Episode sebelumnya : Infal #3
* * *
Baru saja Wati membuka pintu pagar
lebar-lebar, sebuah motor berhenti di dekatnya. Ia tersenyum lebar ketika
melihat siapa yang datang itu.
“Tunggu sebentar ya?”
Marsih mengangguk sambil membuka helmnya.
Sementara itu Suwondo melajukan mobilnya pelan-pelan. Rini Suwondo membuka kaca
jendela sebelah kiri depan.
“Siapa, Ti?”
“Dari laundry,
Bu.”
“Kamu ambil bajunya dulu, aku tungguin.”
“Baik, Bu.”
Wati berlari kecil masuk ke dalam rumah,
mengambil tumpukan baju bersih yang harus diseterika, yang sudah siap dalam dua
kantung plastik besar. Sebentar kemudian ia kembali lagi ke depan.
“Besok ke sini lagi jam segini ya?” pesan
Wati pada Marsih.
Marsih mengangguk.
“Nanti aku Whatsapp-in lagi,” bisik Wati kemudian.
Marsih kembali mengangguk. Setelah
berpamitan, Marsih pun meluncur pergi.
“Aku pergi dulu,” ucap Rini Suwondo. “Jaga rumah
baik-baik.”
“Baik, Bu.”
Dan Wati menarik napas lega begitu mobil yang
dikendarai Rini Suwondo benar-benar meluncur meninggalkan rumah itu.
* * *
Tak ada majikan di rumah bukan berarti Wati
bisa berleha-leha begitu saja. Saatnya mencuci baju yang sudah direndamnya
sejam yang lalu. Sambil mengoperasikan mesin cuci, ia membersihkan berbagai
pajangan di rak hias besar di ruang tamu.
Sejenak ia merasa seperti mengalami deja vu. Membersihkan semua pajangan di
rak hias. Tapi kali ini dia sendirian. Tidak bersama mamanya. Setelah selesai
dengan rak di ruang tamu, ia berpindah ke ruang keluarga. Baru kali ini ia bisa
mengamati foto setiap wajah yang menjadi penghuni rumah ini. Suwondo, Rini
Suwondo, seorang gadis cantik yang mewarisi garis ketampanan Suwondo, dan
seorang pemuda ganteng yang mewarisi garis kecantikan Rini Suwondo.
Semalam Rini Suwondo sekilas sudah
menceritakan dua orang anaknya itu. Diana, si sulung, tinggal di kota yang
sama, hanya saja sudah bekerja dan memilih untuk tinggal di apartemen di dekat
kantornya. Reginald, si bungsu, kuliah di Singapura. Dan hari ini, rencananya
Diana akan pulang ke rumah ini.
Ketika Wati tengah mengangkat cucian setengah
kering dari dalam mesin cuci, terdengar dua kali klakson dari luar. Ia segera
melesat ke depan untuk melihat siapa yang datang.
Sebuah city
car tampak berhenti di depan pintu pagar, menunggu untuk dibukakan pintu.
Begitu Wati membuka lebar-lebar pintu pagar, mobil itu meluncur masuk hingga ke
depan garasi.
Ketika Wati berbalik setelah menggembok
kembali pintu pagar, seorang gadis tinggi langsing berpenampilan modis keluar
dari dalam mobil. Wajahnya sama dengan yang sudah dilihat Wati di dalam foto. Ditatapnya
Wati dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Persis seperti ketika untuk
pertama kalinya Rini Suwondo bertemu dengan Wati.
“Siang, Non,” sapa Wati sopan. “Saya Wati,
infalnya Mbak Suni.”
“Hm...,” hanya itu tanggapan Diana sambil
berbalik, masuk ke dalam rumah melalui garasi.
Wati nyengir dalam hati. Typical anak orang kaya...
* * *
Kalau ibunya bisa bersikap baik kepada
seorang ART, sayangnya anaknya tidak. Ketika Diana menyuruh Wati untuk
membersihkan kamarnya, ada saja yang kurang. Sambil bersidekap dan sesekali
bertolak pinggang, Diana berceloteh tentang kurang ini atau kurang itu. Kurang
bersih, kurang pas meletakkan sesuatu, kurang wangi, dan lain sebaginya. Wati
berusaha melayaninya dengan sabar walaupun dalam hati sudah ingin menggetok
kepala Diana dengan gagang vacuum cleaner
yang dipegangnya.
“Sudah, Mbak?” Wati mengusap sebutir keringat
yang meluncur dari pelipisnya.
“Hm...,” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari
mulut Diana.
Wati kembali nyengir dalam hati sambil
mengurusi lagi baju-baju yang hendak dijemurnya.
* * *
“Itu baju-baju kenapa dimasukin ke kantong
plastik?! Kamu mau nyolong ya?!”
Wati terjingkat kaget mendengar bentakan itu.
Ia menoleh dan mendapati Diana tengah berkacak pinggang sambil menatapnya
dengan wajah marah. Segera ia menyadari apa yang telah terjadi.
“Bukan, Mbak...,” jawabnya dengan sabar.
“Baju-baju ini mau masuk laundry
besok, buat diseterika. Perjanjiannya, saya nggak menyeterika di sini. Kompensasinya,
baju kering yang sudah dicuci masuk ke laundry
buat diseterika. Ongkosnya tanggungan saya.”
“Lho! Kok enak bener?!”
Suara itu masih juga bernada tinggi. Terasa
menyakitkan di telinga Wati.
“Perjanjiannya memang begitu, Mbak.”
Ketika Diana hendak buka mulut lagi untuk
menghamburkan omelannya, terdengar dua kali bunyi klakson di luar. Wati segera
beranjak untuk membuka pintu pagar. Ia berlari kecil dari garasi ke pintu pagar
ketika dilihatnya mobil Suwondo sudah menunggu di depan.
“Mama
ini gimana sih? Terima babu infal kok mau enaknya sendiri?”
Suara itu sampai ke telinga Wati yang tengah
menggembok kembali pintu pagar.
“Mana
ada babu berlagak banget nggak mau menyeterika? Jangan-jangan dia anggota
komplotan perampok?”
“Hus!
Kamu ini ngomong kenapa sembarangan banget sih, Di? Mama ambil dia dari Bu
Retno. Lagian hari gini susah banget cari infalan. Masih untung Mama bisa dapat
dia. Bu Retno sendiri yang menjamin dia.”
“Ih!
Mama tuh, mau aja diinjek sama infalan.”
Diam-diam Wati mengelus dada mendengarnya.
Tanpa kata, ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Memasukkan baju
bersih yang sudah kering ke dalam kantong plastik.
“Buat makan malam nanti kamu mau siapkan apa,
Ti?”
Wati tersentak mendengar suara Rini Suwondo
di belakangnya. Ia menoleh.
“Chicken
Cordon Bleu, puree kentang, setup
sayur. Saya buat puding coklat tadi, Bu. Nanti disiram cocktail buah, buat penutup.”
Rini Suwondo melongo mendengar menu pilihan
ART infal yang satu itu.
* * *
Ketika menu itu terhidang, Diana hanya
menatapnya dengan malas. Chicken Cordon
Bleu ala kampung, Diana berucap sinis dalam hati. Mana ada ceritanya babu sok-sokan bikin makanan elit kayak gini? Huh!
“Kamu belajar di mana sih, bikin makanan luar
kayak gini?” Rini Suwondo menatap Wati.
“Diajarin Pa... eh, Bapak, Bu. Bapak pinter
masak,” Wati tersenyum manis.
“Oh...,” Rini Suwondo manggut-manggut.
“Majikanmu orang luar sih ya?”
“Iya, Bu. Selamat makan, saya tinggal dulu.”
Wati undur diri, kembali ke dapur. Menyiapkan
puding cocktail buah untuk makanan
penutup.
* * *
Mulut Suwondo mengerucut ketika melihat
keseluruhan penampilan Chicken Cordon
Bleu lengkap yang sungguh mengundang selera itu. Ayamnya tampak sempurna
berwarna coklat muda keemasan. Juga puree
kentang panggang yang penampilannya sangat manis karena dibentuk menggunakan
spuit. Juga setup sayur dengan warna cerah wortel, buncis, dan jagung manis
pipilan yang mengkilat sempurna.
“Hebat anak itu...,” gumam Suwondo ketika
mulai mengiris ayam. Ia berdecak ketika menemukan lembaran keju dan daging asap
yang tertata sempurna di dalamnya.
“Enak banget, Pa...,” Rini Suwondo mengunyah
suapan pertama sambil merem-melek.
Dan Suwondo segera menyetujui pendapat
istrinya begitu potongan pertama ayam masuk ke mulutnya. Diana menatap kelakuan
kedua orangtuanya dengan jengah, sekaligus penasaran. Ketika hal yang sama
terjadi, sebuah potongan ayam masuk ke dalam mulutnya, ia sama sekali tak
menemukan celah untuk mencela.
“Bikin saja restoran, Pa,” celetuk Rini
Suwondo. “Persiapan pensiun. Rekrut Wati jadi kokinya.”
“Memangnya gampang apa, bikin restoran?”
gerutu Suwondo.
Rini Suwondo terkekeh sambil menghabiskan
makanannya.
* * *
Sambungannya ada di : Infal #5
Mohon maaf kepada para Pembaca, karena satu
dan lain hal, bagian ini yang harusnya nongol hari Minggu kemarin tertunda penayangannya.
Semoga besok dan seterusnya lancar lagi. Terima kasih...
Wuih, cuit cuit. Chicken cordon bleu.... Enak buanget mbak. Bagi opo'o? );:ngeces nih:/-(
BalasHapusMakanan yang saya tahu cuma kupat tahu di. Magelang mbak, good post mbak
BalasHapussaya memang orang kampung, Mbak. Nggak tau rasanya Chicken Cordon Bleu hehehe...
BalasHapusLaperrrrrrtt
BalasHapuslanjuttt mak.... :)))
BalasHapusseandainya punya ART kayak gini, makin subur deh saya he he he
BalasHapus