Sebelumnya
* * *
Donner berbaring diam di dalam kegelapan kamar indekosnya. Gemercik irama hujan di luar jendela, ditimpali sesekali gelegar petir, membuat hatinya terasa ngilu. Apakah ia mulai membenci hujan? Sama seperti Pingkan?
Mengingat Pingkan, hatinya terasa teriris lagi. Apalagi, sejujurnya, ia sangat menyesal karena sore tadi sudah telanjur ‘ember mulut’ menceritakan masa lalu Pingkan kepada Maxi. Sekalipun pemuda itu sahabat baiknya.
Tapi ada juga kelegaan tersendiri. Maxi tak sedikit pun menghakimi Pingkan. Bahkan ia mendapati juga sorot pilu itu dalam mata Maxi.
“Apa lu tetap mencintainya setelah tahu kondisi Keke kayak gitu, Max?” tanyanya usai menuturkan apa yang dialami Pingkan.
Maxi menggeleng, membuat sesal itu makin menggunung dalam hati Donner. Tapi rupanya Maxi menyadari kesalahpahaman itu. Ditatapnya Donner.
“Maksud gue...,” Maxi menghela napas panjang, “... perasaan gue nggak berubah, Don. Gue yakin. Tapi...”
“Gue paham kalau lu pada akhirnya mundur,” Donner mengalihkan tatapannya ke luar jendela kamar Maxi. “Nggak apa-apa, sih. Cuma, tolong, jangan lu hakimi Keke. Jangan lu hina dia setelah lu tahu kondisi dan masa lalunya itu. Jangan lu umbar di luaran. Keke nggak pantas dihina.”
“Bukan gitu, Don,” tukas Maxi, lirih. “Gue cuma ingin bilang, gue yakin sama perasan gue. Gue tetap sayang Keke. Banget. Tapi dengan tahu latar belakang Keke kayak gini, itu artinya gue kudu lebih hati-hati sama dia. Supaya dia nggak berasa sakit lagi.”
Donner mengalihkan lagi tatapannya ke arah Maxi. Dicarinya kebohongan dalam mata sang sahabat. Tapi tak didapatinya setitik pun yang ia cari. Dihelanya napas panjang. Merasa sedikit lebih lega.
“Gue pikir, satu-satunya orang yang tepat buat Keke memang cuma lu, Max,” gumamnya. “Rasanya memang gue cuma bisa lepasin Keke ke lu. Tapi lu juga orang baik. Lu berhak dapat yang lebih baik daripada Keke kalau memang keinginan lu kayak gitu. Gua nggak akan halangin lu. Cuma satu pesen gue, tolong, jangan pernah lu pandang rendah Keke. Jangan pernah. Jangan juga lu bertahan di samping dia nantinya cuma karena lu berasa kasihan sama dia.”
Maxi tersenyum. Terlihat sedikit getir di mata Donner.
“Lu, kan, tahu, Don. Saudara kandung gue dua-duanya juga cewek. Nyakitin Keke artinya juga nyakitin kakak sama adik gue. Dan, itu sama sekali bukan rasa kasihan. Yakin, gue tetep cinta sama Keke. Cuma, mungkin nggak mudah bagi Keke buat yakin sama cinta gue. Sekarang aja gue nggak tahu gimana kudu ngadepin dia.”
Sungguh, Donner tersentuh dengan kejujuran Maxi. Ditepuknya bahu Maxi.
“Coba, nanti gue cari cara biar lu bisa deket lagi sama Keke. Biar Keke nggak menghindari lu melulu.”
Dan, sesungguhnya, ia juga sama sekali belum tahu caranya.
Minta pendapat Tisha?
Donner buru-buru menggeleng. Sampai detik ini, Tisha sama sekali belum tahu apa-apa soal Pingkan. Ia tak mau bertaruh mengumbar kisah hidup Pingkan kepada semua orang yang dekat dengannya. Ia terpaksa menceritakannya kepada Maxi karena ia merasa memang harus.
Hujan di luar sana menderas, diiringi desau angin yang cukup kencang. Donner menguap. Dilihatnya jam dindingnya yang menyala redup dalam gelap. Sudah lewat tengah malam. Rasa kantuk menyergapnya. Ia memutuskan untuk mulai memejamkan mata.
* * *
Livi menatap punggung ibunya yang menjauh, hingga menghilang di luar pintu dapur. Sejenak kemudian, ditatapnya Maxi.
“Masih mau bungkam?”
Maxi menggaruk kepalanya mendengar ada nada menuntut dalam suara sang kakak. Selama ini ia memang sangat dekat dengan Livi. Apalagi saat badai mulai menerpa beberapa puluh bulan lalu, saat Arlena – sang ibu – keranjingan dan tenggelam dalam hiruk pikuk sebuah web jurnalisme warga. (Baca juga cerbung "Affogato" – Lizz)
Livi tak ubahnya ibu pengganti baginya. Livi-lah yang membuatnya tetap bisa berpikir jernih dan tidak terseret arus untuk ikut merusakkan diri. Livi-lah yang dengan tulusnya berusaha mengendalikan keseimbangan keluarga mereka walaupun harus menerima beban terlalu banyak.
Ia bersyukur bahwa badai itu kini mulai berlalu. Keluarga mereka mulai normal lagi. Beban sudah menguap dan pergi sedikit demi sedikit. Mulai ada senyum dan kegembiraan yang murni dalam wajah Livi. Tanpa ada lagi kabut yang mengganggu. Dan, ia tak mau lagi kehilangan ‘Mbak Livi’-nya yang ceria itu.
“Hei!”
Maxi tersentak ketika telapak tangan Livi terkibas di depan wajahnya. Ia mengerjap. Ditatapnya sang kakak.
“Mau tahu? Atau mau tahu banget?” ia meringis.
Dengan lembut, Livi memukul bahu sang adik. Sejurus kemudian, Maxi mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius kembali. Ditatapnya baik-baik Livi.
“Mm... Buat Mbak, mm... gimana Mbak menerjemahkan keperawanan itu? Maksudku, mm... sepenting apa... keperawanan itu... di mata Mbak.”
Seketika, Livi melengak, dan balik menatap satu-satunya adik laki-laki yang ia miliki itu.
* * *
Ia hanya bisa terdiam ketika kedua tangan itu mulai menggerayangi tubuhnya. Seolah ia membeku. Tak bisa bergerak. Tak bisa berpikir. Tak bisa berteriak. Tak bisa menghindar.
Ia terlalu terkejut menerima perlakuan itu. Apalagi ketika mulutnya dibekap tanpa ampun.
“Lu teriak, lu mati!”
Bisikan yang menggema begitu dekat di telinganya itu makin membuatnya beku. Apalagi sesaat kemudian ada sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
Dia tidak main-main!
Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Hatinya makin dirasuki ketakutan yang seolah tak berujung. Dan, ia mulai ditelanjangi, masih di bawah ancaman. Lalu rasa sakit itu....
Begitu saja Pingkan tersentak bangun. Basah oleh keringat meskipun pendingin ruangan kamarnya menyemburkan hawa dingin. Hawa yang membuatnya menggigil hebat.
Ia meringkuk. Menarik seluruh anggota tubuhnya hingga di depan dada. Ingin mengurangi volume tubuh jadi sekecil-kecilnya di bawah selimut. Kalau bisa, menghilang saat itu juga.
Mimpi itu datang lagi!
Mimpi buruk yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Dan, tanpa terkendali ia mulai terisak dan tersedu. Tangis yang suaranya diredam secara sempurna oleh derasnya hujan di luar sana.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)