Tujuh
Kencana duduk di teras setelah Jati dan Ndari berangkat ke rumah keluarga Paul, lewat sedikit dari pukul enam petang. Ia akan menyusul, tapi menunggu kedatangan Owen lebih dulu untuk menjemputnya.
Ternyata undangan untuk menghadiri misa itu baru Owen dapatkan pada hari Selasa, selang satu hari setelah Kencana mengirimkan pesan WA padanya. Walaupun lain lingkungan, tapi seluruh OMK paroki sebagai teman-teman Denta ternyata juga menerima undangan, termasuk Owen.
“Mau bareng sama aku saja, Can?” tanya Owen dua hari lalu, saat mereka menikmati makan siang berdua di kantin lantai dua Menara Daha.
Sejujurnya, Kencana merasa gamang untuk menginjakkan kaki di rumah Paul lagi. Tapi misa peringatan seribu hari wafatnya Christine tak mungkin ia lewatkan seperti ketika ia melewatkan misa dua tahunan. Saat itu, ia masih dalam kondisi patah hati parah. Kali ini memang ada kemungkinan ia akan bertemu lagi dengan Denta. Hanya saja ia sudah memutuskan untuk menegakkan kepala.
Ia datang bukan untuk Denta. Ia datang untuk mendoakan Christine, yang di masa hidupnya pernah menyayanginya sedemikian rupa. Tapi ia masih butuh seseorang untuk menyandarkan diri sejenak. Maka, dengan segera ia menganggukkan kepala saat tawaran Owen datang. Tanpa ada keraguan.
Tak lama ditunggu, pemuda itu datang. Kencana segera bangkit dan melangkah ke pagar dan membukanya lebar-lebar.
“Masukkan saja mobilmu,” ucap Kencana ketika Owen membuka kaca jendela.
Tanpa banyak cakap, Owen menuruti ucapan Kencana. Dimasukkannya mobil ke carport, dan ia segera meloncat keluar. Rumah keluarga Paul tak jauh. Hanya selang tiga jalan dari rumah Kencana.
“Om sama Tante sudah berangkat?” tanya Owen sambil membantu Kencana menggembok pintu pagar dari luar.
“Sudah,” angguk Kencana. “Baru saja.”
Keduanya berjalan bersisian. Diam-diam, Owen menoleh sekilas.
“Can...”
“Hm?” sekilas Kencana mendongak ke kanan.
“Kamu... nggak apa-apa?” suara Owen terdengar begitu hati-hati.
Kencana segera memahami arti pertanyaan Owen. Gadis itu tersenyum. Menggeleng.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan nada manis.
Terdengar helaan napas lega Owen.
“Tapi jujur,” lanjut Kencana, “aku lebih suka menghadiri misa ini bersamamu. Jadi aku nggak sendirian.”
Hanya sebuah ucapan yang mungkin saja tak bertendensi apa-apa bagi Kencana. Tapi berhasil menimbulkan kehangatan sendiri di hati Owen. Pelan, tangan kirinya menggenggam tangan kanan Kencana.
“Maaf, aku nggak selalu ada saat kamu mungkin membutuhkan seseorang untuk bersandar,” bisik Owen.
Kencana tertawa ringan, tanpa melepaskan tangan kanannya dari genggaman Owen. Ia menoleh sekilas.
“Aku memang lebih senang memulihkan hati dengan caraku sendiri,” ucapnya halus. “Aku rasa kamu tahu itu.”
“Ya, aku tahu,” Owen mengangguk. “Dan aku senang kamu sudah mulai terbit lagi.”
Kencana kembali tertawa ringan.
* * *
Jati sejenak memeluk Denta ketika mereka bertemu. Tak urung, mata Ndari sedikit menghangat melihat pemandangan itu. Baginya dan Jati, Denta tak ubahnya seperti anak sendiri.
“Hanya berdua dengan Ibu, Yah?” Denta tetap tak mengubah panggilan itu.
“Ican lagi tunggu Owen datang,” jawab Jati. “Nanti juga ke sini.”
“Oh...”
Sekilas, ada sepercik sinar kecewa melompat keluar dari mata Denta. Tanpa bisa dicegah. Tapi pemuda itu buru-buru memasang senyum penuh terima kasih di wajahnya ketika menyalami Ndari.
“Terima kasih atas kehadiran Ibu dan Ayah,” ucapnya tulus.
“Kamu sehat?” Ndari mengelus pundak Denta.
“Sehat, Bu. Puji Tuhan.”
Jati dan Ndari kemudian beralih ke penyambut berikutnya di ujung carport itu. Handaru, si kembar, seorang perempuan muda seusia Denta, sepasang suami-istri seusia Paul, dan terakhir Paul sendiri. Laki-laki itu menjabat tangan Jati erat-erat, penuh rasa terima kasih, walaupun mereka sering bertemu. Pada saat itu, Paul memperkenalkan pasangan suami-istri yang sudah lebih dulu disalami Jati dan Ndari.
“Ini Pujo, saudara kembar mendiang ibunya anak-anak. Ini Nanik, istrinya. Mendiang putri sulung mereka itu istri Daru. Sedangkan Daru sendiri putra tunggal mendiang adik perempuanku. Jadi keponakanku dulu menikahi keponakan Christine. Dan yang itu, putri kedua Pujo dan Nanik,” Paul menjelaskan panjang lebar sebelum menyuruh keduanya masuk dan menyambut tamu lain yang datang belakangan.
“Oh...,” Jati dan Ndari sama-sama manggut-manggut.
“Adik dan ipar Pak Paul yang kecelakaan lalu lintas di Kudus beberapa tahun lalu?” lanjut Ndari.
“Betul sekali, Bu,” Paul mengangguk.
Laki-laki itu kemudian menyilakan Jati dan Ndari masuk ke dalam rumah. Saat keduanya mencapai teras, hendak masuk ke dalam ruangan yang sudah mulai penuh, datang menyambut seorang perempuan berkerudung biru muda berwajah teduh. Biarawati berusia pertengahan tiga puluhan itu segera mencium tangan Jati dan Ndari dengan takzim.
“Terima kasih atas kedatangannya, Om, Tante,” ucapnya halus.
Ndari segera memeluknya. Biarawati itu Stella, putri sulung Paul dan mendiang Christine.
“Ican nggak ikut, Tante?” tanya Stella.
“Nanti, belakangan,” jawab Ndari. “Lagi tunggu temannya nyamperin.”
“Oh...,” Stella mengangguk sambil menyilakan Ndari dan Jati duduk.
* * *
Sebelum mencapai rumah Paul, dengan halus Owen menarik tangan Kencana untuk menyeberang jalan lengang selebar tujuh meter itu. Pada saat yang sama, hujan mulai merinai. Menjatuhkan titik-titik kecil yang makin lama makin rapat. Otomatis lengan Owen merengkuh bahu Kencana, dengan langkah yang dipercepat lagi. Kencana pun berlari-lari kecil sambil menundukkan kepala dalam lindungan Owen.
Ketika kaki mereka mencapai ujung carport, keduanya saling menatap sejenak dan tertawa. Sama-sama merasa menang melawan rinai hujan. Rambut Kencana sedikit basah. Owen buru-buru mengeluarkan saputangan dari saku celananya. Diulurkannya saputangan lebar yang wangi dan masih terlipat rapi itu kepada Kencana. Setelah Kencana mengeringkan puncak kepala dan beberapa bagian wajahnya, dikembalikannya saputangan itu pada Owen. Pemuda itu kemudian menggunakannya untuk mengusap puncak kepalanya sendiri.
Semua adegan di ujung carport itu tak luput dari tatapan Denta. Setelah ia menyalami tamu terakhir sebelum Kencana dan Owen, ia pun melangkah menghampiri.
“Ican, Owen...,” sapanya halus.
Senyum dan tawa segera lenyap dari wajah Kencana. Tapi dijabatnya juga tangan kanan Denta yang terulur.
“Apa kabar?” ucap Denta.
“Baik,” Kencana mengangguk sedikit.
Saat Denta mengalihkan jabat tangan dan sapaannya pada Owen, Kencana memutuskan untuk meneruskan langkah. Disalaminya Handaru, si kembar, para penyambut lain, kemudian Paul. Laki-laki sepuh itu membawanya ke dalam pelukan ringan diiringi ucapan terima kasih atas kesediaannya untuk hadir. Terakhir, diterimanya sebuah pelukan erat dari Stella.
“Mohon maaf atas semua hal tak mengenakkan yang harus kamu alami,” bisik Stella dengan mata mengaca.
Dengan halus, Kencana melepaskan diri dari pelukan Stella. Ditatapnya perempuan berwajah teduh itu. Berusaha untuk tersenyum dan memasang wajah cerah.
“Aku baik-baik saja, kok, Suster,” ucapnya, tulus.
Nina yang melihat Kencana datang dan selesai bercakap dengan Stella segera menghampiri dan menyeret gadis itu ke sebuah sudut yang sudah dipenuhi para OMK. Owen kemudian menyusul di belakangnya. Pemuda itu menerima sebuah map biru yang disodorkan oleh Andi, pemimpin paduan suara OMK.
“Lu nyanyiin mazmur,” ucap Andi.
“Lho, Tony? Lena?” Owen mengangkat alisnya.
“Tony berangkat ke Jember siang tadi. Neneknya meninggal,” jawab Andi. “Lena ikut retret OMK lingkungannya.”
“Halah...,” Owen menggumam sambil membuka map berisi kumpulan lagu di tangannya. Tugas dadakan yang tidak terlalu sulit, karena ia sudah sangat terlatih sebagai seorang pemazmur.
Sementara itu, Nina menatap Kencana yang sudah duduk di dekat keyboard.
“Mm... Ada request dari Om Paul,” ucap Nina, lirih.
Kencana mengerutkan kening. Balas menatap Nina.
“Om Paul minta ada lagu Panis Angelicus untuk iringan komuni,” lanjut Nina. “Dan kalau bisa, lo yang menyanyikannya, karena suara lo paling bagus. Please...”
Kencana tercenung sesaat. Lagu itu kesukaan Christine. Ia juga tahu bahwa banyak sekali umat di gereja paroki mereka yang menunggu lagu itu berkumandang jadi iringan penerimaan komuni saat lingkungan mereka menjadi petugas paduan suara. Semua itu karena Christine akan mengalunkannya dengan indah melalui suara soprannya yang begitu bening.
Dan, lapis kedua di belakang Christine adalah Kencana. Sesudah Christine berpulang, Kencana-lah yang menjadi pengganti Christine. Beberapa kali Panis Angelicus mengalun indah melalui suara mezzo-soprannya yang terdengar sangat empuk di telinga, baik saat bertugas bersama lingkungan maupun OMK. Hingga ia ‘menghilang’ selama setahun lebih belakangan ini.
Kencana kembali menatap Nina.
“Gue sudah lama nggak nyanyi, Nin,” gumamnya.
“Bisalah, Can,” Nina berusaha meyakinkan Kencana. “Coba lo nyanyi sebentar, lirih aja, mumpung masih pada berisik. Misa juga belum mulai. Romo Thomas saja belum datang.”
Demi mendiang Ibu... Kencana menghela napas panjang untuk memantapkan hati.
* * *
“Anak-anak butuh seorang mama, Dar.”
Handaru menatap perempuan berusia akhir lima puluhan itu dengan letih. Persiapan misa dan segala tetek-bengek peringatan seribu hari berpulangnya Christine sudah cukup menguras tenaganya.
Ditambah lagi ini. Aduh...
Dihelanya napas panjang. Sebelum ia sempat menanggapi, ibu mertuanya sudah buka mulut lagi.
“Dan nggak ada mama terbaik setelah mama kandungnya selain tantenya sendiri.”
Seketika bara menyala di mata Handaru.
“Mama terbaik setelah mama kandungnya sendiri,” ia mengulangi frasa yang diucapkan ibu mertuanya, dengan setengah mendesis. “Dengan mama kandung yang seperti itu, apa yang bisa saya harapkan?”
Seketika ruangan hening. Handaru mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Maaf, Ma. Sudah malam. Saya capek,” ucapnya lirih, dengan nada lugas. “Selamat istirahat, selamat tidur.”
Ia kemudian meninggalkan rumah Paul, menuju rumahnya sendiri, melalui pintu tembusan. Ia sempat ternganga ketika berpapasan dengan Stella yang menggendong Rika dan menggandeng Neri.
“Tadi sayup-sayup kudengar anak-anak menangis,” Stella menjelaskan. “Ternyata mereka nggak bisa tidur. Minta Sofia mendongeng, tapi Sofia nggak bisa. Malah Sofia jadi bete sendiri. Anak-anak makin rewel.”
Handaru mengulurkan tangan. Segera saja Rika berpindah ke tangannya. Neri pun menempel padanya.
“Kupikir kalau kamu ngobrolnya masih lama, kukeloni dulu anak-anak di kamarku,” lanjut Stella. “Aku nggak enak kalau harus ngelonin di kamarmu.”
“Makasih banyak, Mbak,” ucap Handaru, tersenyum tipis. Dihelanya napas panjang. “Sofia ke mana?”
“Sudah balik duluan ke sini. Aku ditinggalkannya dengan anak-anak,” Stella tertawa kecil. “Ya, sudah,” Stella menepuk lembut lengan adik sepupunya itu. “Tidurlah, Dar.”
Handaru mengangguk dan membawa kembali anak-anaknya ke rumah.
Mama terbaik? Huh!
Diam-diam Handaru mendengus.
* * *
Malam sudah menggelincir menuju pagi, tapi Handaru tak kunjung dapat memejamkan mata.
Mama untuk anak-anak?
Seribu persen, selalu ada keinginan untuk memiliki lagi pendamping hidup yang bisa berjalan secara harmonis dan sejajar. Tapi lebih dari itu, ia ingin ibu untuk anak-anaknya. Ibu yang benar-benar bisa menjadi ibu, bukan hanya karena terseret status.
Sofia? Hm...
Handaru menggeleng samar. Selama ia bersama Angela, tak sedikit pun pernah ada rasa tertarik untuk mengenal Sofia lebih dekat. Hanya sebagai adik ipar. Tak pernah lebih dari itu. Bahkan sesudah Angela meninggalkannya, seringkali Sofia berusaha untuk mendekat. Hanya padanya, tidak pada anak-anak.
Dan, ketika Angela benar-benar pergi untuk berpulang, kedua mertuanya pun acap kali membicarakan hal yang ‘menjurus’ itu. Turun ranjang. Agar sang cucu tidak hilang dari peredaran keluarga mereka.
Sedangkan aku mati-matian merawat Rika dan Neri pun kapan mereka peduli?
Handaru menghela napas kesal. Entah seperti apa bentuk kasih sayang dan ikatan yang beredar dalam keluarga mertuanya, ia sungguh-sungguh tidak bisa memahami. Makin mengenal Angela, ia mendapati bahwa sesungguhnya Angela pun bukanlah sebuah pribadi yang hangat.
Lalu kenapa bisa sampai jatuh cinta dan menikahinya?
Sampai detik ini pun ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Pada titik yang sama, ia merasa dirinya betul-betul bodoh. Kebodohan mutlak yang dibayarnya dengan sangat mahal, yang turut pula menyeret kedua buah hatinya yang tak berdosa dalam ketimpangan hidup yang luar biasa.
Handaru mengalihkan tatapannya dari langit-langit kamar. Sorot matanya jatuh pada kedua buah hatinya, yang terlelap dengan wajah polos bagaikan sepasang malaikat. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap pipi bulat Rika dan Neri bergantian.
Seandainya memang harus ada seorang mama untuk kalian, akan Papa temukan yang terbaik, Nak. Semoga Papa tidak salah lagi...
Mata Handaru mengerjap. Pada detik itu, entah kenapa sekelebat bayang seraut wajah mendadak saja seolah menyelinap di depan matanya. Wajah manis yang menyimpan aura teduhnya sendiri. Wajah manis dengan suara mezzo-soprannya yang indah dan mengejutkan.
Ia yang paling depan menerima komuni dari Vito. Di belakangnya ada barisan OMK yang menjadi tim paduan suara dalam misa itu. Secara singkat, jelas, dan padat ia memanjatkan doa, untuk kemudian kembali mengiringi paduan suara dengan ketukan keyboard-nya. Saat ia sudah siap, Hestia pun sudah siap dengan cello-nya. Pun tim paduan suara OMK.
(Silakan klik kalau ingin tahu lagunya)
(Silakan klik kalau ingin tahu lagunya)
Rangkaian nada intro dalam bentuk suara piano pun mulai diketuknya bersamaan dengan Hestia menggesek cello. Ia mengangguk pada Andi ketika intronya hampir mencapai ujung. Tangan Andi bergerak pada saat yang tepat, Lalu...
Ia nyaris saja ternganga dan mengacaukan denting keyboard. Bukan paduan suara yang mengalunkan lagu Panis Angelicus, tapi Kencana. Dengan suara mezzo-soprannya yang begitu bening dan empuk di telinga.
Astaga...
Selanjutnya, setengah mati ia menyelaraskan gerak jemarinya dengan nada yang harus diketuknya. Panis Angelicus berakhir dengan sempurna. Sempurna pula Kencana mengguncang hatinya.
Handaru mendegut ludah.
Apakah dia?
Tapi ia menggeleng. Mata kepalanya sendiri sudah menangkap kedekatan gadis itu dengan seorang pemuda yang pernah muncul dalam obrolan bisunya dengan Denta melalui Whatsapp. Owen. Ican dan Owen. Yang bersama datang menghadiri misa sore tadi. Yang berbagi saputangan yang sama untuk mengeringkan beberapa bagian rambut dan wajah yang basah tersiram rinai hujan.
Apakah aku akan tetap bodoh dan salah lagi?
Ia mengerang dalam hati.
* * *
Bolak-balik ngecek kalender. Ini hari Rabu kaan...? Tak sabar menunggu lanjutannya he he he
BalasHapusHehehe...jebule ono sing podo karo aq,nek aq bolak-balik ngecek blog'e Mba Lizz,wes rak sabaran nunggu kelanjutan cerbung'e 😄😄😄😄
BalasHapusSudah tayang lanjutannya ya, Mbak-Mbak cantik. Makasih banyak atas kunjungannya...
BalasHapus