Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #29
* * *
“Kamu mau tinggal di sini atau Bogor, An?” Steve menatap Anna dengan serius.
Tak ada kamar pengantin. Belum ada rumah baru. Belum ada keputusan akan tinggal di mana. Anna balik menatap Steve.
“Tapi kan kamu tahu aku punya usaha di sini, Mas.”
“Nah, makanya aku tanya, kamu mau tinggal di mana,” Steve menjelaskan dengan sabar. “Kalau di sini, kamu mau tinggal di rumahmu, di sini, atau rumah baru?”
Anna tercenung sejenak.
Bayangan tentang sebuah pernikahan yang pernah terlintas dalam kepalanya adalah hidup dalam rumah kecil yang nyaman hanya bersama dengan orang yang dicintainya. Ketika semua itu terlalu cepat terjadi, dia hanya bisa dirayapi rasa gamang.
Kembali ke rumah?
Rasa-rasanya itu bukan pilihan bagus. Apalagi bila kelak Jemmy menikah dengan Pradnya. Mungkin tak lama lagi hal itu akan terjadi, dan sepertinya dia harus keluar dari sana. Lagipula belum tentu juga Steve cocok tinggal di sana dan tidak menimbulkan masalah baru.
Di rumah baru?
Anna meraba perutnya.
Dengan kondisi seperti ini harus berjibaku mengurus rumah baru?
Rasanya juga bukan pilihan yang tepat. Ditatapnya Steve.
“Kalau sementara tetap di sini, apa Mama keberatan?”
Steve menggeleng. “Mama justru lebih senang kalau kita tinggal di sini. Aku juga akan lebih tenang meninggalkanmu setiap hari untuk bekerja. Lagipula kan pet shop-mu nggak terlalu jauh. Aku bisa mengantar-jemputmu tiap hari.”
“Jadi alternatif terbaik sudah jelas kan?”
Steve mengangguk. “Nanti kalau kondisinya sudah memungkinkan, aku akan cari rumah baru untuk kita. Di mana saja kamu menginginkannya, An.”
Anna menikmati belaian Steve di perutnya. Ditatapnya cahaya dalam wajah Steve.
Akankan seterusnya kamu mencintaiku seperti ini, Mas?
Tangan Anna terulur, meraba helai-helai rambut Steve. Steve yang merasakan sentuhan halus itu tertegun sejenak. Pelan dia menarik Anna ke dalam pelukannya, mempertemukan keningnya dengan kening Anna.
“Aku mencintaimu, An, selamanya...”
Ada kehangatan yang terasa mengalir dalam setiap pembuluh darah Anna. Mungkin memang benar dia pelabuhan terakhir Steve. Mungkin memang benar laki-laki itu betul-betul mencintainya. Tapi seperti itu jugakah dia pada Steve?
Anna menelan ludah.
Aku akan berusaha. Akan terus berusaha...
* * *
Anna menatap Rafael dengan perasaan bersalah. Dibantu Steve, laki-laki itu sibuk memasukkan semua barang pribadinya ke dalam beberapa dos.
“Gara-gara aku, Mas Rafa harus pindah kamar,” sesal Anna, meraih beberapa benda untuk dimasukkannya ke dalam dos yang masih kosong.
Rafael mengangkat wajahnya sejenak. Tersenyum.
“Nggak apa-apa,” jawabnya. “Kalian kan memang perlu ruang yang lebih luas.”
“An, aku saja yang bantu Rafa,” Steve menggelengkan kepala. “Kamu jangan terlalu capek.”
“Ya sudah, aku bantu Mama saja,” Anna beranjak pergi dari kamar itu.
Setelah Anna tak kelihatan lagi, Steve sejenak menghentikan kegiatannya. Ditatapnya Rafael dengan sangat menyesal.
“Seandainya aku bisa berpikir sebelum...,” Steve menggantung kalimatnya.
“Penyesalan itu datangnya selalu belakangan,” nada suara Rafael terdengar menggoda, disambung tawa ringan. “Kalau di depan namanya pendaftaran. Hehehe...”
Steve tersenyum karenanya.
“Aku nggak menyesal menikahi Anna,” gumam Steve, kembali sibuk. “Hanya masih tersisa penyesalan soal caranya. Seharusnya aku bisa memberinya kebahagiaan lebih.”
“Sudahlah,” Rafael menepuk bahu Steve sambil berdiri. “Yang penting hari ini, besok, besoknya lagi, dan besoknya lagi. Tanggung jawabmu sudah bertambah.”
Steve menatap punggung Rafael yang akhirnya menghilang di balik pintu. Sejenak kemudian dia pun berdiri dan mengikuti apa yang dilakukan Rafael. Mengangkat beberapa dos untuk dipindahkan ke salah satu kamar di lantai atas.
* * *
Anna membaringkan tubuhnya dengan perasaan lega. Akhirnya renovasi itu selesai juga. Memperbesar kamar yang ditempatinya bersama Steve dengan ‘menginvasi’ kamar Rafael di sebelahnya. Menjebol dinding pembatas sekaligus merapikan dan mengganti warna cat tembok. Kamar itu sekarang menjadi dua kali lebih luas dan terasa jauh lebih lega.
Steve melemparkan tubuhnya ke atas ranjang dan mendarat tepat di sebelah Anna. Wajahnya terlihat lelah, tapi tampak cerah.
“Sementara begini dulu ya, An?” bisiknya. “Pelan-pelan semuanya kita tata jadi lebih baik lagi.”
Anna menggenggam tangan Steve. “Aku nggak pernah menuntut apa-apa.”
Steve balas menggenggam tangan Anna. “Aku tahu.”
Lalu keduanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Dengan masih berpegangan tangan.
“Kamu bahagia, An?” desah Steve tiba-tiba.
Anna menggerakkan kepalanya. Ditatapnya profil sempurna Steve yang masih tertelentang menatap langit-langit kamar.
“Memangnya kebahagiaan itu jauh?” Anna memiringkan badannya, menghadap ke arah Steve. “Ada di hati, Mas. Hati kita sendiri.”
Steve pun memiringkan badannya, dan kini keduanya berhadapan. Ditatapnya Anna. Tangannya terulur, membelai kening, pelipis, dan pipi halus Anna. Anna memejamkan mata. Menikmati belaian lembut itu. Seketika hatinya terasa damai. Tak lagi mengkhawatirkan apa-apa.
* * *
Adita menatap mobil yang masuk ke pelataran parkir kompleks ruko itu dari balik jendela ruang kerjanya di lantai atas. Sudah berlalu hampir dua minggu sejak acara pernikahan Steve dan Anna, baru hari ini dia melihat Rafael datang lagi.
Pelan Adita beranjak ke mejanya. Ingin terlihat tengah sibuk di depan laptop saat Rafael muncul. Dan benar saja, beberapa menit setelah Adita membuka file keuangan warungnya, Rafael muncul. Adita mengalihkan tatapannya dari layar laptop ketika didengarnya sapaan Rafael.
“Dit, sibuk?”
Adita menggeleng sambil tersenyum.
“Kondisimu sudah lebih baik?”
Adita mengangguk. Rafael menatapnya dengan kening berkerut. Adita melebarkan matanya, bertanya.
“Puasa ngomong?” Rafael menatap Adita, polos.
Gadis itu tergelak seketika. Ditariknya tangan Rafael sehingga laki-laki itu terduduk di sofa. Adita pun duduk di sebelahnya.
“Gimana kabar pengantin baru?” tanya Adita.
“Baik-baik saja. Berhasil menyingkirkan aku dari kamarku,” Rafael tertawa.
“Kok?” Adita menaikkan alisnya.
“Iya... Mereka butuh ruang yang lebih luas. Jadinya pembatas kamarku dan kamar Steve dijebol. Aku pindah ke kamar atas.”
“Oh... Jadi keputusannya mereka tinggal di rumah kalian.”
“Untuk sementara waktu,” Rafael mengangguk. “Mainlah ke rumah walaupun nggak ada aku. Mama pasti senang kalau kamu datang.”
“Iya, nanti kalau aku ada waktu senggang pasti main ke sana. Kangen juga sama Mbak Anna. Biasanya tahu-tahu dia nongol aja di sini, ngemil ini-itu sambil ajak aku ngobrol kalau pet shop lagi bisa ditinggal. Sejak nikah belum aktif lagi di pet shop kayaknya...”
“Sibuk pindahan dan renovasi. Awal minggu depan mungkin sudah aktif lagi.”
“Tante gimana kabarnya? Baik? Sehat?”
“Baik. Cukup antusias dengan kehadiran menantu baru sekaligus calon cucu.”
“Ge-pe-el ya?” Adita nyengir. “Gak pake lama.”
Rafael tertawa.
Setelah terasa agak sumpek setiap kali pulang ke Jakarta sejak ada Anna di rumah, baru kali ini Rafael merasa bisa sedikit lega. Hanya dengan duduk saja di sebelah Adita, seolah semua rasa sesak yang menghimpit dadanya menguap begitu saja.
* * *
Sebetulnya ada banyak hal yang terasa masih mengganjal perasaan Adita. Tapi untuk membicarakan itu dengan Rafael, Adita tak tahu harus mulai dari mana. Apalagi Rafael seolah menganggap semuanya terjadi wajar, baik-baik saja, dan membiarkannya mengalir.
Gamang itu kian terasa, tapi dia segan untuk menuntut apa-apa. Menuntut Rafael untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya. Maka dia lebih banyak diam. Membiarkan lamunan sekali-sekali menyeret Rafael pergi untuk kembali lagi beberapa kejap kemudian.
Apakah aku pantas mengeluh?
Adita mengerjapkan mata.
Setelah semua yang sudah kuterima?
Adita menghela napas pelan. Tak ingin terlalu kentara merasa sesak di depan Rafael.
Seharusnya aku bersyukur, tidak perlu memelihara bimbang seperti ini.
Rafael meletakkan cangkir jahe hangatnya yang sudah kosong. Diedarkannya tatapan ke sekeliling.
“Sudah sepi,” Rafael menatap arlojinya sejenak. “Sudah lewat jam dua belas. Mau tutup sekarang?”
Adita mengangguk.
Setelah semua karyawan Adita berpamitan, Rafael membantu Adita mengunci pintu belakang. Selama beberapa detik waktu seolah membekukan waktu Rafael. Melemparkannya kembali pada suatu masa ketika dia dan Adita untuk pertama kalinya berada di tempat ini. Lalu berputar lagi pada suatu masa ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Adita.
Rafael menimang sejenak kunci di tangannya sebelum berbalik dan menyerahkan kunci itu pada Adita. Berdua mereka beriringan keluar dari pintu depan. Setelah mengunci pintu, Adita pun menyusul Rafael. Tanpa kata, Rafael membuka pintu kiri depan dan menutupnya kembali setelah dilihatnya Adita duduk dengan nyaman.
Setelah kejadian mengguncang hati di rumah sakit saat Steve marah besar itu, Adita tak lagi mau menggunakan mobil yang dipinjamkan oleh Lea padanya. Sehari-hari dia menggunakan angkutan umum dan ojek untuk mengantarkannya dari rumah ke ruko. Untuk pulang, dia mengandalkan salah seorang karyawannya untuk mengantarkannya dengan menggunakan motor.
Pelan Rafael menekan pedal gas. Keheningan menyelimuti mereka. Tak ada satu pun yang kelihatan punya keinginan untuk buka suara. Keduanya begitu saja menikmati keheningan itu. Membiarkan semuanya mengalir.
Terus mengalir hingga entah bermuara di mana...
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
- - - - - - - - - - - - - - -
Sebelum masuk ke tayangan cerbung baru lagi (baru tapi lama, hasil revisi), FiksiLizz akan menayangkan cerpen stripping (tayang tiap hari) hasil kolaborasi dengan Mas Ryan Mintaraga mulai Senin, 17 Agustus 2015. MERRRDEKAAA!!!
NB. Hari Jumat-Minggu besok ini nggak akan ada tayangan baru di FiksiLizz karena yang punya FiksiLizz mau kelilingan dulu ke blog-blog asyik lainnya plus balesin semua utang komen.
Yaaaaa selesai ceritanya, padahal masih asyik ngikuti cerit ini. Akhir ceritanya dibuat beda ya Bu dengan yang pernah ditayangkan di K. Ditunggu cerita asyik berikut nya ya Bu, semoga Bu Lizz sehat selalu.....
BalasHapusMakasih hadirnya, Mbak Mirna... Maaf banget telat polll balesin komennya. Semoga yang tertayang di blog ini nggak bikin bosen pembaca.
HapusLagune melly
BalasHapusGANTUNG
Hehehe...
HapusGak sabar. Habis didit loli langsung tayang ya.....ben aku ketularan semangat. Merdekaaaa!!!
BalasHapusMerrrdekaaa!!!
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur...
Hapusada epilognya gak??? satu episode saja,, biar ikut merasakan kebahagian Anna-Steve & Rafael-Adita. Kalau dibanding dengan versi yang dulu lebih suka yang ini. rasanya lebih nyaman dihati,,
BalasHapusHehehe... Nanti, Mbak... Mungkin akan ada cerita 'jembatan' antara cerita ini dengan LIFT. Makasih singgahnya...
HapusJahat gak ya kalau saya merasa baiknya Rafael jangan menikah dengan Adita. Rafael yg baik pantas mendapatkannya perempuan yg sesuai kriteria-nya, bukan dengan seseorang yg karena terpaksa walaupun itu memang hanya awalnya :-)
BalasHapusSiaaap! Disimpen dulu 'kejahatannya' yaaa... Hahaha...
HapusMakasih, Fris...
Bu, bukannya ini Rafael yang nikah sama mbak Renata y?
BalasHapusBetul, Mbak Hana... Sepertinya suatu saat nanti akan ada judul baru yang menjembatani RRU ini dengan LIFT-nya Rafael-Renata.
HapusMakasih atensinya...
Bisa ga kisah cinta rafael-adita berlanjut
BalasHapusBisa banget, Mas. Sudah ada dalam rencana. Hanya tinggal tunggu mood saja untuk menyelesaikannya. Mungkin setelah tamat cerbung terbaru nanti (yang akan tayang mulai awal tahun 2018). Terima kasih singgahnya, salam kenal...
Hapus