Sebelumnya
* * *
Keesokan paginya, seusai sarapan, Alma segera mengajak Kresna untuk berpamitan pada Paitun dan Sentini. Tujuan mereka kali ini adalah padang rumput Bawono Kinayung. Paitun sudah menyiapkan bekal untuk mereka dalam keranjang rotan seperti biasanya.
Ketika keluar dari pondok Sentini, mereka berjumpa Janggo sekeluarga yang baru pulang dari patroli. Kali ini tidak ada rengekan dari para ajak kecil untuk ikut ‘Bibi dan Paman’, karena ketiganya terlihat sangat lelah dan mengantuk.
‘Nanti kalau Bibi dan Paman belum pulang dari padang rumput sementara kalian sudah bangun, kita susul mereka,’ ujar Pinasti sambil menggiring anak-anaknya masuk ke dalam pondok.
‘Kami tunggu sampai kalian datang,’ sahut Alma. ‘Nanti kita foto-foto lagi.’
Janggo yang berada di belakang Pinasti mendengking pendek, tanda setuju. Alma dan Kresna pun menyusuri jalan setapak berpasir hingga sampai di depan sekumpulan pakis raksasa. Kresna menyibakkan rumpun pakis, dan lorong itu masih ada di sana, seolah menunggu mereka.
Tak lama menyusuri lorong, mereka sampai di dermaga mini. Sejenak Alma terlihat ragu-ragu. Ia terdiam sejenak menatap sampan yang terikat pada salah satu tiang dermaga.
“Kenapa, Yang?” Kresna menyentuh lembut bahu Alma.
“Mm...,” Alma menoleh. “Apakah laju sampan kecil ini masih sama seperti dulu?”
Kresna mengangkat alisnya. “Kenapa tidak mencoba saja?”
Alma pun menyetujuinya. Dengan hati-hati ia naik ke sampan itu, diikuti Kresna. Ketika mereka berdua sudah duduk dengan nyaman di dalamnya, sampan itu pun mulai meluncur sendiri ke jalur yang mengarah ke padang rumput.
Ketika hampir sampai di pecahan lorong, dengan ragu-ragu Alma mengulurkan tangan kanan ke permukaan air, dan menepuknya dengan lembut sekali. Arah sampan itu berubah serong sedikit ke kanan. Alma mendesah lega, dan kembali menepuk lembut permukaan air sebanyak dua kali. Sampan itu pun mengarah ke mulut lorong yang paling kanan.
“Ternyata aku masih cukup sakti,” gurau Alma.
Kresna tergelak ringan mendengarnya.
“Cuma berkurang setrumnya saja,” timpal Kresna, membuat Alma tertawa lebar.
Setelah beberapa saat, mereka pun sampai di luar lorong dan makin mendekati dermaga mini di tepi padang rumput. Tanpa sadar, keduanya mendesah lega.
Padang rumput itu masih sama seperti ketika mereka tinggalkan bertahun-tahun lalu. Masih terlihat sangat indah dan tetap dihiasi sisa butiran embun yang menempel di tepi-tepi rerumputan. Kilaunya tetap indah untuk dinikmati dan diabadikan.
Setelah Kresna puas memotret padang rumput berembun, ia kemudian duduk di sebelah Alma, di bawah rimbunnya sebuah pohon besar. Kresna pun membaringkan tubuhnya di rerumputan. Terasa sejuk dan masih sedikit basah. Alma membentangkan alas dan menyuruh Kresna pindah, tapi laki-laki itu tidak mau.
Sejenak kemudian ia bangun lagi dan meraih kameranya. Alma setuju ketika Kresna mengajaknya berswafoto. Setelah puas mengambil foto diri mereka dalam berbagai gaya dengan latar belakang padang rumput indah itu, Kresna pun menggeletakkan kameranya di atas alas. Tak lupa ia mengambil beberapa bunga rumput yang ada di dekatnya, dan mulai merangkai tangkai-tangkai panjang bunga rumput itu menjadi dua mahkota, besar dan kecil.
Alma menatapnya dengan mata berbinar ketika Kresna meletakkan mahkota yang besar di puncak kepalanya. Kresna meraih kembali kameranya, dan mengabadikan kebahagiaan Alma itu dalam beberapa kali jepretan. Tak lupa mereka berswafoto berdua lagi.
“Kamu tahu,” gumam Kresna, menatap Alma dalam-dalam, “di padang rumput ini aku menemukan bahwa aku mencintaimu. Walaupun saat itu setahuku kamu adalah adik kandungku. Dan, aku senang bahwa rasa itu tak salah.”
Alma balas menatap Kresna, dengan sedikit semburat merah mewarnai wajahnya.
“Dan Mas harus tahu,” bisiknya, mengalihkan tatapan tersipunya dari wajah Kresna, “aku mendapati jantungku berdebar tak seperti biasanya saat pertama kali melihat Mas dibaringkan oleh Paman Tirto di balai-balai bilik depan.”
“Oh, ya?” Kresna tersenyum lebar, membuat Alma makin tersipu.
Selama ini, Alma memang belum pernah mengakui hal itu pada siapa pun, walaupun sudah ada yang mengetahui dan memahami apa yang ia rasakan.
“Janggo sampai menegurku,” Alma tertawa kecil, menutupi rasa tersipunya. “Katanya, ia terganggu dengan suara detak jantungku yang berantakan.”
Kresna tergelak seketika. Diraihnya tubuh Alma, diberinya pelukan yang paling hangat. Dengan lembut, diciumnya puncak kepala Alma.
“Aku bersyukur sekali, ternyata kamu cuma anak pungut Ibu,” bisiknya dengan nada menggoda.
“Aaah...,” Alma berlagak merajuk sambil mencubit lembut pinggang Kresna, membuat laki-laki itu kembali tertawa.
Keduanya kemudian berbaring berdampingan di atas alas. Menatap langit biru dengan sedikit semburat mega putih bagai kapas di luar tajuk pohon yang menaungi mereka. Sesekali keduanya bercakap, tapi lebih banyak menikmati keindahan itu dalam hening saja.
Kresna kemudian menatap kejauhan. Pada sebuah jalur nun jauh di sana, jalur Pegunungan Pedut yang sudah diwarnai dengan kesibukan hilir mudik aneka kendaraan, yang tampak seperti benda mainan. Teringat lagi bagaimana ia pernah harus kehilangan sang ibu selama belasan tahun lamanya. Juga teringat pada dunia teduh lain di dalam Pegunungan Pedut. Bawono Sayekti. Teringat pula bahwa mereka juga diundang untuk datang ke Bawono Sayekti.
“Hmm.... Jadi nanti menjelang sore kita berangkat ke Bawono Sayekti?” gumam Kresna.
“Ya,” Alma mengangguk. “Tadi Nini sudah mengingatkanku.”
Suasana hening dan sangat damai itu membuat keduanya mengantuk. Alma dan Kresna sama-sama menguap. Mereka kemudian menejamkan mata. Alma meringkuk nyaman dalam pelukan Kresna. Berdua terbang menembus alam mimpi yang sama. Memutar memori saat Kresna untuk pertama kalinya membuat rangkaian mahkota bunga untuk seorang perawan sunti cantik dari Bawono Kinayung.
* * *
Alma terjaga ketika mendengar dengking-dengking lirih dan pendek tak jauh darinya. Ia menoleh dan mendapati Janggo dan Pinasti sedang sibuk mengingatkan ketiga junior mereka agar tidak terlalu ribut. Setelah menguap, ia tersenyum lebar. Segera dibangunkannya Kresna.
‘Nah! Apa Ibu bilang?’ suara Pinasti bernada omelan. ‘Bibi dan Paman jadi bangun, kan?’
Ketiga ajak kecil itu seketika terlihat mengerut dan mendekatkan diri pada tubuh sang ayah. Tampak sedikit ketakutan ketika melihat Alma benar-benar bangun, pun Kresna. Alma jadi kasihan melihatnya.
‘Tak apa-apa,’ ujarnya sambil mengulurkan tangan. ‘Memang kami sudah waktunya bangun. Sini!’
Ketiga ajak kecil itu berpandangan satu sama lain sebelum mendekati Alma dan Kresna dengan sikap masih terlihat takut-takut.
‘Sudah, tidak apa-apa,’ Kresna ikut menenangkan. ‘Ayo, sini!’
Barulah ketiganya berlari kecil menyerbu Alma dan Kresna. Lopis mewakili saudara-saudaranya meminta maaf atas keberisikan mereka tadi. Alma dan Kresna menanggapinya dengan pelukan hangat. Tak lupa Kresna memasang mahkota bunga berukuran kecil yang tadi dibuatnya di kepala Cenil. Ajak betina imut itu mendengking kegirangan dan mengucapkan terima kasih dengan manisnya.
‘Bibi Kriswo menitipkan ini,’ Janggo menyorongkan sebuah keranjang rotan pada Alma dengan hidungnya. ‘Makan siang kalian. Nini bilang, setelah itu aku boleh membawa kalian keliling Bawono Kinayung lewat sungai dengan sampan.’
Setelah mengucapkan terima kasih, Alma pun membuka keranjang yang tadi dibawakan oleh Janggo. Air liurnya segera terbit melihat makanan yang ada dalam keranjang. Sebakul kecil nasi merah panas yang ditutup daun pisang segar, semangkuk urap sayur, semangkuk sayur nangka muda dan telur rebus dengan kuah yang sudah meresap, ikan asin tipis yang digoreng kering, dan tak lupa sambal. Kresna yang ikut melongokkan kepala mengintip isi keranjang pun perutnya langsung keroncongan.
Sambil menata makanan ke atas alas, Alma menengok ke arah Pinasti, ‘Kalian sudah makan atau belum? Kalau belum, ayo, makan sekalian.’
‘Sudah, kami semua sudah makan. Paman Tirto tak membiarkan kami pergi sebelum kenyang. Silakan kalian makan. Nikmati saja. Kami akan bawa anak-anak bermain dulu di sebelah sana biar tidak mengganggu kalian.’
Sebelum mulai makan, Kresna tak lupa mengabadikan jajaran menu makan siang mereka yang terhampar di atas alas dengan kameranya. Setelah itu, dengan lahap Alma dan Kresna menyantap makan siang mereka. Di samping masakan Kriswo memang enak, suasana padang rumput yang indah itu pantas membuat keduanya sedikit lupa diri. Baru tersadar setelah nasi di bakul habis dan mangkuk-mangkuk sudah kosong.
Keduanya saling menatap. Tertawa geli menyadari betapa kalapnya mereka siang ini.
* * *
Mereka tak kembali ke Bawono Kinayung melalui lorong. Aliran sungai tidak berbalik seperti dulu saat pertama kali Kresna ke padang rumput. Sampan kecil yang ia tumpangi bersama Alma kini berada persis di belakang sampan lebih besar yang membawa Janggo sekeluarga. Meluncur mengikuti arus sepanjang tepian padang rumput. Kresna tak lupa mengabadikan perjalanan mereka kali ini melalui rekaman video. Alma sendiri sudah menyiapkan kamera poket mereka untuk mengambil gambar objek-objek yang menarik.
Aliran sungai itu membawa mereka mendekati sebuah tebing yang menjulang di ujung sungai. Setelah makin dekat, terlihat bahwa aliran sungai tak berujung di dinding tebing itu, melainkan berbelok ke kiri, masuk ke sebuah lorong terbuka di antara dua tebing. Jalur itu berkelok-kelok dengan arus sedikit deras, tapi kedua sampan itu tetap kokoh meluncur mulus membelah aliran sungai.
Kresna sejenak ternganga ketika mereka mulai memasuki jalur itu. Dinding tebing yang menjulang di sebelah kiri dan kanan mereka penuh dengan aneka anggrek bermacam rupa dan warna. Semuanya mekar dan melambai, seolah menyambut kehadiran mereka. Desau angin sesekali menyapa, ditimpali gema kicau burung-burung yang bertengger pada pepohonan jauh di atas tebing, dan nyanyian serangga yang entah bersembunyi di mana. Benar-benar simfoni alam yang sungguh mengagumkan.
Sesudah membelah tebing, sungai itu kini mengalir di antara dua dataran yang cukup luas. Dataran itu penuh dengan aneka tanaman yang tertata rapi pada kelompok masing-masing. Pepohonan dengan tajuk yang rimbun di sepanjang tepi sungai menaungi perjalanan mereka.
“Ini ladang tanaman obat Bawono Kinayung,” bisik Alma. "Banyak tanaman obat langka dibudidayakan di sini dengan perawatan khusus. Sebagian disetorkan pada Pak Saijan. Sebagian lagi disetorkan ke Bawono Murni. Mereka ahli mengekstrak tanaman obat."
“Oh...,” Kresna menanggapi tanpa suara, sambil terus merekam perjalanan mereka.
“Di sebelah kiri itu," tunjuk Alma, "ada petak khusus untuk tanaman sarsaparilla. Yang biasa dipakai minuman itu, lho, Mas. Hasil panen sarsaparilla dari sini seluruhnya disetorkan ke Bawono Sayekti. Mereka ahli membuat sari sarsaparilla yang rasanya tak ada duanya.”
“Oh...,” Kresna menanggapi tanpa suara, sambil terus merekam perjalanan mereka.
“Di sebelah kiri itu," tunjuk Alma, "ada petak khusus untuk tanaman sarsaparilla. Yang biasa dipakai minuman itu, lho, Mas. Hasil panen sarsaparilla dari sini seluruhnya disetorkan ke Bawono Sayekti. Mereka ahli membuat sari sarsaparilla yang rasanya tak ada duanya.”
Kresna ternganga. Sisi lain Bawono Kinayung yang sama sekali belum pernah ia lihat itu benar-benar membuatnya terpesona.
Sesudah melewati ladang tanaman obat dan semak sarsaparilla, mereka masuk ke dalam tajuk hutan yang rapat di sisi kiri-kanan sungai. Kresna sempat terperanjat ketika Janggo tiba-tiba saja melolong panjang beberapa kali. Lolongan Janggo itu disahuti oleh lolongan-lolongan lain yang berasal dari dalam hutan. Terdengar menggetarkan hati dan membuat bulu kuduk meremang.
“Kita masuk ke wilayah gerombolan ajak lain,” Alma menjelaskan dengan suara rendah. “Janggo semacam mengucapkan permisi untuk memasuki wilayah mereka, meskipun dia sendiri merupakan ajak dengan kedudukan tertinggi di Bawono Kinayung.”
“Oh...,” kembali Kresna menanggapi tanpa suara.
Sampan mereka terus meluncur mengikuti aliran sungai, berkelok-kelok menembus dasar hutan Gunung Nawonggo. Sesekali mereka menjumpai tebing yang menjulang sangat tinggi dihiasi aneka semak. Kresna mendongak, menaksir ketinggian tebing yang mereka lewati. Seketika ia teringat pada jurang-jurang sedalam puluhan bahkan ratusan meter yang ada di Gunung Nawonggo.
Wow! Jadi seperti ini dasar jurang yang tak pernah terlihat dari atas...
Mereka kini mulai memasuki sebuah lorong gelap yang hening. Hanya ada bunyi kecipak air menggema lembut melalui dinding-dinding lorong. Beberapa kali mereka berbelok, keluar dari satu lorong untuk masuk ke lorong lainnya.
Akhirnya Kresna dapat melihat cahaya di ujung suatu lorong. Cahaya itu makin dekat dan makin besar. Rupanya ada udara terbuka di ujung lorong. Dan, Kresna kembali ternganga ketika mereka keluar dari lorong. Mereka kini berada di tengah-tengah padang bunga. Ia menengok ke arah Alma.
“Ini padang bunga yang kita datangi itu?”
Alma mengangguk. Kresna kembali menatap berkeliling. Seingatnya, ia tak melihat satu pun aliran sungai di padang bunga. Alma tersenyum simpul.
“Dari tempat kita biasa duduk, sungai ini tertutup rumpun-rumpun bunga, Mas,” ujarnya halus. “Kita tidak lewat sungai ini karena jalur tercepat untuk ke sini dari pondok Nini adalah cerobong Nyai Padma.”
“Oh...,” untuk kesekian kalinya, Kresna memberi tanggapan tanpa suara.
“Lagipula,” lanjut Alma, “ini adalah jalur untuk memanen madu. Coba Mas lihat ke sana,” Alma menunjuk ke satu arah di sebelah kanan.
Kresna melihat ada kotak-kotak kayu yang berjajar rapi di kejauhan, di tengah padang bunga. Dan, di depan sana ada dermaga kecil dengan jalan setapak yang menembus padang bunga, menuju ke deretan kotak kayu itu. Ia pun mengarahkan kamera perekamnya ke semua objek itu.
“Itu rumah-rumah bagi koloni lebah peliharaan Bawono Kinayung,” Alma menjelaskan. “Lebih ke dalam lagi di sebelah sana, ada rumah-rumah lebah yang lebih banyak lagi jumlahnya. Seluruh supply madu dan jelly lebah untuk semua bawono berasal dari Bawono Kinayung. Sebagian lagi dijual kepada Pak Saijan. Khasiatnya sama dengan madu yang diambil dari lebah hutan. Bahkan jauh lebih bagus karena mutunya selalu diperhatikan. Paman Tirto yang mengurusnya. Dia orangnya sangat teliti.”
Kresna hanya bisa manggut-manggut dengan wajah terlihat takjub.
Ujung jalur padang bunga adalah lorong gelap lagi, yang entah berkelok berapa kali. Bebas lagi dari lorong, mereka kemudian melewati hutan bambu kuning di sisi kanan, dan rimbunnya aneka tumbuhan – terutama aneka umbi-umbian – di sisi kiri. Di kejauhan, terlihat jembatan kecil yang menghubungkan sisi kanan dan kiri sungai. Kresna mengenalinya sebagai jembatan yang ada di belakang pondok Paitun. Ternyata benar. Pelan-pelan, kedua sampan mereka menepi, dan berhenti di sebuah dermaga kecil di dekat jembatan. Kresna pun mematikan kameranya.
Mereka pun turun dari sampan. Dengan cekatan, Alma menambatkan kedua sampan itu pada dua buah tiang dermaga. Beriringan mereka kemudian berjalan menuju ke pondok Paitun.
Perempuan tua itu sudah duduk menunggu di beranda belakang pondoknya. Ia menyambut kedatangan rombongan kecil itu dengan senyum teduhnya.
“Bagaimana? Puas hari ini?” tanyanya.
“Saya nggak bisa ngomong apa-apa, Ni,” jawab Kresna. “Semuanya terlalu indah.”
“Tapi kamu tak lupa mengabadikannya, kan?” Paitun menunjuk kamera yang masih dipegang Kresna.
“Ya, Ni,” Kresna mengangguk. “Terima kasih atas semua ini.”
“Hanya Gusti yang patut menerima semua ucapan terima kasihmu,” Paitun menepuk lembut bahu Kresna. “Sekarang, kalian istirahatlah dulu. Sebelum matahari terbenam nanti, kita sudah harus berangkat ke Bawono Sayekti.”
Baik Alma maupun Kresna mengangguk dengan patuh dan menuruti ucapan Paitun.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)