Sebelumnya
* * *
Seusai sarapan yang sudah agak terlalu siang, James meluncurkan mobilnya ke kedai. Saat ini ia tak punya kegiatan lain. Jadi, ia tak perlu mengambil libur seperti Minarti. Lagipula pekerjaannya sama sekali tak berat. Hanya tinggal mengontrol ini-itu. Bahkan lebih banyak menganggurnya.
Angie menyambut kedatangan James dengan senyum manis di lantai tiga kedai. Senyum yang nyaris sama persis seperti senyum ibunya.
“Mau minum apa, Om?” Angie siap-siap meraih gagang telepon di atas mejanya.
Tapi James menggeleng dan berucap, “Nanti saja aku turun kalau ingin minum.”
Angie mengangguk. Gadis itu kembali sibuk dengan laptopnya. Sejenak kemudian ia kembali mengangkat wajahnya.
“Om, ini pekerjaan saya sudah beres, kan. Jadi, jam berapa saya boleh nyebrang?”
“Oh... Terserah kamu saja. Sekarang juga boleh. Kamu sudah makan siang?”
Sekilas Angie menatap jam dinding di atas pintu. Ia menggeleng.
“Belum waktunya, nih, Om.”
“Sana, makan dulu.”
“Nggak apa-apa, nanti saya numpang makan di Coffee Storage saja.”
James pun mengalah. Tak hendak mendesak Angie lebih lanjut.
“Ya, sudah. Kamu hati-hati nyebrangnya.”
Sesuai kesepakatan, Angie memang diharuskan melakukan pekerjaan ganda. Bila pekerjaannya di kedai sudah beres, ia diharuskan mulai belajar untuk menggantikan Livi di Coffee Storage, di bawah bimbingan ibunya. Bila Angie di sana, maka Livi-lah yang akan menyeberang ke kedai, untuk magang sebagai pengelola kedai menggantikan James kelak.
Mendengar ‘izin’ itu keluar dari mulut James, Angie segera membereskan laptopnya.
“Sudah saya kirim laporan hari ini ke email Om,” ujarnya.
“Oke,” sahut James dengan nada ringan. “Salam buat Mama, ya?”
Mendengar ucapan yang terkesan sambil lalu itu, sejenak Angie menghentikan gerakannya. Gadis itu menatap James. Seolah hendak mengatakan sesuatu. Tapi ia membatalkannya, dan segera berpamitan.
James menatap punggung Angie hingga gadis itu menghilang di balik pintu. Lalu, ia bangkit dari duduknya dan mendekati jendela. Dari balik kaca gelap, ditatapnya gedung berlantai dua yang ada tepat di seberang kedai. Dihelanya napas panjang.
“Seribu hari itu nggak lama, Pak James....”
Mendadak, suara lembut Minarti terngiang di telinganya.
Benarkah?
James mengangguk samar. Bila ia sesibuk dulu, waktu sekian puluh tahun pun tak akan terlalu terasa. Tapi kini?
Kembali dihelanya napas panjang. Bahkan, ia tak tahu bagaimana harus kembali mendekatkan diri kepada Sandra. Apalagi kisahnya dengan Sandra berbeda 1800 dengan kisah Sagan dan Luna.
Seutuhnya ia tahu sebesar apa cinta Sandra kepada Riza. Ia pun tahu seberapa patah hatinya Sandra ditinggal Riza berpulang tanpa pesan seperti itu. Sekilas-sekilas, Angie pun pernah curhat kepadanya. Kalau saja Sandra tidak berkarier, kemungkinan perasaan kosong dalam hidup Sandra saat ini akan terkesan lebih besar dan dalam.
Untuk kesekian kalinya, ia menghela napas panjang. Ketika melihat ke bawah, dilihatnya gegas langkah Angie menyeberang jalan. Beberapa saat lamanya tatapannya terpaku ke arah itu. Hingga Livi muncul dari dalam gedung kantor Coffee Storage untuk bertukar tempat dengan Angie.
James memutuskan untuk turun. Sudah hampir waktu istirahat bagi Livi. Ia sampai di anak tangga terbawah ketika Livi membuka pintu kedai. Segera diberinya gadis itu kode agar langsung saja menuju ke sudut pantry.
“Selamat siang, Pak.” Livi mengangguk sopan. Mengulurkan tangan untuk menjabat James.
“Siang juga, Liv.” James menyambut sapaan dan jabat tangan itu dengan hangat. “Sana, pesan makanan dulu.”
Tanpa banyak kata, Livi menuruti ucapan James. Tapi ia sempat menatap james sejenak.
“Bapak mau dipesankan makanan apa?”
“Nggak usah.” James menggeleng. “Aku tadi sarapan sudah agak siang. Minum boleh, deh. Tolong, pesankan jus jeruk.”
Livi pun mengangguk dan bergerak menjauh. Tak ada hitungan lima menit, gadis itu sudah kembali lagi, dan duduk di seberang James.
“Bu Sandra titip salam buat Bapak,” ucapnya, dengan bibir mengulas senyum. “Balasan yang tadi.”
“Oh....” James pun tersenyum simpul.
Sedikit demi sedikit, keduanya pun tenggelam dalam pembicaraan soal pekerjaan.
* * *
Minarti sempat tercenung menatap kamar di salah satu rumah indekos milik Arlena. Tempat itu jauh melampaui ekspektasinya. Benar-benar tempat indekos pekerja urban kelas menengah ke atas. Sepertinya tak akan ada tempat bagi gosip-gosip murahan untuk beredar di sana.
“Kalau yang ini...,” suaranya terdengar ragu-ragu, “... berapa sebulannya, Dik?”
“Astaga, Mbaaak....” Arlena menggeleng beberapa kali. “Sudah kubilang, tempati saja. Aku nggak akan rugi cuma karena Mbak tempati kamar ini secara gratis. Beneran!””
Minarti terdiam lagi. Sesungguhnya, ia suka kamar itu. Terkesan sangat nyaman dengan langit-langit yang cukup tinggi. Fasilitas dalam kamar berukuran 6x4 meter bercat kuning gading itu lumayan lengkap. Ranjang dengan kasur pegas tebal ukuran king, satu lemari besar, seperangkat meja dan kursi untuk menulis, satu unit pendingin ruangan, kamar mandi di dalam, ada langganan laundry, juga ada dapur bersama di setiap lantai. Dan, yang paling penting, rumah indekos ini tak terlalu jauh dari tempat kerjanya. Hanya sekira satu kilometer jaraknya. Jadi ia bisa berangkat dan pulang kerja tanpa harus berurusan dengan James.
“Nanti aku tambah tivi sama kulkas, Mbak,” celetuk Arlena. “Dan, apa lagi yang Mbak butuhkan, Mbak tinggal bilang saja.”
Minarti tersentak dan segera menolak.
“Nggak perlu, Dik. Ini sudah lebih dari cukup. Nanti malah nggak terpakai kalau terlalu banyak barang.” Begitu kilahnya. “Aku, kan, berangkat pagi, pulang sore. Pulang sudah capek. Paling-paling habis mandi langsung tidur. Lagipula aku belum bicara dengan Vita soal ini. Tapi dia setuju atau tidak, aku akan tetap cari tempat baru. Yang jelas bukan di rumahnya. Ruwet lagi nanti urusannya. Kompleknya, kan, perumahan yang cukup rapat.”
Arlena manggut-manggut.
“Pokoknya, kamar ini aku keep untuk Mbak Min.” Ia sudah memutuskan. “Kapan pun Mbak mau pindah, tinggal masuk saja. Nanti aku sediakan waktu khusus buat bantuin Mbak pindahan.”
“Aduh... Nggak usah repot-repotlah, Dik.” Minarti tertawa kecil. “Paling yang kubawa nanti cuma baju dan beberapa keperluan pribadi. Nggak semua perabot kuusung ke sini. Kalau ada yang mau menempatinya, aku malah bersyukur. Jadi rumahku nggak kosong.”
Sekarang, tinggal gimana ngomong sama Vita, lanjutnya dalam hati.
* * *
“Pindah?”
Minarti menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Suara Navita terdengar bertambah volumenya.
“Ibu ini diminta pindah ke sini nggak mau, malah mau indekos. Gimana, sih, Bu?”
“Vit, Ibu nggak mau mengganggumu dan Gandhi,” ucap Minarti sabar. “Kalian berhak menikmati waktu kalian berdua saja sebelum cucu Ibu lahir. Ayolah, Ibu akan baik-baik saja. Tempatnya bagus, kok. Nyaman dan tenang walaupun di daerah ramai. Lagipula dekat banget sama kedai pak James. Jadi Ibu nggak capek di jalan.”
Hening sejenak. Hingga terdengar helaan napas Navita dari seberang sana. Entah apa yang ia pikirkan.
Lalu, dengan nada sangat hati-hati, Minarti berucap, “Vit, sudah ada jaminan dari tantemu kalau Ibu akan aman di sana. Tantemu juga nggak sembarangan kasih tempat buat Ibu. Rumah lama kita juga nggak akan Ibu jual, kok. Jadi, sewaktu-waktu Ibu ingin kembali ke rumah, rumah kita masih ada.”
Navita mendesah. Tapi rupanya ia memahami betul keinginan ibunya. Memahami betul kondisi yang dihadapi ibunya. Percuma ia menyatakan ketidaksetujuan. Keinginan dan keputusan Minarti tampaknya sudah bulat. Ibunya itu menelepon juga bukannya minta izin, tapi memberitahukan keputusan yang sudah diambil.
“Kalau begitu...,” ucap Navita akhirnya, dengan suara terdengar berat, “... aku percaya Ibu sudah memikirkannya baik-baik. Ibu tinggal bilang mau pindah kapan, nanti aku dan Mas Gandhi bisa minta cuti.”
“Dua minggu lagi ada long weekend,” sahut Minarti cepat. “Ibu pikir, saat itu saja Ibu pindahan. Nggak akan bawa banyak barang. Jadi nggak terlalu repot. Sehari juga selesai. Kalian masih bisa menikmati sisa libur.”
Setelah mengakhiri pembicaraan itu, Minarti benar-benar merasa lega.
Menikmati hidup dengan bekerja untuk mengisi waktu luang, tak lagi untuk memburu uang.... Apakah aku berhak untuk meminta hal yang lebih lagi?
Minarti mengedikkan bahu. Episode ‘susah’ itu sudah berlalu. Kini benar-benar saatnya untuk menikmati kehidupan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Silakan mampir juga ke serial terbaru yang mengudara setiap hari Sabtu. Serial “Pojok Kisah Duda Seksi”. Sudah dimulai penayangan perdananya dengan judul "Perkenalkan, Aku Ken".
Terima kasih...
Terima kasih...