* * *
Berada di antara ratusan rekan seprofesi
membuat Rika seolah mendapat suntikan semangat baru. Grafik prospek bisnis
kuliner dengan mengandalkan food truck terus
naik. Walaupun ada juga yang rontok karena tak bisa bersaing, tapi yang terus
memantapkan diri lebih banyak lagi. Dalam acara kopdarnas itulah mereka saling
berbagi tips dan strategi bisnis. Dibuangnya semua keresahan yang melandanya belakangan ini jauh-jauh.
Ia juga menjadi seorang pembicara pada salah
satu sesi. Membagikan pengalaman bagaimana mengembangkan bisnis yang dulu sudah
dirintis oleh almarhum ayahnya. Armada food
truck-nya memang termasuk salah satu armada tertua yang masih bertahan,
bahkan berkembang dengan sangat baik.
Di kursi peserta seminar, Pringgo memasang
atensi penuh, sekaligus merekam penampilan Rika. Ia selalu kagum pada para pengusaha
muda yang begitu enerjik dalam gegas gerak mereka menjalankan usaha. Termasuk
pada putra tunggalnya, tentu saja. Seorang pemuda yang bertahun-tahun lalu berani
mengambil risiko membidik dan mengembangkan usaha food truck. Bisa dikatakan, saat inilah waktunya tiba untuk menuai
hasil. Walaupun ia merupakan rekanan baru, tak ada kata terlambat untuk belajar.
Tak perlu malu menjadi salah satu sosok tertua dalam kerumunan itu.
Tepuk tangan yang pecah di sekelilingnya
menyadarkan Pringgo dari sekejap lamunannya. Sesi tanya-jawab sudah berakhir,
dan Rika sudah melangkah kembali ke tempat duduknya di sebelah Pringgo.
“Anak muda jaman now memang hebat-hebat,” pujinya. “Dunia cepat sekali berputar.”
“Ah, sebetulnya yang lebih tepat untuk bicara
di depan tadi adalah Bimbim, Om,” ujar Rika. “Dia sukses mengembangkan bisnis
rintisan sendiri, bukan warisan macam saya.”
“Eh, jangan salah,” sergah Pringgo halus. “Justru
mempertahankan itu jauh lebih sulit daripada merintis. Apalagi kemudian
berhasil mengembangkannya. Ah, pokoknya hebat!”
“Om bisa saja.” Rika tersenyum. Sedikit
tersipu.
Acara hari ketiga itu pun selesai dengan
berakhirnya sesi yang diisi Rika. Masih ada satu hari lagi yang tersisa,
sebelum esok menjelang sore semua peserta kembali ke tempat asal masing-masing.
Rika dan Pringgo pun kembali ke kamar masing-masing setelah berjanji akan
menikmati makan malam bersama nanti.
* * *
“Kadang-kadang aku mengkhawatirkan Bimbim,”
celetuk Pringgo, sambil makan di depot gudeg lezat yang kemarin dikunjungi
Rika. Gadis itu yang mengajaknya. “Dia terlalu sibuk melepaskan diri dari zona
nyaman, sampai nyaris mengabaikan kehidupan pribadinya.”
“Setidaknya Bimbim berani speak up.” Rika menanggapi. Setengah
menggumam.
“Maksudmu?” Seketika Pringgo menunda sejenak
gerakan tangannya menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut.
Rika tersenyum tipis. Menggeleng samar.
Ditatapnya Pringgo.
“Bimbim berani menyatakan keinginannya pada
Om dan Tante,” ujarnya kemudian. “Om dan Tante juga nggak pernah melarang.
Justru mendukung sepenuhnya. Bimbim pernah cerita soal itu sama saya. Karenanya
dia juga bekerja keras untuk membuktikan bahwa dia bisa. Bahwa dia konsekuen
dengan pilihannya itu.”
Pringgo manggut-manggut. Kembali ditatapnya
Rika.
“Kamu suka di bisnis ini? Bisnis kuliner?”
tanyanya.
“Suka, Om.” Rika mengangguk mantap. “Apa pun
akan saya lakukan untuk mempertahankan bisnis ini. Bagaimanapun, bisnis food truck ini adalah peninggalan
almarhum papa saya. Dibangun Papa dengan segenap hati dan tenaga. Saya masih
terlalu muda waktu Papa meninggal. Tapi dari cerita-cerita Mama, saya tahu di
mana hati Papa berada. Karenanya, Mama lebih banyak mengurus perusahaan kosmetik
milik Opa, sementara Papa konsentrasi ke bisnis ini. Ketika Papa meninggal,
Mama tinggal meneruskan saja karena bisnis ini sudah cukup mantap waktu itu.
Tugas saya sekarang adalah mempertahankan dan mengembangkannya.”
Selintas pikiran menyelinap masuk ke benak
Pringgo. Kelak bila ia sudah tidak ada, maka satu-satunya pemilik Erbim Jaya
adalah Bimbim. Begitu pula dengan bisnis Tetty. Ahli warisnya adalah Bimbim
seorang. Seandainya.... Ia
mengerjapkan mata.
“Kamu punya saudara?” tanyanya. Terkesan
sambil lalu.
“Ada, Om. Saudara kembar, laki-laki. Sama adik,
perempuan. Tapi saudara kembar saya lebih memilih masuk seminari. Ingin jadi
pastor. Sedangkan adik saya masih SMA.” Rika meringis sekilas. “Makanya, sementara
ini saya single fighter bantuin Mama.”
“Sebentar....” Pringgo mengerutkan kening. “Kamu
bilang papamu sudah meninggal. Tempo hari kamu sekeluarga makan di tempat kita
mangkal, ada papamu, kan?”
“Oh....” Seketika senyum Rika merekah. “Itu
papa saya juga. Papa Owen jadi papa saya waktu saya umur sepuluh tahun. Tapi
Papa Owen punya karier sendiri. Nggak pernah mau otak-atik perusahaan dan
bisnis mendiang Papa.”
“Oh....” Pringgo manggut-manggut. “Baik
orangnya, papa barumu ini?”
“Banget!” Senyum Rika merekah lagi.
Pringgo pun turut tersenyum karenanya. Entah
kenapa, lega sekali rasanya ketika tahu bahwa gadis cantik di hadapannya itu
dijaga dan dibesarkan oleh orang-orang yang baik.
* * *
Keluar dari pintu kedatangan bandara
menjelang malam itu, Rika disambut oleh senyum kedua orang tua dan adiknya. Mia
memeluk Rika erat. Padahal cuma sekitar empat-lima hari saja mereka tidak
bertemu. Pun Kencana dan Owen. Kehangatan sambutan keluarga itu sempat
membuatnya lupa bahwa ia tadi keluar bersama Pringgo.
Saat Owen sudah memasukkan koper dan semua
barang bawaan sang putri ke bagasi mobil, barulah Rika ingat kawan seacaranya itu. Kepalanya
memutar, mencari, dan ia menemukan sesuatu. Bukan Pringgo.
Senyum Bismaka tersimpul ketika tatapan
mereka bertemu. Di tengah kesibukannya memasukkan barang bawaan sang ayah ke
bagasi mobil, pemuda itu sempat menoleh. Mendapati Rika tengah menatap ke
arahnya.
“Halo!” sapa Bismaka, setengah berseru.
Jaraknya tiga mobil dari tempat Rika berdiri.
“Hai!” Rika menyambut sapaan itu dengan
gembira. “Masih hidupkah?”
Tawa Bismaka pecah karenanya. Setelah menutup
pintu belakang mobil, pemuda itu menyempatkan diri untuk menghampiri Rika.
Setelah sejenak menyapa keluarga Rika, ia pun mendekati gadis itu.
“Gimana kopdarnasnya? Asyik nggak?” tanyanya.
Rika menggeleng dengan raut muka disetel
sedih. “Kurang asyik. Nggak ada kamu, jadi nggak punya partner in crime.”
Bismaka tergelak lagi. Tapi ia segera
menyadari bahwa mereka sudah ditunggu keluarga masing-masing.
“Nanti, deh, aku WA, ya?” ujar Bismaka
sebelum mereka berpisah.
Rika mengacungkan jempolnya sebelum berbalik.
* * *
‘Papaku nggak nakal selama di Jogja, kan? ðĪðĪŠ’
Pesan dan emoji itu seketika membuat Rika
terkikik geli.
‘Sudah
kusuruh belajar baik-baik, awas aja kalau sampai meleset.' Lanjut
Bismaka.
Sambil masih menyunggingkan senyum lebar,
Rika membalas pesan itu. ‘Papamu nggak
pernah mau jauh-jauh dari aku. ð Kocak papamu itu. Mantan bankir hebat, kok,
minder amat.’
‘Halah,
eksyennya si Papa. ð'
Rika terkikik lagi. Kemudian balasnya, ‘Btw, enak nggak joinan sama papa sendiri?’
‘Kadang-kadang
rikuh. ð
Mau nyuruh ini-itu, inget kalau
itu papaku. Takut durhaka. Nggak disuruh, aku nggak bisa ngerjain sendiri karena sibuk sama
urusan kantor. Gitu, deh. Kadang-kadang serba salah.’
‘Setidaknya
kamu ada yang bantuin.’
‘Kalah
jauuuh kalau sama kamu, Rik. Kamu apa-apa sendiri.’
‘Jelas
bedalah! Aku, kan, kerja nggak ikut orang.’
‘Aku
aja yang cari penyakit, ya? Dah enak-enak jadi bos, malah nambah kerjaan. Kerja
ikut orang. ðĪĶðŧ♀️‘
Rika terkikik lagi.
‘Eh,
besok kamu ada acara, nggak, Rik?’
Rika tercenung sejenak. Sepanjang acaranya di
Jogja, emailnya tetap aktif. Ada belasan salinan dokumen baru yang harus ia
pelajari. Sekilas ia sudah membaca. Rencananya, besok sepulang dari makam
Andries, ia akan mempelajari semua dokumen itu, baik laporan yang masuk dari
Han’s Food, maupun dari perusahaan kosmetik milik mereka.
‘Aku
ada kerjaan, sih, Bim.’ Begitu balasnya. ‘Tapi nggak harus ke kantor. Lagian besok Sabtu ini. Kenapa memangnya?’
‘Yah,
baru mau kuajak nongkrongin food truck kita di Cikarang.’
‘Lho,
gpp.’ Seketika Rika memutuskan. ‘Tapi rada siang, ya. Aku mau ke San Diego Hills dulu.’
‘Oh,
mau ke makam Mas Andries? Gpp sekalian aja aku jemput kamu pagi-pagi.’
‘Ah,
ngerepotin nanti.’
‘Enggak.
Beneran gpp. Mau berangkat jam berapa?’
Rika berpikir sejenak sebelum membalas. ‘Jam 7? Kepagian, nggak?’
‘Siap!
Share lokasi rumahmu ya.’
Mereka kemudian segera mengakhiri pembicaraan
itu karena malam kian larut. Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas, Rika
terhenyak.
Astaga....
Apa yang baru saja kulakukan?
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar