Sebelumnya
* * *
Seusai melapor dan menyampaikan pesan Salindri kepada Caruso, Aldebaran bermaksud membuka bank datanya. Kana duduk manis di sebelahnya, di ruang duduk wisma tamu planet Ancora. Tapi belum sempat ia melakukannya, alat komunikasinya berbunyi.
“Ya, Yang Mulia?” Samar, Aldebaran mengerutkan kening ketika mendapati wajah Caruso kembali muncul di layar proyeksi. Padahal baru beberapa menit lalu mereka bercakap.
“Aku akan mengirimkan pesawat untuk menjemputmu,” ucap Caruso, tanpa basa-basi. “Kamu dan Kana pulang sekarang. Kendalikan Observatorium Tandan.”
Aldebaran ternganga sejenak. Tapi sebelum ia sempat menanggapi, Caruso kembali berucap panjang, “Status Barracuda Sverlin saat ini adalah buron Javantara dan Bhumi. Dia meninggalkan tempat tugas tanpa pemberitahuan. Deputimu melaporkan bahwa pesawat Sverlin menghilang dari hanggar. Jejak terakhirnya ada di sekitar sebelah tenggara portal Andromeda. Diduga ia memasuki portal lubang cacing baru yang tidak stabil itu. Tak diketahui ke mana perginya.”
“Saya sudah menutup portal baru itu, Yang Mulia.” Nada bicara Aldebaran lebih menyerupai bantahan halus. “Saya kunci karena sifat tidak stabilnya masih saya pandang berbahaya.”
“Iya, aku tahu,” Caruso mengangguk. “Tapi sebagai atasanmu, kupikir dia pasti punya salinan kodenya.”
Aldebaran menggeleng sambil mengembuskan napas kesal. Susah memang, kalau punya bos orang yang kurang genap sekian setrip, rutuknya dalam hati.
“Aku akan menghubungi Gematri untuk urusan kepulangan kalian. Jadi, sebaiknya kalian bersiap-siap.”
Aldebaran dan Kana tak bisa lagi membantah perintah itu. Aldebaran menunda niatnya untuk membuka bank data. Sebagai gantinya, ia dan Kana pun mulai berkemas. Seusai bersiap untuk kembali ke Bhumi, sebelum melapor kepada Wilden, ternyata Gematri sudah muncul di wisma tamu.
“Yang Mulia Caruso menghendaki kalian pulang,” ucapnya halus. “Bahkan sudah mengirimkan pesawat untuk menjemput kalian. Terima kasih atas kehadiran kalian di sini.” Gematri menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Mohon maaf bila kalian merasa kurang puas dengan pelayanan kami.”
“Kami yang seharusnya mohon maaf, Yang Mulia,” Aldebaran membungkuk sedikit. “Urusan Moses jadi merepotkan Anda.”
“Sama sekali tidak,” Gematri menggeleng, tersenyum. “Aku akan berangkat ke Gerose beberapa jam lagi. Kalau bertemu Moses dan timnya, akan kubawa serta mereka pulang, dan kuantarkan langsung ke Javantara.”
“Terima kasih banyak, Yang Mulia,” Kana pun membungkuk sedikit.
Gematri menatap gadis itu sejenak. Dikerjapkannya mata.
‘Aku tahu kamu bisa membaca pikiranku.’ Dikirimkannya gema suara yang menggema lembut di telinga Kana. ‘Besar harapanku, kita akan bertemu lagi dalam suasana yang lebih menyenangkan.’
‘Sama-sama, Yang Mulia.’
Senyum Gematri mengembang. Pada saat yang sama, Kana mendapati hatinya sudah tertambat dalam hening pada laki-laki Ancora yang sangat tampan dan berkharisma itu.
* * *
Mimpi apa aku, bisa punya bos sesinting Sverlin?
Aldebaran mengembuskan napas keras-keras. Dihempaskannya punggung pada sandaran kursinya. Observatorium Tandan sedikit kacau karena minggatnya sang pemimpin dan jebolnya portal baru yang sama sekali tidak stabil itu.
Ia sedang mencoba mencari jejak informasi yang mungkin tak sengaja ditinggalkan Sverlin di ruangan laki-laki itu. Tapi, sejauh ini nihil. Dinding tak mengatakan apa-apa, dan udara yang mengambang dalam ruangan itu hanya hening. Sverlin benar-benar rapat mengunci pikirannya.
“Alde, kamu dapatkan sesuatu?”
Aldebaran tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Kana tengah melongok dengan wajah serius. Aldebaran pun menggeleng.
“Mau aku bantu?”
Tatapan Aldebaran berubah skeptis. Tapi Kana rupanya tak mau menunggu jawaban Aldebaran. Tanpa seizin sang kepala keamanan, gadis itu pun melangkahkan kakinya masuk. Tapi belum satu meter, Kana sudah tertegak dengan wajah seolah membeku.
“Ada apa?” Aldebaran seketika menegakkan punggungnya.
Kana mengangkat tangan. Sebagai tanda untuk meminta Aldebaran diam. Laki-laki itu pun menurut dan mengatupkan rapat-rapat bibirnya. Lalu, sambil tetap berdiri, Kana memejamkan mata dan mencoba menangkap setiap jejak pikiran Sverlin yang mungkin tertinggal dalam ruangan itu. Pelan-pelan, benaknya meriuh.
... Sontoloyo si Caruso! ...
... Aku merindukanmu, Kana... ...
... Kalau tahu akan seperti ini, harusnya kubunuh saja si Moses itu! ...
... Kana, kamu pasti sudah sampai di Triangulum... ...
... Tapi demi Kana... ...
... Hmm... Bagaimana kalau kita bertemu di sana, Na? ...
... Kita akan bertemu di sana, Na. Kita akan bertemu di sana! ...
... Akan kubunuh Moses! ...
Lalu, berbagai visual asing mendadak saja muncul di benaknya. Lorong dengan dinding warna-warni acak. Gambaran alam yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah planet dengan tiga bintang redup. Cukup rimbun dengan aneka tumbuhan berdaun merah, keperakan, keemasan, dan coklat. Juga bunga aneka bentuk dan warna. Ada berbagai bentuk makhluk hidup lainnya di antara flora itu. Makhluk darat dengan bentuk yang sangat asing. Makhluk serupa ikan yang beterbangan di udara. Juga makhluk yang berpenampilan serupa dengan manusia semesta.
Triangulum... Gerose...
Kana terhenyak. Begitu saja pikirannya menyebutkan nama planet itu. Ia kemudian membuka matanya. Langsung menemukan tatapan Aldebaran.
“Dia...,” Kana mendegut ludah, berbisik, “... tampaknya pergi ke Gerose melalui portal di tenggara portal Andromeda yang kamu kunci itu. Dikiranya kita sudah berangkat ke Triangulum. Ke Gerose. Dia... mau menemuiku. Dia... sepertinya... juga hendak membunuh Moses.”
Aldebaran sempat ternganga sejenak sebelum menggebrak meja di depannya. Wajahnya dipenuhi kemarahan luar biasa.
“Bodohnya Sverlin!” semburnya seketika. “Serampangan!!! Dasar bodoh!!! BODOOOH!!!”
Kana hanya bisa menatap murka Aldebaran dengan sorot mata terperanjat.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)