* * *
Tiga Belas
Grandy menatap ke luar jendela pesawat dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Sedikit aura kelabu yang memantul dari gumpalan-gumpalan awan yang ditembus badan pesawat tak pelak mempengaruhi juga suasana hatinya.
Senin ini, pagi-pagi tadi, ia menyempatkan diri untuk mengantarkan Qiqi ke sekolah, sekaligus berpamitan pada gadis kecil itu dan ibunya. Ia harus kembali ke Semarang sesuai perjanjian, dan langsung ke bandara begitu selesai mengantarkan Qiqi. Prof. Handono masih menunggunya di Semarang. Dan obrolannya bersama Qiqi sepanjang perjalanan dari rumah Qiqi ke sekolah sepertinya adalah salah satu percakapan yang tak akan bisa dilupakannya seumur hidup.
Senin ini, pagi-pagi tadi, ia menyempatkan diri untuk mengantarkan Qiqi ke sekolah, sekaligus berpamitan pada gadis kecil itu dan ibunya. Ia harus kembali ke Semarang sesuai perjanjian, dan langsung ke bandara begitu selesai mengantarkan Qiqi. Prof. Handono masih menunggunya di Semarang. Dan obrolannya bersama Qiqi sepanjang perjalanan dari rumah Qiqi ke sekolah sepertinya adalah salah satu percakapan yang tak akan bisa dilupakannya seumur hidup.
“Om, Om, Opa itu papanya Om Grandy, ya?” Qiqi memulai celotehnya.
“Iya. Kenapa memangnya?” Grandy melirik sekilas.
“Mm... Mama punya papa. Kakek. Om punya papa juga. Opa. Terus, papanya Qiqi mana, dong, Om?”
Grandy kehilangan kata.
“Teman-teman Qiqi ada yang kalau berangkat sekolah diantar papanya. Qiqi nggak pernah,” suara Qiqi melirih.
“Wah, berarti Qiqi nggak senang, dong, diantar Om seperti ini?” Grandy berusaha menekan perasaan haru yang mulai menyesakkan dada.
“Senang, sih... Senang banget,” Qiqi seolah bergumam pada dirinya sendiri. “Coba Om Grandy ini papa Qiqi, ya?”
“Hm...,” Grandy berhati-hati sekali menyusun kata-kata yang hendak diucapkannya. “Seandainya Om benar papa Qiqi, Om juga nggak bisa selalu ada di samping Qiqi. Om harus ke Jepang, Om harus ke Semarang seperti minggu kemarin dan hari ini, dan nanti-nanti entah ke mana lagi.”
“Jadi Om harus kembali ke Jepang lagi?”
“Iya, Qi. Barang-barang Om masih di sana. Lagipula Om masih ada kerjaan.”
“Mm...,” Qiqi tak meneruskan lagi celotehnya.
“Suatu saat nanti, Qiqi pasti punya papa,” tangan kiri Grandy lembut mengelus kepala Qiqi. “Coba Qiqi minta sama Tuhan. Qiqi minta juga sama Mama. Gimana?”
“Ng... Iya, deh!”
Seutuhnya Grandy menangkap nada optimis dalam suara Qiqi. Sesuatu yang membuatnya harus berkali-kali mengerjapkan mata untuk mengusir genangan bening yang tiba-tiba saja sudah hadir tanpa diundang.
Gema pengumuman untuk mengenakan kembali sabuk pengaman memutus lamunan Grandy. Dihelanya napas panjang.
Kamu benar, Mai. Pertanyaan Qiqi tentang seorang ayah sudah makin intens.
Dan ia masih punya PR untuk mengambil sebuah keputusan besar.
* * *
“Kami sebenarnya membutuhkanmu, Gran,” ucapan halus Prof. Handono itu menyentakkan lamunan Grandy.
Mereka sedang menunggu jadwal terbang kembali ke Jakarta. Rabu sore. Seharusnya mereka sudah terbang dua jam yang lalu. Tapi hujan lebat di Jabodetabek membuat pesawat dari Semarang itu harus mengalami delay. Pekerjaan mereka di Semarang sudah selesai. Pasien yang mereka tangani sudah stabil dan menuju ke arah pemulihan di bawah pantauan dokter RS setempat.
“Tapi aku pribadi menghormati keinginanmu,” lanjut Prof. Handono. “Selagi ada kesempatan, memang sebaiknya menggunakan kesempatan itu semaksimal mungkin.”
Grandy perlahan menyesap kopi kalengan di tangannya.
Keputusannya adalah hasil pemikiran panjang yang diulangnya ribuan kali sebelum menyimpul di ujung. Dan ia membulatkan tekad untuk memenuhi permintaan profesornya agar kembali ke Tokyo untuk menjadi asisten, sekaligus memantapkan ilmu yang sudah berhasil digenggamnya.
Ada yang akan didapat, dan ada pula yang harus dilepas. Sesuatu yang dilepasnya itu sebetulnya adalah hal yang membuat keputusannya tidak benar-benar bulat. Tapi ia merasa tak lagi punya pilihan lain. Lagipula, terlalu lama di sini hanya membuat hatinya jadi terbelah oleh lebih banyak lagi keinginan.
“Saya tidak akan selamanya berada di sana, Prof.,” gumam Grandy. “Saya tetap akan pulang. Ke sini. Ke tempat saya berasal. Saya juga ingin menularkan ilmu yang saya miliki, sekaligus mengamalkannya.”
“Hm... Jadi kapan kamu akan kembali ke Jepang?”
“Sekitar dua minggu lagi, Prof.”
“Aku harap kamu sudah kembali sebelum aku benar-benar pensiun,” gumam Prof. Handono. “Aku sudah sejak lama nggadhang-gadhang kamu untuk jadi penggantiku.”
Grandy terdiam. Hanya pelan-pelan menghabiskan kopi kalengannya. Hingga terdengar pengumuman agar penumpang dengan nomor penerbangan tertentu segera bersiap menuju ke salah satu gate.
“Ayo, Gran,” Prof. Handono berdiri.
Grandy mengangguk.
* * *
“Tidak bisa menunggu sampai ulang tahun Qiqi-kah, Bang?”
Ucapan lirih Mai itu membuat Grandy terkesiap seketika. Satu hal besar sudah dilupakannya. Ulang tahun kedelapan Qiqi. Tanggalnya selisih tiga hari dengan tiket pesawat ke Jepang yang sudah dipegangnya. Lebih dulu tanggal keberangkatan itu.
“Astaga, Mai...,” penyesalan segera saja memenuhi hati Grandy. “Aku benar-benar lupa!”
Mai terpaksa mengulas senyum. Berusaha maklum. Toh, Grandy juga punya kehidupan sendiri.
Grandy tercenung. Salah satu pertimbangannya memilih tanggal itu adalah karena jatuhnya pada hari Jumat. Sehingga ia masih punya waktu sejenak sesampainya di Tokyo untuk beristirahat, sebelum menemui Prof. Hiroki Abe pada hari Senin. Dan justru hari Senin itulah hari ulang tahun Qiqi.
Grandy mengusap-usap wajahnya dengan resah, dan menangkupkan tangannya kembali ke atas meja kerja Mai.
“Bang,” Mai mencondongkan tubuhnya, mengulurkan tangan, dan menyentuh lembut tangan Grandy. “Tak apa-apa. Jangan jadi pikiran. Aku sudah merencanakan untuk mengadakan pesta kecil di sekolah. Sama seperti tahun lalu.”
Grandy menatap Mai dengan sorot mata pasrah. Ia sungguh-sungguh tak tahu harus berbuat apa. Tapi beberapa saat kemudian, sebersit pikiran muncul dalam benaknya.
“Qiqi ingin apa, Mai? Biar aku yang belikan,” ujar Grandy kemudian.
Mai hanya bisa menatap Grandy.
Haruskah mengatakan padamu, Bang?
Mai mengerjap resah.
Keinginannya bahkan tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun di dunia ini...
Dan Mai memutuskan untuk menggeleng.
“Paling hanya boneka,” senyum Mai. “Beberapa hari lalu dia mengincar boneka panda raksasa. Hanya saja waktu itu dia sudah telanjur memilih bantal koala. Jadi keinginan itu harus ditunda dulu.”
“Di mana jualnya?”
Mai menyebutkan nama sebuah mall. Grandy serta-merta bangkit dari duduk dan meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.
“Lho, Abang mau ke mana?” Mai melengak.
“Membelikan panda itu untuk Qiqi.”
“Astaga, Bang...,” Mai menggeleng-gelengkan kepala. “Memangnya harus sekarang-sekarang?”
“Nanti aku keburu sibuk siap-siap dan lupa lagi, Mai,” desah Grandy.
“Oke... Oke...,” Mai mengangkat tangannya sambil ikut berdiri.
“Seperti apa bentuknya?”
“Ya, panda. Gendut, lucu, hitam-putih, buesaaar. Lebih besar daripada Qiqi,” Mai terkekeh.
“Oke,” Grandy segera menangkap gambaran itu.
Sekejap kemudian ia sudah meluncurkan mobilnya, meninggalkan kantor olshop Mai. Tanpa Mai bisa mencegahnya.
* * *
Lalu semuanya akan kembali seperti semula...
Sepeninggal Grandy, Mai duduk terpekur di depan meja kerjanya.
Hanya ada Qiqi dan aku. Dan Ayah-Ibu, tentu saja.
Mai menggeleng pelan.
Mungkin memang seperti itulah kehidupannya harus berjalan. Puzzle-nya sudah ditentukan. Berisi empat keping. Ayahnya, ibunya, Qiqi, dan ia sendiri. Sedangkan keping puzzle Ares yang hilang juga kemungkinan besar sudah ditemukan. Dalam diri Dira. Walaupun ia belum tahu kebenarannya. Dan Grandy? Puzzle tercecer milik laki-laki itu sepertinya berupa mimpi dan harapan untuk menjadi seorang dokter ahli bedah syaraf yang mumpuni, yang juga sudah mulai berada dalam genggaman.
Itulah hidup, Mai...
Sisi lain hatinya berbisik lembut. Mengingatkan. Dan ia terpaksa menyetujuinya. Agar ia bisa tetap tegak berdiri untuk Qiqi. Banyak badai sudah dilaluinya. Ditentangnya dengan teguh walau terkadang hatinya menyusut jadi kecil. Banyak sinar matahari yang hangat dan bersahabat ia temukan di ujung badai itu. Membuat ia merasa bisa menghadapi apa pun di dunia ini.
Beberapa minggu kehidupannya belakangan ini kembali dihangatkan oleh kehadiran Grandy. Grandy yang muncul sekejap, lalu pergi. Sama seperti yang sudah terjadi selama hampir enam tahun ini. Kemunculan sekejap yang juga berarti banyak bagi Qiqi. Karena kehadiran Grandy selalu memberikan warna cerah tersendiri dalam kehidupan Qiqi.
Mai menghela napas panjang. Berusaha menguapkan beban yang terasa menggayuti hatinya. Beban yang entah berasal dari mana dan tentang apa.
* * *
Manstaf :)
BalasHapusMakasih hadirnya, Pak Edy... π
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... π
HapusWadoooooo koq Grandy kape balik nang Jepang meneh ?
BalasHapus#nangis kejer golong"
*uncali tahu bakso* πππ
HapusHehehe... panda euy. ;)
BalasHapusPlis, Grandy. Bawa serta Mai en Qiqi ke Jepang. Kalo emang impianmu ada di sana.
#edisi request ke penulisnya. :-)
Bisa rugi bandar kalo tamasya ke Jepang, hihihi...
Hapusπππ
ππππterlalu berat hidup may
BalasHapusSemoga aku bisa sekuat mayπππ
Amin... πππ
HapusJangan-jangan... Tapi semoga jangan!
BalasHapusπππ
Hapus