* * *
Apa
yang sudah kulakukan?
Rika duduk terhenyak di jok kiri depan mobil
Bismaka. Jam digital di dasbor menunjukkan angka 09:48 ketika mobil itu
meluncur keluar meninggalkan carport
rumah Rika.
Entah kenapa, tadi ia mengangguk begitu saja
setelah untuk kedua kalinya Bismaka bertanya apakah ia mau diajak untuk nonton
film midnight di bioskop. Setelah ia
setuju, Bismaka langsung menghampiri Owen untuk meminta izin membawa Rika
keluar menghabiskan malam Minggu.
“Memangnya
kalian sudah mandi?” Owen seketika tertawa.
Seketika
Bismaka menyadari keadaannya. Sibuk dari menjelang siang hingga baru saja. Tak
terpikir sedikit pun untuk numpang mandi di rumah eyang Rika. Begitu juga Rika.
Ia kemudian menggeleng.
“Kamu
pulang, mandi dulu,” ujar Owen. “Setelah itu jemput Rika di rumah. Biar Rika
pulang dulu bareng kami.”
Sebuah
solusi yang adil dan praktis. Keduanya kemudian berpisah.
“Memangnya
nggak apa-apa, Pa, aku keluar sama Bimbim?” gumamnya ketika mereka sudah sampai
di rumah.
“Memangnya
kenapa?” Owen balik bertanya. “Kamu sudah bukan gadis belasan tahun lagi, Rik.
Papa percaya kamu bisa jaga diri. Papa lihat Bimbim anaknya juga baik.”
Rika
terdiam sejenak.
“Sudah,
sana mandi dulu,” ujar Owen lagi. Tersenyum lebar. “Dandan yang cantik.”
Rika
memaksa diri mengembangkan seulas senyum. Ia pun beranjak masuk.
Nonton film midnight?
Rika
mulai berdandan setelah mandi. Sekadarnya saja seperti biasanya. Walaupun punya
pabrik kosmetik, tapi ia tak pernah berdandan menor. Cukup natural saja.
Berdandan sedikit, tapi terlihat seolah polos-polos saja. Ilmu itu sudah lama
ia dapat dari Kencana.
Ia
pernah beberapa kali nonton film midnight. Bersama teman-temannya. Asyik. Tapi itu sudah lama sekali. Terakhir
saat ia dekat-dekat waktu mengerjakan tugas akhir. Setelah itu tak pernah lagi.
Hingga saat ini.
Dengan
Andries? Jam keluar bersamanya dengan Andries selalu wajar-wajar saja. Apalagi
memang Andries tidak boleh terlalu lelah. Sejak awal itu sudah memahami betul
kondisi itu. Jadi ia tak pernah menuntut apa-apa. Tak pernah berharap lebih.
Membiarkan segala cerita tentangnya dan Andries mengalir begitu saja, sekaligus
menikmatinya.
Ia
sedikit tersentak ketika pintu kamarnya diketuk halus. “Ya?”
Pintu
terbuka. Kepala Mia menyembul dari selanya. “Nggak ketiduran, kan, Kak?” Gadis
itu nyengir jahil. “Sudah dijemput, tuh!”
Sekilas
Rika menengok jam dinding. Sudah lewat beberapa menit dari pukul setengah
sepuluh.
“Ya,
suruh tunggu sebentar,” ucapnya.
Pintu
tertutup dari luar, dan Rika mengamati penampilannya di cermin. Sudah cukup
cantik dan rapi. Ia hanya mengenakan kaus polo dan celana jins. Rambutnya
diikat tinggi hampir di puncak kepala. Sepasang flat
shoes dari bahan yang sama dengan
celananya melengkapi penampilan santai itu. Diraihnya sebuah sling bag dari gantungan di dekat lemari pakaiannya.
Diisinya tas kecil itu dengan dompet dan ponsel. Tak lupa ia mengambil sehelai
jaket jins dari dalam lemari.
“Bawa
jaket, Rik,” ujar Bismaka setelah mereka saling menyapa.
Tanpa
kata, Rika mengangkat tangan kanannya yang sudah menggenggam jaket terlipat.
Bismaka pun mengangguk puas. Pemuda itu sempat menghabiskan secangkir cokelat
hangatnya sebelum berpamitan.
Dan, di sinilah keduanya sekarang. Dalam
perjalanan menuju ke sebuah bioskop. Alunan musik jazz yang berganti judul
membuat Rika sedikit tersentak.
“Pernah nonton midnight, kan?” Suara Bismaka memecah keheningan.
“Iya, dulu beberapa kali pas jaman masih
kuliah.”
“Berarti sudah tahu asyiknya, dong?” Bismaka
tersenyum lebar.
“”Iyalah....” Rika tersenyum juga.
“Dulu, sebelum sama Lusi, aku sering nonton midnight sama adik Ernest.” Bismaka nyengir sekilas. Teringat kisah lamanya.
“Wah, mengais memori, nih, ceritanya?” Rika tertawa
ringan.
“Enggaklah.” Alih-alih menanggapi canda Rika,
suara Bismaka justru terdengar serius. “Aku orangnya realistis, kok, Rik. Kalau
dia memang sudah pilih orang lain, kenapa aku harus memaksa diri?”
Rika tercenung sejenak sebelum menoleh sekilas.
“Segampang itu?”
“Enggak, sih.” Bismaka menggeleng. “Semua hal
perlu proses. Lebih cepat karena saat itu aku langsung bertemu Lusi.
Dijodohkan, lebih tepatnya. Walaupun kemudian kami sama-sama sadar bahwa jauh
lebih baik berteman biasa saja. Semacam itulah.” Bismaka mengedikkan sedikit
bahunya.
Rika melemparkan tatapan ke kiri, ke luar
jendela. Kosong. Tak tahu harus memikirkan apa.
“By the
way, kamu beneran nggak capek ini, kan?” celetuk Bismaka.
Rika kembali menoleh sekilas ke arah Bismaka.
“Enggak.” Rika menggeleng sedikit.
“Akhir-akhir ini hidupku jauh lebih santai, Bim.”
“Baguslah,” senyum Bismaka. “Terus, besok
jadi mau ke San Diego Hills? Jam berapa?”
“Jadilah.... Agak siang saja. Ngantuk, kan,
Bim, kalau harus ke sana pagi-pagi.”
“Kamu WA aku saja waktunya. Besok aku
jemput.”
“Nggak usah, Bim,” sahut Rika, cepat.
“Sekalian aku mau mampir sebentar ke
Cikarang,” tukas Bismaka, lembut.
Rika terdiam sejenak. Ia juga ada maksud
singgah di Cikarang, sebetulnya. Apakah pergi bersama Bismaka lagi adalah hal
yang tepat? Rika menggeleng samar. Ia benar-benar tak tahu jawabannya. Tapi
perasaannya tak bisa bohong. Ia merasa lebih nyaman bila Bismaka menemaninya.
Ia merasa tidak sendirian.
“Maksudku,” ucapnya kemudian, setengah
menggumam, ”aku mau sekalian ikut misa di Cikarang setelah dari makam Andries.”
“Ya, baguslah. Sekalian jalannya.” Nada suara
Bismaka terdengar antusias. “Nanti pulang misa kita bisa nengok truk sebentar.”
Akhirnya, Rika menyetujuinya. Tanpa merasa
terpaksa. Tapi sedikit menyesal sesudahnya. Bimbang terhadap apa yang akan
menunggunya di depan.
* * *
Dan, rasa bimbang itu, antara ya dan tidak,
terbukti keesokan harinya. Hingga meluncur kembali seusai mengunjungi makam
Andries, perjalanannya masih aman. Sudah ada dua karangan bunga di makam
Andries. Tanda bahwa keluarganya sudah ada yang berkunjung.
Sayangnya, ia melupakan satu hal. Kemungkinan
untuk bertemu adik Andries di Cikarang. Karena Pingkan dan suaminya bermukim di
sana. Fifty-fifty sebetulnya, karena
Cikarang juga cukup luas. Dan, ia juga tahu bahwa Pingkan dan Maxi jarang
sekali mengambil waktu Minggu sore untuk beribadah di gereja.
Ketenangannya hanya bertahan sekian menit
saja. Saat ia selesai berdoa, seseorang yang baru saja duduk di sebelah kirinya
mencolek lembut bahunya. Ia menoleh. Sepotong balok es raksasa tiba-tiba saja
serasa menempel erat di punggungnya.
“Tumben misa di sini?” bisik Pingkan.
“Iya, tadi baru dari makam Andries,” bisik
Rika pula.
Saat itu tatapan Pingkan jatuh pada pemuda
yang duduk di sebelah kanan Rika. Lalu, keduanya saling bertukar senyum dan
sapa masih dalam bentuk bisikan, dan saling berjabat tangan.
“Sendirian?” bisik Rika.
“Tuh, Maxi jadi lektor*.” Pingkan menunjuk sosok Maxi yang nyaris menghilang di
balik pintu di sebelah altar. (*Lektor =
pembaca kitab suci / Alkitab pada misa)
Bibir Rika membundar tanpa suara. Ia kembali
diam ketika Pingkan mengheningkan diri sejenak untuk berdoa pribadi.
“Kamu nggak apa-apa?” bisik Bismaka.
Rika menoleh sekilas ke arah Bismaka yang ternyata
tengah menatapnya. Diulasnya senyum tipis sembari menggeleng pelan.
Sejujurnya ia sudah mulai lelah dan merasa
harus pasrah. Dalam rentang waktu hanya sekian minggu saja, tiga kali bertemu anggota
keluarga Andries dengan Bismaka sedang ada di sisinya, sepertinya sudah bukan
lagi suatu kebetulan. Entah apa maksud yang tersembunyi di balik semua kejadian
itu. Rika menggeleng samar.
“Aku sudah deal soal produksi kebutuhan salon dengan pabrikmu,” bisik Pingkan
setelah selesai berdoa. Nadanya terdengar riang. “Sayangnya, kamu sudah nggak
di sana lagi.”
Rika menyimpulkan senyum. “Dapat harga
keluarga, nggak?” ia balas berbisik, dengan nada canda.
Pingkan tersenyum lebar. Ia kembali
mencondongkan tubuhnya ke arah Rika. “Aku minta harga bisnis, kok. Bisnis
tetaplah bisnis, Rik.”
Rika membalas senyum itu.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah mulai jalan sama
Bimbim?”
“Jalan ke mana?” Rika mengerutkan kening.
Tak menjawab dengan bisikan, Pingkan justru
memberi isyarat dengan saling mengaitkan kedua jari telunjuknya. Rika segera
menggeleng.
“Cuma teman,” tegasnya, masih berupa bisikan.
Dengan halus, Pingkan menepuk punggung tangan
Rika. Mengisyaratkan bahwa ia paham. Membuat Rika sedikit lega. Tapi, tetap
saja ada yang terasa mengganjal di hati.
* * *
Sepulang misa, Pingkan dan Maxi justru ikut nongkrong di area food truck. Setelah menyelesaikan semua urusan yang berkaitan
dengan truknya, Bismaka bergabung dengan Pingkan dan Maxi. Rika belum kelihatan
keluar dari truknya. Sepertinya masih sibuk.
“Kayaknya enak banget, ya, usaha truk kuliner
begini?” celetuk Maxi, sambil menikmati iga bakar penyetnya.
“Kalau sudah jalan, sih, lumayan ringan,”
jawab Bismaka. “Harus berupaya untuk bertahan dan berkembang, tapi sudah nggak
kayak awalan dulu. Sampai berdarah-darah.” Bismaka tertawa ringan di ujung
ucapannya.
“Nggak usah kepikiran usaha ginian, deh,”
sergah Pingkan, menatap Maxi.
Yang ditatap hanya bisa tergelak. Bismaka pun
turut tertawa. Sedikit banyak, ia tahu kisah Pingkan dan Maxi. Pada saat itu,
Rika muncul dan duduk di seberang Pingkan, di sebelah Bismaka.
“Kamu mau makan apa?” tanya Bismaka.
“Sebentar, aku bernapas dulu,” jawab Rika
sambil menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. Seolah sedang
melegakan dadanya.
“Ada masalah?” Bismaka mengerutkan kening.
Rika buru-buru menggeleng.
“Enggak, sih,” jawabnya cepat. “Beres semua,
kok. Cuma, aku dapat laporan dari manajer areaku, beberapa waktu belakangan ini
di sini sering harus tutup lebih cepat. Kehabisan stok. Sepertinya harus mulai nambah
kapasitas saji.”
“Pantas saja,” celetuk Maxi. “Cwimiemu memang
laris manis, Rik. Apalagi ada bukaan tiga cluster
baru di sektor sebelah sana.” Maxi menunjuk ke satu arah. “Pastilah banyak
yang lari ke sini.”
“Iya,” timpal Pingkan, “beberapa kali aku
nitip Maxi kalau dia pulang malem dari pabrik, eh... seringnya nggak dapet.
Kehabisan.”
“Aku sudah nambah stok dari bulan lalu,” ujar
Bismaka. “Bagus, sih, hasilnya.”
“Aku memang agak lambat merespons,” sesal
Rika, mengingat kesibukan lebihnya beberapa minggu lalu saat mempersiapkan
pengunduran dirinya dari perusahaan kosmetik.
“Belum telat, kok,” hibur Bismaka. “Masih
bisa diperbaiki. Semangaaat!” Bismaka mengepalkan tangan kanan dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
Semua di sekeliling meja kecil itu tertawa
karenanya. Lalu, Bismaka menawarkan menu dari truknya kepada Rika. Dengan cepat
gadis itu menjatuhkan pilihan pada udang bakar penyet sambal mangga dan segelas
es teh lemon. Bismaka pun meninggalkan meja itu sejenak.
“Dia baik,” celetuk Pingkan tiba-tiba.
“Iya,” sahut Rika cepat. ”Karena itulah aku
senang berteman dengannya.”
Pingkan mengangguk-angguk. Kemudian
ditatapnya Rika.
“Tempo hari pas antar aku pulang dari
Cijantung itu, kamu nggak sempat mampir,” ucapnya halus. “Mama nanyain kamu.”
“Iya,” senyum Rika. “Kapan itu Mama sempat
telepon aku, tapi aku masih safari ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Belum sempat
merencanakan kapan bisa ketemu Mama. Secepatnya, deh, aku jadwalkan.”
“Santai saja.” Pingkan menepuk lembut
punggung tangan Rika yang menangkup di atas meja. “Kami semua mengerti
kesibukanmu, kok.”
Rika menanggapi ucapan Pingkan dengan
senyuman. Entah kenapa, keinginan Sonia untuk bertemu dengannya membuat jantung
Rika berdebar lebih kencang.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar