Sabtu, 26 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #6-3










* * *


Letta tak lama duduk sendirian di ruang tengah rumah Leander. Beberapa menit setelah Meiske berlalu, Serena muncul. Keduanya kemudian berpelukan dan cipika-cipiki.

Baby gimana, nih, di dalam?” Letta mengelus perut Serena.

“Oh, baiiik...,” wajah Serena tampak berseri-seri.

Letta kembali tersenyum. “Jadi, Mas Lean gimana?”

Serena menghela napas panjang. “Ya, itulah... Maag-nya kambuh. Sama Mas Ludy disuruh bed rest tiga hari ini. Tapi sudah mulai pulih, kok.”

“Sejak kapan?” Letta mengerutkan kening.

“Sebetulnya sudah terasa sejak Sabtu malam. Tapi dia baru menelepon Mas Ludy Minggu pagi-pagi kemarin.”

“Begitu juga dia nggak ngomong apa-apa,” keluh Letta.

“Mas Lean nggak mau Mbak Letta khawatir,” ujar Serena dengan nada menenangkan. “Lagipula nggak parah, kok. Sama Mas Ludy memang sengaja disuruh bed rest biar dia benar-benar istirahat. Tadi juga, aku dipaksa Mamam untuk kasih kabar ke Mbak Letta.”

Letta manggut-manggut walaupun sesungguhnya sama sekali merasa tak puas.

“Maaf, Mbak,” ucap Serena kemudian, dengan suara rendah. “Mas Lean sendiri yang melarangku memberitahu Mbak Letta. Aku sendiri nggak tahu, sedang ada apa sebenarnya antara Mbak dan Mas.”

“Dia bilang apa?” Letta menatap Serena.

Serena menggeleng. “Nggak ngomong apa-apa. Cuma...”

Letta mengangkat alisnya. Menunggu.

Serena menghela napas panjang sebelum meneruskan ucapannya. “Sebelumnya aku minta maaf, Mbak. Bukan maksudku mencampuri urusan Mas Lean dan Mbak Letta. Tapi...,” Serena mengalihkan tatapannya sejenak sebelum kembali menatap Letta. “Mas Lean sempat bertanya padaku, apakah aku pernah tertarik pada laki-laki lain selain Mas Ludy. Aku jawab nggak pernah, karena memang nggak pernah. Lantas... apakah...,” Serena kembali mengalihkan tatapannya sejenak.

Letta terhenyak. Ia memejamkan mata beberapa saat lamanya. Ia kemudian menggeleng.

“Aku nggak pernah berselingkuh, Ren,” gumamnya. “Ya, aku merasa nyaman mengobrol dengan seorang laki-laki yang belum lama aku kenal. Tapi sungguh, nggak pernah lebih dari itu. Aku nggak berselingkuh dengannya. Dia hanya mengantarku pulang ketika Mas Lean nggak bisa menjemputku seusai latihan drama dengan murid-muridku.”

Serena menatap Letta dengan keprihatinan penuh. Ia cukup percaya pada Letta. Tapi di lain pihak, ia juga mengenal Leander dengan sangat baik. Leander yang sekarang bukanlah type laki-laki berangasan pendek pikir yang gampang mengumbar amarah ataupun perasaan lainnya yang bersifat negatif seperti dulu. Leander saat ini sudah jauh lebih dewasa dan matang. Dan apa yang ditanyakan Leander kemarin pasti ada alasannya sendiri.

“Mbak, aku percaya,” Serena mengangguk sambil tersenyum. “Dan kalaupun ada hal lain yang Mbak rasakan, Mbak akan mampu menghindar dan mengendalikan diri.”

Seutuhnya Letta merasa tertohok dengan sangat telak mendengar ucapan Serena.

Menghindar?

Mengendalikan diri?

Letta terhenyak. Tertunduk.

Sementara ada dorongan yang begitu besar untuk selalu mendekat ‘ke sana’... Yang aku tak tahu bagaimana mengendalikannya...

Terdengar pintu kamar Leander terbuka. Letta dan Serena sama-sama menoleh. Mahmud melangkah keluar.

“Mbak,” Mahmud mengangguk sopan. “Saya pamit dulu. Mau kembali ke bengkel.”

“Oh, iya, Mas Mahmud,” sahut Serena, diiringi senyum Letta.

Letta kemudian menatap Serena, seolah minta ijin untuk masuk kamar Leander. Serena mengangguk sambil tersenyum. Letta menyelinap masuk, nyaris tanpa suara. Leander tengah duduk bersandar di ranjangnya sambil menunduk menatap layar ponselnya.

“Mamam nggak istirahat, Mam?” gumamnya dengan nada lembut sambil mengangkat wajah.

Seketika, ia seolah tak bisa mengedipkan mata.

* * *

Arinka menghembuskan napas lega ketika ia berhasil memarkir mobil tujuh menit sebelum waktu yang ia janjikan. Ngaret memang bisa dibilang masih jadi ‘kebudayaan’. Tapi ia tak mau menuruti ‘kebudayaan’ itu. Baginya, profesionalisme erat kaitannya dengan perilaku tepat waktu. Dan ia sangat menjunjung tinggi sikap profesional. Salah satunya dengan berusaha untuk tidak ngaret.

Beberapa belas detik kemudian ia sudah memencet bel di dekat pintu kantor konsultan yang ditujunya. Dika sendiri yang menyambutnya dengan ramah.

“Mari, Mbak Arinka...,” Dika merentangkan tangan kanannya.

Beberapa menit kemudian, Arinka dan Dika sudah mendiskusikan proyek mereka dengan sangat asyik. Dika seutuhnya bisa menangkap ide Arinka, sekaligus menerjemahkannya dengan sangat tepat. Bahkan banyak detail yang bisa diterjemahkan Dika dengan lebih baik.

Diam-diam Arinka membenarkan ucapan Letta. Bahwa sesungguhnya Dika tidaklah sekaku kelihatannya. Hanya perlu topik yang tepat untuk memecahkan kebekuan.

“Jadi deal, ya?” Arinka menegaskan sekali lagi. “Proyek ini saya serahkan ke kantor ini. “

“Semoga nggak mengecewakan Mbak Arinka,” senyum Dika.

“Kelihatannya sama sekali tidak,” Arinka tertawa.

Pembicaraan mereka makin gayeng dengan bergabungnya Rico dan Puti yang baru kembali dari proyek lain. Ketika jam kantor usai, mereka pun menyudahi pertemuan itu.

Sebetulnya pembicaraan Dika dan Arinka belumlah final. Tapi terseling dengan kehadiran Rico dan Puti. Maka Arinka memberanikan diri untuk meminta waktu Dika agar pembicaraan mereka selesai hari itu juga.

“Bisa kita lanjutkan di luar?” tanya Arinka dengan wajah sangat polos.

Dika yang menyadari bahwa memang masih banyak yang harus mereka bicarakan, mengangguk tanpa pikir panjang. Ia kemudian mengusulkan nama sebuah kafe di dekat kantor itu sebagai tempat melanjutkan meeting mereka. Arinka langsung menyetujuinya.

Dengan mobil masing-masing, mereka beriringan menuju ke kafe tujuan. Arinka dengan senang hati mengacungkan jempol untuk pilihan Dika.

Masuk ke dalam Kafe Private Room itu terasa seperti masuk ke dalam rumah yang sangat nyaman. Interiornya terkesan hangat dan menimbulkan perasaan santai. Bangunan kafe itu menempati tanah tersendiri, bukanlah merupakan kompleks ruko. Dari luar terlihat cukup sederhana, tak membuat orang ragu untuk masuk.

“Kafe ini dulu termasuk proyek pertama kantor kami. Puti yang mengerjakan interiornya,” senyum Dika sambil membuka-buka buku menu.

“Wow!” Arinka melihat berkeliling. “Tapi kesannya tetap up to date,” pujinya tulus. “Segar. Sama sekali nggak kelihatan sudah berumur sekian tahun atau sejenisnya.”

“Ya,” Dika mengangguk. “Itulah jeniusnya Puti.”

“Hm... By the way, Mbak Puti itu istri Mas Rico?” tanya Arinka, terkesan sambil lalu.

“Oh, bukan...,” Dika menggeleng. “Puti itu adik Mas Rico.”

“Oh...,” Arinka manggut-manggut.

Sambil menunggu pesanan datang, keduanya kembali membicarakan proyek mereka. Dika dengan tekun mencoret-coret kertas catatannya sambil mendengarkan pemaparan Arinka. Sesekali ia menimpali dan Arinka terlihat mengangguk-angguk.

“Jujur, ya, Mbak, konsep rumah bandar untuk lansia ini belum booming,” celetuk Dika pada suatu ketika. “Kalau boleh, saya ingin lihat bentuk jadinya yang sudah ada secara keseluruhan.”

“Bisa... Bisa...,” Arinka mengangguk cepat. “Kapan Mas Dika punya waktu, bisa saya ajak ke Sentul.”

“Saya kosong cuma Sabtu sama Minggu,” Dika kelihatan berpikir-pikir.

“Sabtu besok ini, bagaimana?” tawar Arinka.

“Bisa... Bisa...,” Dika manggut-manggut. “Jam berapa saya boleh jemput Mbak Arinka?”

“Agak pagi saja, bagaimana? Biasanya siangan dikit sudah macet.”

“Hm... Jam tujuh?”

“Saya biasanya berangkat ke sana jam enam pagi kalau week end,” Arinka meringis.

“Oh?” Dika menaikkan alisnya. “Baik kalau begitu. Sebelum jam enam, saya usahakan sudah nongol.”

“Ha! Bagus!” wajah Arinka terlihat berseri-seri, membuat Dika tercenung sejenak.

Entah kenapa, ia selalu suka dengan ekpresi polos layaknya anak-anak seperti Arinka saat ini. Apalagi didukung dengan sosok Arinka yang mungil. Seperti ada dua hal yang berlawanan berpadu jadi satu dalam diri Arinka.

Kerapuhan sekaligus kekuatan. Kepolosan sekaligus kemauan yang kuat. Keceriaan seorang gadis kecil sekaligus kedewasaan yang terpancar sempurna.

Dan gadis mungil itu sudah menunjukkan posisinya. Yang pasti tidak diraihnya dengan cara yang mudah.

Membuat kekaguman itu sedikit demi sedikit kian melebar dalam hati Dika.

* * *

“Hai...,” Letta melangkah ragu-ragu, mendekati ranjang Leander.

“Hai juga,” Leander tersenyum sambil memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak. Diletakkannya ponsel di atas nakas.

“Sudah mendingan?” Letta duduk pelan-pelan di tepi ranjang Leander.

“Sebetulnya aku nggak apa-apa,” Leander melebarkan senyumnya.

“Kalau nggak apa-apa, nggak bakal juga menghubungi Dik Ludy,” tukas Letta halus.

Leander tertawa ringan.  “Sudah lama?” tanyanya kemudian.

Letta menggeleng. Leander mengulurkan tangan. Menyibakkan rambut Letta yang jatuh menutupi pipi.

“Kamu pulang mengajar langsung ke sini?” tanya Leander lembut.

Letta mengangguk.

“Siapa yang kasih tahu kamu kalau aku sakit?”

“Tadi Rena WA aku. Disuruh Mamam, katanya.”

Leander mendengus sedikit. “Aku hanya nggak mau kamu khawatir, Let.”

“Ya, aku tahu,” angguk Letta. “Aku sungguh-sungguh minta maaf soal kejadian hari Sabtu kemarin. Aku benar-benar nggak pernah berpikir efeknya bisa begini.”

“Sudahlah,” Leander menepuk halus pipi Letta.

Keduanya kemudian mengobrol tentang banyak hal, terutama kemajuan proyek bengkel baru di Serpong. Menjelang pukul empat, Utin masuk dengan membawa dua mangkuk kecil berisi puding labu kuning. Untuk Leander polosan, untuk Letta ada tambahan vla susu.

Dengan telaten Letta menyuapi Leander. Terlihat gerakannya sudah tidak canggung lagi.

“Kamu nggak ngelesin sore ini?” celetuk Leander.

Letta menggeleng. “Anak-anak minta dipindah jadwalnya. Hari ini mereka berenang. Pulangnya agak sore. Ganti jadi besok.”

“Oh...,” Leander manggut-manggut.

Tapi hingga Letta berpamitan, pulang diantarkan sopir Alex dan Meiske, masih ada sesuatu yang terasa mengganjal. Sesuatu yang tak terkatakan. Baik Leander maupun Letta, belum menemukan cara yang tepat untuk mengungkapkannya.

Tanpa saling menyakiti.

* * *

                                                                                     
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

6 komentar: