Jumat, 16 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #6-2










* * *


Mereka berempat melangkah dengan santai di bawah siraman cahaya matahari Minggu menjelang siang, yang mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan. Ares berjalan di depan, bersisian dengan Tyas. Menggendong sebuah boneka My Melody berukuran jumbo yang dibeli Tyas kemarin. Untuk Qiqi. Sedangkan Winda berjalan berdampingan dengan Gunadi di belakang.

“Aku, kok, deg-degan, ya?” celetuk Tyas.

Ares tersenyum mendengarnya.

“Sama kayak waktu aku jalan ke sini pertama kali itu, Ma,” ia menggumam.

“Aku pas melihatnya pertama kali di kantor olshop-nya itu, wuuuh... Kayak otakku blong. Nggak bisa mikir,” Winda menimpali.

“Yang penting kita bisa bertemu lagi dengan mereka,” ujar Gunadi. “Niat kita menyambung kembali persahabatan dan persaudaraan yang sempat terputus. Bukan untuk menghakimi, atau menghujat, atau mengejek. Tanpa menerima itu semua pun, yang mereka hadapi kemarin-kemarin itu sudah cukup berat.”

Mereka sudah tiba di ujung jalan. Entah kenapa, jantung Ares berdebar lebih kencang lagi karenanya.

Sudah seminggu lamanya ia memendam rasa rindu yang menguat lagi sejak ia selalu menindasnya selama delapan tahun ini. Rindu pada kedalaman tatapan Rara. Ares menghela napas panjang. Dan mereka terus melangkah. Makin mendekati rumah yang mereka tuju.

* * *

Qiqi mengulurkan sebungkus kecil pupuk pada Mai.

“Terima kasih, sayang,” ucap Mai ringan.

Qiqi tersenyum manis.

Di bawah bayangan topi lebar yang dikenakannya, pipi Qiqi tampak bersemu merah menggemaskan. Dengan setia ia menemani Mai yang sedang merawat rumpun-rumpun anyelir di taman mungil di depan rumah mereka. Sambil berjongkok di sebelah Mai, tangan kanannya sibuk menunjuk ke sana-sini sambil bibirnya menggumamkan berbagai pertanyaan yang dijawab Mai dengan sangat sabar.

“Ma, Ma, kita jadi bikin kolam ikan apa nggak, sih, Ma?” usik Qiqi, akhirnya.

“Hm...,” Mai menoleh sekilas. “Kalau bikin kolam ikan, kita bikinnya di mana, dong? Kita, kan, nggak punya taman belakang.”

“Di belakang rumah Kakek, kan, bisa, Ma,” Qiqi tampaknya tak kekurangan jawaban.

“Lha, tanaman-tanaman Nenek, gimana, dong?”

“Hm... Iya, ya...”

“Kasihan Nenek, kan, kalau tanamannya harus ada yang dibabat buat kolam ikan Qiqi.”

Qiqi mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. Mai menoleh dan tertawa melihat ekspresi gadis mungil itu.

“Kalau kepanasan, masuk sanalah, Qi,” ujar Mai.

Qiqi hanya meringis lucu.

“Permisi... Selamat siang...”

Qiqi dan Mai menoleh ke arah pintu pagar ketika mendengar suara itu. Mai seketika ternganga.

* * *

Hening dan Tyas berpelukan lama. Saling menumpahkan air mata. Bagaimanapun mereka adalah dua keluarga yang pernah sedemikian dekat. Gunadi sendiri beberapa kali menepuk lengan Rama. Juga tanpa bisa berkata apa-apa. Tapi terlihat ada ekspresi keharuan pada raut wajah keduanya.

Diam-diam Mai menggiring Ares dan Winda kembali ke rumahnya. Winda segera merangkul Qiqi yang memeluk erat boneka besar yang tadi diberikan oleh Ares. Tanpa banyak suara, mereka melangkah ke rumah sebelah. Qiqi kemudian mengajak Winda ke kamarnya, untuk memamerkan koleksi bonekanya pada Winda. Winda pun menurut dengan senang hati. Sejak pertama kali ia bertemu dengan Qiqi, ia sudah merasa jatuh cinta pada gadis mungil itu.

“Whoa... Kamar Qiqi kayak toko boneka, ya?” Winda memasang tampang kagum.

“Ini sudah berkurang, Tante,” senyum Qiqi. “Waktu itu yang kecil-kecil sudah Qiqi kirim ke tempatnya Oma Amey.”

“Oh?” Winda mengerutkan kening. “Siapa itu Oma Amey?”

“Oma Qiqi, Tante,” jawab Qiqi dengan manisnya. “Di rumah Oma ada banyak teman-teman Qiqi yang nggak punya papa sama mama.”

“Oh...,” Winda manggut-manggut sambil bersila di atas karpet. Mulai mengerti siapa dan apa yang dilakukan oleh ‘Oma Amey’ itu.

Selanjutnya ia dengan telaten menimpali celotehan Qiqi yang seolah tak ada habisnya. Beberapa kali terdengar tawa mereka. Juga cekikik geli yang terdengar menggelitik telinga.

* * *

Ares merasakan seutuhnya aroma kecanggungan yang ada di antara ia dan Mai sekarang. Mai yang pernah dikenalnya memang cenderung pendiam. Oleh karenanya ia masih ingat betapa kagetnya ia dulu ketika Mai mengaku dirinya hamil oleh Nirwan. Setahunya pula, Nirwan juga bukan type cowok begajulan.

“Ra, kita tinggal berdekatan lagi sekarang,” lirih suara Ares. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa ceritakan padaku. Seperti dulu.”

Mai tak bisa menjawab. Hanya bisa mengangguk. Setelah sekian tahun berlalu, ia sudah belajar banyak untuk bisa mengatasi masalahnya sendiri. Tanpa bantuan ‘orang luar’. Dan kehadiran kembali Ares menyelipkan sedikit rasa asing itu di hatinya. Seandainya memang benar ada ‘apa-apa’ yang harus diceritakan pada Ares, ia tak tahu harus mulai dari mana.

Dan ia berusaha mengalihkan pembicaraan tentang berbagai hal yang umum. Juga menjawab banyak pertanyaan Ares tentang online shop yang dikelolanya. Hingga akhirnya sampai pada sebuah topik.

“Hm... Soal asesori yang tertukar itu, Winda sudah bercerita bagaimana awalnya,” ujar Mai dengan suara rendah. “Sepertinya dia gadis yang baik.”

“Siapa?” Ares mengerutkan keningnya sedikit.

“Sahabat Winda itu.”

“Oh... Dira.”

“Apa kurangnya dia?”

Ares tercenung. Hingga kemudian mendapat jawabannya. Yang ia belum berani untuk mengungkapkannya.

Dira bukan kamu, Ra...

“Aku belum berpikir ke arah situ, Ra,” gumam Ares, akhirnya.

“Oh...”

“Hm... Kamu sendiri? Siapa laki-laki yang beruntung itu?”

“Beruntung?” mata Mai membulat sempurna. Ia kemudian tertawa. Dengan gema nada kesedihan ada di dalamnya. “Beruntung mendapat sampah seperti aku? Jangan bercanda, Diaz.”

Ares menggelengkan kepalanya. “Sampah? Ra, tolong, jangan pernah anggap dirimu sendiri seperti itu.”

Mai mengangkat bahu. Berusaha untuk tersenyum. “Sejujurnya, aku sudah malas memikirkan soal itu, Di. Fokusku sekarang adalah Qiqi. Juga membahagiakan Ayah dan Ibu. Setelah semua yang sudah diupayakan Ayah dan Ibu untukku dan Qiqi.”

“Bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri?”

Mai kembali mengangkat bahu. “Kebahagiaanku sekarang adalah menjalani apa yang bisa kujalani. Merawat apa yang sudah kudapat. Menikmatinya selagi aku bisa. Aku belum bisa berpikir lebih. Lagipula, masa depan Qiqi masih jauh, Di. Banyak yang harus kusiapkan.”

Ares benar-benar tercenung kini. Sulit sekali menemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi ucapan Mai.

* * *

Sebuah SUV berwarna hitam berhenti tepat di depan Nirwan. Jendela kiri depan turun perlahan.

“Bapak Nirwan Erlangga?” seseorang melongokkan kepala ke arah kiri dari balik kemudi, bertanya dengan sopan.

Nirwan mengangguk. Rupanya benar bahwa mobil itu adalah taksi online yang dipesannya. Ia kemudian masuk ke dalam mobil itu. Pengemudinya pun segera meluncurkan mobil itu ke alamat yang diberikan Nirwan.

Nirwan sengaja menggunakan jasa taksi online untuk mencari alamat Mai dan Qiqi. Ia memang agak buta peta Jakarta. Dan tak mau membuang waktu untuk menyetir sendiri dan menyasar ke tempat yang ‘tidak-tidak’.

“Pak, nanti bisa menunggu saya, nggak?” celetuk Nirwan.

“Wah, gimana, ya, Pak?” pengemudi itu tampak ragu-ragu sejenak. “Bisa, sih. Tapi Bapak harus pesan lagi. Kalau Bapak mau, saya nggak akan jauh-jauh dari lokasi Bapak turun nanti.”

“Oke, begitu juga bagus, Pak,” Nirwan menangguk.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke alamat yang dituju Nirwan. Laki-laki itu ragu sejenak setelah turun dari mobil. Ia sengaja meminta untuk diturunkan di seberang, tidak tepat di depannya. Ditatapnya rumah itu sejenak sebelum menyeberang.

Pagar rumah itu tampak terbuka lebar. Demikian pula pintu depannya. Dihelanya napas panjang sebelum memantapkan hati masuk ke halaman rumah itu. Dengan suara halus, ia kemudian mengucapkan salam.

* * *

“Dua hari yang lalu aku bertemu Nirwan.”

Ares ternganga. Obrolan mereka ternyata bisa juga berujung pada nama itu.

Yang benar saja!

“Aku benar-benar kaget, Di,” lanjut Mai dengan nada resah.

“Di mana kamu bertemu dia?” Ares mengerutkan kening.

Lalu Mai menceritakan secara rinci pertemuannya dengan Nirwan. Juga tentang tanggapan kedua orang tuanya. Juga tentang perasaannya.

“Yang jelas, aku belum bisa menganggapnya sebagai ayah yang layak buat Qiqi,” Mai menghela napas panjang.

Ares membuka mulut, hendak menanggapi. Tapi sebuah suara membuatnya membatalkan niat itu.

“Permisi...”

Mai dan Ares bersamaan menoleh ke arah pintu. Seketika itu juga Mai seolah membeku. Nirwan berdiri di tengah ambang pintu yang terbuka lebar. Kebekuan itu juga yang membuatnya terlambat untuk menyadari bahwa Ares sudah menerjang ke arah Nirwan.

BUK!

Kepalan tangan kanan Ares menghantam telak rahang kiri Nirwan. Sekuat tenaga. Membuat laki-laki jangkung itu terhuyung dan terjengkang karena sama sekali tak siap menerima serangan. Kacamatanya terlempar tanpa ampun. Untung saja tidak pecah.

“ITU UNTUK APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN TERHADAP RARA!”

Gelegar suara Ares menggema hingga ke rumah sebelah.

“DAN INI UNTUK DELAPAN TAHUN YANG KOSONG DAN TERBUANG SIA-SIA DALAM HIDUPKU!”

Sebelum Nirwan menyadari apa yang terjadi, sebuah lagi hantaman keras tangan Ares menerpa pelipis kirinya.

BUK!

“Diaz!”

Tyas segera memburu anak lelakinya yang masih terlihat bernafsu membunuh. Dengus napas Ares membuat tengkuk Tyas meremang seketika.

Diaz-nya adalah seorang yang cukup sabar. Dan hajaran yang dilontarkannya adalah ujung dari semua emosi yang tak pernah bisa tersalurkan dalam rentang waktu delapan tahun ini. Diraihnya pemuda itu. Dipeluknya kuat-kuat.

“Sudah...,” bisik Tyas. “Sudah... Jangan mengotori tanganmu, Diaz...”

Perlahan emosi Ares mulai menyurut. Tapi tatapannya masih terlihat menyala terhujam pada Nirwan yang bangun, menggapai kacamatamya, dan berdiri dengan terhuyung-huyung.

Yang tak disangka-sangka adalah Mai perlahan mendekati Nirwan. Dengan wajah dingin.

“Aku tak mau melihatmu lagi,” desisnya.

PLAK!

Dengan gerakan cepat, telapak tangan kanan Mai terangkat dan menampar pipi kiri Nirwan. Sekeras-kerasnya.

“Pergi kamu dari sini! PERGI!”

Lengkap sudah.

Nirwan mendegut ludah. Setengah wajahnya sudah babak belur. Mau jadi apa kalau lebih lama lagi di situ? Ia pun buru-buru angkat kaki.

* * *

Nirwan hanya bisa meringis pasrah ketika dengan sengaja Intan menekankan kuat-kuat handuk kompres itu pada salah satu lebam di wajahnya. Alih-alih simpati yang didapatnya dari sang bibi. Intan justru membuat lebamnya terasa makin nyeri berdenyut-denyut.

“Kalau Tante jadi Mai, bukan cuma sebelah wajahmu begini yang Tante bikin hancur,” gerutu Intan dengan nada gemas. “Tapi semuanya. Kalau perlu bonyok abadi sekalian.”

Nirwan tak menjawab. Lebih tepatnya, tak bisa menjawab. Sudah jelas ada di pihak mana Intan berada. Tapi ia belum mau menyerah.

“Tapi anak itu anakku, Tante. Aduh! Aaah!”

Seketika Nirwan mengerang ketika Intan menoyorkan handuk ke pelipis kirinya.

“Nggak usah cengeng!” sambar Intan.

Nirwan hanya bisa meringis untuk kesekian kalinya.

“Bagus kalau kamu masih bersedia mengakui Qiqi dengan segala kondisinya itu sebagai anakmu!” Intan makin kehilangan kesabaran. “Tapi sudah terlambat! SANGAT TERLAMBAT! Qiqi berhak untuk dapat ayah yang terbaik! Yang jelas bukan kamu orangnya! Paham?!”

Nirwan seolah merasa ditohok sekali lagi. Kali ini tepat di ulu hati.

* * *


Ilustrasi : www.countrycottageprimitives.com



15 komentar:

  1. .....eng ing eng.....hayuuk hajar terus Diaz........
    wah....nunggu hari senin itu lama yaaak....#ga.sabaran.neeeh#

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Udah mau Rabu malahan 😁😁😁

      Hapus
  2. Setuju soro aq kambek tante Intan.
    Setujuuuuu !!!!
    Melok ngos"an on aq mb Liiiis.

    BalasHapus
  3. Leren, santai, wis bubar giliran ngelesi bocah2, maca Nirwan babak belur, jan memuaskan tenan. Puas banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bisa memghibur ya, Mbak... 😘😘😘

      Hapus
  4. Nunggu Senin lagi πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚setia

    Nirwan masih beruntung gak di bacok hehe

    Mangkin gretan sama Nirwan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Besok-beaok digantung di Monas aja ya? 😁😁😁

      Hapus
  5. Kirain pertemuan tiga org itu masih lama? Ternyata... no predection. Hehehe...

    Ditunggu lanjutannya ya, Bude.

    BalasHapus