* * *
Tiga Belas
Allen
sempat ternganga ketika Olivia muncul menemuinya menjelang siang pada Sabtu
keesokan harinya. Gadis yang biasanya berbusana cukup tertutup itu kini tampil
begitu centil dengan gaun selutut one shoulder
beraksen ruffles berwarna biru langit
dengan bagian bawah melebar. Sekilas gaun itu tampak polos tanpa motif. Tapi
bila diamati lebih lanjut, akan terlihat bahwa bahan gaun itu di-emboss motif ratusan kupu-kupu mungil. Tampak
sangat manis.
Rias
wajah yang ‘secukupnya’ menambah kesempurnaan itu. Rambutnya digelung tinggi
sehingga memperlihatkan leher jenjangnya yang polos. Perhiasannya hanya
sepasang anting mutiara berbentuk tetesan air yang ikut bergoyang genit ketika
lehernya bergerak. Koleksinya sendiri, bukan milik Arlena. Penampilan itu
disempurnakan dengan clutch bertali
rantai pendek dan sepatu bertumit 10 cm bermodel T-Bar yang sewarna antingnya. Secara keseluruhan, penampilan Olivia
saat ini terlihat sangat sexy tapi
tetap elegan karena tidak berlebihan.
“Hai!”
sapa Olivia dengan ceria. “Maaf, lama menunggu.”
Allen
tersentak. Ia kemudian mengerjapkan mata dan tersenyum. Laki-laki itu sendiri
tampak gagah terbalut kemeja batik lengan panjang berwarna biru. Alih-alih
terlihat klasik, Allen justru terkesan modis karena kemejanya berpotongan slimfit, dipadu dengan pantalon berwarna
biru gelap dan sepatu hitam. Terlihat cukup serasi dengan Olivia.
“You’re so beautiful, Liv,” cetus Allen
seraya kakinya mulai menekan pedal gas.
Olivia
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Ia juga memuji penampilan
Allen. Laki-laki itu tertawa ringan.
“Aku
suka sekali batik,” ujarnya. “Ah, entahlah... Aku pasti tidak bisa melupakan
negara ini. Juga seorang gadis cantik yang kelak terpaksa harus kutinggalkan,
dan keluarganya yang begitu hangat dan menyenangkan.”
Olivia
tercenung. Ada sesuatu yang tersirat dalam ucapan Allen.
Batas...
“Aku
belum pernah punya keluarga saat
harus tinggal di suatu negara asing,” gumam Allen. “Baru di sini. Dan kamu
tahu, Liv, kalian sudah begitu mewarnai hidupku, walaupun kita belum lama
bertemu dan berkenalan. Entah kenapa, aku merasa sepertinya kita ini teman lama."
Olivia
tersenyum. Entah kenapa ucapan Allen justru membuatnya nyaman. Karena ia sudah
mendapatkan hal itu di awal.
Batas.
Jadi
ia tahu harus bagaimana ‘menikmati’ hubungannya dengan Allen. Setinggi apa ia
harus melambungkan harapan.
Kalau bisa lebih, anggaplah
itu sebagai bonus. Kalaupun tidak, apa salahnya berteman baik?
“Kamu
sudah mencampakkan berapa laki-laki, Liv?”
Celetukan
bernada canda itu membuat Olivia menoleh cepat. “Hah?”
Allen
tertawa lebar. “Gadis secantik kamu, mustahil kalau tidak ada yang tertarik.”
“Hm...,”
Olivia kembali mengarahkan tatapannya ke depan. “SMP, ada pada level saling
tertarik. Baru bisa dekat saat SMA, justru setelah berpisah sekolah. Dia masuk
kolese yang semua muridnya laki-laki, dan aku masuk SMA yang semua muridnya
perempuan. Tapi kami terpaksa kembali berpisah saat masuk kuliah. Dia melanjutkan
studi ke Jepang dan sampai sekarang masih berada di sana, karena ditarik untuk
menjadi peneliti di kampusnya.”
“Oh...”
“Beberapa
waktu lalu sempat dekat dengan seorang laki-laki. Tapi gagal. Dia tidak
sedewasa usianya. Mungkin juga sudah tidak merasa nyaman lagi denganku,” Olivia
mengangkat bahu.
Allen
tersenyum. Laki-laki itu kemudian membelokkan mobilnya ke area parkir gedung
tempat resepsi diadakan. Ketika Allen menggandeng tangannya saat melintasi area
parkir, pikiran Olivia mendadak saja meloncat pada Luken.
Gandengan tangan seperti
ini...
Entah
kenapa bisa sejauh itu pikirannya melantur.
Yang
menjadi teman Allen adalah mempelai laki-laki. Orang Indonesia asli. Saat
bersalaman, ada tatapan menggoda yang jatuh pada Allen dan Olivia. Allen
tertawa lebar menerima tatapan itu.
“Just friends,” ucap Olivia, tersenyum.
“Untuk
sementara,” sambar Edo, sang mempelai. Sarat nada menggoda.
“Nooo...,” Allen tergelak.
Selesai
bersalaman, sebelum mengambil makanan, Allen menggandeng Olivia ke sebuah
sudut. Ia memperkenalkan gadis itu pada sekumpulan kawan-kawannya. Setelah
mengobrol asyik selama beberapa waktu lamanya, kelompok itu membubarkan diri
untuk menyerbu meja hidangan yang sudah agak sepi orang.
Pada
saat itulah Olivia merasa ada yang mencolek bahunya. Ia menoleh dan seketika
tertegun. Sandra tengah menatapnya dengan senyum terkulum di bibir.
* * *
Mendapati
Olivia duduk mencangkung di atas sofa teras belakang sambil melamun, Prima
mendekatinya. Kedua tangan Olivia menangkupkan sebuah novel yang terbuka di
depan dada. Angin sore menggoyangkan ujung-ujung rambut gadis itu. Dengan halus disentuhnya bahu sang putri. Olivia tersentak sedikit
dan menoleh. Prima duduk di sebelahnya.
“Kok,
melamun?” laki-laki itu menegur dengan nada sangat lembut. “Ada apa?”
Olivia
menghela napas panjang. Pelan-pelan ia menurunkan kaki dari atas sofa dan
meletakkan novel di atas pangkuan. Sebelah tangan Prima segera merengkuhnya.
Olivia merebahkan kepala ke arah dada sang ayah.
“Tadi
ketemu Bu Sandra,” gumam Olivia.
“Hm...
Di mana?”
“Di
resepsi. Pengantin ceweknya itu keponakan Bu Sandra. Anak kakaknya. Yang cowok
teman Allen.”
“Terus?”
“Nggak
tahulah,” Olivia mengangkat bahu. “Tapi, kok, aku merasa kayak backstreet gitu, sih, kalau lagi jalan
sama Allen? Padahal, kan, apa salahnya, coba? Aku dan dia sama-sama free.”
Prima
masih diam. Tapi ketika tidak melihat tanda-tanda Olivia akan melanjutkan
ucapannya, laki-laki itu pun buka suara.
“Papa
pikir, kamu sendiri sebenarnya sudah tahu jawabannya,” ujarnya dengan nada
arif.
Olivia
tercenung sejenak sebelum mengangguk dengan berat. Ia enggan hubungannya dengan
seorang laki-laki kali ini di ketahui oleh orang-orang sekantor, terutama...
Pak Luken.
Gadis
itu terhenyak.
Kenapa tahu-tahu pikiranku
jatuh pada dia lagi?
“Kamu
ada acara sore ini?”
Olivia
tersentak lagi. Ia kemudian menggeleng. Allen tadi sudah mengatakan terus
terang bahwa sore ini ada acara di Kedutaan Besar Kanada. Sebetulnya laki-laki
itu mengajaknya ikut serta, tapi Olivia memutuskan untuk menolak dengan halus.
Allen berhak untuk menikmati acara sendiri bersama komunitasnya.
Prima
mengangkat lengannya dari belakang bahu gadis sulungnya. Ditepuknya dengan
lembut punggung tangan Olivia.
“Keluar,
yuk! Kencan sama Papa.”
Olivia
menoleh cepat. Mendapati Prima tersenyum lebar ke arahnya. Seketika gadis itu
menegakkan punggung.
“Ayo!”
serunya bersemangat.
Prima
tertawa melihat kerlip muncul dan berlompatan keluar dari mata gadis sulung
kesayangannya itu. Keduanya kemudian beriringan ke atas untuk berganti baju di
kamar masing-masing.
Rumah
sedang sepi. Hanya tinggal mereka berdua. Muntik sudah pulang lebih awal. Arlena
diundang ke sebuah arisan sosialita. Kesempatan untuk menjalankan bisnisnya.
Prima sama sekali tidak keberatan dengan aktivitas sang istri. Carmela sudah
sejak pukul tiga menjelang sore tadi dijemput Luzar. Sudah mendapat lampu hijau dari
Prima dan Arlena untuk menonton bioskop. Maxi keluar berempat dengan Donner,
Pingkan, dan Tisha. Double date.
Begitu
selesai berdandan yang tidak sampai menghabiskan waktu sepuluh menit, Olivia
keluar dari kamarnya. Ia tampak segar dengan wajah dipulas bedak tipis dan
bibir dioles pelembab bibir bernuansa merah bata. Rambutnya diikat ekor kuda tinggi.
Tubuh rampingnya dibalut kaus oblong putih bergambar humor khas Bali dan celana
jeans selutut. Kakinya dialasi sandal
jepit flat yang cantik berwarna
jingga kecoklatan. Ada sling bag sewarna
dengan sandal jepitnya menyilang di bagian atas tubuh. Terlihat sangat santai.
Serasi dengan penampilan awet muda Prima yang sore ini mengenakan celana
bermuda jeans dan kaus oblong hitam
lengan pendek dengan tulisan putih yang terlihat cukup jelas. ‘BEWARE, BOYS! I’M HER DAD!’
Olivia
terbahak membaca tulisan di bagian dada dan punggung kaus Prima. Laki-laki itu
meringis lucu.
“Papa
punya berapa, sih, kaus lucu-lucu gini?” Olivia menggelengkan kepala dengan wajah terlihat geli.
“Oh,
banyak!” Prima menyombong. “Jangan khawatir!”
Olivia
terbahak lagi sambil mereka berjalan bersama ke garasi. Gadis itu kemudian membuka
lebar-lebar pintu garasi dan pagar, sementara Prima mengeluarkan mobilnya. Maxi
tadi pergi bersama Donner memakai mobil Olivia. Olivia kemudian mengunci garasi
yang berisi motor Maxi dan Donner, tapi tidak menggembok pintu pagar. Supaya
kalau Carmela pulang duluan, gadis remaja itu masih bisa masuk dan menunggu di
teras.
* * *
Tas
kain kanvas trendi yang selalu dibawa Olivia bila bepergian dalam bentuk lipatan
kecil rapi itu kini ditenteng Prima. Isinya terlihat cukup mantap, yaitu hampir
selusin buku yang keduanya beli setelah puas mengaduk-aduk sebuah toko buku
ternama di Grand Indonesia. Setelah puas berbelanja buku, Prima menarik siku
Olivia untuk turun ke upper ground,
masuk ke sebuah toko perhiasan.
Olivia
menatap Prima dengan mata berbinar ketika laki-laki itu membisikkan maksudnya.
Prima meminta Olivia memilihkan seuntai kalung emas untuk hadiah ulang tahun
Arlena Sabtu depan. Segera saja gadis itu sibuk mencari seuntai kalung yang
elegan tapi tidak terlalu menyolok agar bisa dikenakan sehari-hari oleh Arlena.
Sementara
Olivia tenggelam dalam keasyikannya, Prima menepikan diri ke bagian lain. Iseng
ia melihat-lihat. Tepat di depan kotak etalase giwang dan anting. Ada dua
pasang penghias telinga yang menarik perhatiannya. Sepasang giwang emas kuning memanjang
berbentuk bunga rerumputan melengkung yang sangat cantik, cocok untuk Olivia.
Dan sepasang anting emas putih sederhana dengan sangkar bulat mungil berisi masing-masing
dua butir kristal yang berkilau memantulkan sinar lampu, cocok untuk Carmela.
“Ini
matanya kristal atau kaca?” tanya Prima sambil menunjuk anting pilihannya.
“Asli
kristal Swarovski, Pak.”
“Oh...
Oke, saya ambil ini,” ucapnya, menatap perempuan muda yang melayaninya, “dan
giwang yang itu,” ia menunjuk giwang panjang bunga rumput.
“Mau
pakai kotak, Pak?”
“Boleh.
Yang simpel saja.”
Pramuniaga
itu kemudian mengambil beberapa kotak mungil terbuat dari kertas daur ulang
tebal. Prima memilih yang berlainan warna. Giwang dimasukkan ke dalam kotak
putih, dan anting ke kotak pink.
“Sekalian
sama kalung nanti, Mbak. Biar dia--,” tatapan Prima mengarah ke Olivia,
“--pilih-pilih dulu.”
Rupanya
Olivia sudah selesai memilih. Seuntai kalung rantai emas kuning dengan bandul
berbentuk rangka kubus mungil berisi sebutir kristal yang cukup besar untuk memenuhi
bagian dalam kubus itu. Terlihat sangat unik. Ia kemudian mengangkat wajah.
Mencari Prima yang ternyata tak jauh darinya.
“Pa...,”
panggilnya lirih.
“Ya?”
Prima datang menghampiri. “Sudah?”
“Ini--,”
Olivia menunjuk kalung yang masih berada di dalam kotak etalase, “--bagus, nggak?”
“Oh,
iya, bagus,” Prima mengangguk dengan antusias. “Unik. Mama pasti suka.”
Olivia
menoleh ke arah pramuniaga yang sedari tadi menungguinya memilih dengan sabar.
“Mbak, yang itu, coba lihat.”
Ketika
kalung itu dikeluarkan dari kotak etalase, Olivia mengamatinya lagi. Kristal
dalam kubus mungil itu tampak gemerlap. Ia menatap pramuniaga.
“Kristalnya
Swarovski, bukan?” tanyanya.
“Asli,
Mbak,” perempuan itu mengangguk. “Kalau yang kristalnya KW, ada di sebelah
sana,” ia menunjuk ke satu arah. “Tapi yang bentuknya seperti ini nggak ada
KW-nya. Dan cuma satu ini.”
Olivia
menoleh, menatap Prima. Laki-laki itu mengangguk.
“Mau
kotaknya sekalian?” tanya pramuniaga.
“Boleh...,”
jawab Prima.
Sejenak
kemudian Olivia sudah memilih sebuah kotak kalung kecil berwarna kombinasi emas
dan hitam, dihiasi pita berwarna emas. Terlihat sangat elegan. Kotak itu
ternyata diberikan secara gratis.
Sementara
menunggu Prima menyelesaikan pembayaran, Olivia bergeser ke arah kotak etalase lain. Matanya langsung ‘hijau’ melihat deretan anting dan giwang cantik di sana.
Bulan depan kayaknya bisa...
“Ayo,
Liv.”
Olivia
beranjak.
“Atau
kamu masih mau memilih?” Prima menatapnya dengan sabar.
Olivia
buru-buru menggeleng sambil menghampiri ayahnya. Prima sudah memasukkan tas
kertas dari toko perhiasan itu dengan rapi ke dalam tas kanvas yang
ditentengnya. Dijepit di antara buku-buku. Keduanya kemudian melangkah keluar
dari toko perhiasan itu.
Sambil
berjalan, keduanya berunding, hendak makan di mana. Akhirnya keduanya sepakat
untuk makan di sebuah resto di lantai tiga.
* * *
“Bagaimanapun
perempuan itu butuh kepastian, Luk,” ucap Lyra lirih.
Mereka
hanya berdua saja di rumah. Yus sedang rapat RT di balai warga. James
memutuskan untuk ikut abang iparnya itu.
“Aku
sudah pernah menuliskan pesan padanya, Ma,” desah Luken. “Dan dia nggak
merespons.”
“Setelah
mengirim pesan itu, lantas kamu bilang apa padanya?”
Luken
menggeleng. “Aku lagi di Eropa. Begitu pulang dihantam kesibukan luar
biasa. Dan... sepertinya aku sudah terlambat.”
Lyra
menggeleng dengan wajah menyesal.
“Menurut
Mama, terlambat atau tidak, kamu perlu menyatakannya,” ucap Lyra lagi.
“Dengan
risiko kehilangan dia?” Luken mengangkat wajah.
“Tidak
menyatakannya pun ada risiko kehilangan dia,” tukas Lyra. “Tapi dengan
menyatakannya, setidaknya hatimu lega. Siapa tahu dia memang benar jodohmu.
Kalaupun bukan, setidaknya ada kejelasan. Tidak menumpuk sakit hati hanya
karena menduga-duga.”
Luken
tertunduk. Tercenung. Ia sadar betul ucapan ibunya adalah benar adanya. Ia
mengangkat lagi wajahnya.
“Jadi
umur tidak masalah?”
“Memangnya
pernah jadi masalah?” sergah Lyra dengan nada galak. “Mungkin benar bagimu dia
masih anak-anak. Tapi kamu sudah menyaksikan sendiri kekuatan dan kedewasaannya
saat dihantam badai kemarin. Umur nggak ada relevansinya di sini!”
Luken
mati kutu. Segala penyangkalannya berhasil dimentahkan kembali oleh sang ibu
dengan sangat mudah.
Barangkali memang benar aku
harus bicara.
Luken
menghela napas panjang.
Soal akan dapat bonus atau
akan hancur, hasil itu baru aku akan tahu setelah bicara.
Dan
ia mulai mengumpulkan tekad dan keberanian itu.
* * *
Melihat
cahaya dalam wajah putri sulungnya, sebenarnya Prima tidak tega untuk membahas
lagi hal yang membuat Olivia termenung. Ia menimbang-nimbang sejenak.
Bukankah tujuanku
mengajaknya keluar adalah untuk membahas itu?
Maka
ia pun mengambil keputusan. Mumpung mereka berada dalam suasana santai. Hanya
berdua menikmati makan malam yang memanjakan mata, lidah, dan perut itu.
“Liv,”
ucap Prima dengan sangat halus, “kembali ke masalah tadi, yang membuatmu
melamun sebelum Papa ajak ke sini, masih ada ganjalankah?”
Olivia
mengerucutkan bibir. Menatap sang ayah. Sebuah ekspresi yang membuat Prima
sungguh merasa gemas.
“Coba,
deh, kalau Papa jadi Pak Luken, maksudnya apa coba?” gerutu Olivia.
“Sudah
jelas,” senyum Prima, “jatuh hati sama kamu.”
“Tapi
kenapa nggak ngomong langsung saja, coba?” Olivia masih cemberut.
“Mungkin
dia banyak pertimbangan, Liv,” jawab Prima. Sangat sabar. “Nggak mudah bagi
laki-laki yang pernah mengalami kehilangan untuk mulai lagi sesuatu yang baru.
Kelihatannya saja di depan dia tegar, tapi jangan dikira laki-laki itu nggak
punya perasaan. Kalau sudah telanjur cinta, susah move on-nya.”
“Terus
aku harus bagaimana?”
“Sebentar...,”
Prima mengerutkan kening. “Soal kamu dan Allen, dia sudah tahu?”
“Ng...,”
wajah Olivia meragu. “Kemarin waktu pulang kerja, sih, kayaknya dia tahu.
Terus... Kamis kemarin, pas aku tengok teman sekantor yang baru lahiran, suami
temanku kelepasan ngomong soal bule-bule gitu. Pak Luken dengar. Kan, nengoknya
bareng sama dia. Terus... Nggak ada terusannya lagi.”
Prima
manggut-manggut.
“Dan
kamu sama Allen itu?” Prima menatap putrinya. Dalam.
“Cuma
teman, Papa...,” jawab Olivia dengan nada sabar. “Dia sudah ngomong banyak. Dia
paham seperti apa pola hubungan Papa sama aku. Persis seperti hubungan ayah
dengan adik bungsunya. Dan seorang ayah itu adalah cinta pertama buat seorang anak perempuan. Menurutnya, wajar kalau aku nanti cari suami yang seperti Papa. Dan mungkin dia merasa nggak akan bisa kayak gitu. Waktu berangkat resepsi tadi, dia secara tersirat sudah
bilang kalau suatu saat pasti akan meninggalkanku untuk pulang ke negaranya
atau ditempatkan di negara lain. Waktu pulangnya dari resepsi, dia tegaskan
lagi, dia nggak mau mencabutku dari akar keluarga seindah keluarga kita. Karena
dia sudah merasakan gimana sakitnya kehilangan anggota keluarga. Kehilangan ibu.”
“Intinya,
dia nggak mau lebih dari sekadar teman?”
Olivia
mengangguk.
“Dan
perasaanmu sendiri tentang itu? Sedih? Patah hati?”
Seketika
Olivia menggeleng.
“Enggak,
Pa,” jawabnya tegas. “Aku justru merasa lega karena sudah mengetahui batas
hubunganku dengan Allen. Ya, pada awalnya aku terpesona pada matanya. Sangat
menawan. Menjalin relasi dengannya juga sangat menyenangkan. Dia laki-laki yang
baik. Dan dia...,“ Olivia mengerjapkan mata, ”punya kehidupan pribadi yang cukup
mengejutkan buatku.” Gadis itu tertunduk. “Suatu saat dia harus kembali pada
kehidupan itu. Anak perempuannya, Pa,” ia mengangkat wajah kembali. “Baru
berumur empat bulan ketika dia harus bertugas di sini. Mereka, dia dan ibu anak
itu, sepertinya akan menikah pada saat yang tepat nanti. Entah kapan, dia belum
tahu. Karena itu dia menetapkan batas. Dan aku sangat menghargai itu. We’re just friends. Mungkin bisa jadi
keluarga tanpa membuat hubungan pertemanan ini jadi lebih. Aku justru lebih
menikmati relasi yang seperti ini. Lebih enteng buatku.”
Prima
menatap Olivia. Lama. Dengan berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Tapi satu
hal yang ia makin tahu.
Olivia
kesayangannya memang sudah benar-benar
dewasa.
Ketika
mereka mengakhiri acara kencan itu dan sudah duduk di mobil, Prima meraba ke
dalam tas kanvas yang diletakkannya di belakang sandaran jok Olivia. Ditariknya
dua buah kotak mungil dari dalam tas kertas toko perhiasan yang tadi mereka
kunjungi.
“Ini
buatmu,” ujar Prima, menyodorkan kotak berwarna putih pada Olivia. “Semoga bisa
memulihkan sedikiiit perasaan tidak enak dalam hatimu.”
“Apa
ini, Pa?” Olivia menoleh cepat. Diterimanya kotak itu.
“Bukalah,”
senyum Prima.
Pelan-pelan
Olivia membuka kotak itu. Ketika melihat apa isinya, ia begitu tercengang
hingga mulutnya ternganga. Sebuah giwang panjang dengan bentuk bunga rumput yang sangat
manis.
“Ini...,”
Olivia kesulitan untuk merangkai kata, “... dari toko yang tadi?”
Prima
mengangguk sambil menyalakan mesin mobil. Sejenak kemudian ia mengulurkan kotak
mungil lain berwarna pink, yang
diterima Olivia dengan wajah ragu-ragu.
“Ini buat Mela,” ujarnya. “Tapi bilang saja kamu yang belikan. Supaya soal kado
ultah itu nggak terbongkar.”
Olivia
membuka kotak itu. Ia kemudian terpekik tertahan.
“Pa!”
serunya nyaris histeris. “Papa tahu, nggak? Tempo hari waktu aku ajak Mela jalan
ke toko emas, betulin rantai kalungku yang putus, Mela sudah lirik-lirik anting
model ini. Dia nggak minta, sih, tapi aku janjikan bulan depan aku belikan. Oh,
Pa... Dia pasti senang banget! Apalagi ini lebih bagus daripada yang waktu itu.
Dan giwang yang Papa pilihkan untukku... Aaah... Aku suka sekali! Aku suka!”
Prima
tersenyum lebar. Menutupi rasa harunya atas reaksi sang putri. Sedetik kemudian
sebuah pelukan ia dapatkan. Ia membalasnya. Begitu hangat.
“Terima
kasih, Pa. Terima kasih,” bisik Olivia.
Prima
membalasnya dengan sebuah kecupan lembut di puncak kepala Olivia.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Eala Allen wis punyak baby ta?
BalasHapusTapi aq tetep lope" kambek pa Prima qiqiqiqiqiq
Lanjut mb Liiiiis .......
Good post mbak
BalasHapus