Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #28
* * *
Dengan
kecepatan penuh, Steve mengemudikan mobilnya membelah jalanan. Berkali-kali dia
melirik spion tengah, dan pemandangan di jok belakang tetap sama. Wajah
karyawati Adita yang panik, dan wajah pucat pasi Adita yang terkulai tak
sadarkan diri di sebelahnya. Rasa bersalahnya semakin menumpuk.
Siang
itu dia memutuskan untuk mendatangi Adita dan meminta maaf pada gadis itu.
Berharap segalanya berakhir manis dengan ucapan pengampunan dari Adita. Tapi
yang dijumpainya adalah kejadian lain. Adita seakan menahan sakit yang amat
sangat ketika dia datang. Untunglah dia masih sempat menangkap tubuh limbung
itu sebelum terlambat.
Dan
setelah perjalanan yang terasa paling panjang dalam hidupnya, akhirnya dia bisa
mencapai rumah sakit dengan selamat. Dengan ban berdecit karena direm mendadak
dari kecepatan tinggi. Tepat di depan IRD.
Secepatnya
Adita ditangani, dan secepat itu pula sebuah kenyataan menghantam Steve. Ketika
dokter yang merawat Adita memanggilnya. Dokter Mia Santosa, SpOG. Istri omnya
sendiri.
“Steve,
dia siapamu?” selidik dokter Mia.
“Pac...
eh, kawanmya Rafael,” jawab Steve gelagapan.
“Adiknya
udah tahu?”
Steve
terpaksa menggeleng. “Aku nggak tahu, Tante.”
“Steve,
dia harus segera dioperasi.”
“Sakit
apa sebenarnya dia?”
Dokter
Mia menatap Steve agak lama. Seperti menimbang sesuatu. Dan dia pun bertanya,
“Sedekat apa kamu dengan dia?”
“Nggak
terlalu dekat, Tante. Dia teman Rafael.”
“Teman dekat?”
“Ya,”
jawab Steve tegas.
“Tante
nggak bisa bilang padamu, Steve. Seharusnya adiknya yang Tante beritahu kondisi
Adita. Karena dia nggak punya keluarga lagi selain adiknya.”
“Tan,
bilang ajalah sama Mama. Mama kenal dia kok. Saya panggilin Mama ya, Tan? Mama
ada di kamar Rafa.”
Dokter
Mia terpaksa mengangguk. Terpaksa memilih sesuatu yang seharusnya menjadi
pilihan terakhir. Memberitahu ‘orang luar’ tentang kondisi Adita. Karena segala
sesuatunya sudah begitu mendesak.
* * *
Sedikit
kehangatan itu membuat Adita membuka matanya. Terasa ada genggaman lembut di
tangannya. Sakit itu masih terasa sedemikian menusuk. Tapi entah kenapa
segalanya jadi berkurang dengan adanya genggaman tangan itu. Dia menoleh sedikit,
dan mengeluh dalam hati ketika menyadari siapa pemberi kehangatan itu. Dipejamkannya
matanya kembali.
“Kenapa
kamu nggak pernah bilang kalau kamu sakit?”
Ada
nada penyesalan yang sangat dalam suara lembut itu. Membuat Adita tergugu.
Tanpa bisa ditahannya, butiran airmata meleleh dan meluncur jatuh dari sudut
matanya.
“Uang
itu untuk pengobatanmu kan? Bukan buat Velma?”
Dan
lelehan airmata itu kini menderas. Disertai isak tertahan. Sebuah kepala
menempel pada kepalanya, disertai bisikan yang begitu dekat, “Menangislah kalau
itu membuatmu lega, Dit...”
Dan
segala pertahanannya hancur. Adita tersedu. Dengan pipi Rafael menempel pada
pipinya.
“Siapkan
dirimu buat operasi ya?” bisik Rafael lembut. “Kamu nggak sendirian, ada aku.
Kistamu harus segera diangkat, supaya kamu nggak kesakitan lagi.”
“Mas,
makasih... buat semuanya...,” ucap Adita kemudian, terbata.
Rafael
mengusap lembut rambut Adita. “Janji, kamu akan baik-baik aja ya?” bisiknya.
Adita
mengerjapkan mata. Dan butiran bening itu mengalir lagi setelah Rafael harus
pergi dengan kursi roda yang didorong seorang perawat. Kembali ke kamar
perawatannya.
* * *
Segala
pernak-pernik pernikahan itu disiapkan secara kilat. Terpaksa hanya sederhana
mengingat tak ada waktu lagi untuk membuat pesta yang lebih meriah. Dengan
teguh, Steve dan Anna bergandengan tangan untuk melampaui semua keruwetan itu.
Steve
berusaha melupakan siapa yang sebenarnya ada dalam hati Anna. Steve sudah
bertekad untuk melabuhkan seluruh cintanya pada Anna. Tanpa syarat. Dibalas
ataupun tidak.
Ada
yang berdenting dalam hati Anna melihat betapa Steve tiap kali menatapnya
dengan penuh kekhawatiran, sekaligus cinta. Membuatnya secara penuh berusaha
untuk menerima sosok Steve menjadi calon pendamping hidupnya. Dan melupakan
jauh-jauh sosok Rafael walaupun itu bukan perkara yang mudah.
Rafael
sendiri terkesan acuh tak acuh terhadap semua persiapan itu walaupun masih
berusaha membantu sekadarnya di tengah minimnya waktu senggang yang dia miliki.
Begitu kondisinya mulai pulih, dia sibuk menyelesaikan banyak perkerjaan yang
tertunda selama dia sakit dan menyelesaikan beberapa pekerjaan Steve yang
didelegasikan padanya sementara Steve mengurusi acara pernikahannya. Ketika
tidak sedang berada di Bogor pun dia lebih banyak menemani Adita menjalani masa
pemulihannya.
Lea
cukup pontang-panting membantu Steve dan Anna menyiapkan semuanya. Dia
satu-satunya orang yang berstatus ‘orang tua’ dalam keseluruhan acara itu
karena orang tua Anna sendiri keduanya sudah tiada beberapa tahun yang lalu. Jemmy
sendiri sudah menyerahkan semuanya pada Lea. Dan ketika semuanya siap, satu-satunya
yang bisa dilakukan Lea adalah menarik napas lega, kendati belum bisa
sepenuhnya karena hari H-nya masih akan berlangsung besok.
* * *
Anna
menatap bayangannya di cermin. Dia akan menjadi seorang pengantin hari ini.
Sesuatu yang sungguh jauh dari bayangannya semula tentang sebuah pernikahan. Tapi
tak ada waktu lagi untuk menyesali semua kebodohan yang telah dilakukannya
bersama Steve. Yang ada sekarang hanyalah bagaimana memperbaiki semua hasil
dari kebodohan itu dan menjalani hal-hal yang lebih baik.
Dihelanya
napas panjang. Masih ditatapnya bayangan di cermin. Tubuhnya mulai terlihat
lebih berisi dalam balutan gaun pengantin yang pas di badan. Ketika dia mencoba
berdiri dan mengambil posisi menyamping, dia bernapas sedikit lebih lega karena
kehamilannya belum begitu nyata terlihat.
“Cantik
kok,” senyum Pradnya. “Banget...”
Anna
turut tersenyum karenanya. Ditatapnya kekasih Jemmy itu.
“Jadi
terpaksa langkahin Abang dan Kakak.”
“Nggak
apa-apa,” Pradnya menggeleng ringan. “Jemmy dan aku memang belum siap kok.”
Anna
kembali menatap cermin.
Apa yang akan terjadi,
terjadilah...
* * *
Di
mata Steve, Anna adalah pengantin tercantik yang pernah dilihatnya. Senyum Anna
sudah melambungkan hati Steve sedemikian rupa hingga dia merasa yakin akan bisa
melampaui hal terberat apapun di dunia ini bersama Anna.
Dan
cahaya di mata Steve seketika meluruhkan semua keraguan Anna. Mungkin Steve
memang bad boy, tapi hari ini
semuanya seolah lebur dalam satu janji pernikahan yang diucapkannya sendiri
dengan lantang dan mantap. Makin memupus semua kekhawatiran Anna tentang akan
jadi apa pernikahan ini kelak.
Lea
menatap semuanya itu dengan mata mengaca. Separuh tugasnya sudah selesai. Sudah
diantarkannya Steve pada kehidupan barunya walaupun harus mengalami banyak jalan
berliku dan berbagai peristiwa yang cukup membuatnya sakit kepala. Diam-diam
dia melirik ke samping kanan. Pada Adita yang duduk manis tepat di sebelahnya,
dan Rafael di sebelah Adita. Pelan, dihelanya napas panjang.
Masih
ada separuh lagi tugas yang belum selesai. Entah mengapa dia merasa bahwa apa
yang akan dihadapinya esok tidaklah semulus yang dia harapkan. Masih banyak
yang terasa ‘gelap’ dari hubungan Rafael dan Adita. Membuat jantungnya berdebar
lebih kencang bila memikirkannya.
Rafael
sendiri menatap semua acara yang berlangsung itu dengan hati luar biasa kosong.
Bagaimanapun Anna masih bisa menggoncang setiap sisi hati yang dia miliki.
Walaupun sudah ada Adita di sisinya, tapi sesungguhnya bayangan Anna masih juga
ada di setiap sudut tersembunyi di hatinya.
Adita
bukannya tak menyadari hal itu. Semuanya perlahan membuat hatinya sendiri gamang
untuk melanjutkan apa yang sudah dia mulai bersama Rafael. Ditatapnya kebahagiaan
Steve dan Anna di depan matanya itu. Pelan dia menghela napas panjang.
Apa yang akan terjadi, terjadilah...
* * *
Bersambung ke episode terakhir : Rinai Renjana Ungu #30
Good post mbak
BalasHapusBeneran kamis ya.....bukan jumat hihi
BalasHapus