Sebelumnya
* * *
Bias Cinta
James menciumi bayi laki-laki berusia satu
setengah tahun itu dengan mata sedikit mengaca. Si kecil bernama Rama itu
sepertinya mengerti bahwa untuk sementara waktu ia akan berpisah dengan sang
kakek. Tangan montoknya memeluk erat leher James.
“Tunggu Akung di sana, ya, Nak,” bisik James.
Setelah berpikir panjang ribuan kali,
akhirnya Gandhi dan Navita memenuhi permintaan Daris untuk mengelola Barto
Utama. Bagaimanapun, Navita adalah ahli waris yang sah dari perusahaan otobus
besar itu. Minarti sendiri sudah angkat tangan. Merasa bahwa momennya sudah
terlalu jauh terlewatkan di belakang. Ia hanya ingin menikmati kehidupan
tenangnya bersama James.
Hari ini, tiba saatnya bagi Navita, Gandhi,
dan si kecil Rama untuk berangkat menyongsong kehidupan baru di Madiun. Rumah
besar milik keluarganya sudah menunggu di sana. Pemindahtanganan aset berupa
rumah yang masih tertinggal di sini, di Jakarta, akan segera diurus James.
Pembelinya sudah ada. Dan, segera setelah semuanya di Jakarta selesai, Minarti
dan James akan undur diri dari Jakarta, kembali ke Madiun.
Dengan diiringi lambaian tangan seluruh
keluarga besar yang ada di Jakarta, Gandhi pun meluncurkan mobilnya menyongsong
kehidupan baru. Ketika mobil itu sudah menghilang dari pandangan, James meraih
tangan Minarti. Meremasnya dengan lembut dan hangat.
“Segera kita bereskan semua urusan kita di
sini, dan susul mereka,” bisiknya.
Minarti mengangguk.
Setelah menyempatkan diri berbincang sejenak,
seluruh keluarga besar Prima pun berpamitan. Sebelum masuk ke mobilnya, Luken
menatap James dengan sorot mata jahil. Minarti sendiri masih melanjutkan
sedikit lagi obrolan yang tertinggal dengan Arlena.
“Enak banget punya istri kaya raya, ya, Om?”
bisik Luken.
Seketika James tergelak. Luken pun terbahak,
kemudian menyelinap masuk ke dalam mobil. James masih mengulum senyumnya.
Punya
istri kaya raya...
Samar, dikedikkannya bahu.
Ia sudah jatuh cinta kepada Minarti sebelum
tahu siapa sebenarnya perempuan bersahaja itu. Bahkan seandainya Minarti
benar-benar tak punya apa-apa pun, ia masih bisa memberikan kehidupan yang jauh
di atas garis layak untuk Minarti. Sertifikat atas puluhan hektar sawah dan
kebun di Purwakarta, warisan dari orang tuanya, masih atas namanya. Belum lagi
beberapa puluh patok kebun kopi di Dampit. Semuanya masih memberi hasil yang
lebih dan lebih dari cukup.
Setelah para tamu yang melepaskan kepergian
Navita sekeluarga benar-benar beranjak, James merengkuh bahu Minarti. Keduanya
masuk ke dalam rumah. Suasana lain segera menyergap rasa James.
Aroma wangi khas bayi yang biasanya menguar
di seantero rumah mungil itu kini hanya tersisa sedikit saja. Belum lagi
kesunyian tanpa celoteh meriah Rama.
“Nggak ada Rama, pasti sepi banget,” gumam
James.
“Halah, cuma beberapa minggu ini,” sergah
Minarti, halus. “Kalau rumah kita ini belum beres urusannya, serahkan saja pada
Mas Luken.”
“Ha! Ya! Kamu benarl!” James mengacungkan
jempol. “Selalu benar.”
Dan, Minarti tertawa geli mendengar kalimat
terakhir James itu.
* * *
Pagi ini, Minarti seolah dilanda deja vu. Rumah mungilnya dan James
kembali dipenuhi seluruh keluarga besar. Sama seperti kejadian sekitar empat
bulan lalu, saat mereka semua melepas kepergian Navita sekeluarga. Bedanya,
kali ini ia dan James-lah yang akan dilepas untuk berangkat ke Madiun.
Segala urusan yang menyangkut aset Gandhi dan
Navita sudah beres. Hasilnya pun sudah aman di dalam rekening Gandhi. Beberapa
waktu sebelumnya, begitu Gandhi dan Navita menyatakan setuju untuk melepaskan
pekerjaannya demi pulang ke Madiun, Minarti membeli rumah kosong yang masih
satu dinding dengan rumah lamanya yang sangat sederhana. Ia sempat melakukan
renovasi dengan menjadikan kedua rumah itu satu kesatuan. Setelah selesai,
diserahkannya rumah itu kepada RW setempat, untuk digunakan sebagai tempat
kegiatan penduduk RW, sebagai kenang-kenangan atas pernah hadirnya ia dalam
kehidupan bermasyarakat di sana.
Saat ini, rumah mungil yang ia dan James
tinggali setelah menikah masih dalam tahap tawar-menawar dengan seorang
peminat. Sepertinya sebentar lagi deal.
Tapi Minarti sudah tak sabar lagi. Ia pun menyerahkan segala urusan soal rumah
itu kepada Luken, sehingga ia dan James bisa berangkat secepatnya ke Madiun.
“Kalian harus menginap di rumah kami kalau
mudik ke Madiun,” ucap Minarti sambil membalas pelukan Arlena. “Nggak perlu
sewa kamar hotel.”
“Iya, rencananya nanti kalau Mela libur
semester,” jawab Arlena. “Dua bulan lagi.”
Dengan diiringi lambaian tangan dari seluruh
keluarga Jakarta, James meluncurkan mobilnya meninggalkan kompleks perumahan
itu. Sekali lagi Minarti seperti dilanda deja
vu. Kali ini karena teringat perjalanan pertamanya bersama James. Ia
menoleh sekilas. Tersenyum lebar ketika mendapati James mengemudikan SUV dengan
gagahnya, lengkap dengan kacamata hitam kesayangan laki-laki itu.
“Apa lihat-lihat?” celetuk James tiba-tiba.
“Baru sadar kalau aku sebetulnya ganteng banget walaupun sudah tua?”
Seketika Minarti tergelak.
“Ganteng apanya?” Minarti meledek. “Sudah
kisut semua gitu.”
“Kisut-kisut gini juga kamu doyan, Min,”
balas James.
“Ya, iyalah... Kapan lagi bisa dapat sopir
gratis seumur hidup?”
James pun terbahak. Mati kutu.
Pernikahannya dengan Minarti baru berusia
sekitar satu tahun. Sebuah pernikahan yang terkadang dipandangnya sendiri
terasa aneh. Ia dan Minarti sudah sama-sama berumur. Sudah sama-sama punya pola
kehidupan sendiri yang berjalan otomatis selama puluhan tahun. Sehingga solah-olah
keduanya menjalani kehidupan masing-masing secara bersama-sama. Relasi yang
sungguh unik.
Ia merasa seperti hidup bersama dengan
seorang sahabat lama. Sahabat yang sudah saling memahami tanpa syarat. Tak
pernah ada gesekan soal apa pun. Setidaknya belum. Tapi ia dan Minarti sudah
sepakat untuk berusaha meniadakan gesekan itu. Sekaligus belajar untuk hidup
bersama dalam satu atap, satu kamar, dan satu ranjang sebagai sepasang
suami-istri yang sah. Sebuah pengalaman yang benar-benar baru bagi keduanya.
Apalagi ia, begitu menikahi Minarti, langsung menjadi seorang suami, ayah, dan
kakek sekaligus. Peran yang ia terima dengan suka cita. Karenanya ia jatuh hati
tanpa syarat kepada Rama.
“Kita ini nanti mampir ke Jogja seperti dulu,
ya, Min,” ucap James dengan nada rendah.
“Eh?” Minarti menoleh cepat.
James tersenyum lebar. Ia menoleh sekilas.
“Besok aku ingin menikmati lagi keindahan
matahari tebenam di Ratu Boko,” ujar James. “Kali ini bersama istriku. Tahu
istriku, nggak?” James kembali menoleh sekilas.
Minarti tergelak.
“Iyaaa...,” jawabnya di tengah tawa. “Aku
kenal istri barumu itu. Perempuan STW* yang
bawel, doyan ngecipris, dan males
belajar nyetir mobil lagi.” (*STW = setengah tua)
“Eh, dia pinter banget masak, lho!” timpal
James. “Koki handal. Bener sudah STW,
tapi masih tetep cantik.”
“Hahaha... Dan, kamu kenal suaminya, nggak?”
Minarti masih tertawa geli. “Laki-laki STW
kisut yang sebetulnya ganteng dan
gagah. Yang hatinya baiiik banget terhadap semua orang. Kadang-kadang romantis,
tapi lebih sering ngaconya.”
Dan, keduanya pun tertawa-tawa. Menikmati
perjalanan dengan hati riang.
* * *
Hari sudah menurunkan tirai malamnya ketika
James membelokkan mobilnya masuk ke halaman rumah besar itu. Pintu gerbang
terbuka lebar, seolah siap menyambut kedatangan mereka. Terentang waktu lima
hari sejak saat keberangkatan mereka. James memang ingin sekali menikmati
perjalanannya bersama Minarti. Mampir dan menginap di mana pun keduanya suka.
James segera membungkuk dan mengembangkan
kedua lengan kukuhnya begitu Rama muncul dari dalam rumah. Perjaka mungil itu
berlari dengan langkah masih belum tegak, diikuti ayah-ibunya.
“Atuuun! Wutiii!” serunya dengan nada riang.
Dan, ia pun tenggelam dalam pelukan hangat
James.
“Hah! Kamu jam segini, kok, belum tidur?”
James menciumi pipi bulat Rama dengan gemas.
“Disuruh bobok nggak mau,” jawab Navita,
tersenyum lebar. “Katanya, tunggu Akung sama Uti.”
Sambil masih terkekeh kegelian, Rama
mengulurkan tangan ke arah Minarti, yang segera menyambutnya dengan penuh
kerinduan. Ia pun mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari sang nenek.
* * *
Sudah menjelang pukul sebelas malam ketika
James dan Minarti akhirnya masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar luas yang sudah
tertata rapi dan siap untuk dihuni. Kamar utama di rumah itu, yang dulu menjadi
kamar orang tua Minarti. Sudah tak ada lagi aroma tua dalam kamar itu. Navita
sudah mengubah dan menata ulang kamar itu dengan dibantu istri Daris.
Minarti membaringkan tubuhnya di ranjang.
Menunggu giliran memakai kamar mandi. Dihelanya napas panjang. Terasa lega dan
lapang.
Apakah
karena semuanya sudah selesai? Dikerjapkannya mata.
Semua sudah terletak tepat pada tempatnya.
Navita telah memperoleh kembali apa yang memang seharusnya sudah jadi haknya.
Sudah pula menyambung kembali ikatan dengan keluarga mendiang ayahnya. Pun,
memperoleh ayah baru yang sangat baik, meskipun agak terlalu terlambat. Semua
yang jadi ‘utang’ Minarti terhadap putri kesayangannya, Navita.
Sudah
lunas... Minarti mengulum senyum. Saatnya menikmati hidup!
Bertepatan dengan itu, pintu kamar mandi
terbuka. James keluar dengan wajah segar. Aroma wangi sabun dan aftershave yang dipakai James mengelus
hidung Minarti. Ia pun bangkit dari ranjang.
“Mandinya pakai air hangat, ya,” celetuk
James. “Ingat umur.”
Ucapan disertai cengiran jahil itu seketika
membuat Minarti tergelak. Dengan gemas, dicubitnya lengan kanan James sebelum
ia masuk ke kamar mandi. James pun terkekeh. Begitu pintu ditutupnya,
samar-samar terdengar senandung James. Entah menyanyikan lagu apa. Yang jelas,
suara bas yang terdengar sangat empuk itu memberikan efek menenangkan bagi hati
Minarti.
Untuk kesekian kalinya Minarti tersenyum. Rasanya,
beberapa belas bulan terakhir ini, mudah sekali baginya untuk tersenyum, bahkan
terbahak. Lebih banyak semuanya karena James. Laki-laki tercintanya itu pandai
sekali menyeretnya dalam suasana riang.
... Dan,
menikmati hidup...
* * *
Epilog
“Uti! Tiii! Uti! Utiii!
Minarti yang sedang asyik menumbuk sambal
pecel segera menghentikan kegiatannya. Seruan James dari arah depan rumah
membuatnya tergopoh menghampiri. Sepertinya darurat sekali.
“Ya, Kung? Ada apa?”
Begitu keduanya bertemu di ruang tengah,
James segera meraih tangan Minarti dan menyeretnya ke teras samping.
“Kung, ada apa, sih, ini?” Minarti
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
James mendudukkan Minarti di sofa terdekat.
Kemudian ia menjatuhkan diri di sebelah Minarti. Digenggamnya kedua tangan
Minarti. Ditatapnya Minarti dalam-dalam.
“Ti, tadi Pak Sudargo dan putrinya ke sini,”
ujar James.
“Pak Sudargo....” Minarti mencoba
mengingat-ingat.
“Pak Sudargo yang punya hotel di seberang
itu,” sergah James, sedikit tak sabar.
“Oh... Ya? Kenapa?” Minarti kembali
mengerutkan kening.
“Dia menawarkan hotelnya kepadaku.”
Seketika mulut Minarti ternganga.
“Jadi, putri Pak Dargo yang sudah sukses di
Kanada itu hendak mengajak ayahnya tinggal di sana. Apalagi sejak Bu Dargo
meninggal, kan, Pak Dargo hidup sendirian di sini. Putranya yang jadi diplomat
itu juga nggak bisa diharapkan tinggal di sini dalam jangka waktu lama sebelum
pensiun. Jadi... dia menawariku untuk membeli hotelnya. Bukan hanya yang di
sini, tapi juga yang di Jogja dan Surabaya. Bagaimana menurutmu?”
Minarti balas menatap James. Dalam-dalam.
Berusaha menemukan semua keinginan James yang terlukis di sana. Lalu, ia pun
menemukan sesuatu. Bahwa sesungguhnya ia dan James adalah dua orang sosok yang
sama dan sebangun. Terbiasa bekerja, dan merasa ada sesuatu yang kurang ketika
keduanya seolah dipaksa untuk pensiun.
Semenjak pindah ke Madiun hampir setahun
lalu, praktis kehidupannya dan James mulai monoton. Tidak ada kegiatan
‘perdagangan’ yang biasa mereka lakukan. Kalau saja tidak ada Rama dan beberapa
puluh perjalanan wisata, rasanya mereka akan jauh lebih cepat dilanda pikun.
Hotel,
ya?
Minarti mengerjapkan mata dengan cepat
beberapa kali. Ia tahu betul bagaimana kondisi jaringan hotel yang dimiliki
Sudargo. Ketiganya stabil. Sehat. Sesehat-sehatnya. Tingkat huniannya sangat
bagus. Begitu pula peringkatnya di pasar daring.
“Berapa dia mau jual?” Minarti memiringkan
kepala.
James menyebutkan nominal yang jauh di bawah
perkiraaan Minarti. Membuat perempuan itu mengerutkan kening.
“Bukan kenapa-kenapa dia jual segitu,”
sambung James. “Dia sudah nggak butuh apa-apa lagi, Ti. Anaknya sendiri yang
buka harga segitu.”
“Punya duit, Kung?” Minarti meringis jenaka.
Ia tahu berapa jumlah dana dalam rekening James, karena James menyerahkan
sepenuhnya pengurusan dana itu kepadanya.
James tertawa. Melihat reaksi Minarti,
tampaknya keinginannya akan terpenuhi.
“Oke!” Minarti pun memberikan lampu hijaunya.
Seketika James bersorak dan memeluk Minarti
erat-erat. Seperti anak kecil yang memperoleh mainan kesukaannya. Minarti
tergelak. Balas memeluk James.
Bersama James, kehidupannya jauh lebih berwarna.
Selalu ada petualangan baru dalam usia yang tak lagi muda.
“Living
life, Ti,” bisik James.
Minarti mengangguk. Mengulas senyum.
* * * * *
T.A.M.A.T
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Luar biasa endingnya mbak, good post and kapan jadi buku, maaf komennya campuran
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur. ππΌ
HapusSoal jadi buku, nggak berani janji ya, Pak. π€π€π€
Akhirnya ketemu endingnya... selalu sukak sm tulisan2 ibu liz ini. Ak silent reader sjk jaman kompasiana 8th an lalu.... trus lama2 mls sm kompasiana tp ga mls cr2 dimana sih bu liz berada... terimakasi utk hiburannya ya...
BalasHapusMakasih banyak atas singgahnya ya. π
HapusBtw, kok nggak ada namanya? π€
Ak g pernah komen bu liz, ndak tau jg gimana biar muncul. Itu ada pilihan berikomentar sebagai: udh ak pilih namaku lhoo... nama sy bening
BalasHapusHehehe... Kapan lagi kalo mau komen, kasih nama dalam tanda kurung aja ya, Mbak Bening. ππΌππ
HapusSoalnya blogspot kadang-kadang aneh. π
Keren ceritanya....biada cerita masih muda2 ini cerita sdh tua tapi oke mesra....ditunggu cerita lainnya
BalasHapusMakasih singgahnya ya. Semoga ceritanya nggak terlalu mengecewakan.
Hapus