* * *
Empat
Mengendalikan Han’s Food secara penuh berarti
membuat Rika bisa mengambil keputusan tanpa melibatkan ibunya lagi. Ia dan
Kencana jelas berbeda. Saat transisi kepemimpinan antara Kencana dan ia, Han’s
Food terus berkembang. Cukup pesat sehingga Han’s Food kini jauh lebih besar
saat berada di tangannya.
Terobosan baru yang dibuatnya adalah merombak
manajemen. Selama ini para manajer operasional di setiap kota langsung berada
di bawahnya. Kini, ia sudah memiliki beberapa manajer area yang bertugas
mengkoordinir para manajer operasional. Pekerjaannya jadi jauh lebih ringan di
Han’s Food. Mungkin sesekali masih perlu menemui para manajer wilayah Jateng,
Jatim, Jabodetabek, dan Banten. Tapi tidak harus seperti dulu, singgah di
setiap kota di mana food truck-nya
berada.
Hal itu membuatnya sedikit lebih bisa menikmati
hidup belakangan ini. Satu hal yang membuatnya cukup sedih. Ia harus melaluinya
tanpa Andries. Hanya kurang lebih satu tahun lamanya Andries mewarnai hidupnya,
tapi sudah menorehkan begitu banyak kenangan dalam hati.
Seutuhnya ia menemukan kembali sosok mendiang
ayahnya dalam diri Andries. Banyak yang yang ia belum mengerti dari mendiang
ayahnya, ia pahami melalui Andries. Ia memang masih terlalu muda ketika ayahnya
berpulang. Tapi satu hal yang melekat dalam pikirannya. Ayahnya adalah seorang
pejuang. Seperti yang sering diungkapkan Kencana padanya. Dan, Andries pun
seperti itu.
Bahkan, saat leukemia itu sudah diidapnya,
Andries masih aktif bekerja. Menjadi pemimpin dua sekaligus anak perusahaan baja
besar milik keluarga, yang berlokasi di Cikarang dan Karawang. Aktivitasnya sedikit berkurang setelah menyerahkan jabatan itu kepada
calon adik iparnya. Andries ditarik ke kantor pusat di Jakarta, memegang jabatan baru sebagai direktur keuangan. Kisah itu Rika ketahui kemudian, ketika ia sudah jadi kekasih
Andries.
Saat itulah mereka bertemu. Ketika Andries
menyibukkan diri dengan ikut mempersiapkan acara pernikahan adiknya. Kemudian,
masih ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Terkadang pertemuan yang sengaja
mereka adakan dengan alasan membahas kontrak mereka.
Rika tidaklah terlalu naif hingga gagal
menangkap lompatan-lompatan cahaya kembang api dalam mata Andries saat mereka
bertemu. Sejujurnya, cahaya yang sama pun ada pula dalam matanya. Terkadang ia
bisa menyembunyikannya, terkadang pula ia gagal. Tapi sepertinya Andries
menahan diri. Hingga tiga bulan pertama waktu mereka seolah terbuang sia-sa.
Rika baru tahu alasannya ketika suatu saat
Andries mengirimkan pesan kepadanya, bahwa Andries membatalkan pertemuan
mereka. Pada saat yang sama, kesehatan Paul menurun hingga harus dirawat di
rumah sakit. Rika bergantian dengan Kencana menjaga Paul selama tiga hari, sebelum
putri sulung Paul yang menjadi seorang biarawati memperoleh cuti untuk
mengunjungi orang tua yang sedang sakit.
“Sudah,
Rika pulang saja,” ucap Stella, satu-satunya putri yang Paul miliki, menjelang
sore itu. “Bude yang akan jaga Opa. Terima kasih banyak atas semuanya, ya.”
Setelah
memastikan semuanya baik-baik saja, Rika pun berpamitan. Sesampai di luar kamar
rawat, ia mengembuskan napas lega. Menjaga Paul yang sedang sakit tak pernah
dianggapnya sebagai beban. Bagaimanapun, Paul adalah salah satu orang yang
berjasa sangat besar meletakkan dasar kehidupan yang kini ia lalui. Tapi dengan
adanya Stella, Rika yakin Paul akan lebih cepat pulih.
Saat
ia berbelok di ujung lorong untuk menuju ke lift, ia berpapasan dengan Sonia,
ibu Andries. Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya, saat Andries membawa Sonia
untuk tes rasa makanan. Sejenak keduanya berhenti.
“Eh,
Tante,” sapanya manis.
“Lho,
Rika di sini juga?” Sonia menatapnya dengan alis diangkat tinggi-tinggi.
“Iya,
baru selesai jagain Opa. Tante nengok siapa di sini?”
Sonia
terdiam sejenak sebelum menjawab lirih, “Andries.”
Seketika,
seolah ada yang menghantam hati Rika. Mas Andries?
“Mas
Andries sakit apa, Tante?”
Dan,
seluruh jiwanya seolah menguap ketika Sonia menjelaskan secara ringkas bahwa
Andries sudah bertahun-tahun menjadi pejuang leukemia. Belakangan ini, karena
terlalu sibuk ikut mengurus pernikahan adiknya, kondisi kesehatannya pun turun
drastis, hingga harus dirumahsakitkan.
“Rika
mau tengok Andries?” tawar Sonia.
Tanpa
berpikir panjang. Rika pun mengangguk. Sonia membawanya berbalik arah.
Ternyata, Andries dirawat tepat di sebelah kamar Paul. Sebuah kamar VVIP, sama
seperti kamar rawat Paul.
Laki-laki
muda itu tengah terlelap ketika Rika menjumpainya. Tanpa bisa ditahan, telaga
bening mengembang di mata Rika. Setelah mengerjap beberapa kali, Rika pun
menoleh ke arah Sonia.
“Tante
sendirian?” bisiknya.
Sonia
menggeleng. Tersenyum. “Baru saja papanya Andries pulang. Abang sama adiknya,
nanti selesai urusan kerja baru ke sini. Ngomong-ngomong, Opa sakit apa?”
Sonia
mengajaknya duduk di sofa.
“Sakit
karena usia, Tante,” jawab Rika, masih berbisik. “Sudah ada Bude yang jagain,
makanya ini tadi saya mau pulang. Sejak kapan Mas Andries dirawat?”
“Sudah
tiga hari ini. Dia ada rencana ketemu Rika untuk masalah pelunasan, ya?”
“Oh,
iya, Tante.” Rika mengangguk. “Harusnya kemarin, tapi sehari sebelumnya Mas
Andries sudah kasih kabar, minta penundaan. Saya kira karena sibuk saja. Saya
nggak tahu kalau Mas Andries sakit.”
“Sini,
Rika kasih nomor rekening saja, biar langsung Tante transfer sekarang.”
“Nggak
apa-apa, Tante, nanti saja. Lagian, saya nggak hafal nomornya.” Rika meringis
sekilas.
Sonia
tersenyum. Sedikit memudarkan resah yang tergambar nyata di wajahnya.
Mereka
mengobrol dengan suara rendah selama beberapa saat. Hingga Rika merasa ada
getaran berulang dari dalam tas yang ada di pangkuannya. Sejenak ia minta waktu
untuk menengok ponselnya. Ternyata panggilan dari ayahnya.
“Kamu di mana?” tanya ayahnya langsung. “Papa cari kamu di taman nggak ada. Di kamar
Opa juga nggak ada. Kata Bude kamu sudah pulang. Lha, tadi minta dijemput.”
Tadi
sebelum meninggalkan kamar Paul, Rika memang minta dijemput ayahnya. Mobil yang
tadi pagi dibawanya dari rumah dipakai ibunya untuk pulang. Kantor Owen tak
jauh dari rumah sakit itu. Waktunya pun sudah mendekati usainya jam kerja. Ia
sempat mengatakan akan menunggu di taman. Hanya saja, keburu bertemu dengan ibu
Andries.
“Aku
nengok teman di sebelah kamar Opa. Maaf, nggak sempat kasih tahu Papa tadi.”
Terdengar
helaan napas lega Owen. “Di sebelah mananya kamar Opa?”
“Papa
keluar, pas di sebelah kiri.”
“Ya, Papa ke situ.”
“Eh,
nggak....” Tapi di seberang sana Owen sudah mengakhiri pembicaraan itu. “...
usah.” Rika tetap membisikkan lanjutannya walaupun terlambat.
Sejenak
kemudian ditatapnya Sonia.
“Sudah
dijemput, ya?” Sonia kembali tersenyum.
Rika
mengangguk. “Iya, papa saya. Kebetulan kantornya di belakang situ.”
Baru
saja Rika hendak berpamitan, pintu kamar sudah diketuk dari luar. Sangat halus.
Sonia pun beranjak, diikuti Rika. Wajah Owen menyembul begitu pintu dibuka
Sonia.
Sejenak
mereka bertukar sapa dan berkenalan, sebelum Rika benar-benar berpamitan.
“Titip
salam untuk Mas Andries, ya, Tan,” ucapnya, sembari menggenggam tangan Sonia.
“Saya doakan Mas Andries cepat pulih. Untuk urusan kontrak booth nggak usah
dirisaukan. Waktunya masih lebih dari cukup, kok.”
Keduanya
berpelukan sebelum Owen pun berpamitan. Laki-laki itu sempat melirik putrinya
ketika melangkah bersisian menuju ke lift.
“Temanmu
sakit apa?” tanya Owen, halus.
“Leukemia.”
Lirih sekali suara Rika. Owen mendengar ada nada patah di dalamnya.”
“Oh....”
Owen manggut-manggut. “Teman kuliah? Teman bisnis?”
“Dia
klien, mau sewa food truck.”
Owen
tak bertanya lebih lanjut. Seutuhnya ia menangkap kemurungan Rika. Sepertinya
ada cerita lain. Tapi ia belum mau mendesak. Ia paham putrinya butuh ruang dan
waktu.
“Tadi
Mama kirim pesan sama Papa. Kita ditunggu di sektor lima.” Owen menyebutkan
lokasi salah satu food truck
mereka yang terdekat dengan lokasi rumah sakit. “Mama di sana sama Mia.
Sekalian kita makan di sana.”
Rika
hanya mengangguk, tanpa suara.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar