* * *
Tujuh
“Qi,”
Mai menatap Qiqi dalam-dalam. “Nanti kalau sudah jam pulang, Qiqi ikut Bu Ridha
ke ruang guru, ya? Qiqi tunggu jemputan di sana.”
Qiqi
balik menatap. Dengan sorot mata bertanya. Mai mencoba untuk tersenyum.
“Sekarang
sedang musim penculikan anak,” Mai berusaha menjelaskan. “Mama nggak mau
kehilangan Qiqi. Paham?”
Qiqi
mengangguk.
“Mama
sudah telepon ke Bu Ridha semalam. Jadi yang boleh jemput Qiqi cuma Mama,
Nenek, atau Kakek. Jelas?”
Qiqi
kembali mengangguk. Mai memberinya sebuah pelukan.
“Jadi
anak manis, ya?” bisik Mai.
Qiqi
mencium pipi Mai sebelum berbalik dan melangkah ringan melintasi lapangan
menuju ke lobi sekolah. Di depan lobi itu berdiri Bu Ridha. Mai mengangguk
ketika tatapan mereka bertemu. Begitu juga Bu Ridha. Qiqi sudah sampai di depan
Bu Ridha, meraih dan mencium tangan sang guru, kemudian menghilang ke dalam.
Hari
ini adalah hari pertama Qiqi masuk sekolah kembali setelah libur semester usai.
Hari yang tak lagi biasa. Hari yang tak lagi menimbulkan perasaan tenang. Semua
itu karena hadirnya Nirwan yang tiba-tiba dalam kehidupan mereka.
Mai
tahu, adalah hal yang sangat mudah bagi Nirwan untuk tahu semua hal tentang
Qiqi, termasuk semua kegiatan dan di mana letak sekolahnya. Dan Mai tak mau
Nirwan begitu saja masuk dengan seenaknya ke dalam hidup Qiqi. Mungkin tidak
akan secepat itu Nirwan tahu, tapi Mai tak mau kecolongan. Harus ada antisipasi
sejak awal. Salah satunya adalah mengawasi Qiqi dengan lebih ketat.
Kemarin sore telah terjadi pembicaraan yang cukup panjang dengan Bu Ridha.
Mai terpaksa menjelaskan posisinya, dan meminta dukungan dari Bu Ridha. Suatu
saat Qiqi memang harus tahu siapa ayahnya. Tapi tentunya waktu itu bukan
sekarang. Dan ternyata Bu Ridha sangat memahami keinginan Mai. Membuat Mai
merasa cukup lega untuk sementara waktu.
Mai
berbalik setelah Qiqi menghilang. Ia masuk ke dalam mobil dan mulai
meluncurkannya ke tempat berikutnya. Klinik drg. Intan.
* * *
Jadi di sini sekolahnya...
Nirwan
mengerjapkan mata. Ia duduk diam di balik kaca hitam pekat mobilnya. Niatnya
sudah bulat. Mengetahui sebanyak-banyaknya info tentang anak Mai. Anaknya. Dari seberang jalan, dengan jelas
Nirwan dapat melihat Mai memeluk Qiqi sebelum gadis mungil itu masuk ke dalam
lingkup sekolah dengan langkah-langkah kecilnya.
Ada
yang terasa hangat di hati Nirwan. Qiqi-nya kelihatan normal. Dari pertemuan yang sangat sekilas di ruang tunggu klinik tiga
hari lalu, ia bisa menangkap kilatan cahaya kecerdasan ada dalam sorot mata
Qiqi.
Untuk
itulah ia mengambil cuti seminggu lamanya. Dengan alasan memulihkan diri setelah
mengalami kecelakaan. Jatuh dari motor ojek. Ia sungguh ingin tahu segala hal
yang ia rasa harus tahu tentang Qiqi. Bogem mentah Ares, tamparan keras Mai,
dan semprotan kemarahan Intan kemarin belum cukup untuk menyurutkan niatnya
itu. Hanya saja ia harus berpikir seribu kali kalau harus berada sangat dekat
dengan Mai atau Qiqi lagi. Membuntuti Mai dan Qiqi seperti sekarang ini adalah
hal yang dirasanya paling aman untuk dilakukan.
Ares...
Wajah
Nirwan mengeras. Bekas pukulan Ares masih terasa berdenyut nyeri di rahang dan
pelipisnya. Memarnya juga masih terlihat sangat matang. Dan hatinya? Terasa lebih
sakit lagi.
Huh!
Untung
saja ia tak sampai mengalami dislokasi rahang ataupun retak tulang di bagian
pelipis.
Kalau sampai Pak Willem tahu,
bisa makin hancur aku!
Tapi
boss sekaligus calon mertuanya itu tak bertanya lebih detail lagi ketika ia menelepon
kemarin sore. Membuatnya merasa aman untuk sementara waktu.
Jadi dia masih nggelibet
saja di sekitar Rara?
Nirwan
mencibir. Sejak dulu, ia juga tidak buta untuk mengetahui bahwa Ares menyukai Mai.
Dan ketika ia berhasil membuat Mai hamil,
ia segera saja merasa menang sekian puluh langkah di depan Ares. Konyol, memang.
Dan
rasa-rasanya, ia harus menyiapkan diri untuk membuat perhitungan dengan Ares. Pada
suatu saat yang tepat nanti.
* * *
Perempuan berusia awal 50-an itu menyambut Mai dengan ramah. Ia seutuhnya tahu apa
yang hendak dibicarakan Mai.
“Maafkan
aku, Mai,” ucap Intan dengan penyesalan yang dalam. “Seandainya aku tahu kalau
Nirwan itu ayah Qiqi, tentunya aku tak akan gegabah menyuruhnya menggantikan
aku praktik kemarin itu.”
Mai
menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu Intan. Saya tahu semua itu kejadian yang sama
sekali tidak bisa kita perkirakan. Ya, saya tahu Nirwan dulu di FKG, tapi saya
sama sekali tidak pernah berpikiran bahwa dia keponakan Ibu.”
Intan
mendesah. Ditatapnya Mai dengan lidah kelu.
“Soal
wajahnya yang jadi babak belur itu, saya minta maaf.”
“Ah,”
Intan mengibaskan tangannya di depan wajah. “Tak perlu minta maaf, Mai. Sama
sekali tidak perlu. Dia sebetulnya pantas dapat lebih dari itu. Aku marah
sekali padanya. Aku malu, Mai. Maafkan aku.”
“Bu
Intan ada di luar masalah ini,” senyum Mai. “Saya tahu Bu Intan orang yang
baik. Sangat baik.”
Intan
balas tersenyum. Sekaligus menarik napas lega.
“Saya
cuma minta jaminan kejadian seperti kemarin itu tidak terulang lagi, Bu,” ujar
Mai. “Kami sudah cocok dengan penanganan di sini. Jujur, saya tidak ingin
memindahkan pemeriksaan rutin gigi Qiqi ke tempat lain.”
“Aku
tidak akan meminta Nirwan menggantikan aku lagi, Mai,” Intan menggeleng. “Kalau
kepepet, lebih baik aku minta bantuan kawanku yang lain. Aku sudah memperingatkan
Nirwan untuk menjauhimu dan Qiqi. Paling tidak untuk sekarang ini.”
Mai
mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian ia pun berpamitan.
* * *
Mai
menatap ke luar jendela ruang kantornya. Dihelanya napas panjang.
Sudah
beberapa belas hari ia bertemu lagi dengan Ares. Setelah delapan tahun yang
terkadang cukup panjang untuk sebuah kerinduan. Sehingga ketika kerinduan itu
mulai terasa mengganggu, ia berusaha keras untuk menguapkannya. Sepertinya
banyak hal yang masih membutuhkan waktu untuk pulih kembali seperti sedia kala.
Terpaksa
harus memiliki Qiqi membuat Mai ditempa secara mendadak untuk menjadi jauh
lebih dewasa. Ia menyesali caranya, tapi tidak untuk hasil yang ia dapatkan.
Qiqi adalah pusat kehidupannya kini. Walaupun ia tak bisa mengingkari bahwa
terkadang masih menjumpai sudut-sudut kosong di seluruh penjuru hatinya.
Terlihat
ada yang berubah juga pada diri Ares. Menjadi jauh lebih matang. Dan juga
pendiam. Seolah ada banyak hal yang ia pikirkan, tapi tak bisa ia ungkapkan.
Entah kenapa.
Banyak
hal yang Mai masih belum tahu tentang kehidupan Ares sekarang. Belum ada
kesempatan lagi untuk mengobrol banyak. Seolah ada sekat tebal yang membatasi
mereka. Lagipula Mai tahu Ares cukup sibuk dengan pekerjaannya. Dan Mai sendiri
punya cukup banyak hal untuk dipikirkan dan dikerjakan.
Seperti
saat ini. Setelah pintu ruangannya diketuk dari luar, dan Silvi menyembulkan
kepalanya.
“Maaf,
Mbak Mai, kiriman dari Mister Kim sudah datang.”
Mai
segera beranjak keluar. Meja Noni kosong. Di sanalah kotak paket itu
diletakkan. Mai segera membukanya dengan bantuan Silvi.
“Noni
ke ekspedisi?” tanya Mai.
“Iya,
Mbak,” jawab Silvi sambil membuang bungkus luar paket itu. “Tadi perginya sama
Nunung. Ban motor Nunung kempes. Makanya dia nebeng Noni.”
“Oh...”
Dengan
dibantu Silvi pula, Mai memeriksa satu demi satu kondisi puluhan asesori yang
dikirimkan Kim. Sekaligus mencocokkannya dengan manifest yang ia pegang.
Sejauh
ini, pelayanan Kim tak pernah mengecewakan. Semua barang yang dikirimkannya
selalu sesuai dengan yang dipesan Mai. Begitu pula kondisinya ketika sampai di
tangan Mai. Mulus. Sempurna. Karena Kim pun tak pernah main-main dalam
melakukan pengepakan.
Setelah
Noni kembali dari kantor ekspedisi, Mai dan Silvi memindahkan sekotak asesoris
baru itu ke dalam ruang kantor Mai. Siap untuk membuat kode, sekaligus
melakukan pemotretan.
“Yang
ini bagusnya dikasih latar warna merah saja, Vi,” gumam Mai.
Silvi
dengan cekatan mengganti kain latar untuk sebuah kalung bermata kristal putih.
Setelah mematut-matut sejenak, Mai menjepretkan kameranya. Ia melihat hasilnya,
kemudian mengacungkan jempol. Silvi mengganti kalung itu dengan kalung lainnya
yang cocok dengan warna latar merah, dan proses pun kembali berulang. Begitu
seterusnya.
Belum
setengah dari seluruh asesori itu tertangani, ponsel di atas meja Mai berbunyi
nyaring. Silvi buru-buru mengambil benda itu untuk diserahkan pada Mai yang
sudah telanjur berkonsentrasi untuk melakukan sebuah jepretan lagi.
“Dari
sekolah Qiqi, Mbak,” Silvi menatap sekilas layar ponsel Mai di tangannya.
“Hah?”
Mai buru-buru mengangsurkan kameranya pada Silvi sekaligus menerima ponselnya.
“Halo,
selamat---,” sekilas Mai melirik jam dinding. Masih pukul sepuluh lebih sedikit.
“---pagi.”
“Selamat pagi. Dengan Bu
Mai, mamanya Qiqi?”
“Iya,
betul, Bu. Saya Mai. Qiqi kenapa, Bu?” suara Mai seketika diliputi perasaan
khawatir. Ia mengenali suara itu. Bu Bas, kepala SD Qiqi.
“Qiqi tidak kenapa-kenapa,
Bu Mai. Hanya saja sekuriti sekolah mencurigai seorang laki-laki yang bertanya
jam berapa anak-anak kelas dua pulang. Dia juga sempat menanyakan Qiqi.”
Jantung
Mai seolah meloncat keluar dari dalam tubuhnya.
“Seperti
apa orangnya?” suara Mai bergetar hebat.
“Tinggi, tampan, berkaca
mata, kulitnya terang dan bersih, penampilannya rapi. Kelihatannya terpelajar
juga, Bu Mai.”
Mai
terduduk.
Nirwan! Baru juga kemarin aku
memberinya pelajaran!
“Sekarang
dia ada di mana?”
“Sekuriti sedang menahannya
di pos jaga. Tidak semata-mata menahan, supaya dia tidak merasa dicurigai,
kemudian lari. Makanya kami menelepon Ibu. Kami bisa membantu melapor ke polisi
kalau Ibu menghendaki.”
“Saya
segera ke situ!”
Mai
segera mengakhiri pembicaraan itu, kemudian menyambar tas dan kunci mobil.
“Biarkan
begini dulu kantorku, Vi!” serunya sambil berlari keluar.
Silvi
menatap kepergian Mai dengan wajah cemas.
“Ada
apa?”
Silvi
menoleh, mendapati Noni menatapnya heran.
“Nggak
tahu,” Silvi menjawab dengan wajah terlihat agak linglung. “Itu tadi Mbak Mai
dapat telepon dari sekolah. Entah kenapa Qiqi.”
Keduanya
kemudian terhenyak di kursi masing-masing dengan pikiran mereka sendiri.
* * *
Setiap
kali mobilnya harus terhenti karena dihadang kemacetan kecil atau lampu merah,
Mai menyumpah-nyumpah dalam hati.
Bisa-bisa kubunuh juga kamu,
Wan!
Bajingan, kamu, Wan!
Setan gundul, kamu, Wan!
Pengecut tengik!
Gendruwo belang!
Tuyul culas!
Kutu busuk!
Gombal apek!
Dan
masih banyak lagi umpatan yang bahkan biasanya terpikir pun tidak pernah.
Mai
menggelengkan kepalanya. Entah harus diapakannya Nirwan itu. Ucapan Bu Bas soal
menghubungi polisi terngiang kembali di telinganya. Sepertinya ia akan
melakukan itu kalau Nirwan sampai melampaui batas.
Sekarang, jangan main-main
denganku, Wan!
Kaki
Mai menginjak pedal gas dalam-dalam setelah melampaui belokan terakhir masuk ke
jalan tempat sekolah Qiqi berada.
* * *
Ilustrasi
: www.driftwood-gardens.com
good post mbak
BalasHapusMakasih mampirnya, Pak Subur... 😊😊😊
HapusNirwan mintak dibantai beneran itu !
BalasHapusMelok geregeten to the max aq mb Lis !
Untunge Mai wis antisipasi.
Langkahnya Mai bisa dicontek lho, Nit... 😉😉😉
HapusOOhhh...aku ada kontaknya Freyja atau Ivan, mbak. Kali aja butuh buat Nirwan...wkwkwk
BalasHapusSayangnya Freyja udah jadi arang, hehehe... 😆😆😆
HapusKoleksi umpatan Mai banyak juga ya. Hehehe.... :-)
BalasHapusHihihi... Nulisnya sambil ketawa itu aku, Mbak 😋😋😋
HapusAntara melu jengkel karo kudu ngguyu. Mbayangke Mai misuh2 😆
BalasHapusHihihi... 😁😁😁
Hapusaku pernah ngalamin kayak mai itu...
BalasHapusduluuuuu... waktu hak asuh juno masih belum diputuskan, dan status dia masih "anak dalam sengketa".
*peluuuk* 😑😑😑
HapusSaya sudah jauh ketinggalan -_-
BalasHapusNyantai aja, Mas Pical... 😉
HapusManstaf :)
BalasHapus