* * *
Delapan
Bekerja di satu gedung yang sama, walaupun tidak tiap hari bisa bertemu, tak pelak lebih mendekatkan Owen pada Kencana. Sudah lima kali hari Jumat pemuda itu menjemput Kencana untuk berangkat kerja bersama-sama. Pulangnya, mereka melewatkan waktu menjelang akhir pekan dengan mengobrol santai di kafe-kafe yang berbeda. Jumat lalu malah mereka menyempatkan diri untuk nonton film terbaru di bioskop.
Tapi Owen masih menahan diri. Sementara ini ia menikmati saja kebersamaannya dengan Kencana dalam suasana santai tanpa tendensi apa pun. Hanya sekadar menghabiskan waktu bersama sahabat. Menebus kerenggangan yang sempat terjadi bertahun-tahun lamanya. Melihat cahaya sudah terbit sepenuhnya di wajah Kencana, itu sudah membuat Owen girang setengah mati.
“Eh, kamu besok mau nemenin aku, nggak, Wen?” Kencana menyuapkan sesendok kecil es krim ke dalam mulutnya.
“Sabtu?” Owen menegaskan. “Sabtu besok ini?”
Kencana mengangguk.
“Bukannya aku sudah booking kamu untuk nemenin ke kondangan temanku?” Owen nyengir.
Seketika Kencana menepuk keningnya. “Astaga! Aku lupa! Kebanyakan kondangan belakangan ini.”
Owen tertawa.
“Kenapa memangnya?” tanyanya kemudian.
Kencana meringis. “Mau kuajak cari baju buat nikahannya Vesta.”
“Oh...,” senyum Owen. “Habis kondangan, kan, bisa.”
“Mau?” mata Kencana tampak berbinar.
“Ya, maulah,” Owen tertawa. “Sekalian jalan. Kayaknya aku juga butuh kemeja baru buat ke Vesta.”
“Iya, tuh!” timpal Kencana. “Jadi wedding singer, kan, harus kinclong penampilan kita.”
“Cari yang kembaran, yuk!” ucap Owen penuh semangat, walaupun ada aroma iseng.
“Hahaha... Boleh... Boleh...,” Kencana menanggapinya dengan riang. “Siapa tahu habis ini kita laku keras jadi wedding singer.”
Owen tergelak. Terseret begitu saja oleh tawa Kencana.
Baru kali ini mereka mendapat job sebagai wedding singer. Itu juga karena yang meminta adalah Vesta. Kawan sendiri, sesama aktivis OMK. Waktunya adalah hari Minggu depan. Teringat akan tugas mereka itu, obrolan Owen dan Kencana akhirnya beralih pada daftar lagu yang hendak mereka bawakan. Ada beberapa permintaan khusus dari Vesta dan Robin.
“Kayaknya kita perlu latihan dulu, Can,” celetuk Owen pada satu detik.
“Iya,” Kencana mengangguk. “Setidaknya kita perlu menyelaraskan nada.”
“Kapan ada waktu?”
“Minggu besok ini? Habis misa?”
“Hmm... Boleh...,” Owen manggut-manggut.
“Aku izin saja nggak ikut BIA.”
“Berarti habis misa kita langsung cabut?”
Kencana mengangguk. Owen mengacungkan jempol.
* * *
Owen cukup terpesona melihat penampilan Kencana keesokan harinya. Ia muncul sekitar pukul setengah sebelas menjelang siang di rumah gadis itu. Jati yang membukakan pintu menyuruhnya menunggu sejenak.
“Ican lagi finishing,” ucap Jati dalam nada gurau yang kental.
“Dipelitur atau dipernis, Om?” Owen tersenyum lebar.
Jati terbahak karenanya. Tak sampai lima menit pemuda itu menunggu, Kencana sudah muncul dari dalam. Owen sempat ternganga sejenak. Kencana yang diketahuinya sehari-hari memang berdandan cukup rapi, baik saat ke kantor maupun saat keluar ke mana pun. Tapi saat ini penampilan gadis itu sedikit lebih berwarna daripada biasanya.
Tubuh bagian atasnya terbungkus blus model kebaya lengan pendek berwarna biru langit dengan bahan menerawang, dilapisi kamisol berwarna senada. Ada bordiran menghiasi kebaya itu. Tubuh bagian bawahnya terbungkus rok lilit pendek selutut dari bahan batik sutera berwarna biru. Ada lipitan yang berkebyar indah di bagian depan saat gadis itu melangkah. Kakinya dialasi sepasang high heels dengan strip tipis nyaris sewarna dengan kebayanya. Sebuah clutch sewarna sepatu ditentengnya di tangan kanan. Rambut hitamnya digelung rapi ke atas dengan model rumah keong. Perhiasannya hanya seuntai kalung berliontin berlian tunggal yang biasa dipakainya sehari-hari, menemani sebuah giwang ceplik berlian pada telinga kiri. Sedangkan telinga kanannya dihiasi sebuah ear cuff berbentuk sulur-sulur artistik dengan ujung berupa dua butir permata yang menjulur ke bawah. Rias wajahnya kali ini dilengkapi pula dengan sepasang bulu mata palsu lentik. Cantik.
“Gimana?” dengan genitnya Kencana berputar di depan Owen.
Pemuda itu menautkan ujung jari telunjuk dan jempol kanannya, “Perfect!”
Kencana tertawa. Keduanya kemudian berpamitan pada Jati dan Ndari. Seperti biasa, Owen membukakan pintu mobilnya untuk Kencana, ditimpali sebuah ucapan terima kasih yang terdengar begitu manis di telinga. Mendung tipis menaungi perjalanan mereka menuju ke gedung resepsi.
“Eh, Wen,” celetuk Kencana, “nanti sore ada acara nggak?”
“Enggak,” geleng Owen.
“Gimana kalau cari bajunya nanti sore saja. Masa, dandanan kayak gini keluyuran ke mall?”
Owen tergelak ringan. Sekilas ditengoknya Kencana.
“Nggak apa-apa, ‘kali, Can,” ia kemudian menanggapi. “Cantik begitu, kok. Sudah mirip artis.”
Kencana tersenyum lebar.
“Tapi kalau kamu mau nanti sore, ya, nggak apa-apa,” sambung Owen.
“Beneran nggak apa-apa dandan gini?” Kencana menatap Owen dari samping kiri.
“Nggak apa-apa,” tegas Owen.
“Iya, sih, nggak praktis juga kalau nanti sore harus keluar lagi,” gumam Kencana kemudian. “Ya, deh, langsungan saja.”
“Siap, Nona!”
Sekitar dua puluh menit kemudian Owen membelokkan mobilnya masuk ke area parkir sebuah gedung pertemuan. Setelah mobil Owen parkir sempurna di bawah sebuah pohon rindang, Kencana buru-buru membuka pintu kiri depan. Sejenak kemudian keduanya sudah melangkah bersisian menyeberangi area parkir, menuju ke gedung, tetap dengan dipayungi mendung tipis.
Owen menyodorkan lengan kirinya, yang segera disambut Kencana dengan melingkarkan pergelangan tangan kanannya di sekeliling lengan itu. Sebuah bahasa tubuh yang biasa untuk dua orang yang sudah bersahabat sejak lama, tapi sempat menimbulkan guncangan gempa ringan di hati Owen. Menyisakan getar-getar yang nyaris tak bisa ia kendalikan.
* * *
Menghadiri undangan pernikahan adalah hal yang Handaru paling malas melakukannya. Tentu saja ia tak pernah iri dengan kebahagiaan orang lain dalam memasuki gerbang pernikahan. Hanya merasa kurang nyaman. Seandainya terpaksa melakukannya, ia pasti mengajak si kembar untuk menemaninya. Seperti kali ini. Ia merasa harus menghadiri undangan pernikahan Sofyan, salah satu stafnya di kantor. Ia harus mewakili juga Paul yang tidak bisa hadir karena sudah tiga hari ini merasa tidak enak badan.
Dipastikannya Rika dan Neri sudah benar-benar keluar dari mobil sebelum ia mengunci pintu. Sejenak, diperbaikinya dandangan Rika. Gadis cilik itu tampak menggemaskan dalam balutan gaun putih berbunga pink dan biru muda, dengan pita satin putih melingkari pinggang, tersimpul cantik di bagian belakang. Rambutnya yang bermodel bob pendek tampak rapi berhiaskan bando berlapis bahan berbulu pendek berwarna putih. Sepatu putihnya yang bermodel sepatu balet juga tampak nyaman dipakai. Neri lebih simple penampilannya. Hanya mengenakan kemeja katun putih dengan aksen kotak-kotak berwarna dasar merah dan biru, celana jeans, dan sepasang sneakers putih.
Handaru kemudian menggandeng Rika di tangan kiri dan Neri di tangan kanan. Bertiga mereka melintasi area parkir yang sudah cukup penuh. Sesampainya di dalam gedung, beberapa among tamu[1] yang merupakan teman-teman mempelai pria sekaligus staf juga di kantor menyambut Handaru.
Laki-laki itu tersenyum lebar ketika melihat kedua anak kembarnya bergantian menyalami para among tamu dengan sangat santun dan manis. Sebuah sikap yang membuat para orang dewasa itu begitu kagum. Karena antrean para undangan yang hendak bersalaman dengan mempelai masih panjang, bahkan diselingi beberapa sesi foto bersama, maka Yeni – among tamu yang sudah ditugaskan untuk menemani Handaru – segera menggiring laki-laki itu dan putra-putrinya untuk menikmati hidangan terlebih dahulu. Seusai Handaru mengambil makanan, Yeni segera menunjukkan deretan kursi yang sengaja diletakkan di sepanjang dinding ruangan. Setelah melihat Handaru dan anak-anaknya sudah duduk dengan nyaman, maka Yeni pun berpamitan untuk sejenak meninggalkan ketiganya.
“Makannya gimana ini, Papa?” Rika mendongak.
Handaru buru-buru mengambil alih piring Rika. “Rika berdiri saja, Nak. Piringnya taruh di kursi, ya? Bisa, kan?”
“He eh,” gadis cilik itu mengangguk sambil merosot turun.
Setelah Rika, Neri pun menginginkan posisi yang sama. Handaru melayani keduanya dengan sabar sebelum menikmati makanannya sendiri, sambil tetap mengawasi. Sebelum ketiganya benar-benar selesai makan, Yeni sudah muncul lagi dengan membawa sebuah nampan berisi tiga porsi ice cream cake.
“Repot amat, Yen,” gumam Handaru. “Nanti, kan, bisa kuambil sendiri.”
“Lho, sudah jadi tugas saya, Pak,” Yeni tertawa ringan.
Handaru kemudian mengucapkan terima kasih. Pun ketika dengan cekatan Yeni meringkas dan menyingkirkan piring bekas makan ketiganya. Sesudah itu, ia duduk di sebelah Neri.
“Pak, boleh tanya?” suara Yeni terdengar ragu-ragu.
“Ya?” Handaru menoleh, balas menatap Yeni.
“Mm... Ada baby sitter di rumah untuk anak-anak?”
“Enggak,” Handaru menggeleng, tersenyum. “Belum pernah punya baby sitter khusus untuk anak-anak. Ada, sih, ART senior yang dulu ikut almarhum ortu saya. Sampai sekarang masih tetap ikut saya pindah ke sini. Tapi fungsinya, ya, cuma bantu-bantu saja. Selebihnya anak-anak saya urus sendiri. Apalagi di Surabaya saya wiraswasta, kan. Jadi punya waktu fleksibel. Sayangnya, sekarang anak-anak terpaksa saya tinggal ngantor.”
Yeni manggut-manggut.
“Bapak hebat,” pujinya kemudian, tulus. “Gemas saya lihat anak-anak semanis ini.”
Handaru tertawa ringan.
“Makanya buruan nikah,” celetuk Handaru. “Biar cepat punya junior.”
Yeni ikut tertawa. “Insya Allah pertengahan tahun depan, Pak. Doakan, ya?”
“Amin...”
Tepat setelah ketiganya selesai menikmati makanan pencuci mulut, antrean di depan pelaminan mulai berkurang. Handaru pun segera menggiring putra-putrinya untuk mengantre. Sofyan tampak senang melihat sang boss berkenan hadir.
“Pak Paul titip salam,” ucap Handaru. “Semoga kalian berbahagia. Sebetulnya beliau ingin datang, cuma sudah beberapa hari ini nggak enak badan. Maklum, sudah sepuh.”
“Iya, Pak, terima kasih banyak,” Sofyan menjabat erat tangan Handaru. “Kalau berkenan, kami minta waktu Bapak untuk berfoto, ya? Nggak lama, kok.”
Handaru pun mengangguk. Setelah menyalami mempelai wanita beserta para orang tua, Handaru pun mengajak kedua buah hatinya menyisih sejenak. Ketika dilihatnya segerombolan karyawannya tengah mengobrol di sebuah sudut, ia pun memutuskan untuk menggabungkan diri. Tapi saat melewati gerombolan yang lain, ia berhenti sejenak untuk menyapa seseorang.
* * *
Sementara Owen sibuk mengobrol dengan rekan-rekan sekantornya, Kencana mengalihkan tatapannya ke sekeliling ruangan. Gedung itu tidak terlalu besar, tapi terasa sangat nyaman di dalamnya. Undangannya pun sepertinya tidak mencapai angka seribu. Bahkan mungkin hanya separuhnya. Pelaminan ditata dengan sederhana, namun terlihat sangat elegan. Hidangannya pun semua lezat, termasuk sepiring puding yang saat ini ada di tangannya.
Sambil asyik menikmati puding, Kencana melabuhkan tatapan ke arah pelaminan. Mempelai wanita, teman sekantor Owen, yang didandani dengan rias pengantin adat Jawa itu tampak cantik. Saat menyalami tadi, Kencana melihat bahwa dari dekat pun rias wajah pengantin tampak sangat halus. Seketika, dalam hati, ia mulai berandai-andai.
Hm... Seandainya aku nanti jadi pengantin, bisa nggak, ya, jadi secantik itu?
Tapi sekilas pikiran itu mau tak mau membuat rasa nelangsa yang sudah didepaknya jauh-jauh justru kembali lagi.
Andai saja aku nggak terdepak sedemikian rupa, mungkin tak lama lagi...
Tatapannya kini jatuh pada jarik yang dikenakan orang tua mempelai. Jarik truntum garuda. Dihelanya napas panjang.
“Lho, Can? Di sini juga?”
Suara berat bernada halus itu menyentakkan Kencana. Ia mendongak. Sempat ternganga sejenak sebelum tersadar.
“Eh, Mas Daru,” ia mencoba tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya.
Laki-laki itu mengulurkan tangan, dan Kencana pun menyambutnya dengan jabat hangat. Juga terhadap si kembar. Kehadiran Handaru pun disadari oleh Owen. Pemuda itu juga menyapa dan menjabat tangan Handaru dan anak-anaknya. Setelah berbasa-basi sejenak, Handaru pun menggiring anak-anaknya ke tujuan semula. Owen juga kembali ke obrolannya bersama teman-teman. Kencana pelan-pelan menghabiskan pudingnya.
Rasa-rasanya...
Entah kenapa ada rasa ‘lain’ ketika ia melihat sosok Handaru. Tanpa bisa dicegah, bayangan sosok gagah dalam balutan kemeja batik sogan berprada lengan panjang dipadu dengan pantalon hitam itu melekat dalam benaknya. Menimbulkan guncangan layaknya gempa kecil bercampur dengan getar seperti kepak ratusan sayap kupu-kupu dalam hatinya.
Hei! Ada apa ini?
Kencana buru-buru menggeleng. Samar.
* * *
Catatan :
[1] Among tamu = orang-orang yang bertugas untuk menyambut dan menemani para tamu / undangan dalam sebuah resepsi dengan tujuan mewakili keluarga tuan rumah agar para tamu / undangan merasa nyaman. Biasanya terdiri dari teman-teman atau kerabat tuan rumah.
Besok harus pasang alarm nih...
BalasHapusSalam paling hangat dari Bogor