Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #17
* * *
Steve
tak jadi membuka lebar-lebar pintu garasi. Tampaknya malam ini dia harus cukup
puas memarkir mobilnya di carport. Di
dalam garasi sudah ada mobil Rafael, berdampingan dengan mobil mamanya. Nyaris
tanpa suara, dia kemudian menutup dan menggembok pintu pagar.
Hening
menyergap ketika dia masuk ke dalam rumah. Jarum jam dinding di ruang tengah hampir
berhimpitan di angka 12. Dia menoleh ketika hendak membuka pintu kamarnya dan
mendengar pintu kamar sebelah terbuka dari dalam.
“Baru
pulang?”
“Lho,
Mama belum tidur?”
Keduanya
berucap bersamaan. Steve kemudian mengangguk, sedangkan Lea menggeleng. Steve
mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar. Dia mengekor Lea yang berjalan ke
dapur.
“Tumben
ngobrol di dalam?” Steve mengarahkan wajahnya sekilas ke arah kamar Rafael.
“Rafa
sakit,” Lea menuang air putih ke dalam sebuah gelas. “Maag-nya kambuh.”
“Oh...,”
Steve termangu sejenak.
“Anna
bagaimana?”
“Baik,”
senyum Steve. “Dia kirim salam buat Mama.”
Lea
mengangguk sambil tersenyum samar. Keletihan tampak menggantung di wajahnya.
Steve menepuk lembut bahu Lea.
“Mama
istirahat saja,” ucapnya halus. “Biar aku tidur di kamar Rafa.”
Tanpa
berpikir panjang, Lea menyetujuinya. Sejujurnya dia memang sudah cukup
kelelahan menjalani kegiatannya sepanjang hari tadi.
* * *
Dalam
temaram cahaya lampu kamar, Steve menatap Rafael yang berbaring meringkuk di bawah
selimut di atas tempat tidur. Dihelanya napas panjang.
Sudah berapa lama sejak aku
sering mengganggunya dengan mengungsi ke kamar ini?
Steve
mengerjapkan mata. Kamar Rafael selalu dirasanya lebih nyaman daripada
kamarnya. Tentu saja! Dengan segalanya yang selalu lebih bersih dan teratur
lebih rapi, siapa saja pasti akan betah berada di dalamnya. Pelan dia
membaringkan tubuh di samping Rafael.
Bahkan posisi tidurnya pun
manis, Steve tersenyum dalam hati ketika mendapati sisi kasur
yang ditempatinya masih terasa cukup longgar.
Dia
pun mulai memejamkan mata.
“Kamu
ngapain di sini?”
Seketika
mata Steve terbuka kembali. Dia menoleh dan mendapati Rafael tengah menatapnya.
Walaupun terlihat sayu, tapi masih ada sisa sorot tajam dalam mata Rafael. Tanpa
sadar Steve bangun terduduk.
“Kamu
ini... Sudah sakit masih juga bawel!” Steve menggerutu dengan suara rendah.
“Sudah merem saja! Atau ngomong terus terang kalau butuh apa-apa.”
Pelan
Rafael bangun dan berbalik, menurunkan kaki dari tempat tidur. Ketika akan
berdiri, dia terduduk kembali sambil mendesis.
“Kamu
mau ngapain?”
Dengan
sekali loncat dari sisi seberang tempat tidur, Steve sudah berjongkok di depan
Rafael yang masih terduduk sambil memegang ulu hatinya. Sebersit rasa khawatir
muncul di hatinya ketika melihat wajah Rafael seperti menahan sakit.
“Aku
mau ke kamar mandi,” jawab Rafael kemudian, setengah menggumam.
Tanpa
banyak kata Steve kemudian meraih bahu Rafael sambil membantu saudara kembarnya
itu berdiri. Dengan hati-hati Steve menopang tubuh Rafael. Sampai di depan
kamar mandi Steve menghentikan langkahnya. Ditatapnya Rafael.
“Kamu
kuat? Atau mau kutemani sampai ke dalam?”
“Memangnya
aku sejompo itu?” gerutu Rafael sambil melanjutkan langkahnya masuk ke kamar
mandi, kemudian menutup pintunya rapat-rapat.
Steve
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tak ada pilihan lain kecuali harus
bersabar menunggu hingga Rafael menuntaskan keperluannya di kamar mandi.
Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Rafael terlihat agak limbung
ketika melangkah keluar. Dengan sigap Steve menangkap Rafael.
“Apa
salahnya sih, minta bantuan?” untuk kesekian kalinya Steve menggerutu.
Rafael
diam saja. Terlalu letih untuk berdebat dengan Steve lewat tengah malam begini.
Sejenak sebelum kembali berbaring, tangannya meraih gelas di atas meja, tapi
Steve sudah mendahuluinya.
“Kamu
mau air putih hangat?”
Rafael
mengangguk.
“Sudah,
kamu rebahan dulu. Kuambilkan sebentar.”
Rafael
berbaring kembali ketika Steve menghilang keluar dari kamar. Masih tersisa rasa
tak percaya di hatinya. Steve? Dihelanya
napas panjang sambil memejamkan mata.
Mungkin
sebenarnya memang tidak seburuk itu hubungannya dengan Steve. Seandainya rasa
sayang sudah habis ditindas sikap saling menjauh, setidaknya masih ada
sisa-sisa rasa peduli. Dan sesungguhnya ada sebersit kerinduan menyeruak ke
dalam hati Rafael. Tentang sebuah kedekatan yang dulu pernah dinikmatinya
bersama Steve. Kedekatan yang kemudian menguap begitu saja.
Ah...
Dia
membuka matanya lagi ketika tiba-tiba saja sebuah tangan menyelip di belakang
bahunya. Berusaha membantunya bangun. Steve sudah kembali dengan segelas air
putih hangat. Sama sekali tanpa suara.
“Kamu
mau obat lagi?”
Rafael
menggeleng sambil berbaring kembali setelah minum. Dia meringkuk lagi ketika
dirasanya perih masih terasa di ulu hatinya. Steve pun berbaring diam di
sebelah Rafael. Ketika dia hendak memejamkan mata, suara lirih itu menembus
telinganya, “Makasih, Steve...”
Sebuah
keharuan mendadak terasa mendesak di dadanya. Membuatnya hanya bisa berucap
nyaris tanpa suara, “Ya, sama-sama...”
* * *
Ada
yang terasa hangat di hati Lea ketika matanya menangkap sesuatu yang indah itu.
Steve dan Rafael tampak terlelap bersisian. Sebuah pemandangan yang entah sudah
berapa tahun tak pernah lagi dilhatnya.
Tanpa
suara dia kemudian membuka tirai jendela. Perlahan suasana temaram itu berganti
menjadi terangnya pagi hari. Steve merasa terusik. Pelan dia membuka mata.
Perlu beberapa detik hingga dia menyadari ada di mana dia sekarang. Ketika dia
menoleh ke sisi kirinya, dilihatnya Rafael masih tertidur dengan posisi sama seperti
semalam. Meringkuk menghadap ke arahnya.
“Pulas
dia semalam?” bisik Lea.
Steve
menggeleng sambil menguap.
“Sempat
bangun, ke kamar mandi,” Steve pelan-pelan bangkit. “Terus minum. Kutawari obat
nggak mau. Kelihatannya masih kesakitan.”
“Ya
sudah, biar dia istirahat dulu.”
“Aku
mandi dulu, Ma,” Steve mencium sekilas pipi Lea.
“Sekalian
saja lanjut sarapan.”
Steve
mengangguk.
Sepeninggal
Steve, Lea meraba kening Rafael. Terasa hangat. Usapan lembut itu mengusik
Rafael. Beberapa detik kemudian dia membuka mata. Terlihat kuyu. Membuat hati
Lea terasa perih.
“Pagi,
Ma...,” bisik Rafael.
“Pagi...,”
Lea berusaha tersenyum. “Masih sakit?”
“Nggak
terlalu sih... Cuma masih nggak enak saja rasanya. Perih, kembung, mual.”
“Itu
tandanya kamu memang harus istirahat,” Lea duduk di tepi tempat tidur. “Kerja
boleh rajin, harus malahan..., tapi tetap harus ingat kesehatan. Ingat makan
teratur. Ingat istirahat.”
Rafael
memejamkan matanya lagi. Mom is always
right. Tapi menyesali kebodohannya mengabaikan hal-hal penting itu rasanya
juga percuma. Sudah terlambat. Sudah terlanjur dia harus terkapar seperti ini.
* * *
“Kamu
mau pergi sama Anna hari ini?”
Steve
menghentikan suapan nasi gorengnya. Ditatapnya Lea sambil menggeleng.
“Memangnya
kenapa, Ma?” dia malah balik bertanya.
Lea
duduk di kursi di sebelah Steve.
“Mama
sudah terlanjur janji mau ikut bakti sosial,” Lea menopang pelipis kirinya.
“Tapi Mama nggak tega tinggalin Rafa.”
“Kan
ada aku,” Steve melanjutkan acara sarapannya. “Aku nggak ada rencana keluar
kok. Lagian Anna mau pergi sama Bang Jemmy. Mama pergi saja. Kalau cuma jagain
Rafa saja aku masih sanggup. Toh nggak harus gendong dia ke sana-sini,
ngedotin, ganti pampers.”
Lea
tertawa melihat cengiran jahil Steve. Dielusnya lengan kekar Steve.
“Jangan
sampai dia telat makan. Kalau dia tidur, bangunkan saja.”
“Siap,
Ma!”
“Ya
sudah, Mama siap-siap dulu ya?”
Steve
mengacungkan jempolnya.
* * *
Keheningan
itu menyergap lagi begitu Steve masuk ke kamar Rafael. Dikihatnya Rafael
memejamkan mata, tapi perasaannya mengatakan bahwa saudara kembarnya itu tidak
sedang tidur. Pelan dia duduk di tepi tempat tidur. Rafael pun membuka matanya.
“Mama
sudah berangkat?”
Steve
mengangguk.
Rafael
memejamkan matanya lagi.
“Mau
kupanggilkan Adita?”
“Buat
apa?” Rafael balik bertanya, tanpa membuka mata.
“Ya
siapa tahu kamu ingin ditemani Adita?”
“Nggak
usah. Dia juga lagi butuh istirahat.”
Steve
pindah duduk ke sofa, tak jauh dari tempat tidur Rafael. Diambilnya remote televisi di meja pendek di
depannya. Tapi diurungkannya memencet tombol on ketika didengarnya celetukan Rafael, “Gambarnya buram. Kayaknya
kabel antenanya putus kena angin kencang beberapa minggu lalu.”
“Nggak
suruh Pak Mun benerin?” Steve meletakkan kembali remote televisi itu.
“Ngerjain
orang tua...,” gerutu Rafael.
“Ya
sudah, aku betulkan dulu,” Steve bangkit dari duduknya.
“Nggak
usah repot-repot,” gumam Rafael.
Steve
menjawabnya dengan keluar dari kamar itu. Tak sampai setengah jam kemudian dia
sudah kembali dengan nampan berisi makan siang Rafael.
“Bangun,
woi!” serunya.
Rafael
membuka mata. Pelan-pelan dia bangun. Kepalanya masih terasa pening. Diminumnya
sebutir obat. Steve meletakkan nampan di meja depan sofa. Dia kemudian duduk
sambil meraih remote televisi lagi.
“Nah,
beres kan?” ucapnya ceria ketika televisi di kamar Rafael itu menampakkan
gambar yang begitu bersih.
Mau
tak mau Rafael tersenyum melihatnya. Dia kemudian pindah ke sofa. Dibukanya
tutup nampan. Seporsi nasi tim ayam tampak sudah menunggu untuk disantap. Tapi
Rafael menutup lagi nampan itu.
“Lho,
nggak jadi?” Steve mengerutkan kening. “Makanlah dulu...”
“Iya,
sebentar. Biar obatku bekerja dulu. Kamu ini ternyata sama bawelnya dengan Mama.”
“Lho,
kalau kamu kenapa-kenapa selama Mama pergi, aku juga yang repot. Jadi tersangka
nomor satu,” gerutu Steve.
Rafael
tersenyum mendengarnya.
Lalu
keduanya tenggelam dalam diam. Sama-sama menatap layar televisi. Seharusnya ada
banyak kata yang terucap. Tapi entah kenapa lidah keduanya terasa kelu. Kaku. Terbelenggu
sikap saling menjauh yang sudah terlalu lama dipelihara.
Rafael
menghela napas panjang ketika dirasanya dadanya menyesak dalam keheningan itu. Ingin
rasanya kembali seperti dulu. Ketika mereka berdua begitu dekat. Tapi dia tak tahu
harus mulai dari mana. Sudah terlalu banyak hal yang terlewatkan begitu saja.
Sejujurnya
Steve pun mengalami hal yang sama. Hanya melihat televisi dengan tatapan kosong.
Dengan pikiran mengembara entah kemana. Ketika didengarnya helaan napas Rafael,
dia menoleh.
“Kamu
kalau belum kuat bangun rebahan saja,” celetuknya. “Aku juga pernah kena maag, jadi tahu rasanya.”
Tapi
jawaban Rafael yang diungkapkannya dengan gumaman lirih sungguh jauh di luar topik,
“Kapan terakhir kita ngobrol enak bareng?”
Steve
tercenung mendengar gumaman itu. Kemudian keduanya saling menatap. Lama.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #19
Sweet story mbak lizz, jadi ngademin sambil nunggu buka puasa...he..he..
BalasHapusMakasih singgahnya ya, Mbak Ita... Selamat menjalankan ibadah puasa...
Hapusnice post mbak
BalasHapusMakasih mampirnya, Pak Subur...
HapusIkannya udah sekalian aku kasih maem ya tan hahahaa :D
BalasHapusHihihi... Makasiiih, Mbaaak...
Hapus