang tahun Madri dalam kondisi kucel begini?
Akhirnya Galang memilih opsi kedua.
* * *
Acara syukuran itu berlangsung sederhana,
tapi hangat. Karena hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat. Satu hal yang
terasa mengusik hati Madri. Hingga acara makan malam hendak dimulai pada pukul
tujuh, Galang belum juga menampakkan diri.
Kresna menggeleng ketika Madri mengirimkan
tatapan bertanya. Kresna memasukkan ponselnya ke dalam saku.
“Nyambung, tapi nggak dijawab,” gumam Kresna.
Madri menghela napas panjang. Ia menoleh
ketika Andria menyenggol lengannya.
“Mana Mas Galang?” usik Andria.
“Nggak tau,” jawab Madri, sedih. “Dari tadi
nggak bisa dihubungi.”
“Ulang tahun pacar sendiri kok lupa?” Chika nimbrung, menggerutu.
“Nggak lupa,” nada suara Madri penuh pembelaan.
“Tadi pagi dia udah kirim BBM selamat ultah.”
“Hm...”
“Pasti datang...,” celetuk Day, optimis.
“Iya, jam berapa?” Chika melirik sadis.
“Tengah malem?”
Dan tatapan tajam Madri menyambar Galang
begitu pemuda itu muncul menjelang setengah sembilan malam. Tak diperhatikannya
lagi wajah Galang yang terlihat lelah.
“Maaf, Dri, aku telat...”
“Banget!” sambar Madri galak.
“Iya, maaf, tadi aku ada...”
“Telat ya telat aja! Nggak usah kebanyakan
alasan!” Madri berbalik begitu saja.
Galang menatap punggung Madri dengan putus
asa. Kresna mendatanginya.
“Kamu dari mana aja sih? Ditungguin dari
tadi!”
“Aku ada meeting,
Kres. Mendadak,” Galang mengusap wajahnya.
Kresna menatapnya tanpa bisa berkata apapun.
Galang terlihat jujur. Diraihnya bahu Galang.
“Kamu sudah makan?”
Galang menggeleng.
“Ayo, kamu makan dulu,” Kresna merangkul bahu
Galang, kemudian menariknya ke ruang makan.
Jatmiko dan Swandini mengerti betul posisi
Galang. Hanya saja Madri terlanjur ngambek. Galang maklum, karena ia memang
terlambat, dan hari ini adalah hari yang sangat istimewa buat seorang Madri.
“Maafin Madri, Lang,” ucap Swandini lembut
sambil menyodorkan berbagai lauk kepada Galang. “Masih banyak tersisa sisi
kanak-kanaknya.”
“Iya, Tante, saya mengerti,” Galang
mengangguk. “Saya juga salah kok.”
Swandini menepuk lembut bahu Galang.
Hingga ia mengikuti semua orang luar yang
hadir untuk pamit pulang setengah jam kemudian, Madri tak sekalipun menoleh
padanya. Sambil berusaha menikmati makan malamnya, Galang terpaksa mengalihkan tatapannya
setiap kali melihat Madri tertawa bersama Andria, Chika, Day, Kresna, Denny, dan...
Reddy. Terutama Reddy.
Ketika ia berpamitan pada Madri, gadis itu
hanya menggumam tak jelas. Ketika ia mencoba untuk mencium ringan kening Madri
sambil sekali lagi mengucapkan selamat ulang tahun, gadis itu mengelak.
Galang menghela napas panjang sambil
melajukan motornya pergi. Sampai di taman kompleks dekat tempat tinggal Madri,
ia berhenti. Ia duduk sejenak di sebuah bangku beton. Berusaha menenangkan
diri.
Ketika ia menengadah, terlihat olehnya langit
malam yang dihiasi kerlip bintang. Pemandangan yang sungguh berbanding terbalik
dengan suasana hatinya. Pelan ia mendesah. Dan sekali lagi mendesah ketika
menatap ke arah jok motornya.
Hadiah ulang tahun untuk Madri sudah
diselipkannya di antara tumpukan kado di sudut ruang makan. Nyaris paling
bawah. Nyaris tak kelihatan saking tipisnya. Dan di bawah jok motornya ada
hadiah lain yang tadinya hendak diberikannya juga pada Madri, tapi batal
mengingat ia sendiri sebetulnya belum siap.
Tapi setelah semuanya yang baru saja terjadi?
Galang menghela napas panjang.
Ia sudah menjelma menjadi manusia yang sibuk
sekarang. Sekuat tenaga mengikuti ritme tinggi yang berjalan di kantor
tempatnya bekerja. Masih ada celah-celah untuk melakukan kesalahan sebagai
orang baru yang masih hijau, tapi ia tak mau berada di celah itu.
Dan semua ditebusnya dengan waktu yang makin
berkurang untuk Madri. Bahkan pada saat hari ulang tahun yang sangat istimewa
buat Madri. Sweet seventeen. Walaupun
tanpa perayaan besar yang berlebihan.
Mungkin
memang sudah saatnya.
Galang berdiri dan melangkah ke arah
motornya. Dibukanya jok motor. Diambilnya sehelai amplop. Kemudian
dimasukkannya amplop itu ke dalam jaketnya.
Mungkin
ini yang kamu butuhkan, Dri...
Galang mulai menghidupkan motor dan berbalik
arah. Tak berapa lama, ia pun sampai kembali di depan rumah Madri.
Dikeluarkannya amplop dari dalam jaket, kemudian dimasukkannya amplop itu ke
kotak surat. Sebelum meninggalkan tempat itu, dipencetnya sebuah tombol.
Membuat sebuah lampu kecil berwarna merah di atas kotak surat itu
berkedip-kedip.
Maafkan
aku, Dri...
Galang pun berlalu.
* * *
Madri membuka kado terakhir itu dengan
setengah hati. Ia tahu kado itu dari Galang. Karena semua kado yang sudah dibukanya
belum ada yang berasal dari Galang. Kertas kado berwarna biru muda yang
menyelimuti kotak persegi tipis itu disobeknya. Sebuah kartu ditemukannya di
dalam, berisi deretan tulisan Galang yang rapi.
Selamat
ulang tahun ke-17, Madri sayang... Semoga bertambah cantik dan dewasa, tapi
tetap menggemaskan...
Seuntai kalung emas yang menyatu dengan plat
berbentuk ukiran huruf-huruf namanya tampak mengkilat ditimpa cahaya lampu.
Bentuk yang sederhana, tapi indah.
Madri termangu menatapnya. Dihelanya napas
panjang.
Jadi
kehadiranmu cukup digantikan dengan ini?
Madri mengerjapkan matanya. Mulai basah.
Sesungguhnya akhir-akhir ini ia cukup
kehilangan Galang. Pekerjaan Galang seolah menyita hampir seluruh waktu yang
dipunyai pemuda itu. Bahkan terkadang hari Sabtu pun Galang masuk kerja.
Madri berusaha mengerti. Galang adalah
penerus ayahnya kelak. Dengan tanggung jawab yang sedemikian besar.
Tapi
apa harus segitunya? Katanya cuma cari pengalaman sebelum meneruskan kuliah di
Australia? Yang bekerja betulan seperti Mas Reddy aja nggak kayak gitu! Huh!
Madri meninggalkan kalung itu tetap di dalam
kotaknya. Tetap tergeletak di atas meja. Ia kemudian beralih ke atas
ranjangnya. Besok ada kuliah pagi. Ia sungguh tak ingin menghabiskan waktunya
merenungi acara ulang tahunnya yang jadi sedikit tidak menyenangkan karena Galang terlambat datang.
* * *
Dengan wajah lelah, Madri mendorong pintu
kamarnya. Siang yang panas membuatnya tak ingin berlama-lama di kampus walaupun
ada perpustakaan yang cukup nyaman untuk sedikit mendinginkan badan. Baru saja
hendak melepas sepatu, matanya sudah tertumbuk pada sehelai amplop putih yang
ada di atas mejanya.
“Kapan datangnya, Bik?” tanyanya pada Tunik
yang muncul membawa segelas es jeruk untuknya.
“Nggak tahu, Mbak. Tadi pagi waktu Bibik mau pergi belanja,
sudah ada di kotak surat.”
“Oh...”
Dan mata Madri langsung mengenali tulisan
yang tertera pada amplop.
Mas
Galang, gumamnya sambil meraih amplop itu, kemudian membukanya.
Dear
Madri,
Sebelumnya
aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena menulis surat ini. Jujur, aku nggak
sanggup untuk ngomong langsung sama kamu. Katakanlah aku pengecut, oke aku terima.
Dri,
akhir-akhir ini aku merasa nggak bisa lagi kasih kamu yang terbaik. Waktuku nyaris
habis di kantor. Ternyata banyak banget yang harus kupelajari. Bukan lagi sekadar
cari pengalaman.
Aku nggak
lagi punya banyak waktu buat kamu. Kurang perhatian. Nggak bisa sering-sering menemani
kamu walaupun sudah seharusnya kamu mandiri. Selain itu aku paham betul kalau sekarang
di dekatmu ada orang yang sudah duluan menempati hatimu. Yang ada sebelum aku.
Kalau
kamu merasa dia lebih baik daripada aku, ya sudah, Dri. Apapun yang terbaik buat
kamu. Ini kado tambahan dariku buat kamu.
Maafin
aku ya, Dri. Selama ini sudah punya banyak salah sama kamu.
Semoga
kamu bahagia.
Salam,
Galang
Kuncoro Jati
Madri tercenung menatap helaian kertas yang ada
di tangannya. Ia baru tersadar ketika ada nada PING! menggema dari ponselnya. Diraihnya ponsel itu.
Hai,
Dri! Aku punya free pass lagi buat hari Sabtu. Mau nonton bareng aku?
Tanpa pikir panjang, Madri mengetikkan balasannya
: Mas Reddy mau jemput jam berapa?
Sambil menunggu balasan dari Reddy, Madri menghapus
nama Galang dari list BBM-nya.
Ya sudah
kalau itu maumu...
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #6
Aku jadi sedih. Galang ... Oh Galang.
BalasHapusmakin seru nih , good post mbak
BalasHapusNah, makin sulit tebak endingnya.... ;)
BalasHapuswoooo...
BalasHapussi madri njaluk diumbah karo rinso ancene...
ngambek cuma gara2 galang telat datang ???
ke laut aja, neng...
manja banget jadi perempuan.
cowok baik, sabar, dan tanggung jawab itu sudah hampir punah, tauk !!
#esmosi #ngomelsendiri #sebel
HIks, kok Madri tega........
BalasHapus