* * *
Delapan
Lagi
asyik-asyiknya aku melamun mencari ide untuk iklan multivitamin, tahu-tahu Boss
Lenny sudah duduk di depan meja Bara di sebelah cubicle-ku. Si pemilik mejanya sendiri sedang kabur entah ke mana. Boss
yang satu ini tak pernah marah kalau mendapati kami cuma duduk bengong atau
melamun di depan meja kerja. Lha, memang idenya justru ramai berseliweran di
dunia bengong dan melamun itu!
“Sas,
kemarin Pak Panji minta dibikinin iklan baru. Gue lempar ke desk lu yak?”
“Pak
Panji...”
“Iya,”
potong Boss Lenny, “yang dari Multijossgandos.” (merk minuman energi)
“Oh...
Boleh deh!” jawabku.
Saat
ini aku cuma mengerjakan dua job
saja. Itu pun yang satu sudah kulempar ke desk
produksi. Jadi tak terlalu sibuk.
“Tapi
dia minta rada cepet. Kalau bisa awal bulan depan draft-nya udah lu ajuin ke dia.”
Awal
bulan depan. Berarti dua minggu lagi.
“Entar
abis makan siang deh, gue kirim poin-poinnya via email,” lanjut Boss Lenny.
Aku
manggut-manggut. Ciri khas klien premium. Selalu minta cepet, perfect, dan berani bayar tinggi. Tak
masalah... Yang super streng kayak Pak Robert saja bisa kuberi kepuasan (???)
apalagi ‘cuma’ Pak Panji. Hahay! Sombong nian….
Tak
urung ideku buntung juga. Huuuffft! Daripada kelihatan nggak bermutu karena kebanyakan
bengong akhirnya kucolek Fajar yang juga kelihatan lagi sama bengongnya di cubicle sebelah kiriku.
“Sibuk,
Jar?”
Dia
menggeleng. Kulirik layar laptopnya. Hadeeeh... Facebook-an... Dia hanya nyengir sok imut ketika kepergok olehku
apa kegiatannya saat ini.
“Nih,
mau meeting sama anak-anak produksi,”
ucapnya kemudian, berubah serius.
“Jam
berapa?”
“Ya
sekarang ini,” Fajar berdiri. “Eh, nanti maksi bareng ya? Ada yang pingin gue
omongin ke elu.”
“Jiaaah...
Serius amat?” aku tergelak.
Fajar
mengedipkan mata sebelum melenggang pergi.
* * *
Di
dalam lift dari basement, aku
melewatkan lantai 2 tempat kantin Prima berada. Aku memang telat datang. Bukan
telat turun dari kantor, tapi telat datang dari tamasya cari properti. Begitu
juga Fajar yang tadi mengajakku maksi bersama. Meeting-nya agak molor dari jadwal. Sudah lewat bel makan siang
ketika mereka selesai.
Dia
yang turun dari kantor lebih dulu dari aku sudah tak lagi mendapat tempat di
Prima, sehingga segera mengubah tujuannya. Alternatif satu-satunya cuma ke
Lounge Ex di lantai 6. Di sanalah dia sudah menungguku, menurut Whatsapp message yang kuterima darinya
beberapa menit yang lalu.
Ah,
Lounge Ex! Tempat para atasan dan expatriat
berkumpul untuk maksi. Tempatku meeting
dengan klien yang mau datang sendiri menemuiku, selain di Cafe Cherie. Harganya
ya begitu deh… Apalagi tampaknya kali
ini maksinya BDD alias bayar dewe-dewe.
Tapi apa boleh buat? Waktu istirahat tetap berputar menuju habis.
Aku
masuk ke Lounge Ex, dan langsung mendapati atmosfer yang jauh berbeda dengan
Prima. Walaupun cukup penuh, betapa suasana di sini begitu nyaman dan tenang.
Kantin Prima? Hiruk pikuk dan manusia di dalamnya seperti cendol dalam mangkok.
Senggol-senggolan.
Dengan
yakin aku bergerak ke sudut kiri. Fajar sudah di sana. Duduk manis sendirian
menghadap ke arah dinding kaca.
“Jar…,”
panggilku pelan.
“Hai!”
bibir Fajar melebar sempurna.
Wuih!
Baru detik ini kusadari bahwa sesungguhnya tingkat kegantengan Fajar adalah 13
dalam skala 1-10. Apalagi kalau nanti dia bersedia mentraktirku, bisa-bisa
nilainya melonjak jadi 16, hehehe...
Ups!
Stay focus!
Aku
pun duduk di kursi sebelah Fajar. Rugi rasanya duduk membelakangi dinding kaca
dengan pemandangan siang yang indah di luarnya.
“Lu
udah pesen?” tanyaku sambil membuka buku menu yang disodorkan Mas Waiter.
“Udah…”
Kutoleh
Mas Waiter. “Mas, tofu mentari satu,
nasi putih satu, emping melinjo satu, ice
mint tea satu. Makasih ya?”
“Porsi
single atau double, Mbak?”
“Single aja.”
“Oke,
ditunggu ya, Mbak?”
Aku
mengangguk. “Makasih.”
“Lu
sopan amat pesennya?” Fajar masih tersenyum.
“Lho,
makan secukupnya, ngemil membabi buta,” aku nyengir, membuat Fajar tertawa.
“Lu
dari mana tadi?” tanya Fajar kemudian.
“Dari
Pasar Gembrong, nyari properti buat iklan vitamin anak-anak.”
“Lho!
Bukannya iklan itu masuk ke desk-nya
Yussi?”
“Iya…
Tapi dia lagi ada job lain. Lha gue
lagi nganggur, ya udah gue aja yang keluar.”
“Oh...”
“By the way, lu mau ngomongin apa sih?”
“Nah,
itu...”
Mas
Waiter datang membawakan pesanan
Fajar dan minumanku.
“Udah,
lu makan dulu gih!” kataku.
“Sekalian
aja bareng elu entar.”
“Ya
udah buruan ngomong.”
“Gue
boleh nanya gak?”
“Apaan?”
kusedot pelan-pelan minumanku.
“Hubungan
lu sama Bara tuh kayak apa sih, sebenernya?”
Aku
terbatuk seketika. Fajar menatapku, merasa bersalah. Pada saat aku berusaha
meredakan batukku, Mas Waiter datang
membawakan makananku. Ada jeda sebelum Fajar kembali menatapku, menunggu
jawaban.
“Memangnya
apa yang lu liat?” aku mencoba mengulur waktu dengan balik bertanya.
“Hm...,”
Fajar mengusap wajah dengan sebelah tangan. “Kalo gue liat sih, lebih dari
sekadar temen. Tapi kayaknya pacaran juga enggak. Jujur, gue jadi ragu-ragu
deketin Mita. Soalnya gue liat sekarang Bara sama Mita lagi deket.”
Aku
tertegun sesaat.
“Kok
lu jadi kayak patah arang gitu sih, Jar?” gumamku kemudian.
“Ya...
Kan gue juga segen mau kompetisi sama sohib sendiri, Sas.”
Mendadak
aku jadi speechless. Sesungguhnya
bukan karena problem yang dihadapi Fajar, tapi...
Bara?
Dan Mita? Lagi dekat?
Kenapa
aku mendadak merasa sedikit sakit? Sakit yang hampir sama dengan ketika Binno
meninggalkanku dulu?
“Gimana
dong, Sas?”
Suara
pelan Fajar menyadarkanku. Kusempatkan meneguk ice mint tea-ku sebelum menanggapi masalah Fajar lebih lanjut.
“Ya
kupikir sih, mendingan lu ngomong langsung aja sama Bara. Kemungkinannya kan
masih fifty-fifty. Kalo emang kalian
sama-sama ada rasa sama Mita, ya udah, berkompetisilah secara sehat. Kan
tergantung juga Mita mau pilih yang mana. Cuma pesenku, apapun yang jadi
pilihan Mita, baiknya persahabatan kalian jangan sampai bubar. Persahabatan
kita jangan sampai kacau.”
Entah
seperti apa rupaku ketika mengucapkan rentetan kalimat itu. Aku tak berani
bercermin. Untung Fajar dan aku duduk sejajar. Jadi dia mungkin kurang bisa
menangkap ironi dalam wajahku.
Persahabatan
jangan sampai bubar? Persahabatan jangan sampai kacau?
Benarkah
tak akan terjadi kalau Mita jadi memilih salah satu di antara Bara dan Fajar?
Benarkah tak akan terjadi padaku dan
persahabatan ini kalau Mita sampai
memilih Bara?
Diam-diam
aku menelan ludah. Terasa dingin di kerongkongan karena pengaruh mint dalam minumanku.
“Ya
udah, sementara masalah itu gue pending aja
sampe gue nemuin waktu yang pas buat ngomong sama Bara,” ucap Fajar kemudian,
memutuskan.
Aku
mengangguk diam-diam.
“Oh
iya, Sas. Tadi gue liat lu bengong aja di depan laptop. Stuck?”
“Hm...
ya, itu...,” aku berusaha melupakan obrolan kami barusan. “Gue rada stuck di job Gerdy yang dilemparin ke gue. Tapi Gerdy udah bilang sih, dia
udah punya konsep. Jadi gue tinggal tunggu aja konsep dari dia. Entar gue
terusin.”
“Oh...”
“Masih
puyeng sama itu, ketiban lagi job
baru,” desahku.
“Gue
denger tadi Cik Lenny ngomong sama lu,” Fajar menangkupkan sendok-garpu di atas
piringnya yang sudah kosong. “Kok kayaknya asyik aja kalo setting-nya ada regu satpam yang lagi latihan, terus mereka
minumnya Multijossgandos itu.”
“Wow!
Brilyan juga ide lu! Boleh gue pinjem?” mendadak semangatku pulih seribu
persen.
“Hehehe...,”
Fajar tergelak ringan. “Udah... pake aja. Gue kan juga sering nyomot ide lu,
Sas.”
Kalau
saja bukan di tempat umum begini, sudah kuhadiahi Fajar sebuah pelukan. Idenya
benar-benar bisa membantuku menggarap job
terbaruku. Dan pelukan kedua hampir saja diterima Fajar karena dia benar-benar
memaksaku untuk merelakan dirinya membayari makanan dan minuman yang sudah
tandas meluncur masuk ke dalam perutku.
Sambil
kembali ke kantor, Fajar dan aku meneruskan diskusi tentang ide Fajar tadi.
Begitu masuk ke dalam kantor, Boss Lenny sudah duduk manis di cubicle-ku.
“Siang,
Cik,” sapaku dan Fajar, serempak.
“Siang,
Sas, Jar,” wajah Boss Lenny tampak secerah mentari pagi. Dia kemudian
menatapku. “Ada job baru nih!”
Hadeeeh...
Ketambahan kerjaan lagiii...
Kulihat
cubicle Bara masih kosong. Di sanalah
aku duduk.
“Wah!
Laris manis banget kita!” aku berusaha untuk menampilkan ekspresi penuh
semangat.
Boss
Lenny tertawa.
“Boss developer di lantai 17 itu bener temen
lu, Sas?” tanya Boss Lenny kemudian, mulai serius.
Aku
terbengong sejenak.
“Multi
Papan?”
Boss
Lenny mengangguk.
“Iya,
dia temen saya dari kecil. Kenapa, Cik?”
“Nah,
dia mau kita bikin iklan buat dia. Tadi sih, dia bilang temen lu. Gue pikir
lebih enak kalo konsepnya lu diskusiin sama dia dalam situasi informal.
Terserah sih, siapa aja yang kerjain. Yang penting konsepnya, tolong lu buat
dulu.”
Aku
manggut-manggut. “Iya deh, entar saya urus dia, Cik. Deadline-nya kapan?”
“Dia
sih minta akhir bulan depan udah siap. Minta versi cetak sama elektronik.”
“Hm...
Bisalah, Cik. Entar biar kita keroyok bareng-bareng.”
Boss
Lenny mengacungkan jempolnya.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #9
Wah. Bara...kasian deh Sasi.
BalasHapusTeteeep,......nunggu senin. Lanjut mbakyu!
BalasHapusnice post mbak
BalasHapuswah BAra dekat ama Mita ya? Hiks...
BalasHapuspilih Driya....aja Sas..
BalasHapus