* * *
Ares mengembangkan senyum begitu pintu di depannya terbuka. Sosok yang membuka pintu itu melebarkan mata terlebih dulu sebelum membuka pintu lebih lebar lagi.
“Diaz! Ayo, masuk!” Mai, yang terlihat agak terkejut dengan kemunculan Ares yang tiba-tiba, membalas senyum Ares.
“Lagi sibuk, ya, Ra?” tanya Ares seketika.
“Enggak...,” Mai cepat-cepat menggeleng.
Ia kemudian menyilakan Ares duduk dan memanggil Yayah untuk membuatkan minuman.
“Nggak usah repot-repot,” tukas Ares halus.
“Nggak repot, kok!” senyum Mai melebar. “Yang repot paling Yayah, hehehe...”
Ares ikut tertawa ringan karenanya.
“Eh, Qiqi mana?”
“Belum bangun,” Mai menggeleng. “Keenakan, barangkali. Hawa sisa hujan.”
Ares manggut-manggut.
“Eh, terima kasih, ya? Tadi pagi sampai siang Qiqi dan Bang Grandy merepotkan kamu.”
“Halaaah...,” Ares mengibaskan tangan kanannya di depan wajah. “Cuma main saja, kok. Sama sekali nggak merepotkan. Apalagi Qiqi anaknya benar-benar manis begitu.”
Mai tersenyum tipis.
“Mai...,” ucap Ares lirih. Terkesan ragu-ragu. Seolah takut melukai Mai. “Yang tadi itu bagaimana?”
“Nirwan?” tegas Mai dengan wajah datar. “Nggak kenapa-napa,” gelengnya. “Ending-nya aku bilang, akan lapor polisi kalau mereka mengganggu atau mendekati kami lagi. Karena Nirwan keceplosan, dia pernah menguntit Qiqi ke sekolah.”
Ares mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Kejengkelan terbias di wajahnya.
“Tapi aku tak mau terganggu lagi dengan itu,” Mai menggeleng tegas. “Hidupku dan Qiqi harus terus berjalan, Di.”
Ares tercenung sejenak. Menatap lantai. Wajahnya baru terangkat ketika Yayah muncul sambil membawa nampan berisi minuman dan sepiring pisang goreng yang masih mengepul.
“Qiqi belum bangun, Yah?” tanya Mai sambil lalu.
“Belum, Bu,” Yayah menggeleng. “Bapak juga belum.”
“Ya, sudah, biarkan saja. Malam Minggu ini.”
“Iya, Bu.”
“Ayo, Di, silakan minum, makan. Kemarin Ibu dapat pisang banyak dari temannya. Sama Yayah ada yang dikukus, digoreng. Kayaknya, kok, nggak habis-habis.”
Ares tersenyum lebar mendengarnya. Sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng itu, mereka mengobrol tentang banyak hal. Terutama teman-teman yang ditinggalkan Mai ‘lari’ ke Jakarta.
Ares adalah orang yang paling sering ditanyai ketika Mai benar-benar menghilang dari peredaran. Yang bisa dilakukannya adalah menjawab ‘tidak tahu’, dan sebisa mungkin menghindar. Ares sama sekali tidak ingin mencemarkan nama Mai dengan menceritakan apa yang ia ketahui tentang Mai. Seandainya ada orang lain yang tahu tentang itu, setidaknya sumbernya bukan dari mulut Ares.
“Oh, ya,” Ares mengerjapkan mata. “Aku mulai memikirkan kata-katamu.”
“Yang mana?” Mai mengangkat alisnya.
“Tentang... teman Winda,” Ares tertunduk.
“Oh...,” senyum Mai melebar. “Dira, kan? Aku belum lupa namanya.”
Ares tiba-tiba saja merasa sedikit takjub dengan nada antusias yang begitu kental dalam suara Mai.
“Di, mau mendengar saranku?” tiba-tiba saja suara Mai berubah menjadi serius.
“Apa itu?”
“Berubahlah,” senyum Mai.
“Maksudmu?” Ares mengerutkan kening.
“Diaz yang kukenal selama ini terlalu pendiam. Terlalu santun terhadap perempuan. Ya, itu bagus. Sangat bagus! Tapi... Kadang-kadang perempuan perlu pernyataan yang ‘lebih’,” jemari Mai mengkodekan tanda petik. “Kalau kamu memang benar ingin mendekati Dira, berikan perhatian yang lebih padanya. Perempuan senang kejutan,” mata Mai terlihat berbinar-binar.
Ares kembali tercenung. Mai memberinya kesempatan untuk berpikir. Disesapnya dengan santai teh dalam cangkir sambil menatap Ares. Beberapa saat kemudian, Ares mengangkat wajahnya.
“Kelihatannya aku memang harus banyak belajar,” senyumnya.
Mai tertawa ringan.
“Banyaklah bertanya pada Winda, Di,” ujarnya halus. “Jangan padaku.”
“Begitu, ya?” Ares ikut tertawa.
“Yup!” angguk Mai.
Sesaat kemudian Mai berdiri dan menarik tangan Ares. Ares mengerutkan kening, tapi diturutinya juga gerakan Mai. Dengan hati bertanya-tanya.
“Dia masih lama di Papua?” tanya Mai sambil menarik Ares berjalan keluar dari ruang tamu dan menuju ke kantor olshop-nya di sebelah.
“Jadwalnya, sih, tiga bulan,” jawab Ares. “Tapi kata Winda, kemungkinan besar dua minggu lagi pulang dulu ke sini.”
“Nah!” terdengar nada kemenangan dalam suara Mai. “Sekarang, kamu tunggu sebentar di sini, aku bukakan pintu dari dalam. Jangan kabur!”
Ares mengangkat bahu ketika Mai menghilang ke dalam rumah. Ia benar-benar belum mengerti maksud Mai. Tapi ia tak punya pilihan lain kecuali menuruti ucapan Mai, dan menunggu dengan sabar di depan pintu.
Sambil menunggu, ia berbalik. Menghadap ke arah taman mungil di depan teras yang menyambung dengan carport itu. Dan mobil yang parkir di carport itu membuatnya sejenak terkesiap.
Mobil Mas Grandy?
Ares mengerutkan kening.
Jadi dia masih di sini?
Pertanyaan itu buyar ketika telinganya menangkap kunci pintu dibuka dari dalam. Beberapa detik kemudian pintu kantor olshop itu sudah terbuka lebar.
“Masuklah,” Mai menggamit lengan Ares.
Mai langsung membawa Ares ke dalam ruangan kantornya. Dengan cekatan, perempuan itu membuka kunci salah satu lemari kaca berisi koleksi kalung.
“Pilihlah, Di,” senyum Mai. “Seorang perempuan istimewa patut mendapatkan kejutan kecil yang istimewa juga.”
Ares masih terbengong dengan tingkah laku Mai. Tapi didekatinya juga lemari itu. Ketika dilihatnya Ares masih sedikit termangu-mangu di depan lemari itu, Mai segera mengambil inisiatif lagi.
“Oke, coba, gambarkan sedikit Dira ini, Di.”
Ares menatap Mai. Ia kemudian menggambarkan sosok Dira yang berada dalam ingatannya dengan cukup lancar. Dan seutuhnya Mai dapat menangkap gambaran itu.
“Jadi intinya,” Mai manggut-manggut, “dia cukup cantik, sederhana, dan smart. Begitu?”
“Ya,” angguk Ares. “Semua yang ada dalam dirinya itu... pas. Sangat pas.”
“Hm...”
Mai mulai menelusuri koleksi kalung olshop-nya. Beberapa untai kalung kemudian berpindah ke tangannya. Dibawanya ke meja. Ares mengikuti Mai.
“Pilihlah, Di. Yang menurutmu paling cocok untuk Dira.”
“Aku...,” Ares menghela napas panjang. “Aku nggak ada pengalaman seperti ini.” Tawanya kemudian lepas. Menutupi ketololannya.
Mai ikut tertawa. Ia kemudian berdiri.
“Oke, silakan kamu berpikir, menimbang, dan menentukan pilihan. Aku mau lihat Qiqi dulu. Ya?”
Ares mengangguk.
* * *
“Om... Om...,” Qiqi menggoyangkan tubuh Grandy yang terbaring di atas karpet. “Om Grandy, bangun, dong! Sudah sore, nih! Om...”
Grandy mengerjapkan mata ketika merasa ada yang mengusik tidurnya. Perlu waktu beberapa detik sebelum menyadari dia ada di mana. Dan kesadarannya mengumpul secara penuh ketika matanya menangkap senyum manis seorang gadis kecil.
“Eh,” Grandy bangun dan duduk. Masih mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum meraih kacamata di dekat bantal yang dipakainya. “Yah... Qiqi sudah bangun duluan. Qiqi sudah mandi?”
Qiqi menggeleng. “Qiqi juga baru bangun.”
“Ya, sudah, Qiqi mandi dulu. Om juga mau mandi di belakang. Mau ambil baju Om dulu di mobil.”
“Nanti kita jadi, kan?”
Grandy mengangguk sambil mengangkat tangan, membentuk sikap siap melakukan tos. Qiqi segera menepuk telapak tangan Grandy keras-keras sambil tertawa riang.
“Kamu sekalian pakai baju yang oke, ya?” Grandy mengacungkan jempolnya.
“Siap, Kapten!” ucap Qiqi sebelum berlari ke kamar mandinya.
Grandy masih duduk mencangkung di atas karpet selama beberapa saat. Berusaha mengusir pening yang muncul karena harus terbangun tiba-tiba. Ia kemudian bangkit dan keluar dari kamar ketika dirasanya peningnya sudah mulai berkurang. Di depan pintu kamar Qiqi, ia berpapasan dengan Mai.
“Aduh, aku tidurnya kebluk juga,” Grandy meringis malu.
Mai terkekeh. “Dia sudah bangun?”
Grandy mengangguk. “Lagi mandi. Eh, Mai, aku numpang mandi di belakang, ya?”
“Di kamarku saja, Bang.”
“Jangan,” Grandy menggeleng. “Di belakang saja.”
“Memangnya Abang bawa baju ganti?”
“Ada... Sisa dari Semarang kemarin. Semalam aku lupa, belum keluarkan koper dari bagasi.”
“Oh... Lewat pintu tembusan saja, Bang,” ujar Mai sambil melangkah ke arah pintu itu. “Lagi ada Diaz di kantor olshop-ku. Kusuruh pilih-pilih kalung.”
“Hah? Oh, buat Winda?” Grandy mengikuti langkah Mai.
Mai menggeleng. “Buat calon ceweknya.”
“Hah? Lho?” Grandy terbengong sejenak.
“Selama ini, delapan tahun ini, dia bertahan dari segala godaan karena masih penasaran ingin bertemu denganku,” jelas Mai dengan suara rendah. “Tapi setelah bertemu, lihat aku baik-baik saja, ya, sudah. Sudah cukup. Dan kebetulan memang ada cewek yang selama ini ada dekat sekali di sekitarnya. Teman Winda.”
“Oh...,” bibir Grandy membundar tanpa suara.
Mereka sudah sampai di depan ruang kantor Mai. Mai menarik tangan Grandy agar mengikutinya masuk. Terjadilah saling sapa yang cukup meriah sebelum Grandy undur diri hendak mengambil peralatan mandi dan baju gantinya di mobil.
“Jangan pulang dulu, ya, Di,” pesannya sebelum menghilang ke luar ruangan.
* * *
Ares memutuskan untuk tidak mengambil satu pun kalung yang dipilihkan Mai. Dan perempuan itu hanya mengangguk sambil tersenyum lebar ketika Ares mengungkapkan alasannya.
“Nanti kalau dia pulang, kalau boleh, dia akan kuajak ke sini, Ra. Untuk berkenalan denganmu. Sekalian memilih sendiri asesoris mana yang dia suka.”
Tentu saja Mai menyetujuinya. Dan ia tergelak ketika mendengar kalimat Ares berikutnya.
“Tapi janji, ya, Ra. Aku akan membayar pilihannya. Aku tidak mau gratis. Mau kasih sesuatu yang istimewa, kok, gratis?”
“Hahaha... Okelah! Nanti aku kasih bonus. Tenang saja.”
Dan kini keduanya kembali mengobrol di ruang tamu Mai sambil menunggu Qiqi dan Grandy selesai mandi. Beberapa menit kemudian terdengar celoteh Qiqi, ditimpali oleh Grandy. Dan keduanya muncul di ruang tamu dengan wajah segar dan ceria. Qiqi segera memberi salam pada Ares dan sejenak menempelkan punggung tangan Ares ke pipinya. Gadis mungil itu kemudian mendekati Mai dan berbisik-bisik di telinga Mai. Kening Mai berkerut sejenak.
“Ya, kamu bilang sendiri, dong, sama Om Diaz,” ujar Mai kemudian, menatap Qiqi dengan sayang.
“Yah...”
"Ada apa, ya?” Ares memasang wajah penuh harap. “Om juga mau, lho, dibisikin...”
“Sana...,” Mai mendorong lembut tubuh Qiqi.
Qiqi tampak malu-malu mendekati Ares. Ia sempat menoleh ke arah Mai dan Grandy. Mai mengangkat alisnya, sedangkan Grandy tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol.
“Om...,” Qiqi sudah duduk di sebelah Ares. Menerima rengkuhan lembut Ares. “Om Grandy ngajakin Mama, Om Diaz, sama Qiqi, makan di mall. Om Diaz ikut, ya?”
“Yah... Ini Om Diaz sudah mau pulang, Qi,” jawab Ares halus. “Kasihan Tante Winda sendirian di apartemen.”
“Itu, Om Obet?”
“Om Obet juga sudah pulang siang tadi. Soalnya mau terbang ke Palembang sore ini.”
Qiqi menoleh ke arah Grandy. Mencari bantuan. “Gimana, dong, Om?”
Grandy tertawa lebar. “Gampaaang... Om Diaz tinggal angkat ponsel, hubungi Tante Winda, suruh siap-siap, kita jemput ke apartemen. Bagaimana?”
“Ayo, Om! Ayo, Om!” Qiqi segera menggoyang-goyangkan lengan Ares.
Laki-laki itu tergelak. “Nanti Winda dan aku mengganggu,” kilahnya.
“Ngomong apa itu?!” tukas Mai galak. “Sudaaah... Hubungi Winda, Di. Ayolah...”
Ares akhirnya mengalah. Ia menghubungi Winda melalui ponselnya. Tapi di seberang sana Winda seolah tak percaya dengan omongan abangnya. Ares kemudian mengulurkan ponselnya pada Mai. Membiarkan Mai menyelesaikan masalah itu. Beberapa saat kemudian Mai mengembalikan ponsel Ares.
“Beres!” ucapnya penuh kemenangan.
“Asyiiik!” Qiqi langsung bersorak, diiringi tawa Grandy dan Ares.
“Winda mau siap-siap sekarang,” lanjut Mai. “Aku juga. Qi, pakai sepatumu, ya, sayang?”
Qiqi mengacungkan jempolnya dengan mata berbinar dan wajah super cerah.
* * *
Ilustrasi : www.decoaro.com
Yeah, akhirnya tayang jugaaaaaaa. Wiih, abang Grandy jadinya ya? Jadi pengen liat Dira kayak apa ya????? Kemis kok suweee men tho...... Sesuk ae mbak?????
BalasHapusWes tayang lanjutane lho... π
HapusAyeyeye.... makin seru euy. :-)
BalasHapusVote for ... ... ... Hahaha... πππ
HapusYessss!!! sama Grandy...
BalasHapusApa iyaaa? Hihihi...π
HapusAh grandy kamu emng pantes Untuk mai
BalasHapusMiss u qiqi ketemu hari Kamis ☺️☺️
Udah nongol lagi yaaa... π
HapusMakin meleleh rasanya. Jadi lupa sama 'utang' sendiri
BalasHapusHehehe... Makasiiih...
HapusHooooohohohohoho .....
BalasHapusWis menjurus.
Aluse soro.
Lope"
Iyo alus, mari maskeran πππ
Hapus.....aq ga sanggup berkata-kata....... Kecuali.........lanjooot......
BalasHapusSiaaap... Udah tayang lanjutannya, Mbak π
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Edy... π
Hapus