Sebelumnya
* * *
Hingga rombongan belasan orang itu berlalu menuju ke ujung lain lorong, Pingkan masih merasa kakinya yang dibungkus high heels modis setinggi tujuh sentimeter tak lagi menginjak tanah. Tubuhnya terasa ringan dan melayang-layang.
“Oh, itu para trainee periode terbaru. Rupanya sudah selesai bertemu Pak Andries.”
Begitulah bisikan Imma tadi sebelum mereka tepat berpapasan. Ia sempat manggut-manggut sebelum tatapannya terkunci pada salah satu sosok tinggi tegap yang dikenalnya betul, yang ada di antara rombongan itu.
Maxi? Maxi???
Serasa ada bola besar menyumbat lehernya.
Jadi Maxi ....
Dan, ia sama sekali tak tahu soal itu. Bahwa Maxi kini berada dalam rombongan karyawan baru yang diterima bekerja di Royal Interinusa. Donner tak pernah bercerita apa-apa padanya. Apalagi Maxi. Segera Pingkan menyadari kesalahannya.
Tentu saja aku tak tahu! Bukankah aku sendiri yang menutup komunikasi dengannya beberapa waktu belakangan ini?
Sejenak ia seperti terjebak dalam lorong yang dindingnya berputar secara acak. Dalam kondisi seperti itu, secepat kilat ia memutuskan untuk mengabaikan Maxi dan tak mencoba menyapanya. Sebagai gantinya, ia buru-buru mengalihkan tatapan dan membalas sapaan staf pabrik yang mengawal rombongan itu.
Detik terus bergulir, dan mereka pun berpisah. Tetap dalam hening di antara keramaian bernada rendah layaknya dengung lebah di tengah lorong yang menghubungkan gedung kantor dan lokal produksi.
Sesampai mereka di ruang pertemuan, Andries melakukan sedikit koordinasi dengan Imma. Sesudahnya, ia menggamit lengan Pingkan dan mengajak adiknya itu langsung ke lobi. Tamu dari Jepang sudah ada dalam perjalanan. Imma akan menyusul nanti, setelah memastikan ruang pertemuan benar-benar beres dan siap pakai.
“Mm .... Jadi kamu sudah bertemu dengannya?” tanya Andries tiba-tiba, dengan suara menyerupai gumaman.
“Siapa?” Pingkan menoleh cepat.
Andries terus melangkah sambil menengok ke arah adiknya. Tersenyum lebar.
“Pahlawan penyelamatmu itu,” jawabnya dengan nada diwarnai canda.
Pingkan melengos.
“Jadi ini ulahmu?”
“Tentu saja enggak!” Seketika Andries membantah. “Dia mengirimkan lamaran untuk mengisi lowongan di perusahaan kita. Awalnya aku nggak tahu sampai Donner ngomong sama aku bahwa Maxi masukin lamaran ke sini. Tanpa aku tahu siapa dia pun, sebetulnya dia memang lolos saringan. Skornya tertinggi. Baik psikotes maupun problem solving. Hasil wawancaranya dengan HRD bagus. Tapi aku ingin tahu sendiri seperti apa dia. Makanya, terakhir, sebelum dia dinyatakan resmi diterima, aku wawancara sendiri dia. Jujur, dia memang sangat mengesankan. Tegas, punya visi jauh ke depan, tahu tujuan hidupnya apa, punya rencana jelas buat masa depannya. Hasil tes hari terakhir training di Cikarang kemarin juga skornya tertinggi. Kita butuh staf seperti dia. Lebih dari itu, kamu butuh laki-laki kayak dia, Ke.”
Seketika Pingkan menghentikan langkahnya. Membuat Andries melakukan hal yang sama.
“Ada apa?” Andries mengerutkan kening.
“Jadi kamu memang merencanakan ini?” Pingkan menyipitkan mata.
“Merencanakan apa?” sang abang melengak.
“Supaya aku bertemu dia di sini dan kamu bebas menguliahiku soal dia?”
“Bisa nggak, sebentar saja kamu berpikir dalam kerangka tanpa prasangka?” suara Andries menajam. “Saat ini, aku benar-benar butuh interpreter di sini. Dan saat ini, memang sudah jadi jadwalnya untuk training di sini. Sebuah kebetulan yang benar-benar pas. Karena memang sudah waktunya bagimu untuk keluar dari kepompongmu. Paham?”
Pingkan mendegut ludah. Tidak biasanya ia menerima nada sekeras itu dari Andries, abang yang paling dekat dengannya.
“Kalau kamu berpikir bahwa cuma kamu yang menderita karena kejadian ‘itu’, kamu salah!” tanda Andries. Tak mau kehilangan kesempatan. “Kami semua, Mama, Papa, Nicholas, aku, bahkan Donner, semua juga merasakan sakit yang sama. Merasakan kemarahan yang sama. Mungkin terdengar mudah untuk bilang, ‘Ayolah, semua sudah telanjur terjadi! Ayo, bangkit!’. Tapi hidup selalu berjalan ke depan, Ke. Tak pernah berputar kembali dan mundur ke masa lalu. Aku pribadi memang tak merasakan langsung horor yang terjadi padamu. Dan, mengetahui hal itu belakangan, tahu bahwa tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya, kamu pikir tidak sangat menyakitkan? Apalagi kamu adikku satu-satunya. Our one and only little girl. Satu-satunya hal yang bisa menyembuhkan rasa sakit itu cuma melihatmu bangkit dan mencintai hujan lagi. Cuma itu, Ke. Cuma itu.”
Selesai dengan ucapannya, Andries melangkah meninggalkan Pingkan. Gadis itu tercenung sebelum bergerak menyusul abangnya. Keduanya kembali melangkah berdampingan dalam hening. Sungguh, setiap suku kata yang dihamburkan Andries serasa menohok Pingkan tepat di ulu hati.
Pingkan mengerjapkan mata. Sembunyi-sembunyi melirik ke arah Andries yang mengusap keempat sudut matanya dengan ujung jari manis. Gerakan yang membuat Pingkan merasa tercekat.
Seberapa jauh sebetulnya ia menarik diri ke dalam benteng tinggi yang dibangunnya sendiri? Sehingga perlu bayangan air mata Andries untuk membuatnya sadar bahwa ia sebenarnya tak sedang menanggung beban itu sendirian?
Bebal!
Diam-diam, dimakinya dirinya sendiri.
“Sekarang, kita urus pekerjaan,” gumam Andries, membuat Pingkan sedikit tersentak. Dan, mau tak mau membuatnya mengangguk patuh.
* * *
Maxi berusaha membangun kembali fokusnya yang telanjur buyar berantakan setelah tak sengaja bertemu Pingkan beberapa ratus detik lalu di lorong. Pingkan yang terlihat makin cantik walaupun masih ada mendung yang terlihat menggayuti wajahnya. Pingkan yang berpenampilan rapi bak seorang profesional. Pingkan yang dirindukannya setengah mati.
Sedang apa dia di sini?
Pada setiap rangkaian dan komponen mesin yang dilewatinya, terpantul bayangan wajah Pingkan. Samar, Maxi menggelengkan kepala. Berusaha mengusir citra itu dari benaknya.
Sesi training kali ini terasa lambat sekali bagi Maxi. Secara umum memang proses produksi di sini sama persis dengan yang di Cikarang. Hanya saja skalanya satu setengah kali lebih besar. Kabarnya, pabrik yang ada di Tangerang Selatan kapasitasnya lebih besar lagi.
Entah di mana nanti ia akan ditempatkan, Maxi belum mau memikirkannya. Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah mencari tahu sesuatu yang terasa menggelitik saraf keingintahuannya sejak melihat sosok Pingkan tadi.
Sedang apa dia di sini?
Dan, akhirnya waktu istirahat pun tiba. Para trainee digiring menuju ke ruang makan pabrik. Ruang luas dengan atap tinggi itu sengaja dibuat tanpa dinding penyekat. Berisi deretan meja panjang dan kursi-kursi yang tertata cukup rapi. Angin yang bebas menyapa dan bermain di sekitar mereka membuat pikiran jadi segar. Tak lagi kepentok memandang dinding dan mesin. Apalagi ada jalur hijau sederhana di sekeliling tempat itu. Berisi hamparan rumput dan deretan palem-paleman.
Satu-satunya ‘dinding’ yang ada adalah counter-counter katering tempat mereka bisa menukarkan kupon makan. Pilihannya cukup beragam. Ada enam macam paket menu makan siang yang disediakan perusahaan bisa dipilih oleh sekitar delapan ratus staf dan karyawannya. Sepertinya sistemnya memang sama persis dengan di Cikarang. Tak ada pembedaan menu antara karyawan pada tingkatan paling rendah dengan para petinggi perusahaan.
Diam-diam, Maxi menatap berkeliling. Berusaha menemukan sosok Pingkan di antara lautan ratusan lautan manusia yang sedang beristirahat dan menikmati makan siang. Tapi sayang, hasilnya nihil. Tak ada sedikit pun bayangan sosok Pingkan. Ditelannya rasa kecewa sambil berusaha menikmati menu nasi rames yang dipilihnya.
Dicobanya untuk mengikuti obrolan yang beredar di antara sesama trainee. Sesekali ia membiarkan diri terseret arus senyum dan tawa di sekitar meja itu. Sedikit-demi sedikit, ia berhasil melepaskan Pingkan dari dalam benaknya.
Tapi, ketika bayangan itu tinggal secuil lagi bisa melayang pergi, sosok asli Pingkan justru terlihat. Berada dalam rombongan kecil yang baru saja datang. Melintas sangat dekat di selasar samping Maxi duduk. Bahkan Maxi bisa mencium aroma parfum Pingkan yang selalu terkesan manis dan legit mengelus hidungnya.
Lalu, begitu saja rombongan itu berhenti sejenak di ujung meja. Membuat Maxi hampir saja kena serangan jantung.
Lalu, begitu saja rombongan itu berhenti sejenak di ujung meja. Membuat Maxi hampir saja kena serangan jantung.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)