Selasa, 08 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #1-2







* * *


Demi totalitas dan efek kejutan pula Letta terpaksa menyetujui bahwa latihan pementasan mereka akan diadakan di luar sekolah. Sebetulnya hal itu merupakan dilema baginya. Mengadakan latihan di dalam lingkup sekolah, berarti ada kemungkinan peran spektakuler sang wali kelas akan bocor lebih dulu. Itu bukan hal yang bagus. Sebaliknya, dengan menggelar latihan di luar sekolah, ia harus bekerja ekstra untuk mengawasi anak-anak agar tidak salah jalan.

“Tempat latihannya di sanggar tari keluarga kami, Bu,” ucap Mala. “Letaknya nggak jauh dari sini, dan orang tua saya sudah setuju.”

“Hm... Kapan kita mulai latihan?”

“Rencananya mulai awal bulan depan. Sementara ini kami masih mematangkan skenarionya. Daniel yang mengurusnya, Bu, dibantu Bli Putu dari ekskul teater.”

“Sebaiknya sebelum mulai latihan, Ibu lapor dulu ke Pak Aryanto. Biar kita nggak salah. Setelah itu, Ibu harus menemui orang tuamu, untuk meminta ijin secara resmi walau hanya lisan. Bagaimanapun, kan, untuk urusan sekolah, kalian berada di bawah tanggung jawab Ibu.”

Mala manggut-manggut sambil terus melangkah menjajari Letta menuju ke gerbang.

“Lho, kamu nggak bawa sepeda?” Letta menoleh cepat ke arah Mala.

Mala menggeleng. “Tadi pagi pas saya mau berangkat, ban belakangnya kempes, Bu. Jadi saya jalan kaki.”

“Wah, sayang, Ibu lagi nggak dijemput Pak Lean. Kalau sama dia, bisa Ibu antar sampai ke rumahmu, La.”

“Tumben Pak Lean absen menjemput, Bu.”

“Iya, lagi flu berat. Pulang malem mingguan kemarin saja dia sudah keliyengan.”

“Terus, Ibu naik apa?” Mala mengangkat alisnya.

“Naik ojek online-lah,” senyum Letta. “Tadi sudah pesan.”

“Oh... Saya juga jalan kaki saja, Bu. Dekat ini. Cuma di belakang situ.”

Mereka kemudian berpisah di depan gerbang sekolah. Mala berbelok ke kiri menuju ke arah rumahnya. Dan Letta segera duduk manis di belakang pengemudi ojek online yang sudah menunggunya.

* * *

Hari-hari berlalu dengan cepat. Tahu-tahu sudah masuk ke bulan baru. Letta ingat kewajibannya untuk melaporkan kegiatan kelasnya kepada Kepala Sekolah. Tentu saja dengan tidak membocorkan peran ‘spektakuler’-nya. Untunglah Pak Aryanto memahami dan mendukung. Apalagi kegiatan itu dilaksanakan di dalam properti milik wali murid dan lokasinya dekat sekolah.

Setelah hal itu beres, Letta segera memanggil Mala. Gadis muda itu muncul di lab bahasa beberapa menit setelah bel istirahat pertama berbunyi.

“Pak Aryanto sudah setuju soal latihan akan diadakan di sanggar keluargamu,” ucap Letta. “Tapi apa benar, orang tuamu tidak keberatan?”

“Betul, Bu,” Mala menegaskan. “Eyang justru senang karena kami nggak belaratan ke tempat yang nggak jelas hanya untuk latihan persiapan pensi.”

“Hm... Kalau begitu, Ibu akan segera menemui orang tuamu. Agar secepatnya latihan dilaksanakan, karena waktu kita sudah kurang dari empat bulan lagi.”

“Dua bulan ini, Papa dan Mama lagi ke Eropa dan Amerika, Bu. Ada misi kebudayaan ke sana. Berangkatnya sudah dua minggu lalu.”

“Oh...”

“Tapi ada Eyang,” senyum Mala. “Eyang masih aktif mengajar tari, kok, Bu. Sama saja, sih, bilang ke Mama-Papa atau ke Eyang.”

“Oh, begitu? Bagaimana kalau nanti sore? Jam berapa kira-kira punya waktu kosong?”

“Jam enam sudah selesai semua latihan reguler. Nanti jam tujuh ada lagi kelas khusus.”

“Oh, ya? Kelas khusus itu seperti apa?” entah kenapa, Letta terlihat sangat tertarik.

“Untuk pemula yang sudah dewasa, Bu,” Mala kembali tersenyum.

“Hm...,” Letta manggut-manggut. “Ya sudah, nanti menjelang jam enam Ibu ke sana, ya? Tolong, alamatnya kamu kirim ke Ibu via WA.”

“Siap, Bu!” Mala mengacungkan kedua jempolnya.

Gadis muda itu kemudian berpamitan. Sepeninggal Mala, Letta cepat-cepat menghabiskan roti isi sarikaya kesukaannya. Seusai jam istirahat ini, tugas masih menunggunya di sini, di dalam lab bahasa. Karena akan segera tiba giliran kelas 9B untuk menjalani tes listening Bahasa Inggris.

* * *

Leander menjalankan city car-nya pelan-pelan begitu masuk ke jalan yang berada tepat di daerah belakang kompleks sekolah Cahaya Wiyata. Di sebelahnya, Letta sibuk melongok ke arah kiri, mencari rumah bernomor 17.

Setelah rumah bernomor 15, ternyata ada tanah luas dengan aneka pepohonan dan beberapa lampu taman yang sudah menyala di dalamnya. Setelah mobil Leander maju sedikit lagi, barulah mata Letta menangkap ada papan nama sebuah sanggar tari di balik pagar, dengan alamat bernomor 17. Persis seperti isi pesan Mala melalui Whatsapp.

“Wah, kebablasan kita, Mas,” gumam Letta. “Ini tempatnya. Tadi di sebelah sana--,” Letta menunjuk ke arah belakang, “--gerbangnya buka.”

Leander pelan-pelan menepikan mobilnya. Ia kemudian menatap spion tengah dan mendapati jalanan di belakangnya sepi. Ia pun menyalakan lampu hazard dan pelan-pelan memundurkan mobil.

Letta benar. Pintu gerbang di ujung pagar yang sempat terlewati tadi terbuka lebar. Ada jalan dengan conblock tertata rapi menghubungkan pintu gerbang itu dengan bagian dalam. Leander pun meluncurkan mobil melalui jalan itu.

“Nanti parkir saja di sana,” tunjuk Letta ke satu arah. “Di pendopo itu sanggar tarinya.”

“Kamu sudah pernah ke sini?” Leander menanggapi begitu melihat pendopo besar yang dimaksud Letta.

Pertanyaan sambil lalu Leander itu sontak membuat Letta tercenung. Ia mengerutkan kening.

Kok, aku bisa tahu?

Dan Letta benar!

Ternyata ada sebuah pendopo besar di dalam area itu. Diapit dua pendopo yang lebih kecil. Masih banyak orang di ketiga pendopo itu dengan kegiatannya masing-masing. Leander memarkir mobilnya di belakang deretan mobil dan motor yang terparkir rapi.

“Bagus banget tempatnya,” gumam Leander sambil meraih tangan kanan Letta. Tindakan otomatis ketika mereka hendak melangkah bersama.

“Adem kalau siang,” timpal Letta.

“He em, pohon-pohonnya rimbun begini. Luas banget ini, lho, Let.”

“Iya...”

Tengah keduanya berjalan pelan agak ragu-ragu menuju ke arah pendopo, Mala datang menyongsong dengan wajah cerah.

“Bu Letta!” serunya riang.

Letta pun tersenyum lebar. Mala buru-buru menyalami Letta dan Leander.

“Ayo, Bu, Pak, kita ke situ dulu,” Mala menunjuk ke arah gazebo di ujung parkiran motor, dekat salah satu pendopo kecil. “Latihan belum selesai karena ada beberapa pementasan yang harus kami siapkan.”

“Wah, kalau begitu Ibu ganggu, dong, La...”

“Enggak, Bu...,” senyum Mala sambil menggiring Letta dan Leander ke arah gazebo. “Saya sendiri lagi nggak latihan. Tadi cuma nemenin adik saya, Santai saja...”

Setelah Letta dan Leander duduk, Mala segera berpamitan untuk ‘mengurus sesuatu’. Letta memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati kegiatan di pendopo-pendopo itu.

Di pendopo utama, ada sekelompok penari putra dan putri yang tengah berlatih. Usianya bervariasi dari remaja hingga dewasa. Kelihatannya sedang melakonkan sendratari entah apa judulnya.

Di pendopo yang terjauh dari gazebo, ada sekelompok remaja putri yang sudah selesai berlatih. Terlihat dari kesibukan mereka melepas kain batik yang tadinya melilit tubuh bagian bawah mereka, sambil bercakap-cakap.

Di pendopo yang terdekat dengan tempat Letta dan Leander duduk, ada seorang gadis kecil sedang berlatih menari tunggal di sana. Didampingi seorang perempuan berusia awal 50-an.

Tanpa sadar kening Letta berkerut. Perasaan itu datang lagi. Seolah ia pernah hidup dalam suasana itu. Mata Letta mengerjap dan lebih fokus mengamati gadis kecil yang tengah menari dengan boneka dan payung itu.

Wajahnya yang dihiasi pipi bulat menggemaskan dan poni yang menutup kening tampak serius. Badan montoknya tak menghalangi gadis kecil berusia kira-kira 8-9 tahun itu untuk bergerak dengan luwes. Seutuhnya penampilan gadis kecil itu tampak sangat apik.

Dan sebelum gadis kecil itu melakukan gerakan berikutnya, Letta menahan napas. Rasa-rasanya ia tahu bahwa sesuatu yang menegangkan akan segera terjadi. Sekali lagi ia benar!

Pelan-pelan gadis kecil itu naik ke atas kendi kecil terbuat dari tanah liat. Satu kaki menapak bahu kendi, sebagai tumpuan untuk mengangkat badan. Kemudian kaki sebelahnya berjinjit sebelum ikut naik. Tangan Letta diam-diam mencengkeram lengan Leander. Laki-laki itu segera mengikuti arah pandang Letta, dan seketika ikut menahan napas.

Tapi dengan keseimbangan sempurna, gadis kecil itu kini sudah berdiri tegak di atas kendi. Bahkan mulai memutar tubuhnya seirama alunan gendhing. Sedikit demi sedikit berotasi 360O, hingga kembali ke posisinya semula. Dan ketika gadis kecil itu turun kembali dengan sangat mulus, barulah Letta dan Leander menghembuskan napas lega.

“Wooow...,” gumam Leander. “Hebat dia!”

Letta langsung menyetujuinya dalam hati.

Saat itu, Mala kembali dengan nampan berisi empat cangkir teh dan sepiring pisang goreng. Dengan cekatan, ia menghidangkannya di depan Letta dan Leander. Perhatian Letta dan Leander segera teralihkan dari penari kecil yang menggemaskan di pendopo.

“Silakan, Pak, Bu...”

Letta dan Leander sama-sama mengucapkan terima kasih. Kemudian ketiganya mengobrol. Dari obrolan itu Letta dan Leander tahu, bahwa gadis kecil penari Bondhan yang tampak begitu piawai naik-turun kendi kecil sambil menari itu adalah adik Mala yang baru berusia 9 tahun. Dan pelatih yang mendampinginya adalah sang nenek. Eyang Sarita, begitu Mala menyebutnya. Dan Letta sempat terbengong ketika Mala menyebutkan usia neneknya itu. Jauh dari usia awal 50-an seperti kelihatannya. Usia aslinya sudah 64 tahun.

Mala juga bercerita bahwa keluarga besar mereka tinggal di kompleks sanggar yang luas tanahnya sekitar 3000 meter persegi itu. Pasangan Eyang Handoyo dan Sarita tinggal di rumah utama yang terletak di belakang pendopo besar. Sedangkan Mala sekeluarga tinggal di rumah yang lebih kecil di sebelah rumah utama. Ibu Mala adalah putri sulung Handoyo dan Sarita. Sedangkan paman Sarita yang masih lajang tinggal di pavilyun rumah utama.
                                     
“Selamat sore...”

Ketiganya menoleh mendengar sapaan lembut itu. Sarita menghampiri mereka dengan wajah penuh senyum.

“Ibu Letta, ya?” Sarita mengulurkan tangannya.

“Bu Letta, ini Eyang Sarita, ibunya Mama,” senyum Mala.

Letta buru-buru berdiri. Ia membalas sapaan dan menyambut uluran tangan itu. “Iya, Ibu, selamat sore. Saya Letta, wali kelas Mala.”

Keduanya berjabat tangan dengan hangat. Sejenak kemudian tatapan teduh perempuan itu beralih ke arah Leander, yang dengan sigap juga sudah berdiri sambil mengulurkan tangan.

“Saya Leander, Bu,” senyumnya.

“Tunangannya Bu Letta, Yang,” sambung Mala, tersenyum lebar dengan nada jahil.

“Oh...” senyum Sarita melebar. “Cocok...”

Letta sempat tersipu karenanya.

Setelah basa-basi singkat, Letta pun mengungkapkan maksud kedatangannya ke tempat itu. Sarita pun menyambutnya dengan sangat baik. Sanggar libur tiap hari Sabtu dan Minggu. Mala dan teman-temannya bebas memakai pendopo pada hari-hari itu.

“Sabtu siang seusai ekskul saja ya, Bu?” Mala menatap Letta.

“Hm... Boleh... Boleh...,” Letta mengangguk-angguk.

“Mala sudah menyediakan tempat,” celetuk Leander. “Nggak perlu repot sediakan minuman dan cemilan. Nanti saya yang supply.”

Mata Mala langsung membulat mendengar ucapan Leander. “Serius, Pak?”

“Serius!” Leander tertawa ringan sambil mengangguk.

Tak lama kemudian Letta dan Leander pun berpamitan. Dan di sepanjang jalan, Letta kesulitan untuk melepaskan pikirannya dari keseluruhan Sanggar Tari Pancarwengi dan sosok seorang Sarita.

Postur Sarita benar-benar masih ramping dan tegak sempurna. Wajah cantiknya menyiratkan keteduhan. Membuat keseluruhan penampilannya terlihat awet muda. Tak heran, karena selain mengisi masa tuanya dengan tetap aktif melatih tari, Sarita bersama Handoyo juga seorang instruktur yoga. Informasi itu sempat dibocorkan Mala ketika mengantar Letta dan Leander kembali ke mobil.

Kenapa dia begitu menarik bagiku?

Letta mengerjapkan mata. Menatap kelam di luar jendela. Membiarkan Leander bersenandung dengan suara bass-nya yang lembut, mengikuti lagu yang mengalun di radio.

Kenapa tempat itu seolah punya daya magis yang menjerat ingatanku?

“Kok, sepi?”

Suara halus Leander menyentakkan kesadaran Letta.

“Biasanya kamu bawel sekali,” lanjut Leander.

Pelan Letta mendesah. Sujujurnya, ia tak mampu menanggapi ucapan Leander. Semua yang ada di pikirannya terasa terlalu absurd.

“Aku lapar, Mas,” hanya itu kalimat yang kemudian terlintas di pikirannya.

“Oh... Ya, ayo, mau makan di mana? Memang sudah waktunya kita makan ini...”

Letta pun berusaha mengalihkan pikirannya. Sulit. Tapi pelan-pelan ia berhasil juga. Hanya saja pikiran itu menjeratnya kembali ketika Leander menyeletuk ringan.

“Kok, mendadak saja muncul dalam bayanganku, ya, Let? Nanti kamu akan terlihat persis seperti Bu Sarita itu kalau sudah berumur sama. So charming.”

Letta tertegun.

* * *

Selanjutnya

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

9 komentar:

  1. Deja vecu tenanan iki..... Tibakane eng ing eng, mak bedhunduk........... Keyeeennnn abis mbak, pake bingits....

    BalasHapus
  2. Woh deja vecu mulai tampak! Apik tenan iki dik! 👍

    BalasHapus
  3. Baca episod iki isok mrinding aq mb Lis.
    Gatau napa.
    Keren x1000

    BalasHapus
  4. Dalam bayangan awalku, yang bakal mengalami déja vecu itu cuma Letta seorang

    BalasHapus