Sebelumnya
* * *
Saat tangan kanannya digenggam erat James ketika mereka menyeberang jalan, Minarti sudah siap seandainya nanti harus meninggalkan rumah kenangan itu dengan tangan kosong. Bukankah ia sendiri sudah pernah memilih untuk pergi? Semua itu membuatnya jauh lebih tenang. Dan, ia memilih untuk mencoba mencari Daris di kantor pusat PO. Barto Utama. Letaknya tak jauh. Hanya tepat di sebelah rumah besar itu. Bahkan pagarnya pun masih menjadi satu, walaupun pintunya sudah lain.
“Kita ke kantor saja, James,” gumam Minarti.
James hanya mengangguk. Ia percaya, Minarti tahu yang lebih baik.
Ketika keduanya melintasi pintu pagar kantor pusat PO. Barto Utama, segera terlihat berbagai kesibukan. Bangunan kantor itu sudah banyak berubah. Terlihat lebih besar dan moderen. Berlantai dua dengan dinding kaca buram yang terlihat ramah untuk konsumen. Dengan langkah biasa, Minarti dan James masuk melalui pintu kaca yang terbuka sendiri ketika kaki mereka menginjak lantai teras.
Saat sudah berada di dalam, seorang petugas keamanan menyapa keduanya dengan ramah, layaknya pelayanan pada kantor bank papan atas. Minarti mendongak sedikit, menatap petugas keamanan bertubuh tinggi besar setara sosok James itu.
“Saya mencari Pak Daris,” jawab Minarti dengan suara rendah. “Ada?”
“Maaf, dengan Ibu siapa?” petugas keamanan itu tetap bersikap ramah.
“Saya Minarti Karlina, dari Jakarta.”
Sejenak, petugas keamanan dengan bordir nama Santoso di seragamnya itu menatap Minarti. Saksama. Tapi ia kemudian mengangguk dengan sangat santun.
“Mari, Bu, ikut saya,” ujarnya kemudian.
Langkah Minarti sedikit goyah ketika mengikuti Santoso, naik ke lantai atas. Tangannya menggenggam tangan James lebih erat lagi. Tangan hangat yang memberinya kekuatan lebih. Ada seperangkat sofa di ujung tangga. Santoso meminta keduanya duduk menunggu di sana.
Minarti melayangkan pandang ke seantero ruangan besar itu. Sebuah ruangan yang los, hanya disekat oleh kubikel-kubikel yang menyamarkan kesibukan di antaranya. Minarti melihat pula Santoso melangkah ke arah sudut. Pada sebuah meja yang ‘dikuasai’ seorang perempuan berusia awal empat puluhan, di dekat sebuah pintu. Sejenak keduanya bercakap, hingga perempuan itu menatap ke arahnya.
Tak lama. Perempuan yang ternyata bertubuh mungil itu segera berdiri dan setengah berlari menghampiri Minarti.
“Mbak Min? Benarkah?” perempuan itu sudah ada di depannya. Menatapnya dengan mata bulatnya yang tersembunyi di balik kaca mata berbingkai modis. Kemudian meraih tangannya dan mencium punggung tangan itu dengan sikap takzim.
Minarti menahan napas. Ia benar-benar tak mengenal perempuan itu. Tapi sepertinya perempuan itu cukup mengenalnya. Entah bagaimana caranya. Sedetik kemudian perempuan itu mendongak.
“Mbak Min, saya Erika, istri Mas Daris,” ucapnya dengan suara bergetar. Menahan emosi.
Lalu, tanpa Minarti bisa mencegah, Erika sudah menyeretnya menuju ke pintu. Dengan sebelah tangannya, Erika membuka pintu tanpa mengetuknya lagi.
“Mas Daris! Mbak Mimin! Ini Mbak Mimin!”
Laki-laki yang sedang duduk di balik sebuah meja besar, yang sibuk dengan laptopnya, segera saja mengangkat wajah. Ternganga.
“Mbak Mimin, Mas Daris!” seru Erika, setengah histeris. “Ini Mbak Mimin!”
Laki-laki itu segera berdiri, berlari menghampiri Minarti, mendekapnya, dan... Minarti merasa punggungnya basah. Daris memeluknya sambil sesenggukan. Minarti pun balas memeluknya. Hangat. Pada detik itu, ia segera tahu, bahwa ia tak pernah kehilangan apa-apa.
* * *
Seisi rumah besar itu benar-benar tak banyak berubah. Kelihatannya Daris dan Erika mempertahankan keaslian bentuk dan isi rumah itu. Hanya sedikit saja mengganti dan menambah perabot yang sesuai dengan kemajuan jaman.
Minarti duduk di sofa dengan air mata menggenang. Semua yang baru saja dialaminya seolah mimpi yang menjadi nyata. Daris rupanya sudah menceritakan semua ruang kehidupannya kepada Erika. Segala kerinduan Daris terhadap sosok Minarti seolah menularinya. Membuatnya menyambut Minarti dengan segala keramahannya, seolah sudah sedemikian mengenal sang kakak ipar.
Tidak banyak yang terungkap di dalam ruang kerja Daris di kantor pusat PO. Barto Utama. Setelah kerinduannya sedikit terpuaskan, ia segera menggiring Minarti dan James ke rumah. Tapi James tahu diri, sehingga ia segera berpamitan. Membiarkan Minarti menuntaskan masalahnya sendiri. Toh, James juga bisa melihat bahwa sambutan Daris sedemikian hangatnya terhadap Minarti. Demikian juga dengan Erika. Tetap di kantor dan membiarkan kedua saudara itu saling melepaskan kerinduan dan cerita.
“Aku nggak tahu harus ke mana mencari Mbak Min,” desah Daris. Masih ada keharuan menggantung dalam matanya. “Jakarta begitu luas. Selain itu, aku juga harus mengendalikan Barto Utama agar tetap berdiri tegak. Aku pernah bertemu Mas Prima di makam. Tapi Mas Prima juga nggak tahu Mbak Min ada di mana.”
“Aku baru setahun ini bertemu lagi dengan Prima,” bisik Minarti. “Ternyata dia atasan anakku.”
“Bodohnya, aku nggak minta kontak Mas Prima,” sesal Daris.
Keduanya kemudian saling bertukar cerita. Tentang kehidupan masing-masing saat terpisah. Pada ujungnya, tangan Minarti terulur. Meraih tangan Daris. Digenggamnya hangat.
“Ris, kamu sudah mempertahankan Barto Utama dengan sangat baik,” ujarnya, lirih. “Aku hanya ingin menyambung tali persaudaraan. Aku nggak akan minta apa-apa. Kamu berhak atas Barto Utama. Seutuhnya.”
“Nggak bisa begitu, Mbak!” tukas Daris seketika. “Barto Utama sepenuhnya milik Mbak Mimin. Selama ini aku hanya mengambil seperlunya untuk kehidupanku, Erika, dan anak-anak. Menggaji diriku sendiri sepantasnya, tidak berlebihan. Semua ada catatannya.”
“Aku percaya,” sergah Minarti, lembut. “Sangat percaya. Bahkan seandainya kamu mengambil banyak, itu sudah jadi hakmu.”
“Sebentar.” Daris berdiri dan meninggalkan Minarti selama beberapa saat lamanya. Beberapa menit kemudian ia kembali. Duduk di tempatnya semula, di dekat Minarti.
“Ini, Mbak...,” Daris meraih tangan Minarti. Meletakkan sebuah amplop ke telapak tangan Minarti. “Ini kunci kotak penyimpanan di bank. Semua surat penting dan berharga, perhiasan milik mendiang ibu Mbak, dokumen-dokumen Barto Utama, semua ada di sana. Kukembalikan kepada Mbak.”
Minarti melengak.
“Daris!” desisnya. “Aku tak bisa memegang semua ini! Barto Utama justru bisa buyar kalau ada di tanganku. Tolonglah, Ris. Aku cuma ingin menyambung tali persaudaraan. Tidak lebih.”
“Tapi ini semua hak Mbak,” tukas Daris. “Barto Utama didirikan oleh ayah Mbak. Putri satu-satunya Papa Barto cuma Mbak. Satu-satunya ahli waris Barto Utama, seisi rumah ini, dan semua harta peninggalan Papa Barto adalah Mbak Mimin, bukan aku.”
“Ris, berhentilah bicara soal garis darah!” Minarti menatap Daris dengan mata bulat. “Kita ini saudara. Garis darah kita memang berbeda, tapi kita ini saudara. Maafkan aku karena pernah meninggalkan kalian. Sudah kutebus semua kesalahan itu. Aku hanya ingin menghabiskan hari tuaku dengan tenang, menyambung kembali tali persaudaraan kita, dan menengok makam Papa dan Mama. Mamaku, dan mamamu. Nggak lebih.”
Daris masih menatap Minarti. Hendak menanggapi, tapi segera disergah Minarti sebelum mulutnya terbuka.
“Kita biarkan semuanya seperti biasanya, oke? Tetap kendalikan Barto Utama, nikmati hasilnya, dan aku juga akan kembali kepada kehidupanku di Jakarta. Apalagi, sebentar lagi aku akan punya cucu.”
Daris termangu. Selama ini, ia memang sudah mengambil apa yang jadi haknya. Ia menggaji dirinya sendiri sebagai pemegang tampuk pimpinan PO. Barto Utama secara wajar. Lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan keluarga kecilnya. Lebih dari cukup untuk hidup di atas garis layak. Dan, ia selalu berusaha bersyukur atas apa yang sudah diperolehnya itu.
Ia ingat betul ucapan ibunya sebelum berpulang. Sebuah pesan yang dipegangnya hingga detik ini. “Kembalikan semua ini kepada Mimin kalau dia kembali. Kita sudah lebih dari cukup menitipkan hidup kepada Papa Barto dan Mimin.” Sebuah sikap bijak yang tersembunyi di balik sikap keras Erna.
Dihelanya napas panjang. Dikembalikannya tatapan ke arah Minarti.
“Mbak, aku betul-betul percaya Mbak Mimin kembali karena persaudaraan, bukan hal yang lain,” ucapnya dengan nada hati-hati. “Tapi hal yang lain itu memang benar-benar masih hak Mbak. Itu yang hendak kukembalikan kepada Mbak. Tolonglah, Mbak. Biar aku nggak ada beban lagi.”
Minarti tercenung mendengar ucapan adik tirinya itu. Beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah. Menatap Daris.
“Kamu senang bekerja di Barto Utama?” tanyanya. “Jawab dengan jujur.”
“Ya,” Daris mengangguk.
“Lalu apa yang harus diubah?”
Daris tak berkedip menatap Minarti. Ada senyum tersimpul di sudut bibir Minarti.
“Jadi, Daris, adikku sayang...,” senyum Minarti pun merekah. “Baiklah, aku terima apa yang memang jadi hakku. Tapi apakah kamu tega membiarkan Barto Utama hancur karena aku salah mengurusnya? Ada ratusan orang hidupnya bergantung pada Barto Utama. Kalau Barto Utama hancur, bagaimana nasib orang-orang itu? Itu yang kamu inginkan?”
Daris segera menggeleng.
“Jadi, kita biarkan semuanya tetap berjalan seperti biasa, oke?”
Daris menghela napas panjang.
“”Ayolah, Ris,” Minarti menepuk lembut punggung tangan Daris. “Jangan bikin rumit hal yang sudah berjalan baik. Kita ini saudara. Itu yang terpenting.”
“Jadi... Mbak Min benar-benar ingin menyerahkan pengelolaan Barto Utama padaku?” suara Daris terdengar ragu-ragu.
Minarti mengangguk. “Seperti yang sudah terjadi selama ini,” tegasnya.
Daris kembali menghela napas panjang.
“Kamu bebas melakukan apa pun demi kemajuan Barto Utama,” sekali lagi Minarti menegaskan. “Aku tak mau mengusiknya sedikit pun. Kamu lebih tahu bagaimana harus mengendalikan Barto Utama. Buktinya sudah jelas, ada di depan mata.”
Daris mengangguk.
* * *
James buru-buru menyeberang ketika Minarti meneleponnya. Mengatakan bahwa ia sudah ditunggu untuk makan siang bersama. Laki-laki itu sedikit terkesima melihat wajah Minarti yang seolah diliputi halo. Terlihat bercahaya dan berpendar indah di matanya.
Bersama Erika, Daris mengajak Minarti dan James menikmati makan siang. Kedua anaknya yang masih SMA dan SMP belum waktunya pulang sekolah. Jadi, mereka pergi berempat saja.
Sebuah kompleks pemakaman menjadi tujuan mereka berikutnya. Air mata yang selama ini disembunyikan Minarti tumpah ruah di depan makam ayahnya, ibunya, ibu tirinya, dan terutama calon suaminya. Semua yang mendampinginya terdiam. Membiarkannya menuntaskan semua kerinduan yang masih bersemayam di hati.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.