* * *
Sverlin ternganga di angkasa ketika melihat ada hujan godam berapi di bawah. Segera saja ia mendaratkan pesawatnya secara vertikal. Sengaja ia memilih tempat tersembunyi. Letaknya di tengah gerumbul pohon yang posisinya ada di belakang belasan pesawat yang sudah terparkir lebih dulu di dataran. Begitu pesawatnya terparkir sempurna, Sverlin segera keluar dan berlari ke arah keramaian.
Ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dari jarak yang tak begitu jauh, ia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana ganasnya kaum Maleus itu ternyata. Ia ternganga lagi ketika mendapati bahwa sebuah godam berapi bisa mengganda berkali lipat jumlahnya dalam ukuran yang sama besar dan dipakai untuk menyerang musuh tanpa jeda.
Sayangnya, godam-godam berapi itu tampaknya sama sekali tak bisa mengenai sasaran yang tak bisa dilihat oleh Sverlin. Semua godam terpental seolah menghantam perisai masih yang tak kasat mata. Tapi kaum Maleus tak mengendurkan serangan. Hingga akhirnya ....
Sverlin yang sudah kepalang tanggung dibelit rasa penasaran terus mengikuti pasukan kalap itu dari belakang. Pada satu detik, ia berhasil mencapai ujung seberang jembatan dan bersembunyi di balik sebuah pohon. Serasa ia berada dalam adegan film tiga dimensi, di mana peperangan berlangsung secara nyata di dekatnya.
Lalu, ada sebuah ledakan yang cukup dahsyat. Sverlin tak tahu dari mana sumbernya. Tapi bisa dilihatnya bahwa ledakan itu diikuti gulungan asap berwarna ungu yang meliputi sekitar pasukan kaum Maleus, dan ada sebagian kecil yang menjalar ke arahnya.
Asap itu tipis saja. Tak berbau ketika mengelus hidung Sverlin. Tapi yang ada di sekitar pasukan kaum Maleus begitu tebalnya. Hingga Sverlin tak melihat apa yang terjadi. Hanya saja, ia bisa mendengar, bahwa ada teriakan, geraman, dan erangan dari arah pasukan itu. Seperti suara tercekik dan kesakitan. Semuanya berlangsung selama beberapa menit, dan berangsung berkurang. Lalu hening.
Sverlin melongokkan kepalanya dari balik pohon. Hamburan debu berwarna ungu itu masih juga bergulung, bahkan makin banyak yang menjalar ke arahnya. Ia, yang sama sekali tak menyadari adanya ancaman bahaya yang begitu besar, masih berdiam di tempatnya berdiri. Hingga ada satu rasa yang kemudian menyerang kepalanya. Pusing tak terhingga. Membuat kesadarannya pun menguap.
* * *
“Sudah tak ada lagi pergerakan.”
Terdengar suara lembut Ratu Amarilya menggema melalui pemancar suara yang terpasang di atas layar monitor. Moses melihat seluruh kejadian itu walaupun tidak terlalu jelas karena CCTV terpasang agak jauh.
“Sedikit pun?” tanyanya.
“Sama sekali.”
“Baik, Ratu. Tolong, jangan ditarik dulu perisai yang mengisolasi mereka.”
“Oke.”
Moses menoleh kepada Xavier. “Nitrogen sudah bisa disemprotkan sekarang. Jangan lupa, jubah keamanan maksimum harus terpasang sempurna.”
Xavier mengangguk. Ia sendiri yang akan memimpin operasi pembekuan objek yang terpapar spora jamur Lendiris lilac.
“Jadi?” tanya Astrodi begitu Xavier keluar ruangan.
“Sudah selesai, Yang Mulia,” Moses mengangguk hormat. “Tapi harus dipastikan dulu kesempurnaan pembekuan supaya kondisi Gerose tidak berubah jadi berbahaya. Saya minta, perisai bungker jangan dinonaktifkan dulu.”
Astrodi mengangguk. Moses kemudian keluar, mengikuti Moses. Sudah tersedia seperangkat jubah keamanan untuknya. Dengan cepat ia memakainya. Xavier menunggunya hingga selesai, sebelum mereka keluar beriringan melalui gerbang deteksi. Bila jubah mereka belum terpakai secara sempurna, maka alarm gerbang deteksi akan berbunyi. Hingga Xavier yang paling belakang keluar, lampu gerbang deteksi tetap berkedip hijau. Tanda bahwa semua jubah sudah terpasang sempurna pada tubuh pemakainya.
Di luar bungker, selang-selang pengalir nitrogen sudah teronggok rapi, tinggal menariknya saja ke arah objek yang akan dibekukan. Ratu Amarilya sudah membuat diri dan pasukannya terlihat. Senyumnya mengembang melihat kehadiran pasukan operasi notrogen yang baru saja keluar dari bungker.
“Aku akan melindungi kalian!” serunya.
Dalam sekejap mata, ada perisai tak terlihat melindungi seluruh personil operasi nitrogen. Salah seorang di antaranya, Xavier, mengacungkan jempol. Dalam waktu beberapa belas menit, kubah transparan yang diselimuti kabut ungu di bagian dalamnya sudah terkepung rapat. Personil operasi nitrogen sudah siap memegang ujung selang masing-masing.
Ketika salah satu jempol teracung, keran nitrogen pun dibuka. Segera saja nitrogen membekukan sekitar area kubah itu. Sesuai dengan komando Moses melalui alat komunikasi, Ratu Amarilya pun sedikit demi sedikit mulai menarik kubah yang mengungkung pasukan kaum Maleus. Nitrogen terembus makin masuk menyusup ke dalam area ungu itu, hingga membekukan semuanya.
Moses memperhatikan indikator nitrogen di dekat keran. Bersama Ratu Amarilya dan Azayala, ia sudah menghitung perkiraan volume kubah yang digunakan untuk mengungkung kaum Maleus. Saat ini, volume nitrogen yang digelontorkan sudah hampir mencapai angka sesuai perhitungan.
“Ratu, aktifkan kembali perisai Anda,” ucapnya.
Ratu Amarilya pun kembali mengaktifkan kubah yang kini menyelimuti massa beku berwarna ungu di dekat jembatan. Hingga selama beberapa saat, Moses tetap mengalirkan nitrogen untuk memenuhi bagian dalam kubah. Setelah dirasanya cukup, ia pun mematikan keran.
“Sudah?” tanya Xavier melalui alat komunikasi.
“Sudah,” jawab Moses.
Saat mereka berdiskusi mematangkan strategi, Moses sempat bertanya kepada Ratu Amarilya, sekuat apa perisai pelindung yang bisa dibuat ratu muda itu. Ternyata perisai tak kasat mata itu sangat kuat. Mampu menahan ledakan yang besar energinya hingga seribu kiloton. Untuk meluluhlantakkan hamburan spora jamur Lendiris yang sudah dibekukan dalam kubah perisai, hanya perlu peledak nuklir setara dua ratus kiloton saja. Masih jauh di bawah garis maksimal kekuatan kubah. Sesuai saran Azayala, Moses pun memutuskan bahwa mereka akan menghancurkan seluruh isi kubah perisai dengan tambahan ekstra seratus kiloton lagi energi ledak.
Xavier segera membereskan urusan itu. Kini, semuanya sudah siap. Dari sekeliling dasar kubah, ia dan pasukannya menggelindingkan bom nuklir berbentuk bola. Bola-bola bom sempat tertahan di sepanjang batas kubah sebelum Ratu Amarilya mengerahkan kekuatannya agar bola-bola itu bisa menggelinding masuk lebih dalam.
Beberapa detik kemudian, seluruh bola sudah berada di dalam kubah. Sebelum mengaktifkan detonator, Xavier segera menarik pasukannya agar mundur sejauh-jauhnya dari objek. Mereka berlari merapat ke arah dinding benteng, masih di bawah perlindungan perisai tak kasat mata Ratu Amarilya. Pada hitungan ketiga, Xavier pun mengaktifkan detonator yang ada di tangannya.
BUUUMMM!!!
Terjadi ledakan yang menggetarkan bumi Gerose. Kubah transparan yang tadinya dipenuhi kabut berwarna ungu, kini berganti dipenuhi gulungan-gulungan asap layaknya bulu domba keriting tebal dalam gradasi warna putih hingga abu-abu gelap. Asap itu hanya bergumul saja dalam bentuk setengah bola, setinggi tak kurang dari lima puluh dekameter.
Perlu waktu hingga nyaris setengah jam sebelum asap perlahan menipis dan menghilang. Tak ada lagi sisa warna ungu di dalam kubah. Melihat itu, sorakan seluruh orang Gerose dan Catana di luar benteng Gerose pun meledak memenuhi udara.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)