Sebelumnya
* * *
“Mm... Siang tadi Mama diajak makan siang sama Pak James.”
Suara lirih Sandra berhasil membuat Angie mengalihkan tatapan dari layar televisi. Tapi tanggapannya sungguh di luar dugaan Sandra.
“Asyik, dong!”
Sia-sia Sandra mencari nada sindiran dalam suara putri tunggalnya. Tapi tak sedikit pun ia menemukannya. Yang mengambang di udara sekitar mereka justru rasa riang dan aura cerah.
“Terus?”
Kali ini, nada antusiaslah yang menggema. Sandra menghela napas panjang.
“Mama diminta menemani Pak James ke resepsi pernikahan salah seorang temannya.”
“Kapan, tuh?”
“Sabtu depan.”
“Wah! Kayaknya Mama perlu gaun baru!” Nada antusias dalan suara Angie tak berkurang sedikit pun. “Ayo, Ma, besok pulang kerja kita keluar. Aku belikan Mama gaun baru.”
Sandra meringis sekilas.
“Kayaknya nggak perlu,” ia menggeleng. “Tadi Pak James bawa titipan Bu Min. Gaun baru. Lurik. Baguuus banget!”
“Aaawww... Ya, sudah, pakai itu saja. Perlu sepatu atau tas baru, Ma?”
“Kamu mau belikan?” Sandra terkekeh. Nada berat dalam suaranya sudah jauh berkurang.
Angie mengangguk beberapa kali. “Mama tinggal tunjuk saja. Aku yang bayarin.”
“Ish! Banyak uang kamu sekarang!”
Tawa keduanya lepas. Angie merengkuh bahu mamanya.
“Gajiku cuma terambil sedikit tiap bulannya, Ma,” Angie meringis. “Sarapan sama makan malam, masih ikut Mama. Kebutuhan tiap bulan, kadang ikut Mama juga. Paling cuma receh-receh aja terpakainya. Gimana nggak masih sisa banyak?”
“Sombong!” Sandra tergelak. Demikian juga Angie.
Tapi beberapa detik kemudian, tawa Sandra menyurut dari udara. Karena Angie iseng bertanya, “Terus, tadi gimana ceritanya, Ma?”
Dihelanya napas panjang.
James mengajaknya menikmati makan siang di restoran sebelah Coffee Storage. Sebenarnya ia ragu-ragu menerima ajakan James. Tapi rasa segan terhadap James mengalahkan keraguan itu. Apalagi selama ini James sudah begitu baik kepadanya.
Setelah keduanya duduk berhadapan di sebuah sudut, sudah selesai memesan makanan dan minuman, James menatapnya.
“San, mau menemani aku ke resepsi salah seorang temanku?”
Sandra balas menatap. Mengerutkan kening.
“Sagan, ingat, nggak? Yang dari Surabaya itu.”
Samar, Sandra mengingat sosok salah satu teman James itu.
“Dulu pernah datang ke kantor beberapa kali?” tanya Sandra. “Waktu Pak James masih di Coffee Storage?”
James mengangguk. “Iya, Sagan yang itu. Dia mau menikah. Ceritanya, sih, CLBK. Sama mantan tunangannya dulu.”
Seketika Sandra terbengong.
“Dia, kan, sudah lama banget menduda,” lanjut James. “Anak-anak mendiang istrinya yang dia asuh sudah mentas semua. Yang bungsu juga sudah menikah tahun lalu. Mantan tunangannya itu juga sudah single lagi. Suaminya meninggal tahun lalu. Anaknya juga sudah dewasa. Anak mendiang suaminya.”
Sandra mendegut ludah. Sama sekali tak tahu harus bagaimana menanggapi keinginan James. Tapi beberapa detik kemudian ia mencoba untuk menghindar.
“Mm... Kok, Bapak nggak mengajak Bu Min saja?”
James mengerjapkan matanya. Menatap Sandra dengan sorot mata polos.
“Wah, nggak kepikiran,” jawab James, sambil menggeleng ringan.
Sandra kembali terdiam.
“Gimana?” usik James. “Mau, ya?”
“Mm... Saya pikir-pikir dulu, ya, Pak,” akhirnya ia menemukan jawabannya.
“Jangan lama-lama, San,” ujar James. Nadanya terdengar sangat kalem. “Resepsinya Sabtu depan ini.”
Sandra hanya bisa mengangguk.
“Jadi, Mama harus gimana?” Sandra menatap Angie. Sorot matanya terlihat agak putus asa.
“Lha, ya, nggak gimana-gimana, Ma,” sahut Angie dengan nada santai. “Pergi saja. Hitung-hitung, mengucap terima kasih sama Om James, aku sudah dikasih kerjaan. Aku dikasih kelonggaran kerja sambil mengurusi kelulusan dan wisudaku. Ada berapa bos di dunia ini yang bisa kayak gitu?”
“Yah...,” Sandra menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. “Kok, jadi Mama yang berterima kasih? Harusnya, kan, kamu.”
“Lho! Aku, kan, anak Mama.” Angie mengerutkan kening. “Kenal Om James juga karena Mama. Gimana, sih?”
Diam-diam, Sandra membenarkan ucapan putrinya. Dihelanya napas panjang sambil menggeleng pelan.
“Jadi... Mama harus mengiyakan ajakan Pak James?” gumamnya.
“Memangnya Mama belum jawab?” Angie menoleh cepat.
“Belum...,” Sandra menggeleng lagi sambil meringis sekilas.
“Astaga...,” gerutu Angie. “Kasihan Pak James, Ma, harus tunggu-tunggu lagi. Aku kira Mama sudah bilang iya.”
“Yaaa... Mama, kan, juga harus mikir panjang. Kan, kamu tahu sendiri status Mama sekarang gimana.”
“Halah...,” Angie mengibaskan tangan kanannya. “Nggak usah dengerin kata orang,” ujarnya dengan nada ringan. “Kita sendiri yang tahu gimananya kita, Ma. Seandainya pun besok-besok ada apa-apa antara Mama sama Om James, nggak jadi soal. Sama-sama single ini. Nggak ada namanya selingkuh, mengkhianati, atau sejenisnya.”
Seketika Sandra terbengong. Hah? Sejauh itu? Tapi ia kemudian tersadar.
“Aduh! Nggak usah aneh-aneh, deh, kamu mikirnya,” gerutunya. “Lagian mana rela Papa kalau lihat Mama macem-macem sama sembarang laki-laki.”
“Aneh gimana?” Angie justru membantah. “Papa sudah nggak ada, Ma. Papa sudah bahagia di Surga. Tinggal kita yang di dunia ini yang harus melanjutkan hidup. Aku yakin, walaupun seandainya nanti aku bakal punya papa baru, Mama nggak akan semudah itu melupakan Papa. Aku sendiri, Papa nggak akan pernah tergantikan di hatiku. Mama dan Papa sudah saling setia seumur hidup Papa. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup, Ma. Kupikir dan kurasa, Papa pun demikian. Realistis sajalah, Ma. Lagian, Om James itu bukan sembarang laki-laki. Dan Mama sendiri, aku yakin juga nggak bakal ada yang namanya ‘macem-macem’ itu.”
Sandra terhenyak. Merasa sedikit aneh dengan paparan panjang lebar Angie.
Dunia sudah terbalik.
Ia menggeleng samar.
Seharusnya ibu yang menasihati anak. Lha, ini malah kebalik!
Tapi ia sama sekali tak menemukan ada sesuatu yang salah dari ucapan Angie.
Angie adalah anak kesayangan Riza. Keduanya sangat dekat. Bagaimana pola pikir Riza, sedikit banyak diadaptasi pula oleh sang putri. Termasuk pola pikir realistis seperti itu.
Tapi... Apakah memang pantas aku menerima ajakan Pak James?
“Jadi...,” Sandra mendegut ludah, “... nggak apa-apa Mama menemani Pak James ke resepsi nikah temannya?”
“Buatku, no problem.” Suara Angie terdengar sangat tegas. “Sebodo sama omongan orang lain, Ma. Lagian, waktu kita ditinggal Papa tiba-tiba banget kayak gitu, siapa yang selalu ada di sisi kita? Salah satunya Om James, kan? Bukan orang lain yang bisa jadi kebanyakan omong itu.”
Diam-diam Sandra membenarkan. Tapi masih juga ada ganjalan dan keraguan dalam hati. Hanya saja, ia tak tahu apa dan mengapa.
Rasa-rasanya aku masih harus cari tahu...
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Catatan :
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan penerbitan episode ini. Hari Kamis kemarin, saya harus masak-masak asoy karena sohib saya (sohib dari masa pra-TK sampai sekarang) dan istrinya mau datang berkunjung, sekalian merapat untuk makan siang. Sore sudah teler, nggak lagi sempat pegang laptop.
Hari Jumat pagi, sudah siap-siap mau nyalain laptop, mendadak ada yang pesan 80 nasi box untuk pukul 5 sore hari yang sama. Padahal stok bahan makanan sudah menipis karena saya mau liburan. Jadi terpaksa harus ke pasar dulu, dll. Sibuk sampai sore. Mau pegang laptop sudah nggak sanggup.
Hari ini, mumpung senggang, sudah sekalian saya jadwalkan episode-episode untuk minggu depan. Jadi, biarpun saya liburan, tetap ada lanjutan cerbung ini di blog FiksiLizz.
Terima kasih.