Dua Belas
Keesokan
harinya, pagi buta, Olivia membantu Arlena menyiapkan sarapan. Sebetulnya, tujuan utamanya bukan itu. Ada maksud lain. Hanya saja ia dilanda keraguan besar
untuk menyampaikannya pada Arlena. Tapi waktu terus bergulir. Maka ia
memberanikan diri untuk bicara, sambil menyiapkan peralatan makan dan piring
saji.
“Mm...
Ma...”
“Ya?”
Arlena menoleh sekilas. Ia masih sibuk mengaduk ayam suwir di penggorengan.
“Mm...
Semalam Allen meneleponku,” sejenak Olivia mengangkat wajahnya. “Dia baru
pulang dari Manado. Nanti sore mau jemput aku di kantor. Setelah itu... boleh
kuajak ke sini?”
Arlena
terdiam sejenak. Berpikir. Sejurus kemudian ia mengambil keputusan.
“Kalau
Mama, sih, oke saja. Seperti Mama selama ini menerima teman-teman kalian main
ke sini. Mau dimasakkan apa?”
Olivia
mengembuskan napas lega. Ia tersenyum sedikit.
“Dia
suka rawon.”
Arlena
ternganga.
* * *
Setelah
menutup pintu mobil dan menekan tombol alarm, Luken berbalik dan hendak
melangkah masuk ke kantor. Tapi gerakan itu terhenti. Ia melihat Olivia keluar
dari pintu belakang city car ayahnya.
Dan ia memutuskan untuk menunggu gadis itu di tepi teras lobi.
“Selamat
pagi, Pak,” ucap Olivia sambil mengangguk hormat begitu kakinya menjejak teras
lobi.
Gadis
itu tampak begitu cantik dalam balutan gaun batik merah hati. Modelnya sederhana saja dengan panjang selutut dan berlengan pendek, tapi membungkus tubuh semampainya dengan
sangat elegan. Penampilan itu dipercantik dengan seuntai kalung mutiara yang
sangat artistik. Tampak seperangkat dengan anting dan gelang yang melingkar di
tangan kanan. Cantik, tapi tetap elegan dan tidak menyolok. Rias wajahnya pun
kembali terlihat lebih berwarna.
“Pagi,
Liv,” senyum Luken sambil melangkah lagi. “Tumben nebeng?”
“Iya,
Pak, sengaja nggak bawa mobil. Nanti dijemput,” jawab gadis itu.
Luken
sungguh-sungguh menyukai dan menghargai kedekatan Olivia dengan Prima. Seorang
ayah seperti Prima memang benar-benar hebat di matanya. Pantas bila berhasil
memenangkan sedemikian besar cinta dari anak-anaknya, terutama yang perempuan.
Karena sepertinya laki-laki itu pun memiliki cinta yang luasnya tak terbatas.
Tak terhingga.
Bahkan kelihatannya enteng
sekali memaafkan istri yang sudah melenceng jauh seperti itu.
Luken
menggeleng samar ketika menyadari bahwa pikirannya mulai melantur. Mereka sudah
sampai di lantai atas. Olivia menyapa Sandra dengan nada sangat manis. Sejenak
Sandra dan Luken bertukar tatapan. Sandra menemukan senyum samar dalam wajah
Luken.
Seperti
biasa, laki-laki itu duduk di depan Sandra, yang mejanya lebih dekat dari
tangga. Sementara Olivia sibuk menyiapkan segala piranti kerjanya.
“Senin
besok mungkin aku datang agak siang, Bu,” ucap Luken dengan suara rendah.
“Bubaran kerja nanti aku mau langsung ke Purwakarta.”
“Ada
acara, Pak?” Sandra mengalihkan tatapan dari layar laptopnya.
“Enggak...,”
Luken menggeleng. “Cuma lagi ingin pulang saja. Sekalian Om James ingin ketemu Mama dan Papa.”
“Oh...
Titip salam buat Bu Lyra dan Pak Yus, ya, Pak.”
“Ya,
Bu, nanti aku sampaikan.”
Sekejap
Sandra melirik ke samping kiri, kemudian secara tersamar mengacungkan jempol.
Luken tersenyum simpul. Dan senyum itu melebar ketika berhasil menangkap
gerakan bibir Sandra.
“Cantik
banget,” ucap Sandra, tanpa suara.
Laki-laki
itu kemudian berdiri sambil menenteng tas laptop. Melangkah masuk ke ruang
kerjanya.
* * *
Tapi
perkiraannya salah. Sungguh salah!
Ketika
ia keluar dari ruangannya pada pukul empat, Olivia sudah membersihkan mejanya,
sama seperti Sandra. Melihat laki-laki itu keluar, Sandra segera berpamitan.
Olivia pun menatapnya.
“Bapak
masih butuh sesuatu?” tanyanya sambil berdiri.
“Enggak,
Liv,” Luken menggeleng. “Aku mau pulang. Langsung ke Purwakarta. Maaf, ya,
nggak bisa temani kamu tunggu jemputan.”
“Oh,
saya juga sudah mau pulang, kok, Pak,” senyum Olivia sambil meraih hobo bag dan tas laptopnya.
Keduanya
kemudian turun bersamaan.
“Pak
Prima pulang cepat?” Luken menoleh sekilas.
“Enggak,
Pak,” geleng Olivia. “Saya dijemput teman.”
“Oh...”
Seketika, entah kenapa, radar di kepala Luken langsung berbunyi.
Teman?
Seketika, entah kenapa, radar di kepala Luken langsung berbunyi.
Teman?
Dan
pertanyaan itu terjawab ketika Luken sudah masuk ke mobilnya setelah ia dan
Olivia berpisah di teras lobi. Dari tempatnya duduk di dalam SUV, dengan
jelas ia melihat seorang laki-laki menyambut Olivia dan membimbing gadis itu
masuk ke dalam sebuah mobil crossover berwarna
biru metalik. Ketika laki-laki itu melangkah memutari setengah mobil untuk
masuk di sisi kemudi, Luken lebih jelas lagi melihat sosoknya. Tiba-tiba saja
ia teringat ucapan penuh canda Oyas kemarin.
“Hati-hati, lho, Liv. Kalau
bibitnya bule, bisa lebih gede lagi bayi lu.”
Mendadak
saja perutnya terasa mulas.
Dia tidak dijemput Pak
Prima, tapi laki-laki itu. Orang asing. Bule.
* * *
Bibir
Allen tak hentinya mengukir senyum. Ia senang sekali menjumpai Olivia sangat
cantik sore ini. Sudah bekerja seharian, tapi pesona itu tak sedikit pun luntur
dari wajah gadis itu. Apalagi ia melihat bahwa Olivia mengenakan seperangkat
perhiasan mutiara, cenderamata yang ia bawa dari Lombok. Terlihat sangat pas
dengan gaun batik yang dikenakan.
“Allen,
kamu benar-benar tidak keberatan kuajak ke rumahku?” celetuk Olivia, terdengar
ragu-ragu.
“Tentu
saja tidak!” jawaban laki-laki itu terdengar begitu penuh semangat. “Aku sudah
lama sekali kehilangan suasana keluarga, Liv. Sejak aku bertualang begitu jauh
dari rumah. Kadang-kadang aku membayangkan sebegitu kesepiannya Daddy. Walaupun dia berusaha selalu
menyibukkan diri.”
“Maaf, Al,
Mr. Byrne apakah tidak mau menikah lagi?”
Allen
menggeleng. “Seluruh cintanya sudah habis untuk Mom dan kami, anak-anaknya.”
Sebersit
keharuan muncul dalam benak Olivia. Entah kenapa, tiba-tiba saja bayangan Luken
menyelinap masuk. Sudah sembilan tahun menduda, tapi masih tetap mempertahankan
kesendiriannya.
Sepertinya cinta Pak Luken
juga sudah habis untuk mendiang istrinya...
Pikiran
itu entah kenapa membuatnya merasa sedih.
“Liv,
kita harus ambil jalur yang mana sesudah lampu merah di depan?”
Suara
berat Allen membuyarkan lamunan Olivia.
“Lurus
saja, Pak,” jawabnya cepat.
“Pak?”
Allen menoleh sekilas, mengumandangkan tawanya.
Seketika
Olivia tersadar. Tersipu.
“Aku
terlalu sering keluar berdua dengan boss-ku,”
gerutunya kemudian.
Allen
tersenyum lebar. “Kamu mengingatkanku pada Cassie, Liv.”
“Cassie?”
Olivia menoleh cepat.
“Cassandra,
adik bungsuku,” jawab Allen, tanpa kehilangan senyumnya. “Menikah tidak
membuatnya kehilangan keceriaan seorang anak-anak. Apalagi dia sehari-harinya
bergaul dengan anak-anak. Dia kesayangan Daddy.”
Seketika
Olivia memahaminya. Seorang ayah dan anak perempuannya. Hubungan paling indah
yang pernah ia lihat, alami, dan rasakan sendiri.
“Dan
kamu harus tahu, suaminya mirip sekali dengan Daddy.”
“Oh,
ya?” ada antusiasme yang cukup kental dalam suara Olivia.
“Ya,”
angguk Allen. “Baik fisik maupun sifatnya.”
“Wow!”
“Dan
aku bisa melihat bahwa ayahmu adalah cinta pertamamu, Liv. Seorang ayah yang
baik hampir selalu jadi cinta pertama anak-anak perempuannya. Maka tidak heran
bila nanti kamu mencari suami yang seperti ayahmu.”
Olivia
kehilangan kata.
* * *
Seusai
mampir makan, James meminta kunci mobil Luken. Dengan jelas dilihatnya Luken
sering kehilangan fokus setelah menjemputnya di hotel tadi. Tanpa banyak
mengelak, Luken pun menyerahkan kunci mobilnya. Keduanya kemudian melanjutkan
perjalanan menuju ke Purwakarta dengan James berada di balik kemudi.
“Aku
kadang-kadang berpikir bahwa Coffee
Storage itu menyimpan kutukan sendiri bagi kita, Om,” celetuk Luken
tiba-tiba.
“Hah?”
James menoleh sekilas. “Kamu ini ngelindur
apa bagaimana?”
“Kisah
boss dan sekretaris terulang lagi,”
desah Luken. “Kayaknya aku juga gagal.”
“Sudah
pasti?”
“Ya,
belum, sih...”
“Kamu
ini laki-laki, kok, kayak terong direbus,” nada suara James terdengar begitu
penuh celaan. “Mbok yao yang tegak, tegar.”
“Kehilangan
itu sudah pasti rasanya sangat menyakitkan, Om,” gumam Luken. “Aku nggak akan
kehilangan kalau nggak merasa pernah mendapatkannya.”
James
terdiam. Sejak Luken kehilangan Irene, belum pernah ia mendengar suara Luken
seputus asa ini. Walaupun ia tahu sebesar apa cinta Luken pada Irene. Ternyata
semua yang terjadi pada Luken jauh lebih menyakitkan daripada yang ia tahu.
“Memangnya
dia sudah ada yang punya?” tanyanya kemudian.
“Sepertinya
sudah,” suara Luken terdengar patah. “Dia tadi dijemput laki-laki itu. Dan dia
sengaja berdandan cantik hari ini.”
“Hm...
Sudah pasti dia punya hubungan
istimewa dengan laki-laki itu?”
“Aku
nggak tahu,” Luken menggeleng lemah. “Tapi selama dua tahun jadi sekretarisku,
Olivia hanya pernah berpacaran dengan laki-laki kucrut bernama Miko. Itu pun dia datar-datar saja, tidak seperti
belakangan ini. Lain, Om.”
“Hm...”
Kabin
mobil itu seketika diliputi keheningan. Luken menguap dan menggeliat. Entah
kenapa tubuhnya terasa penat sekali saat ini. James menoleh sekilas.
“Kamu
kalau mau tidur, tidur saja, Luk. Aku nggak akan kesasar, kok.”
Luken
tertawa ringan. Tapi ia sudah tak punya daya lagi untuk membantah ucapan
pamannya. Maka ia merebahkan sedikit sandaran jok agar ia bisa memejamkan mata
dengan lebih nyaman.
* * *
Setelah
memarkir mobilnya di belakang mobil Olivia di carport, Allen membuka pintu bagasi dan mengeluarkan sebuah kotak
seukuran dua kali dos mie instan dan sebuah tas kertas dari dalamnya. Olivia
menunggunya dengan sabar sambil tetap menyandang hobo bag dan menenteng tas laptop.
“What’s that?” gadis itu mengerutkan
keningnya.
“Oleh-oleh
buat kalian,” senyum Allen. Mata abu-abu kehijauannya terlihat berbinar-binar.
“Dan ini untukmu,” ujarnya sambil menyerahkan sebuah tas kertas ke tangan
Olivia.
“Oh,
Allen...,” wajah Olivia terlihat menyerah. “Thank
you so much.”
“You’re welcome,” senyumnya tetap tidak
ketinggalan.
Oliva
kemudian mengajak laki-laki itu masuk lewat garasi. Motor Maxi ada. Begitu juga
mobil Arlena. Sisi sebelah kanan masih kosong.
“Papa
belum pulang,” gumamnya, menoleh sekilas pada Allen yang berjalan di
sebelahnya.
Di
ruang tengah, Carmela tengah duduk sendirian sambil menonton televisi. Wajah
setengah mengantuknya jadi lebih cerah ketika melihat Olivia pulang.
“Mas
Maxi mana, Mel?” gadis itu mengecup puncak kepala adik bungsunya.
“Ada,
lagi mandi. Baru saja pulang.”
“Eh,
kenalin. Itu Allen, teman Mbak Liv.” Olivia berbalik, “Allen, this is Carmela, my sister. The youngest.”
Allen
segera menyalami Carmela dengan hangat setelah meletakkan barang bawaannya di coffee table.
“Hi, Carmela,” senyum Allen.
“Hi! Nice to meet you,” ucap Carmela
manis.
“Nice to meet you, too,” suara Allen
terdengar antusias. “You’re so sweet.”
“Just like me!” sahut Olivia. Jahil.
Allen
tertawa lebar.
Setelah
membuat minuman, Olivia kemudian berpamitan untuk mandi. Carmela dengan senang
hati menemani bule ganteng itu. Dengan bahasa Inggris yang cukup lancar, ia
meladeni Allen. Sejenak kemudian keduanya sudah tertawa-tawa karena berbagi
cerita-cerita kocak.
Laki-laki
itu tidak menolak ketika Carmela menyodorkan satu stoples besar keripik
singkong asin-manis buatan Minarti. Dan laki-laki itu kemudian seolah tidak
bisa berhenti mengunyah.
“Oh,
ini enak sekali!” gumamnya sambil mengambil keripik itu segenggam lagi.
“Mau
yang pedas?” tawar Olivia iseng. Diraihnya stoples yang lain. “Tapi jangan
banyak-banyak, nanti sakit perut.”
Setelah
mencicipi sedikit dan langsung meneguk es teh lemonnya, Allen kembali pada
keripik yang asin-manis.
“Enak,”
komentarnya. “Tapi agak terlalu pedas untukku.”
Carmela
tertawa melihatnya. Tak berapa lama Maxi muncul dari lantai atas dengan wajah
segar. Carmela kemudian memperkenalkan keduanya. Segera saja ketiganya terlibat
obrolan yang asyik.
Dibantu
Carmela, Maxi membuka dos yang disodorkan lagi oleh Allen. Isinya
berbungkus-bungkus makanan khas Manado seperti kacang goyang, halua kenari,
dodol Amurang, abon cakalang, cakalang fufu (asap) dan rica (sambal) roa dalam
kemasan botol. Wajah keduanya tampak girang. Carmela segera mengambil dua
stoples kecil dan sebuah piring untuk tempat kacang goyang, halua kenari, dan
dodol Amurang. Olivia muncul bersamaan dengan terdengarnya derum halus mobil
Prima memasuki garasi.
Beberapa
menit kemudian Prima dan Arlena muncul. Keduanya menyambut Allen dengan hangat.
Tak lupa Prima memberikan masing-masing sebuah kecupan di kening Carmela dan
Olivia sebelum naik ke kamar untuk menyegarkan diri. Arlena mengucapkan terima
kasih berkali-kali atas semua oleh-oleh itu.
Pada
satu detik, Allen menatap Olivia. “Suka kainnya?”
Olivia
langsung mengangguk. Sesampai di kamar, ia tadi sempat membuka oleh-oleh khusus
untuknya. Ada tiga potong kain tenun Bentenan khas Minahasa yang berbentuk
seperti sarung. Ia sempat ternganga melihat keindahan kain-kain itu. Betapa
masih banyaknya hasil budaya bangsa sendiri yang ia belum kenal!
“Indah
sekali kain-kain itu, Allen,” desahnya. “Terima kasih.”
Ketika
Prima muncul kembali seusai mandi, Arlena, Olivia, dan Carmela beriringan untuk
menyiapkan makan malam mereka. Tinggal menggoreng tempe yang sudah dibumbui
Muntik dan disimpan di kulkas, menyiapkan tauge pendek bersih yang juga ada di
kulkas, membelah telur asin, dan memanaskan kuah rawon. Dengan dibantu Carmela,
Olivia menyiapkan perangkat makan terbuat dari keramik yang biasanya mereka
pakai untuk menjamu tamu. Siang tadi Arlena juga menyuruh Muntik untuk membuat
kolak pisang, ubi, dan kolang-kaling yang kini sudah aman berada di dalam
kulkas.
Tepat
pukul tujuh, Arlena menggiring tamu mereka menuju ke ruang makan. Setelah duduk
di sebelah Olivia, sejenak Allen terkesima dengan kehangatan keluarga itu. Apalagi
ketika melihat Indonesian beef black soup
yang sangat disukainya. Lengkap dengan tauge pendek segar dalam mangkuk terpisah,
tempe goreng yang masih hangat, telur asin, sambal, dan kerupuk udang.
Sup yang sungguh-sungguh
eksotis!
“Ini
jauh lebih enak daripada yang di sebelah kantormu itu, Liv!” seru Allen spontan
setelah memasukkan sesendok nasi rawon ke dalam mulutnya. “Yang itu saja
rasanya sudah enak, apalagi ini.”
“Syukurlah
kalau kamu suka,” Olivia meringis untuk menutupi hasratnya menenggelamkan diri
dalam samudera mata Allen.
“Anda
memasak sendiri, Bu Arlena?” Allen bertanya dengan nada antusias.
Arlena
terlihat sedikit tersipu. “Aku tidak terlalu bisa memasak, Allen. Ini semua
yang menyiapkan adalah asisten rumah tangga kami.”
“Oh...,”
Allen manggut-manggut. “Saya suka sambalnya. Tidak terlalu pedas. Jujur, saya
ngeri melihat Mela mengambil sambal sesendok besar.”
Semuanya
tertawa mendengar ucapan polos Allen. Arlena memang sudah wanti-wanti pada Muntik agar sambal yang dibuatnya tidak terlalu nendang seperti biasanya.
Makan
malam itu berlangsung sangat menyenangkan bagi mereka, terutama bagi Allen.
Laki-laki itu tak segan menambah lagi makannya sebanyak setengah porsi. Dan ia
masih menemukan kejutan lain dalam bentuk dessert
dingin manis dengan rasa dan aroma unik. Dengan sabar Olivia menjelaskan
tentang apa saja yang terkandung dalam semangkuk kecil kolak itu.
“Suka
nasi goreng, Allen?” celetuk Prima tiba-tiba.
“Ya,”
angguk Allen. “Saya suka sekali.”
“Dia
ahli membuat nasi goreng,” tatapan Prima jatuh pada Olivia.
Gadis
itu seketika tersipu.
“Datanglah
besok pagi ke sini agar bisa merasakan nasi goreng buatannya,” senyum Prima.
Seketika
Olivia dan Allen bertukar tatapan. Allen kemudian kembali menatap Prima.
“Pak
Prima, saya memang besok akan datang ke sini,” ucapnya dengan nada sangat
sopan. “Agak siang, karena saya hendak mengajak Livi menghadiri resepsi
pernikahan teman sekantor saya.”
“Oh...,”
Prima manggut-manggut. “Tinggal bilang saja padanya kalau ingin nasi goreng.”
Allen
tersenyum lebar. Mengangguk dengan wajah berseri-seri. Dan Arlena terpaksa
mengakui, bahwa bagian yang terindah dari wajah Allen adalah mata abu-abu
kehijauan yang bersinar-sinar penuh semangat.
Pantas kalau Livi tertarik
padanya.
Ia
mengangguk samar.
Pantas sekali!
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Thanks to Heiz R.
You're welcome nyah
BalasHapusallen lek dibayangno kok koyok matt bomer yah... tapi sayang jeruk maem jeruk dianya. suwun mbak, dino iki pas prei, isine akeh. tuwuk lek moco.... seneeeennnn, lha kok touiine (baca: towine alias kadohan pol)
BalasHapusGood post mbak
BalasHapus