Sebelumnya
* * *
Sembilan Belas
Tanda Ikatan Cinta
Kesabaran selalu membuahkan hasil yang indah. Setidaknya itulah yang saat ini dirasakan Alma. Ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia bukan lagi gadis remaja berusia tiga belas tahun yang baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia juga sudah bukan lagi gadis berusia akhir belasan tahun yang kegirangan karena telah menemukan pangeran impiannya. Waktu terus bergulir, dan ia makin dewasa.
Wisuda sarjananya telah berlalu hampir sebulan yang lalu. Selama hampir empat tahun, ia menunggu datangnya waktu itu. Sudah lebih dari cukup ia dan Kresna berhubungan dalam hening.
Ia ingat betul ketika pertama kali membawa Kresna untuk menemui kedua orang tuanya. Hampir dua tahun yang lalu. Terpaksa harus kucing-kucingan dengan kelima sahabatnya. Ia hanya berpamitan untuk menginap di rumah saudaranya pada Riska, Gamaliel, dan Binno. Pun tak memberitahu kepulangannya ke Margiageng pada Camelia dan Dondit.
Taruno dan Misty menyambut kehadiran Kresna dengan tangan terbuka. Apalagi Alma memang sudah bercerita tentang Kresna pada kedua orang tuanya. Di samping itu, dengan tegas Kresna sudah menyatakan bahwa ia serius membina hubungan kasih dengan Alma. Tak mau main-main. Hanya tinggal menunggu Alma lulus kuliah untuk lebih kuat mengikat tali rasa.
Dan, saat itu akhirnya tiba. Hari ini, kurang lebih satu jam lagi, keluarga Mahesa Prabangkara akan datang ke rumah keluarga Taruno Purbowiyakso untuk meminang Alma secara resmi. Alma sendiri memberi kejutan pada para sahabatnya, yang memang sama sekali belum tahu bahwa Alma punya hubungan khusus dengan Kresna, dengan mengundang mereka untuk turut menyaksikannya dipinang sang pangeran impian.
“Wil!”
Alma tersenyum lebar begitu mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Masuk aja, guys!” serunya.
Kelima sahabatnya segera menyerbu masuk ke dalam kamar. Segera saja ruangan berukuran empat kali lima meter itu dijejali seruan-seruan yang mempertanyakan siapa laki-laki beruntung itu. Alma terkekeh mendapat serbuan itu.
“Oke..., oke...,” akhirnya ia meredakan juga suara riuh itu. “Gue minta maaf karena terpaksa tutup mulut selama ini. Itu karena dia dan gue kejedot status bahwa dia dosen dan gue mahasiswi di kampus yang sama.”
“Lu, tuh, ya! Bisa-bisaan main rahasiaan sama gue!” gerutu Riska.
“Sorry, Ris,” ucap Alma, setulus-tulusnya. “Justru karena lu sohib gue banget, gue nggak mau hubungan gue sama dia keceplos duluan. Apalagi, kan, lu jadian juga sama Sadewa. Cowok gue tetap harus kerja, gue sendiri juga harus lulus kuliah secara objektif.”
Sesungguhnya, Riska seutuhnya memahami maksud Alma. Tapi gadis itu masih juga mengerucutkan bibir. Masih tak rela kecolongan berita bahwa ternyata Alma yang selama ini dikenalnya sebagai jomlo kronis, ternyata sudah punya gandengan yang cukup serius. Padahal mereka satu kampus, satu jurusan, sering berada pada satu kelas yang sama, bahkan satu indekos pula.
“Jadi, cowok lu itu siapa, dong?” kejar Riska.
Alma nyengir jenaka.
“Lu pasti mau pingsan kalau gue sebut namanya,” ucap Alma dengan nada menggoda.
“Iyaaa.... Siapaaa?” Riska nyaris mengguncang bahu Alma.
Alma terkekeh.
“Padahal yang lain pada sabar tunggu, kamunya ngeyel melulu,” cibir Alma, membuat kerucut bibir Riska makin bertambah panjang ukurannya. “Oke, kayaknya yang kenal dia cuma Riska aja. Jadi, dia dosen gue sama Riska. Sempat beberapa mata kuliah diajar sama dia. Namanya...,” Alma melirihkan suaranya, sekaligus menggumamkan kata-kata di ujung penuturannya dengan sangat cepat, “Mahakresna Prabangkara.”
Seketika Riska ternganga. Camelia membelalakkan matanya. Sementara itu, ketiga pemuda lainnya tetap menyimak dengan wajah lempeng.
“Lu serius?!” Riska mengguncang sedikit bahu Alma.
“Lu mau dilamar bapak-bapak?” seru Camelia, panik.
Seketika tawa Alma meledak. Riska memukul lembut lengan Camelia.
“Lu salah, Neng Ontaaa...,” ujar Riska. Gadis yang satu itu memang suka memanggil para sahabatnya dengan panggilan khusus. “Umurnya baru tiga puluh. Dan dia itu ganteng bangeeet! Cerdas, berkharisma, ngajarnya enak banget. Top pokoknya,” Riska mengacungkan kedua jempolnya.
“Om-om,” sahut Camelia, keras kepala.
“Haiyaaah!” Riska menepuk kening, disambut tawa para sahabat.
“Pendeknya, kita semua ikut seneng kalau lu seneng, Al,” ucap Dondit.
“Kalau gitu, berpelukaaan...,” Gamaliel mengembangkan kedua lengannya.
“Si Iyeng, nih!” gerutu Camelia. “Sukanya ambil kesempatan dalam kesempitan.”
“Lho, kesempatan terakhir kita semua bisa peluk-peluk si Kriwil tanpa di-kepret cowoknya,” balas Gamaliel.
Semua terbahak, dan mereka berenam pun berpelukan dengan riang, hingga ada suara lembut dan hangat masuk ke dalam benak Alma. Menyapanya. Gadis itu pun berusaha membalas ‘pesan’ itu sambil tetap melarutkan diri dalam keakraban bersama kelima sahabatnya.
‘Ya, Bu? Sekeluarga sudah sampai di mana?’
‘Ini sudah dekat, tinggal satu belokan lagi. Sampai ketemu sebentar lagi, sayang...’
‘Baik, Bu, aku akan kasih tahu Ayah dan Ibu.’
Gadis itu kemudian buru-buru merapikan penampilannya. Sore itu, ia mengenakan sehelai gaun panjang batik berprada bermodel sederhana tapi sangat elegan. Warna merah batanya terlihat sangat pas dengan kulitnya yang bernuansa sawo matang cerah. Ia tipis-tipis saja merias wajah, dan menata rambutnya dengan teliti hingga kriwil-nya jatuh dengan indah dan sempurna membingkai wajah bahagianya. Kelima sahabatnya pun merapikan diri masing-masing sebelum keluar lebih dulu dari kamar.
Setelah sendirian lagi dalam kamar, Alma membuka kulkas kecil yang ada di sudut. Diraihnya sesuatu yang terbungkus plastik dengan rapi. Ia tersenyum menatap benda itu. Setelah membuka bungkusnya, ia pun memasang benda itu pada puncak kepalanya. Sebuah mahkota bunga alyssum beraroma manis, yang dibuat oleh Kresna sendiri di hotel, dan dikirimkan padanya melalui jasa kurir daring.
Sekali lagi ia menatap dirinya di cermin. Sempurna. Kini, ia sudah benar-benar siap menyambut kedatangan Kresna dan keluarganya.
* * *
“Aku, kok, deg-degan, ya?” gumam Pinasti sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.
Semua yang ada dalam mobil itu tergelak mendengarnya. Erika yang duduk di sebelah kanan Pinasti membelai rambut gadis kecil itu. Berusaha untuk tidak mengusik mahkota bunga yang ada di puncak kepalanya.
“Mas Kresna yang mau lamaran, kok, Pinpin yang deg-degan?” timpal Erika.
“Entahlah, Kak,” gadis kecil berusia delapan tahun itu mengedikkan bahunya dengan sikap ‘sok dewasa’.
Tapi Kresna tahu sebabnya. Pun Wilujeng. Hanya saja keduanya memutuskan untuk berdiam diri.
Mungkin memang benar Pinasti kecil ‘deg-degan’ karena satu hal. Untuk pertama kalinya ia akan bertemu dengan Alto, adik Alma. Dan, tentu saja mereka tahu secuil jiwa siapa yang berada dalam kehidupan Alto. Seperti apa pertemuan itu nanti, mereka belum bisa membayangkannya.
Wilujeng menyempatkan diri menyapa calon menantunya ketika dilihatnya posisi mereka sudah dekat dengan rumah keluarga Taruno Purbowiyakso. Jawaban yang sangat manis dari Alma pun segera diterima benaknya. Dengan halus, Seta yang mengemudi membelokkan mobil ke kiri. Ia tak lagi menambah kecepatan. Mahesa yang duduk di sebelah kirinya pun mulai melongok nomor tiap rumah yang mereka lalui.
“Ini sudah nomor sebelas, Set,” gumam Mahesa.
Seta pun makin mengurangi kecepatan mobil.
“Nah, itu yang pagarnya hitam-perak, kayaknya nomor tujuh belas,” tunjuk Mahesa.
Rumah berdesain minimalis bercat kuning gading dengan halaman depan luas berbentuk taman yang sangat asri itu pintu pagarnya terbuka lebar. Terlihat siap untuk menyambut tamu. Seta menghentikan mobil di depan rumah itu. Pada saat yang sama, seorang laki-laki bertubuh tinggi ramping bergegas berdiri dari duduknya di teras, dan menyambut kedatangan mereka. Sebelum para penumpang turun, laki-laki itu sudah memberi aba-aba pada Seta untuk langsung saja memasukkan mobil ke carport.
Setelah Seta memarkir mobil dengan sempurna, barulah Mahesa dan keluarganya turun dari mobil. Laki-laki tinggi ramping itu kini didampingi oleh seorang perempuan bertubuh sedikit subur dengan wajah sangat cerah. Keduanya menyambut kedatangan tamu mereka dengan sangat ramah. Pun sahabat-sahabat Alma yang turut menyambut dan jadi penggembira.
“Pak,” Riska tersenyum lebar sambil mengangguk ketika menjabat tangan Kresna. “Nggak nyangka ketemu Bapak di sini.”
“Hehehe...,” Kresna hanya bisa terkekeh. Ia kemudian menyambut jabat tangan dari sahabat-sahabat Alma lainnya dengan sikap ramah. Riska memperkenalkan satu demi satu teman-temannya.
Taruno dan Misty kemudian menggiring tamunya masuk. Di teras, Alma sudah menunggu dengan menggandeng seorang perjaka kecil tampan berusia sekitar delapan tahun. Kresna pun meraih tangan Pinasti.
“Tuh, Kak Alma punya adik seusia kamu,” gumam Kresna.
Pinasti mendongak ke arah abangnya. “Kayaknya anaknya baik.”
Kresna mengangguk. “Kamu pasti senang sekali berteman dengannya.”
Memang tak perlu waktu lama bagi Pinasti untuk segera berteman dengan Alto. Perjaka kecil itu segera menggandeng tangan Pinasti ke belakang rumah. Ke sebuah beranda luas dengan ayunan rotan berlapis busa empuk, yang terlihat sangat nyaman untuk diduduki di salah satu sudut beranda. Tapi mereka berdua tak sendirian karena kelima sahabat Alma ada juga di situ untuk menemani mereka.
Diam-diam Pinasti menatap Alto ketika perjaka kecil itu mengambil satu stoples berisi biskuit untuk dibawa duduk di ayunan. Dengan cara yang tiba-tiba saja dipahaminya, ia mencoba untuk menyapa Alto dalam hening.
‘Alto, kamu bisa dengar suaraku, nggak?’
Alto menghempaskan tubuh ke dalam ayunan sambil menyodorkan stoples itu pada Pinasti.
’Bisa, dong!’ ada tawa dalam suara Alto yang masuk ke dalam benak Pinasti.
Kelima teman Alma terlalu sibuk bercakap, sehingga tak terlalu memperhatikan betapa kedua anak yang ada di ayunan sudut beranda itu terlihat begitu hening sambil asyik makan biskuit. Kresna, yang sejenak mencoba menjelajahi keberadaan adiknya dengan pikiran, hanya tersenyum samar ketika ia ‘mengetahui’ apa yang saat itu sedang dilakukan oleh Pinasti dan Alto.
‘Mereka lagi asyik mengobrol seperti cara kita, Al.’
Suara Kresna yang menggema dalam benak Alma membuat gadis itu mengulas senyum.
Selanjutnya, dengan sangat jelas Mahesa mengutarakan maksud kedatangan mereka pada Taruno dan Misty. Hanya seremonial belaka, karena sesungguhnya mereka sudah sangat memahami keinginan anak-anak mereka. Taruno dan Misty pun menyambut dengan gembira keinginan itu. Secara seremonial pula, Taruno bertanya pada anak gadisnya, apakah bersedia dipinang oleh Kresna. Dengan malu-malu, gadis itu pun mengangguk.
“Kresna sudah mengungkapkan rencana ke depan bersama Alma pada kami,” ujar Wilujeng dengan halus. “Menikahnya nanti setelah Kresna menyelesaikan program doktoralnya. Alma sendiri masih mau berkarier dulu. Benar begitu, Nduk?” Wilujeng menatap Alma.
“Benar, Bu,” Alma mengangguk.
“Pendeknya, masih ingin berpacaran dulu secara lebih terbuka,” sahut Misty, tertawa lebar.
“Ya, mana sajalah yang membuat anak-anak senang dan nyaman,” timpal Taruno. “Yang akan menjalani kehidupan bersama nanti, kan, mereka sendiri. Harus benar-benar sudah siap lahir batin bila saatnya tiba nanti.”
Baik Mahesa maupun Wilujeng setuju dengan ucapan Taruno.
Sebagai tanda ‘ikatan’ untuk Alma, Wilujeng kemudian menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas berwarna perak. Alma terlihat sedikit terbengong ketika kotak itu tersodor ke arahnya. Hal itu benar-benar di luar skenario acara pinangan yang Kresna dan ia sendiri rencanakan. Tapi tampaknya Kresna ingin memberikan kejutan pada kekasihnya.
“Bukalah, Al,” ujar Kresna, lembut.
Pelan-pelan Alma mengurai kertas yang membungkus bingkisan itu. Yang ditemukannya kemudian adalah sebuah kotak kayu berwarna hitam dengan ukiran sulur-sulur bunga dan daun yang sangat halus. Ada sebuah tuas pengunci pada salah satu sisi kotak. Alma pun membukanya dengan hati-hati.
Ketika kotak itu terbuka, Alma menatap isinya dengan takjub. Hampir saja ia lupa bernapas. Sejenak kemudian gadis itu menatap Kresna.
“Ini....”
“Ya,” angguk Kresna. “Untukmu. Seperti cintaku yang tak pernah layu.”
Alma kembali menunduk, menatap isi kotak yang masih terbuka di pangkuannya. Ya, tampaknya memang benda itu tak akan pernah layu. Pelan, Alma merabanya. Kresna kemudian mengulurkan tangan. Melepaskan mahkota yang terbuat dari rangkaian bunga alyssum itu dari kepala Alma, dan menggantinya dengan benda yang diraihnya dari dalam kotak.
Sebuah mahkota bunga yang terbuat dari emas murni. Rangkaiannya terlihat begitu indah. Terbuat dari lembar-lembar tipis emas yang dibentuk menyerupai kuntum-kuntum bunga dan dedaunan sebagai pelengkap.
Alma tak bisa lagi berkata-kata. Hanya mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya dalam bentuk bisikan yang menyapa benak Kresna.
‘Terima kasih, Mas. Terima kasih... Terima kasih karena Mas sudah memberiku cinta dengan cara sedemikian indah.’
Kresna mengangguk samar. Mengulas senyum. Dan, memeluk Alma dengan segenap pikirannya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)