Senin, 07 November 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #1-1









Satu


Letta memperhatikan keriuhan itu dalam diam. Ada tiga kelompok besar yang sedang berperang argumen. Masing-masing kubu kukuh mempertahankan pendapatnya. Letta pun tersenyum dikulum ketika tatapan Mala jatuh padanya. Putus asa.

Dan tiba-tiba saja, pada satu titik waktu, keriuhan itu perlahan menyurut. Kemudian hening mulai menyergap. Letta tetap duduk diam sambil mengangkat alis. Ketika keheningan itu benar-benar membuat telinganya tuli, barulah ia berucap lembut.

“Sudah?”

Seisi kelas masih terdiam. Dan satu per satu 26 kepala itu mulai tertunduk. Letta kemudian bangkit dari duduknya dan berdiri di depan ketiga kubu itu.

“Dari yang bisa Ibu tangkap dari segala keriuhan baru saja ini, kalian punya tiga alternatif atraksi untuk pensi nanti. Betul?”

“Iya, Buuu...,” seisi kelas serempak menjawab.

“Drama singkat, tari tradisional, dan vokal grup,” lanjut Letta, masih dengan nada lembut dan sabar. “Padahal kita hanya boleh mengisi maksimal dua saja slot acara. Dan untuk menentukan itu kalian ribut sendiri. Jadi, Ibu harus bagaimana?”

Seisi kelas tertunduk lagi. Tak ada sedikit pun bisik-bisik. Kesabaran perempuan berusia 27 tahun itu justru membuat murid-muridnya merasa segan.

“Bu, maaf,” Mala, sang ketua kelas, akhirnya angkat bicara. “Kalau Ibu berkenan, Ibu saja yang memutuskan.”

Senyum Letta melebar. Jalan keluar yang sungguh mudah. Pada akhirnya berujung pada digunakannya hak veto seorang wali kelas. Hak veto-nya.

“Apa pun keputusan Ibu, kalian akan menerima?” Letta menegaskan.

“Iya, Bu...,” terdengar jawaban serempak.

“Hm...,” tatapan Letta menyapu wajah-wajah seisi kelas. “Kita hanya akan mengeluarkan satu atraksi.”

Sejenak masih hening sebelum terdengar dengung bak suara jutaan lebah bergema di sekitar Letta. Ia pun kembali ke tempat duduknya. Sekali lagi, tatapannya menyapu seisi kelas. Membuat aneka gumanan dengan suara rendah itu perlahan menyurut lagi.

“Ibu tahu pentolan-pentolan teater SMP kita ada di kelas ini,” lanjut Letta dengan serius. “Begitu juga ada beberapa putri cantik yang menguasai tari tradisional dengan sangat baik. Selain itu, ada juga musikus berbakat. Drama saja sudah kurang terkini, tari tradisional saja bisa jadi kurang terasa gebyarnya bagi orang lain, vokal grup saja sudah umum. Tidak akan ada dua pertunjukan dari kelas kita yang akan mengorbankan satu alternatif yang tersisa. Kita gabungkan semuanya jadi satu kesatuan. Semuanya ikut, semuanya berpartisipasi. Bagaimana?”

Segera saja dia bisa melihat bahwa ketegangan sudah meluruh dan berganti dengan wajah-wajah antusias. Dan mulai ada dengungan lagi. Letta menatap semuanya itu masih dengan kesabaran yang kadarnya tidak berkurang sedikit pun.

“Bu,” tiba-tiba Mala menoleh kepada Letta, nyaris berseru. “Kami setuju! Bagaimana selanjutnya?”

“Kita lanjutkan besok rapatnya,” Letta berdiri. “Ini sudah siang sekali. Kita semua butuh pulang, butuh istirahat.”

“Baik, Bu...,” terdengar kor lagi.

Letta menghela napas lega. Satu-satu kemudian anak-anak itu keluar dari kelas dengan lebih dulu berebutan bersalaman dengannya. Ia yang terakhir keluar, dengan Mala menjajari langkahnya.

“Semua masih pada ribut,” celetuk Mala ketika mereka melewati koridor di depan kelas-kelas yang lain.

Letta tertawa ringan. Kelas-kelas itu masih riuh rendah. Sama persis dengan kelas mereka ketika belum mencapai kata sepakat tadi.

“Besok Ibu ikut rapat lagi, kan?” Mala memastikan.

“Iya,” angguk Letta. “Dan Ibu yakin kita bisa memberikan pertunjukan yang cukup spektakuler.”

“Berat... Beraaat...,” gumam Mala, membuat Letta tergelak.

Keduanya kemudian berpisah di dekat gerbang. Mala berbelok ke kiri menuju ke parkiran sepeda, sementara Letta berjalan lurus untuk melintasi gerbang. Di luar sana, sudah menunggu Leander di dalam mobilnya. Ke arah city car berwarna biru metalik itulah Letta meneruskan langkah.

* * *

Leander yang tengah duduk menunggu di dalam mobil sambil menekuni layar ponsel, tiba-tiba merasa terusik. Sesuatu yang ia tidak tahu memaksanya mengangkat wajah dan menatap ke satu arah. Dan seketika senyumnya mengembang di bibir.

Perempuan bersosok ramping itu melenggang keluar dari arah gerbang sekolah. Sejenak Leander mengagumi keseluruhan diri perempuan itu. Wajah manisnya dibingkai rambut hitam lurus yang sempurna seperti iklan shampo. Matanya berbinar cerah dengan senyum yang seolah terus tersungging di bibir merah mudanya. Kulitnya yang kuning langsat menyempurnakan keindahan itu. Dan gegas langkah perempuan itu lurus menuju ke arah mobil Leander. Leander pun buru-buru keluar dari  mobil.

“Sudah lama, Mas?” senyum Letta mengembang makin lebar ketika Leander membukakan pintu mobil untuknya.

“Belum,” geleng Leander. Membalas senyum Letta. “Belum ada sepuluh menit, kok. Beres rapatnya?”

“Ya, sementara anak-anak sudah ada keputusan mau bikin apa. Tapi detailnya baru mau diobrolin besok.”

“Oh...,” Leander mulai menekan pedal gas. “Kalau butuh sponsor, bilang saja, Let.”

Senyum Letta merekah karenanya. “Ya, besok kubilang pada anak-anak.”

Dan Letta percaya ucapan Leander bukan basa-basi belaka. Laki-laki itu selalu peduli padanya. Selalu ingin terlibat dalam hidupnya, tapi tanpa mengikat terlalu erat. Satu-satunya ikatan mereka adalah terpautnya dua hati dan dua bentuk cincin pertunangan yang melingkar di masing-masing jari manis tangan kiri mereka.

Leander tak pernah membatasi Letta melakukan apa pun. Sepertinya laki-laki itu tahu sebesar apa rasa cinta Letta pada dunia pendidikan. Menjadi seorang guru adalah mimpi Letta yang menjadi kenyataan. Dan sungguh, Leander jatuh cinta karenanya. Pada keseluruhan diri Letta yang sederhana namun penuh semangat.

“Jadi besok pulang telat lagi?” celetuk Leander tiba-tiba.

“Iya, Mas. Kalau jam segini Mas Lean sibuk, aku bisa pulang sendiri, kok.”

“Kapan, sih, aku pernah terlalu sibuk untukmu?”

Letta tertawa ringan.

Leander adalah seorang wirausahawan yang punya jam kerja cukup longgar. Ia memiliki sebuah bengkel mobil dan motor, sekaligus toko suku cadang mobil dan motor yang cukup besar. Bengkel itu bekerja sama dengan sebuah show room mobil bekas yang pemiliknya adalah Adrian, abang Letta.

Karena kerja sama itulah Letta bertemu dengan Leander. Saling jatuh cinta. Kemudian bertunangan enam bulan yang lalu, dua tahun setelah mereka resmi berpacaran.

Mobil Leander berhenti di depan rumah mungil Letta beberapa belas menit kemudian. Letta menoleh ke arah Leander sebelum keluar dari mobil.

“Beneran nggak mau mampir dulu?” ia memastikan.

Leander menggeleng sambil mengembangkan senyum teduhnya. “Sudah jam segini. Bengkel sudah siap-siap mau tutupan. Aku langsung saja.”

Letta mengangguk, mengucapkan terima kasih, kemudian benar-benar keluar. Ia melambai singkat ketika mobil Leander mulai melaju meninggalkannya.

* * *

Murid-murid seisi lab bahasa segera bubar begitu bel istirahat kedua berbunyi. Ketika Letta membereskan mejanya, Mala melongokkan kepala dari luar pintu.

“Bu Letta, selamat siang,” sapanya manis.

Letta menoleh dan segera membalas sapaan itu. Mala pun masuk dan duduk di depan Letta, dibatasi oleh meja.

“Bu, maaf mengganggu.”

“Ah, kamu ini, kayak sama siapa saja,” Letta tertawa ringan. “Soal pensi lagi?”

“Iya, Bu,” angguk Mala. “Eh, Ibu nggak ke ruang guru?”

“Enggak,” geleng Letta. “Kan, setelah ini masih jam Ibu di sini. Ada tes listening buat anak-anak kelas 7. Tadi 7C sudah. Setelah ini giliran 7A. Jadi, bagaimana?”

“Ini, Bu, kami sudah dapat ceritanya. ‘Yuyu Kangkang Insaf’. Modif dari cerita Ande-Ande Lumut. Bagaimana menurut Ibu?”

Pada rapat kedua kelas 8D kemarin memang baru tercapai kesepakatan bahwa mereka akan mengeluarkan atraksi drama setengah operet. Belum ada kesepakatan akan mengangkat cerita apa. Tapi hari ini rupanya sudah ada kemajuan.

“Hm... Mengangkat dongeng Nusantara, ya?” Letta manggut-manggut. “Bagus banget! Terus, konsepnya bagaimana?”

“Nanti kita gabungkan dengan para Kleting menari Gambyong pada pembukaan. Kemudian masuk ke dramanya. Terus ada sedikit nyanyi-nyanyi. Dan musik latarnya nanti diurus sama Teddy.”

“Wah!” Letta mengusap-usap kedua lengannya dengan telapak tangan. “Ibu jadi merinding dengarnya.”

Mala tersenyum lebar.

“Kita butuh totalitas, Bu,” ucap Mala dengan mata berbinar. “Karena itu, mohon kesediaan Ibu untuk jadi Mbok Rondho, ibu Ande-Ande Lumut.”

“HAH???”

Mala tertawa geli melihat ekspresi Letta.

“Totalitas, Bu, totalitas,” lanjut Mala dengan wajah jahil. “Belum ada, lho, sejarahnya, wali kelas ikut berperan di pensi kita.”

“Aduh... Kalian ini...,” Letta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah pasrah.

“Ayolah, Bu... Sekalian kita bikin gebrakan. Bu Letta dan anak-anak 8D super kompak! 8D bangga banget jadi anak-anak Bu Letta.”

“Hm... Demi totalitas dan kebanggaan, ya?” gumam Letta. Kemudian berpikir sejenak. “Baiklah.”

Mala hampir saja bersorak dan meloncat untuk memeluk Letta seandainya tidak sadar sedang berada di mana dan siapa Letta.

“Tapi...”

“Apa, Bu?” Mala menatap Letta dengan antusias.

“Jangan sampai soal Ibu ambil bagian ini bocor ke kelas atau guru lain. Nanti nggak ada kejutannya.”

Nggak ada kejutan...

Letta hampir terbahak mendengar ucapannya sendiri.

 ... atau malu???

“Oh, beres, Bu!” Mala mengacungkan jempolnya, tanpa mengetahui apa yang dipikirkan sang ibu guru baru saja.

Gadis muda itu segera meninggalkan lab bahasa setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali. Letta menatap kepergian Mala dengan senyum terkulum di bibir. Tapi begitu punggung Mala menghilang di balik pintu, Letta segera menyadari sesuatu.

Astaga... Apa yang baru saja kusetujui???

Tak ada lagi celah untuk mundur dan meralat keputusan. Dan ia hanya bisa diam terhenyak hingga bel masuk berbunyi, dan serombongan anak kelas 7A masuk ke dalam lab. Siap mengikuti tes listening Bahasa Inggris.

* * *

“Anak-anak mencintaimu,” senyum Leander melebar melihat Letta memutar matanya ke atas.

Baru saja Letta menceritakan dengan menggebu tentang keinginan murid-muridnya agar ia berperan dalam pentas mereka untuk pensi. Dan seutuhnya Leander menikmati cerita itu. Juga ekspresi Letta yang terlihat sungguh menggemaskan di matanya.

“Haaah... Aku sungguh nggak tahu, mereka ini benar-benar mau tampil total atau berniat ngelunjak,” ujar Letta dengan nada mengeluh.

“Lho, justru karena mereka menghargaimu, maka mereka mau kamu berperan di dalamnya. Kalau mereka sukses, siapa juga yang dapat nama? ‘Siapa, sih, wali kelasnya? Oh, Ibu Violetta Darmawan. Hebat, ya?’ Kan, begitu, Let.”

Letta tergelak ringan mendengar monolog Leander.

“Kamu berlebihan, deh, Mas!” Letta menggeleng-gelengkan kepalanya.

Come on!” Leander menepuk lembut punggung tangan Letta. “You’re a great teacher! Kamu tidak sekadar pengajar, Let. Kamu pendidik. Menjadi teman yang baik. Sekaligus pembimbing yang bisa didengar dan ditiru oleh murid-muridmu. Kalau tidak, bagaimana bisa kamu tiga tahun berturut-turut ini menjadi guru favorit SMP Cahaya Wiyata?”

Letta meringis mendengar ungkapan panjang lebar Leander. Seutuhnya ucapan Leander benar. Hanya saja Letta terlalu malu dan rendah hati untuk mengakuinya.

“Eh, sebentar, ya?” Leander berdiri dari duduknya. “Aku ke toilet dulu.”

Letta mengangguk. Sedetik kemudian ia menatap kepergian Leander. Mengawasi punggung tegap yang bergerak kian menjauh itu. Dan Letta tersenyum tertahan ketika mendapati ada segerombolan gadis muda yang berbisik-bisik setelah berpapasan dengan Leander. Sesekali mereka mencuri pandang hingga Leander benar-benar menghilang di balik pintu ke arah toilet.

Sosok Leander memang sungguh-sungguh menarik. Parasnya tampan. Dengan hidung cukup mancung dan bibir kemerahan karena tidak pernah merokok lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Mata coklatnya yang bersinar ramah dihiasi bulu mata lentik. Rambut hitam lurusnya dipangkas rapi dengan model trendy. Secara menyeluruh terlihat sangat padu dan pas. Semua itu ditopang dengan bentuk tubuh tegap setinggi 181 cm yang memang tidak terlalu mengintimidasi karena kesempurnaannya. Justru postur AGS-nyalah yang membuatnya terlihat makin mempesona. Agak Gembul Sedikit. Dan keseluruhan penampilan Leander itu dibalut oleh kulit coklat cerah yang membuatnya terlihat makin jantan.

Kadang-kadang Letta merasa minder ketika berjalan di samping Leander. Ia menyadari bahwa ia hanya perempuan berpenampilan biasa-biasa saja, walaupun cukup ramping dengan tinggi tubuh ‘hanya’ 165 cm. Tak pernah menyadari bahwa sesungguhnya ia begitu cantik dengan caranya sendiri. Membuat orang-orang di sekelilingnya merasa nyaman. Dan membuat Leander tak lagi mampu berpaling.

Letta mengangkat wajah begitu Leander kembali. Begitu duduk, laki-laki itu menghabiskan sisa minuman dengan sekali teguk. Letta melihat sekilas ke arah arlojinya. Hampir pukul setengah delapan malam.

“Kayaknya kita belum telat untuk jadwal berikutnya kalau cabut sekarang,” ujar Leander.

Sesudah berburu aneka buku dan menikmati makan malam di sebuah kafe di mall, mereka memang merencanakan untuk menghabiskan akhir pekan ini dengan menonton bioskop yang tayangnya pukul setengah sembilan malam. Dan bioskop itu letaknya tak jauh. Hanya di lantai teratas mall itu.

“Ayo!” Letta berdiri begitu minuman di gelasnya juga habis.

Leander pun segera ikut berdiri. Tangan kanannya membawa kantong plastik yang cukup berat berisi belanjaan buku mereka. Tangan kirinya menggandeng erat tangan kanan Letta ketika mereka melangkah bersama menuju ke tangga berjalan.

* * *

Selanjutnya



Catatan :
Déjà vécu (baca : dé-za vé-ku ; dé dan vé diucapkan seperti huruf 'd' dan 'v' ---> CMIIW) adalah suatu perasaan pernah mengalami/melihat/menyaksikan sesuatu yang lebih kuat atau lebih detail daripada déjà vu.

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


9 komentar:

  1. Mesti wiska .....
    Menggebrak!
    Isok kemping abadi aq gek kene mb Liiiissss .....

    BalasHapus
  2. Something new.... Imajinasimu nggak ada matinya dik. Jian jempol sewu tenan.
    👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍 dst.

    BalasHapus
  3. Uhuy. Ada beberapa nama member FC nyangkut di sini: Sari, Adrian, Mala. Hehehe...

    BalasHapus
  4. Siap2 nyemplung bookmark hehe..

    BalasHapus
  5. Semoga lebih baik dari harapan penulis dan ekspektasi pembaca

    BalasHapus