Senin, 28 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #7-1








Sebelumnya  



* * *


Tujuh


‘Dia kularikan ke Sentul, mau lihat-lihat rumah bandarku. Sekarang aku lagi menunggunya menjemputku. Kamu aman hari ini.’

Letta memaksa diri untuk tersenyum membaca pesan Arinka. Tentu saja ia tahu betul siapa yang dimaksud Arinka dengan ‘dia’. Dan berita itu sedikit banyak membuat hatinya tenang. Ia tak harus bertemu dengan ‘dia’ menjelang siang nanti di sanggar. Tapi di sisi lain ia tak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa kecewa.

Bunyi bel menyadarkannya. Ia beranjak dan menemukan Leander sudah berdiri di depan pintu rumahnya dengan wajah segar.

“Pagi, sayangku,” ucap Leander dengan mata berbinar.

“Pagi juga, ganteng!” sahut Letta di tengah gelak tawanya.

Dibukanya pintu lebar-lebar. Membuat Leander melanjutkan langkah kakinya.

“Mas Lean sudah sarapan?”

“Yup!” Leander mengangguk. “Beberapa hari ini Rena mengirimiku ransum lengkap tiap pagi. Pesanan Mamam,” Leander meringis.

Letta tergelak lagi.

“Teh hangat?” tawarnya begitu Leander duduk di salah satu kursi makan.

“Boleh...,” angguk Leander.

Beberapa saat kemudian sudah terhidang secangkir teh hangat di depan Leander.

“Mau makan lagi?” Letta duduk di seberang Leander.

“Nggak, Let, makasih,” sahut Leander sambil menyesap tehnya. “Aku tungguin kamu saja. Nggak usah buru-buru makannya.”

Letta mengangguk. Hari Sabtu begini memang ia selalu lebih santai. Tak perlu khawatir terlambat sampai di sekolah karena terjebak macet di jalanan dalam kota. Maka ia pun menikmati sarapannya dengan nikmat. Apalagi ada Leander di depannya.

“Hm...,” Leander meletakkan cangkir tehnya. Wajahya tampak serius. “Kemarin itu, waktu aku sakit, Mamam sempat menanyaiku soal pernikahan kita. Menurutmu bagaimana, Let?”

Letta menghentikan gerakannya menyendok makanan. Ia balas menatap Leander. Segera saja ia menemukan harapan yang begitu besar tergambar sempurna dalam bening mata coklat Leander. Tanpa sadar ia mendesah.

“Kalau kamu belum mau membicarakannya, tak apa-apa, Let,” ujar Leander cepat. Dengan cahaya menyurut dalam tatapannya.

“Bukan!” tukas Letta sambil menggeleng. “Bukan belum mau membicarakannya. Tapi...,” bahu Letta turun perlahan, “... apakah Mas Lean sendiri benar-benar sudah siap?”

Leander seketika tercenung. Dikerjapkannya mata beberapa kali sambil menatap cangkir tehnya. Ia kemudian menghela napas panjang.

“Aku ingin menikah denganmu,” gumamnya sambil mengangkat wajah. Kembali menatap Letta. “Hanya denganmu, Let. Tapi di lain pihak, aku merasa bahwa masih ada banyak hal yang harus kita siapkan. Aku tak mau mempermainkanmu. Aku serius dengan hubungan kita ini. Hanya saja... itu tadi, aku...”

“Belum siap,” sahut Letta. “Am I right?

Leander mengangguk lemah. Letta tersenyum. Sesungguhnya ia sudah siap kapan pun Leander memintanya untuk melanjutkan langkah menuju ke gerbang tujuan mereka berikutnya. Ia seutuhnya tahu bahwa Leander tidak berniat main-main dengannya. Tapi seutuhnya pula ia memahami bahwa memang Leander belum siap. Laki-laki itu masih punya target-target tertentu untuk dicapai.

Ia sendiri merasa antara siap dan tidak siap. Siap, karena ia sudah yakin dengan laki-laki pilihannya itu. Tidak siap, karena ia masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Apakah ‘sesuatu’ itu, ia sendiri tak mampu menjabarkannya.

“Aku akan berumur 27 akhir tahun ini,” Letta meneruskan makannya. “Aku sendiri masih menganggap diriku muda. Karenanya aku bisa menunggu sampai Mas Lean benar-benar siap dan tidak terpaksa secepatnya menikah hanya karena faktor umurku. Kalau Mamam mendesak lagi, katakan saja begitu. Kita serius, tapi untuk sekarang ini belum siap. Dan kita sama sekali nggak mau menikah secara terpaksa karena terdesak waktu. Bagaimana?”

“Ya,” Leander manggut-manggut. “Aku sepenuhnya setuju dengan pendapatmu.”

Keduanya bertatapan lagi. Dengan sorot mata penuh kelegaan.

* * *

Dika menolak dengan halus ketika Wiyoko dan Dayu menawarinya sarapan pagi ini. Walaupun keduanya agak memaksa, tapi Dika berhasil berkelit. Ia memang sudah menyiapkan diri dengan sarapan lebih dulu di rumah.

“Ya, sudah,” Wiyoko menyerah. “Panggil Arinka saja, Ma.”

Sebelum Dayu beranjak, Arinka sudah muncul dari arah dalam rumah. Dika sempat terperangah dengan penampilan Arinka pagi ini. Benar-benar berlawanan dengan biasanya.

Beberapa kali bertemu Arinka, Dika melihat sosok yang sama. Terkesan serius dan profesional dengan busana yang menunjang. Rok selutut berwarna gelap, blouse berwarna muda yang ditutupi blazer sewarna dengan roknya, sepatu berhak tinggi berwarna gelap juga, dan rambut sebahunya yang digerai lepas begitu saja. Tapi kali ini Arinka bertransformasi menjadi sosok yang benar-benar lain.

Gadis itu mengenakan celana jeans yang cukup ketat membalut tungkai, kemeja flanel kotak-kotak merah-hitam-biru dengan lengan panjang yang digulung hingga ke siku, dan sepasang sepatu flat dari bahan jeans mengalasi kakinya. Penampilan santai itu ditambah dengan kacamata hitam yang menyangkut di atas kepala layaknya bando, dan sebuah tas besar dengan bahan yang sama dengan sepatu dan celananya. Secara keseluruhan, penampilan Arinka kali ini seperti gadis remaja yang baru duduk di bangku SMA atau awal kuliah.

“Mau berangkat sekarang?” Arinka menatap Dika dengan mata bulatnya.

“Boleh,” Dika mengangguk sambil tersenyum.

Keduanya kemudian berpamitan pada Wiyoko dan Dayu. Dengan sikap biasa, Dika membukakan pintu depan kiri SUV-nya untuk Arinka.

“Terima kasih,” ucap Arinka manis, sambil meloncat masuk ke dalamnya.

Aroma kabin mobil itu menyenangkan. Campuran antara pengharum dengan aroma segar yang tidak menusuk hidung, dengan parfum beraroma dasar musk yang dipakai Dika. Aroma musk itu makin mendominasi ketika Dika masuk ke dalam mobil. Menyenangkan, tapi tidak memabukkan.

“Mas, bisa mampir ke minimarket di depan situ, ya?” Arinka menunjuk ke satu arah, ketika mobil itu hendak keluar dari gerbang kompleks. “Mau beli cemilan.”

“Oh, boleh... Boleh...”

Dengan mulus, Dika membelokkan mobilnya ke area parkir sebuah minimarket. Begitu mobil berhenti, Arinka segera meloncat keluar. Membuat Dika sempat terpana sejenak melihat kelincahannya. Dika buru-buru ikut keluar.

Ketika Arinka mengambil sebuah keranjang, Dika segera menyerobot keranjang itu tanpa banyak kata. Arinka sempat menatapnya sejenak, tapi Dika pura-pura tidak melihat. Gadis itu kemudian berbelanja dengan sangat cepat, seolah sudah ada catatan di tangannya. Beberapa macam keripik dan kacang berpindah ke dalam keranjang. Juga kotak-kotak jus buah, beberapa botol air mineral, dan beberapa botol teh aneka rasa.

“Sini, Mas, aku yang mengantre,” Arinka berusaha meraih keranjang dari tangan Dika, mulai ber-‘aku’.

Tapi Dika menepisnya dengan sangat halus. “Sekalian aku mau isi pulsa, Mbak,” senyumnya.

Arinka mengangkat alis. Menatap Dika dengan ekspresi sangat lucu. Membuat Dika melebarkan senyumnya sambil mulai mengantre. Arinka tak mau jauh-jauh dari Dika. Ia benar-benar tak ingin Dika sekalian membayarkan belanjaannya.

Tapi rupanya Dika adalah laki-laki yang sangat pandai berkelit. Dengan alasan mau ‘tarik tunai’ melalui kasir, ia sudah menyodorkan kartu debitnya. Membuat Arinka yang sudah membuka dompet kelihatan seperti orang tolol. Ketika urusan itu selesai, Dika juga tidak membiarkan Arinka membawa kantong belanjaan ke mobil. Ia yang melakukannya. Dengan wajah datar.

“Masih mau mampir lagi, Mbak?” tanya Dika halus sebelum menginjak pedal gas.

“Oh, enggak,” Arinka menggeleng cepat. “Oh, ya, just Arinka. Nggak usah pakai ‘mbak’.”

“Oke...,” Dika tersenyum lebar.

“Ngomong-ngomong, pacar Mas Dika sudah tahu kalau Mas pergi dengan perempuan lain yang nggak jelas, weekend begini?”

“Hah?” Dika menoleh sekilas. “Aku masih jomlo, kok, Rin. Tenang saja.”

“Oh...,” Arinka manggut-manggut, walaupun sudah tahu jawabannya.

“Jangan-jangan, malah pacarmu yang nanti ngamuk?” Dika meringis.

“Pacar dari Hongkong?” gumam Arinka.

“Eh?”

“Nggak ada,” bibir Arinka mengerucut.

“Belum ada,” tukas Dika. “Kalau nggak ada, kok, kesannya pesimis banget.”

“Hm... Ya, ya, belum ada,” ulang Arinka dengan nada patuh, membuat Dika tertawa.

“Kok, belum ada, kenapa?”

“Lha, Mas Dika sendiri, kenapa?” Arinka dengan tangkas membalik keadaan.

“Hahaha...,” Dika tergelak ringan. “Belum ada yang cocok.”

“Ha! We have the same answer!” sahut Arinka, penuh kemenangan. “Same problem. Kadang-kadang juga nggak tahu harus mulai dari mana.”

“Yup.”

“Oh, ya, belanjaan tadi, tolong, dimasukkan ke invoice, ya?”

“Hah?” Dika menoleh sekilas. “Nggak usah... Sudahlah, Rin. Anggap saja kita piknik kali ini. Aku juga sudah lama banget nggak jalan ke luar tanpa kedua keponakanku. Anak-anak itu bikin pasaranku mati saja.”

Arinka tergelak mendengar ucapan Dika.

“Muridnya Letta, kan, ya?” tanyanya kemudian.

“Ya,” angguk Dika, “yang besar. Yang kecil teman sekelas keponakannya.”

“Oh... Vanda? Rendy?”

“Yang perempuan. Vanda.”

I see,” Arinka manggut-manggut.

“Kamu punya keponakan?”

“Ada...,” Arinka mengangguk. “Empat ekor. Sepasang dari abang sulung, sepasang dari abang tengah.”

“Meriah, dong?” senyum Dika.

“Jauh semua, Mas,” Arinka menghela napas panjang. “Mas Dana, abangku yang sulung lagi ambil S3 di Inggris. Istri sama anak-anaknya di Jogja. Nggak ikut. Nggak bisa ninggalin kerjaan. Dia dosen, sama kayak Mas Dana. Yang tengah, Mas Mada tinggal di Denpasar. Punya usaha pariwisata di sana.”

“Oh...,” Dika manggut-manggut. “Kalau aku tinggalnya sekavling, sih. Jadi, ya, anak-anak sudah biasa membuntuti aku. Apalagi yang kecil.”

Arinka tersenyum.

Handsome guy, great uncle, a gentleman... Dari keluarga baik-baik, cerdas, karir mapan... Hm... What else?

* * *

Kali ini, Letta dan anak-anaknya akan berlatih secara keseluruhan sambil menghitung durasi. Sudah banyak perubahan dari rencana awal.

Daniel, sang pembuat skenario sekaligus sutradara, sebetulnya sudah mem-plot Mala untuk jadi Kleting Kuning. Tapi masalahnya, yang benar-benar menguasai tari Gambyong hanya tiga orang saja : Mala, Nurul, dan Mischa. Padahal butuh empat orang untuk memerankan semua Kleting. Akhirnya Daniel terpaksa mengubah adegan pembukaan. Ketiga orang Kleting menari Gambyong, sedangkan Kleting Kuning – yang akhirnya diperankan oleh Diana – hanya diperbolehkan menonton saja oleh ibu tirinya.

Mereka berlatih dengan sangat serius, termasuk Letta. Karena ia tahu betul, murid-muridnya juga sangat serius menyiapkan mini operet ini. Bahkan jauh hari, Teddy – yang memiliki studio pribadi di rumahnya – sudah menyatakan bahwa seluruh keperluan perekaman narasi, dialog, dan musik latar bisa dilakukan di studionya. Mereka memang merencanakan untuk melakukan sistem dubbing agar tidak repot dengan mikrofon dan sebagainya.

“Haduh! Kita kelebihan durasi!” keluh Daniel di akhir latihan.

“Berapa, Dan?” tanya Letta.

“Sekitar lima sampai tujuh menit, Bu,” Daniel menghembuskan napas keras-keras. “Mau nggak mau harus dipotong.”

“Wah, banyak juga,” gumam Letta.

“Dan, tarinya nggak usah penuh,” celetuk Mala. “Dipotong saja di tengah. Kan, ceritanya kita lagi latihan. Terus, langsung saja masuk adegan ada yang datang bawa rumpian soal sayembara Ande-Ande Lumut.”

“Memangnya boleh tarian dipotong gitu?” Daniel menatap Mala dengan kening berkerut.

“Nggak apa-apa... Kan, ceritanya cuma sekadar latihan.”

“Hm... Oke, deh! Ya, sudah, latihannya sekian dulu,” putus Daniel. “Sabtu depan kita pakai skenario baru. Cuma pemotongan saja. Nanti coba aku utak-atik lagi.”

Latihan kali ini selesai lebih cepat. Letta terpaksa menunggu dulu kedatangan Leander yang sudah berjanji hendak menjemputnya. Ia melewatkan waktu itu dengan mengobrol bersama Mala dan Kana di gazebo. Tengah asyik berbincang, Handoyo muncul. Letta segera berdiri untuk menyalaminya dan bertukar sapa.

“Kok, sudah sepi, Ndhuk?” Handoyo menatap Mala.

“Iya, Yang,” jawab Mala. “Tadi dicoba latihan secara keseluruhan, ternyata kepanjangan. Jadi ada bagian yang harus dipotong. Daniel mau bikin ulang skenarionya.”

Handoyo manggut-manggut. “Kalau begitu, tunggu di dalam saja. Ayo!”

“Terima kasih, Pak,” tolak Letta dengan halus. “Biar langsung kelihatan kalau Mas Leander datang.”

“Oh...,” senyum Handoyo. Laki-laki sepuh itu kemudian kembali menatap Mala. “Tolong, bikin minum, ya, Ndhuk?”

Mala segera mengangguk sambil menarik tangan Kana. “Bantuin, Na.”

Gadis kecil itu menurut tanpa protes.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar:

  1. Jadi inget kalau di kampung keponakan semua ngikutin aku mulu😂😂😂

    BalasHapus
  2. Kleting. :D
    Jadi ingat cerpennya Om Pairunn. Hehehe...

    BalasHapus
  3. Hm .......
    What else?
    Ouch meleleeeeeh

    BalasHapus
  4. Weh kayanya aku ketinggalan banyak ini. Besok aku sanja lagi ya. 😃

    BalasHapus