Satu
Sekilas Ingrid menatap jam dinding yang tergantung di atas pintu. Delapan menit lagi jadwal latihan akan berakhir. Ketika alunan gending yang berasal dari stereo set di sudut ruangan berhenti, ia pun bertepuk tangan dengan wajah riang.
“Oke!” serunya. “Bagus sekali latihan kita hari ini, Adik-adik! Jadi, sudah siap untuk pentas?”
“Siap, Kaaak...,” terdengar jawaban serentak penuh semangat dari dua puluh tiga gadis kecil berusia tujuh hingga delapan tahun yang ada dalam ruangan itu.
Ingrid pun mengacungkan jempol.
Pasar seni, istilah yang sudah puluhan tahun digunakan oleh sekolah dasar tempatnya mengajar ini untuk menyebut pentas seni, akan digelar tiga minggu lagi. Dalam kesempatan itu, setiap ekstra kurikuler diharapkan siap untuk mengisi acara. Ekskul tari sendiri akan menampilkan dua tarian tradisional dan satu tarian modern. Menjadi tanggung jawabnyalah untuk menyiapkan penampilan tari tradisional anak-anak kelas satu dan dua.
Ia sudah tiga tahun lamanya diutus sanggar tari tempatnya bernaung untuk menjadi asisten pelatih. Sanggar tarinya sudah puluhan tahun menjalin kerja sama dengan sekolah ini untuk urusan ekskul tari tradisional. Latihan anak kelas tiga ke atas dipegang oleh Lulu, pelatih lain yang lebih senior, dari sanggar yang sama. Tempatnya ada di ruang sebelah. Sedangkan tari modern, pelatihnya didatangkan dari sanggar lain. Latihannya ada di salah satu ruang di lantai bawah.
“Baiklah, sekarang kita siap-siap untuk pulang, yuk! Minggu depan kita ketemu lagi, ya....”
Ajakannya segera disambut gembira oleh anak-anak mungil dalam ruangan itu. Tepat ketika mereka selesai bebenah, bel pun berbunyi. Dengan tertib, anak-anak berbaris di depan pintu ruangan. Yang kelas satu ada di bagian depan. Ingrid pun segera membuka pintu dan menerima salam pamit dari semua anak asuhnya. Setelah anak terakhir keluar, barulah Ingrid membenahi semua barang-barangnya. Ia berjalan ke sudut, mengeluarkan cakram berisi rekaman aneka gending dari stereo set. Setelah itu, barulah ia melepas ikatan sampur[1] yang melingkari pinggang rampingnya, dan jarik[2] yang menutupi bagian bawah tubuhnya yang dibalut celana legging berwarna hitam. Setelah melipat dan memasukkan jarik dan sampur ke dalam ransel, ia pun mengenakan kembali celana denimnya. Saat ia menarik ritsleting celana, ada kepala dan separuh badan atas yang tersembul dari balik pintu.
“In, gimana latihan hari ini?”
Ingrid menoleh. Lulu menatapnya dengan wajah cerah. Ia pun mengangguk.
“Baik, Kak,” jawabnya. “Anak-anak sudah siap untuk pentas. Sudah hafal betul variasi gerakan dan formasinya.”
“Bagus!” Lulu mengacungkan jempolnya. “Kamu mau langsung pulang?”
Ingrid menggeleng. “Enggak, mau ke kampus. Ada janji sama dosen pembimbing.”
“Hari Sabtu gini?” Lulu mengangkat alis.
Ingrid mengangguk. Tersenyum lebar. Menyiratkan ucapan, “Biasa....”
“Oh...,” Lulu segera paham dan manggut-manggut.
“Titip laporan ke Bu Cindra, ya, Kak?”
“Oke! Jangan lupa nanti sore ada latihan tambahan.”
Ingrid mengangguk sembari meraih ranselnya. Keduanya bersamaan melangkah keluar dari lokal sekolah itu sambil bercakap. Wajah Lulu makin cerah ketika melihat sang suami sudah duduk di lobi. Menunggu dengan sabar hingga jadwal mengajar di sekolah ini selesai pada pukul sebelas siang. Bersama Lulu, Ingrid pun segera menghampiri laki-laki tinggi tegap bernama Fritz itu.
“Hai, Onkel[3],” sapa Ingrid manis sambil meraih tangan Fritz, dan sejenak menempelkannya di pipi.
“Halo! Halo!” jawab Fritz. Tangan kirinya terulur, menepuk lembut puncak kepala keponakannya itu.
Mereka bercakap sejenak sebelum berpisah. Dari balik kaca depan mobil mungilnya, dengan senyum terkembang di bibir, Ingrid menatap paman dan bibinya yang berboncengan meluncur meninggalkan area parkir motor komplek sekolah. Ketika motor besar Fritz sudah menghilang di balik gerbang sekolah, Ingrid pun pelan-pelan mulai melajukan mobilnya.
* * *
Ingrid sampai di sanggar menjelang pukul setengah empat sore. Latihan tambahan akan dilaksanakan sejam lagi. Mereka sedang bersiap untuk mementaskan sendratari semi kolosal dua bulan lagi di Perth. Bergabung dengan Sanggar Tari Pancarwengi. Menurut jadwal, latihan gabungan mereka akan dimulai awal bulan depan.
Setelah memarkir dan mengunci mobilnya baik-baik, Ingrid menyelinap masuk ke studio tempat mereka akan berlatih. Masih sepi. Diam-diam, ia duduk di sudut dekat pintu. Dalam ruang luas berukuran 10x15 meter itu menggema gending pengiring tari Karonsih. Tari yang menggambarkan kisah percintaan Galuh Candra Kirana dengan Panji Asmara Bangun, sedang dibawakan dengan sangat indahnya oleh pasangan Cindra dan Damar, pendiri sekaligus pemilik Sanggar Tari Cipta Kencana ini.
Ingrid menggigit bibir bawahnya. Sudah cukup lama ia tidak bisa menikmati tarian itu. Ia masih sering melihatnya. Saat pasangan Cindra dan Damar ataupun Lulu dan Fritz menarikannya. Ia pun masih sangat hafal gerakannya, meskipun....
Ah....
Ingrid menggeleng samar. Menunduk. Mengaduk tasnya. Mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencoba mencari keasyikan lain melalui ponselnya. Hingga....
“Temani Onkel, yuk, In!”
Seketika ia mendongak. Entah sejak kapan, Fritz sudah berdiri menjulang di sampingnya. Ketika ia lebih fokus lagi untuk masuk kembali ke ‘alam’ studio itu, ia menyadari bahwa gending pengiring Karonsih sudah berhenti. Ia menoleh ke arah lain. Cindra dan Damar masih berdiri di tengah studio. Tengah asyik membicarakan sesuatu. Ingrid kembali menatap pamannya.
“Ngapain? Temani apa?” Ingrid mengerutkan kening.
“Latihan Karonsih,” senyum Fritz melebar.
“Kak Lulu mana?” Ingrid belum juga bangkit dari duduknya di bangku rendah panjang yang menempel di sepanjang dinding.
Ia sudah mengenal Lulu sejak pertama kali masuk ke sanggar ini belasan tahun lalu. Saat ia masih berumur tujuh tahun dan duduk di kelas satu SD. Awal ketertarikannya terhadap tari tradisional muncul setelah ibunya memasukkan ia ke ekskul tari tradisional. Ia dulu bersekolah di SD tempat ia kini mengajar ekskul tari setiap hari Sabtu.
Di kemudian hari, saat Lulu – keponakan Cindra – sudah mampu melatih, ia dilatih juga oleh Lulu. Di sanggar itu pula Fritz, adik ibunya, bertemu dengan Lulu. Saling jatuh cinta, sama-sama aktif di sanggar, dan kemudian menikah (baca juga : Karonsih – Lizz). Sejak awal, ia sudah memanggil Lulu dengan sebutan ‘Kak’. Tak berubah hingga kini, walaupun perempuan berparas manis itu sudah menjadi istri pamannya.
“Lagi rapat sama tim,” jawab Fritz sambil melepaskan celana denimnya.
Latihan Karonsih....
Ingrid mengulangnya dalam hati. Masih tanpa bergerak.
Dulu, dulu sekali, entah berapa tahun lalu, saat ia masih gadis kecil bau kencur, salah satu keinginan terkuatnya adalah belajar menarikan Karonsih. Tarian indah itu biasanya dibawakan oleh dua orang berlawanan gender yang berhubungan dekat. Ayah-anak, ibu-anak, suami-istri, adik-kakak, abang-adik, sepupu, saudara yang masih berhubungan darah, dan sejenisnya. Itu karena tari Karonsih mengandung keintiman luar biasa yang dibawakan dengan gerakan sangat indah dan elegan. Kental dengan suasana mesra yang terbangun antara dua penarinya. Mungkin bisa jadi ‘masalah’ di kemudian hari kalau yang menarikannya adalah sepasang ‘orang lain’.
Sampai di sini, Ingrid diam-diam meringis dalam hati.
Dari seringnya melihat Cindra dan Damar berlatih menari Karonsih, ia jadi jatuh cinta pada tarian itu. Apalagi ketika kemudian Lulu dan Fritz pun mulai ikut berlatih sejak menjelang jadi sepasang kekasih. Ia melihat chemistry yang terbangun di antara kedua pasangan itu begitu pas. Menambah indah Karonsih yang mereka tarikan.
Dan, satu-satunya orang yang ia sangat dambakan untuk menari Karonsih bersama adalah Ken, putra bungsu Cindra dan Damar. Pemuda itu yang dulu sangat aktif di sanggar itu pernah berlatih Karonsih dengan sang ibu. Hampir bersamaan dengan ia terkadang berlatih pula bersama Fritz, menggantikan Lulu.
Sayangnya, harapan hanya tinggal jadi harapan. Dambaan hanya tinggal jadi dambaan. Mimpi hanya tinggal jadi mimpi. Belum pernah ada latihan bersama menarikan Karonsih antara ia dan Ken. Sama sekali! Sedikit pun!
Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap serupa sang ayah itu dulu memang sering mengobrol dengannya. Hanya hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan mereka di sanggar. Lain itu? Sampai hampir berlumut Ingrid menunggu sesuatu yang ‘lebih’, tapi... Ken tak pernah mengatakan apa-apa. Bahkan, hingga Ken mengurangi aktivitasnya di sanggar saat masuk SMA, dan kemudian kuliah.
Ken yang tiga tahun lebih tua daripadanya itu makin tak terjangkau. Hanya kecintaan yang luar biasa pada dunia tari tradisionallah yang membuat Ingrid tetap bertahan jadi ‘anggota abadi’ sanggar hingga kini. Hingga Ken makin melebarkan kepak sayapnya dengan menempuh pendidikan pada jenjang magister di Inggris.
Membunuh mimpi itu?
Ingrid menggeleng samar. Mungkin ia mampu melakukannya. Sayangnya, ia sama sekali tak punya kemauan. Baginya, sosok Ken masih terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.
“Malah melamun!”
Teguran lembut itu membuatnya terlempar kembali ke alam nyata. Ingrid mengerjapkan mata. Ia menoleh, kembali mendongak. Mendapati Fritz masih menatapnya. Ia meringis sekilas.
Fritz kemudian meninggalkannya untuk melakukan gerakan pemanasan. Samar, ia menghela napas panjang sebelum bersiap dan mengikuti kemauan adik ibunya itu. Setidaknya, ia masih tetap menginginkan satu hal. Bahwa ia masih mampu mengingat dan menarikan setiap gerakan tari Karonsih dengan sepenuh jiwa.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
[1] Sampur = selendang untuk menari.
[2] Jarik = kain panjang batik.
[3] Onkel = paman (bhs. Jerman).